Trauma Abdomen

42
TRAUMA ABDOMEN GERALD ABRAHAM HARIANJA 070100087 TODUNG ANTONY WESLIAPRILIUS 070100119 ERWIN SAHAT HAMONANGAN SIREGAR 070100093 SHEBA JULIA TARIGAN 070100190 SUPERVISOR: dr. ASRUL, Sp.B – KBD DEPARTEMEN ILMU BEDAH FK USU/RSUP HAM MEDAN

Transcript of Trauma Abdomen

Page 1: Trauma Abdomen

TRAUMA ABDOMEN

GERALD ABRAHAM HARIANJA 070100087

TODUNG ANTONY WESLIAPRILIUS 070100119

ERWIN SAHAT HAMONANGAN SIREGAR 070100093

SHEBA JULIA TARIGAN 070100190

SUPERVISOR: dr. ASRUL, Sp.B – KBD

DEPARTEMEN ILMU BEDAH

FK USU/RSUP HAM

MEDAN

2012

Page 2: Trauma Abdomen

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas

segala berkat dan karunia-Nya sehingga makalah dengan judul “Trauma

Abdomen” ini dapat diselesaikan. Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk

memenuhi tugas Kepaniteraan Klinik Senior Departemen Ilmu Bedah Fakultas

Kedokteran Universitas Sumatera Utara-RSUP H. Adam Malik Medan dan

meningkatkan pemahaman penulis maupun pembaca mengenai trauma abdomen

yang berlandaskan Advanced Trauma Life Support (ATLS).

Pada kesempatan ini penulis dengan rendah hati ingin mengucapkan

terima kasih kepada dr. Asrul, SpB-KBD selaku pembimbing penulisan makalah

ini. Penulis juga ingin mengucapkan terima kasih kepada seluruh dokter di

Departemen Ilmu Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara-RSUP

H. Adam Malik Medan atas segala bimbingan dan ilmu yang diberikan kepada

penulis.

Penulis menyadari bahwa masih terdapat banyak kekurangan dan

ketidaksempurnaan dalam penyusunan makalah ini akibat keterbatasan ilmu dan

pengalaman penulis. Oleh karena itu, semua saran dan kritik akan menjadi

sumbangan yang sangat berarti guna menyempurnakan makalah ini.

Akhirnya penulis mengharapkan makalah ini dapat memberikan manfaat

bagi kita semua.

Medan, 6 Februari

2012

Penulis

Page 3: Trauma Abdomen

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR i

DAFTAR ISI ii

BAB 1 PENDAHULUAN 1

BAB 2 ISI 3

2.1. ANATOMI ABDOMEN 3

2.2. MEKANISME TRAUMA 5

2.3. PENILAIAN TRAUMA 6

2.4. INDIKASI LAPAROTOMI 18

2.5. PROBLEM KHUSUS 19

BAB 3 KESIMPULAN 24

DAFTAR PUSTAKA

Page 4: Trauma Abdomen

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Trauma adalah keadaan yang disebabkan oleh luka atau cedera. Trauma

juga mempunyai dampak psikologis dan sosial. Pada kenyataannya, trauma adalah

kejadian yang bersifat holistik dan dapat menyebabkan hilangnya produktivitas

seseorang.1

Pada pasien trauma, bagaimana menilai abdomen merupakan salah satu

hal penting dan menarik. Penilaian sirkulasi sewaktu primary survey harus

mencakup deteksi dini dari kemungkinan adanya perdarahan yang tersembunyi

pada abdomen dan pelvis pada pasien trauma tumpul. Trauma tajam pada dada di

antara nipple dan perineum harus dianggap berpotensi mengakibatkan cedera

intraabdominal. Pada penilaian abdomen, prioritas maupun metode apa yang

terbaik sangat ditentukan oleh mekanisme trauma, berat dan lokasi trauma,

maupun status hemodinamik penderita.2

Adanya trauma abdomen yang tidak terdeteksi tetap menjadi salah satu

penyebab kematian yang sebenarnya dapat dicegah. Sebaiknya jangan

menganggap bahwa ruptur organ berongga maupun perdarahan dari organ padat

merupakan hal yang mudah untuk dikenali. Hasil pemeriksaan terhadap abdomen

mungkin saja dikacaukan oleh adanya intoksikasi alkohol, penggunaan obat-obat

tertentu, adanya trauma otak atau medulla spinalis yang menyertai, ataupun

adanya trauma yang mengenai organ yang berdekatan seperti kosta, tulang

belakang, maupun pelvis. Setiap pasien yang mengalami trauma tumpul pada dada

Page 5: Trauma Abdomen

baik karena pukulan langsung maupun deselerasi, ataupun trauma tajam, harus

dianggap mungkin mengalami trauma visera atau trauma vaskuler abdomen.2

1.2. Tujuan

Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas Kepaniteraan

Klinik Senior Departemen Ilmu Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera

Utara dan meningkatkan pemahaman penulis maupun pembaca mengenai trauma

abdomen.

1.3. Manfaat

Manfaat penulisan makalah ini adalah untuk meningkatkan pemahaman

mengenai trauma abdomen yang berlandaskan Advanced Trauma Life Support

(ATLS) sehingga dapat diterapkan dalam menangani kasus-kasus trauma

abdomen di klinik sesuai kompetensi dokter umum.

BAB 2

ISI

2.1. Anatomi Abdomen2

Anatomi luar dari abdomen dibagi menjadi:

1. Abdomen Depan

- Batas Superior: Garis intermammaria

- Batas Inferior : Kedua ligamentum inguinale dan simfisis pubis

- Batas Lateral : Kedua linea axillaris anterior

2. Pinggang

Pinggang merupakan daerah yang berada di antara linea axillaris anterior dan

linea axillaris posterior, dari sela iga ke-6 di atas, ke bawah sampai crista

Page 6: Trauma Abdomen

iliaca. Di lokasi ini adanya dinding otot abdomen yang tebal, berlainan dengan

dinding otot yang lebih tipis di bagian depan, menjadi pelindung terutama

terhadap luka tusuk.

3. Punggung

- Batas Superior: Ujung bawah scapula

- Batas Inferior : Crista iliaca

- Batas Lateral : Kedua linea axillaris posterior

Otot-otot punggung dan otot paraspinal juga menjadi pelindung terhadap

trauma tajam.

Anatomi dalam dari abdomen meliputi 3 regio:

1. Rongga Peritoneal

Rongga peritoneal dibagi menjadi 2 bagian, yaitu:

A. Rongga Peritoneal Atas

Rongga peritoneal atas dilindungi oleh bagian bawah dari dinding thorax

yang mencakup diafragma, hepar, liean, gaster, dan colon transversum.

Bagian ini juga disebut sebagai komponen thoracoabdominal dari

abdomen. Pada saat diafragma naik sampai sela iga IV pada waktu

ekspirasi penuh, setiap terjadi fraktur iga maupun luka tusuk tembus di

bawah garis intermammaria bisa mencederai organ dalam abdomen.

B. Rongga Peritoneal Bawah

Rongga peritoneal bawah berisikan usus halus, bagian colon ascendens

dan colon descendens, colon sigmoid, dan pada wanita, organ reproduksi

internal.

2. Rongga Pelvis

Rongga pelvis, yang dilindungi oleh tulang-tulang pelvis, sebenarnya

merupakan bagian bawah dari rongga intraperitoneal, sekaligus bagian bawah

Page 7: Trauma Abdomen

dari rongga retroperitoneal. Di dalamnya terdapat rectum, vesika urinaria,

pembuluh-pembuluh iliaca, dan pada wanita, organ reproduksi internal.

Sebagaimana halnya bagian torakoabdominal, pemeriksaan organ-organ pelvis

terhalang oleh bagian-bagian tulang di atasnya.

3. Rongga Retroperitoneal

Rongga yang potensial ini adalah rongga yang berada di belakang dinding

peritoneum yang melapisi abdomen. Di dalamnya terdapat aorta abdominalis,

vena cava inferior, sebagian besar dari duodenum, pancreas, ginjal dan ureter,

serta sebagian posterior dari colon ascendens dan colon descendens, dan

bagian rongga pelvis yang retroperitoneal. Cedera pada organ dalam

retroperitoneal sulit dikenali karena daerah ini jauh dari jangkauan

pemeriksaan fisik yang biasa, dan juga cedera di sini pada awalnya tidak akan

memperlihatkan tanda maupun gejala peritonitis. Rongga ini tidak termasuk

dalam bagian yang diperiksa sampelnya Diagnostic Peritoneal Lavage (DPL).

2.2. Mekanisme Trauma

1. Trauma tumpul

Suatu pukulan langsung, misalnya terbentur setir atau bagian mobil

lainnya dapat menyebabkan trauma kompresi ataupun crush injury terhadap organ

visera. Kompresi ini dapat merusak organ padat maupun organ berongga, bisa

mengakibatkan ruptur, terutama organ-organ yang distensi (misalnya uterus ibu

yang hamil), dan mengakibatkan perdarahan maupun peritonitis. Trauma tarikan

(shearing injury) terhadap organ visera terjadi bila suatu alat pengaman (misalnya

seat-belt) tidak digunakan dengan benar. Pasien yang cedera pada suatu tabrakan

motor bisa mengalami trauma deselerasi.2

Tekanan yang tiba-tiba mengakibatkan kerusakan terutama pada organ

yang berongga dapat pula diakibatkan oleh tekanan intraluminer yang tiba-tiba

meninggi. Organ yang rusak yang berlawanan dengan arah trauma, terutama pada

trauma dari samping disebut counter coup. Bagian yang selalu rusak selalu

permukaan lateral dan organ seperti hati dan limpa merupakan organ yang

tersering mengalami kerusakan pada trauma tumpul.3

Page 8: Trauma Abdomen

2. Trauma tajam

Luka tusuk ataupun luka tembak (kecepatan rendah) akan mengakibatkan

kerusakan jaringan karena laserasi ataupun terpotong. Luka tembak dengan

kecepatan tinggi akan menyebabkan transfer energi kinetik yang lebih besar

terhadap organ visera, dengan adanya efek tambahan berupa temporary

cavitation, dan bisa pecah menjadi fragmen yang mengakibatkan kerusakan

lainnya. Kerusakan dapat berupa perdarahan bila mengenai pembuluh darah atau

organ yang padat. Bila mengenai organ yang berongga, isinya akan keluar ke

dalam rongga perut dan menimbulkan iritasi pada peritoneum.

Luka tembak mengakibatkan kerusakan yang lebih besar, bergantung

jauhnya perjalanaan peluru, besar energi kinetik maupun kemungkinan pantulan

peluru oleh organ tulang, maupun efek pecahan tulangnya. Organ padat akan

mengalami kerusakan yang lebih luas akibat energi yang ditimbulkan oleh peluru

tipe high velocity.2,3

Infeksi masih merupakan risiko terbesar pada korban dengan luka tusuk

abdomen. Mortalitas terjadi pada 30% korban luka tusuk abdomen yang

menderita infeksi abdomen mayor. Faktor risiko paling penting adalah adanya

cedera pada organ berongga, dimana luka pada kolon menyebabkan insidensi

infeksi tertinggi relatif terhadap cedera organ intraabdomen. Cedera pada

pankreas dan hati secara signifikan meningkatkan risiko infeksi ketika

berkombinasi dengan cedera organ berongga. Penggunaan antibiotik dalam

pencegahan infeksi ini didasarkan pada 3 hal, yakni pilihan agen antibiotik, durasi

penggunaan antibiotik, dan dosis optimal antibiotik.4

2.3. Penilaian Trauma

Pemeriksaan pada korban trauma harus cepat dan sistematik sehingga

tidak ada cedera yang tidak terdeteksi sebelum dilakukan penanggulangan yang

efisien dan terencana. Diagnosis dapat ditegakkan dengan menganalisis data yang

didapat dari anamnese, pemeriksaan fisik, laboratorium dan pencitraan.5

Page 9: Trauma Abdomen

1. Anamnese

Anamnese yang teliti terhadap pasien yang mengalami trauma abdomen

akibat tabrakan kendaraan bermotor harus mencakup kecepatan kendaraan, jenis

tabrakan, berapa besar penyoknya bagian kendaraan ke dalam ruang penumpang,

jenis pengaman yang dipergunakan, ada/tidak air bag, posisi pasien dalam

kendaraan, dan status penumpang lainnya. Keterangan ini dapat diperoleh

langsung dari pasien, penumpang lain, polisi maupun petugas emergensi jalan

raya. Informasi mengenai tanda-tanda vital, luka-iuka yang ada maupun respons

terhadap perawatan pra-rumah sakit harus dapat diberikan oleh petugas-petugas

pra-rumah sakit.2

Bila meneliti pasien dengan trauma tajam, anamnese yang teliti harus

diarahkan pada waktu terjadinya trauma, jenis senjata yang dipergunakan (pisau,

pistol, senapan), jarak dari pelaku, jumlah tikaman atau tembakan, dan jumlah

perdarahan eksternal yang tercatat di tempat kejadian. Bila mungkin, informasi

tambahan harus diperoleh dari pasien mengenai hebatnya maupun lokasi dari

setiap nyeri abdominalnya, dan apakah ada nyeri-alih ke bahu. Selain itu pada

luka tusuk dapat diperkirakan organ mana yang terkena dengan mengetahui arah

tusukan, bentuk pisau dan cara memegang alat penusuk tersebut.1

2. Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan fisik diarahkan untuk mencari bagian tubuh yang terkena

trauma, kemudian menetapkan derajat cedera berdasarkan hasil analisis riwayat

trauma.1 Pemeriksaan fisik abdomen harus dilakukan dengan teliti dan sistimatis

meliputi inspeksi, auskultasi, perkusi, dan palpasi. Temuan-temuan positif

ataupun negatif didokumentasi dengan baik pada status.2

Syok dan penurunan kesadaran mungkin akan memberikan kesulitan pada

pemeriksaan perut. Trauma penyerta kadang-kadang dapat menghilangkan gejala-

gejala perut.

A. Inspeksi

Page 10: Trauma Abdomen

Umumnya pasien harus diperiksa tanpa pakaian. Adanya jejas pada

dinding perut dapat menolong ke arah kemungkinan adanya trauma

abdomen. Abdomen bagian depan dan belakang, dada bagian bawah dan

perineum diteliti apakah mengalami ekskoriasi ataupun memar karena alat

pengaman, adakah laserasi, liang tusukan, benda asing yang menancap,

omentum ataupun bagian usus yang keluar, dan status kehamilan. Harus

dilakukan log-roll agar pemeriksaan lengkap.

B. Auskultasi

Di ruang IGD yang ramai sulit untuk mendengarkan bising usus,

yang penting adalah ada atau tidaknya bising usus tersebut. Darah bebas di

retroperitoneum ataupun gastrointestinal dapat mengakibatkan ileus, yang

mengakibatkan hilangnya bising usus. Pada luka tembak atau luka tusuk

dengan isi perut yang keluar, tentunya tidak perlu diusahakan untuk

memperoleh tanda-tanda rangsangan peritoneum atau hilangnya bising

usus. Pada keaadan ini laparotomi eksplorasi harus segera dilakukan. Pada

trauma tumpul perut, pemeriksaan fisik sangat menentukan untuk tindakan

selanjutnya.3 Cedera struktur lain yang berdekatan seperti iga, vertebra,

maupun pelvis bisa juga mengakibatkan ileus walaupun tidak ada cedera

intraabdominal. Karena itu hilangnya bising usus tidak diagnostik untuk

trauma intraabdominal.2

C. Perkusi

Manuver ini mengakibatkan pergerakan peritoneum dan

mencetuskan tanda peritonitis. Dengan perkusi bisa kita ketahui adanya

nada timpani karena dilatasi lambung akut di kwadran kiri atas ataupun

adanya perkusi redup bila ada hemoperitoneum.2 Adanya darah dalam

rongga perut dapat ditentukan dengan shifting dullness, sedangkan udara

bebas ditentukan dengan pekak hati yang beranjak atau menghilang.3

D. Palpasi

Page 11: Trauma Abdomen

Adanya kekakuan dinding perut yang volunter (disengaja oleh

pasien) mengakibatkan pemeriksaan abdomen ini menjadi kurang

bermakna. Sebaliknya, kekakuan perut yang involunter merupakan tanda

yang bermakna untuk rangsang peritoneal. Tujuan palpasi adalah untuk

mendapatkan adanya nyeri lepas yang kadang-kadang dalam. Nyeri lepas

sesudah tangan yang menekan kita lepaskan dengan cepat menunjukkan

peritonitis, yang bisanya oleh kontaminasi isi usus, maupun

hemoperitoneum tahap awal.

E. Evaluasi luka tusuk

Sebagian besar kasus luka tembak ditangani dengan laparotomi

eksplorasi karena insiden cedera intraperitoneal bisa mencapai 95%. Luka

tembak yang tangensial sering tidak betul-betul tangensial, dan trauma

akibat ledakan bisa mengakibatkan cedera intraperitoneal walaupun tanpa

adanya luka masuk. Luka tusukan pisau biasanya ditangani lebih selektif,

akan tetapi 30% kasus mengalami cedera intraperitoneal. Semua kasus

luka tembak ataupun luka tusuk dengan hemodinamik yang tidak stabil

harus di laparotomi segera.

Bila ada kecurigaan bahwa luka tusuk yang terjadi sifatnya

superfisial dan nampaknya tidak menembus lapisan otot dinding abdomen,

biasanya ahli bedah yang berpengalaman akan mencoba untuk melakukan

eksplorasi luka terlebih dahulu untuk menentukan kedalamannya. Prosedur

ini tidak dilakukan untuk luka sejenis diatas iga karena kemungkinan

pneumotoraks yang terjadi, dan juga untuk pasien dengan tanda peritonitis

ataupun hipotensi. Akan tetapi, karena 25-33% luka tusuk di abdomen

anterior tidak menembus peritoneum, laparotomi pada pasien seperti ini

menjadi kurang produktif. Dengan kondisi steril, anestesi lokal

disuntikkan dan jalur luka diikuti sampai ditemukan ujungnya. Bila

terbukti peritoneum tembus, pasien mengaiami risiko lebih besar untuk

cedera intraabdominal, dan banyak ahli bedah menganggap ini sudah

indikasi untuk melaksanakan laparotomi. Setiap pasien yang sulit kita

Page 12: Trauma Abdomen

eksplorasi secara lokal karena gemuk, tidak kooperatif maupun karena

perdarahan jaringan lunak yang mengaburkan penilaian kita harus dirawat

untuk evaluasi ulang ataupun kalau perlu untuk laparotomi.

F. Menilai stabilitas pelvis

Penekanan secara manual pada sias ataupun crista iliaca akan

menimbulkan rasa nyeri maupun krepitasi yang menyebabkan dugaan

pada fraktur pelvis pada pasien dengan trauma tumpul. Harus hati-hati

karena manuver ini bisa menyebabkan atau menambah perdarahan yang

terjadi.

G. Pemeriksaan penis, perineum dan rektum

Adanya darah pada meatus uretra menyebabkan dugaan kuat

robeknya uretra. Inspeksi pada skrotum dan perineum dilakukan untuk

melihat ada tidaknya ekimosis ataupun hematom dengan dugaan yang

sama dengan diatas. Tujuan pemeriksaan rektum pada pasien dengan

trauma tumpul adalah untuk menentukan tonus sfingter, posisi prostat

(prostat yang lelaknya tinggi menyebabkan dugaan cedera uretra), dan

menentukan ada tidaknya fraktur pelvis. Pada pasien dengan luka tusuk,

pemeriksaan rektum bertujuan menilai tonus sfingter dan melihat adanya

perdarahan karena perforasi usus.

H. Pemeriksaan vagina

Bisa terjadi robekan vagina karena fragmen tulang dari fraktur

pelvis ataupun luka tusuk.

I. Pemeriksaan glutea

Regio glulealis memanjang dari crista iliaca sampai Iipatan glutea.

Luka tusuk di daerah ini biasanya berhubungan (50%) dengan cedera

intraabdominal.

Page 13: Trauma Abdomen

3. Intubasi

Bilamana problem airway, breathing, dan circulation sudah dilakukan

diagnosis dan terapi, sering dilakukan pemasangan kateter gaster dan urine

sebagai bagian dari resusitasi.

A. Gastric tube

Tujuan terapeutik dari pemasangan gastric tube sejak masa

resusitasi adalah untuk mengatasi dilatasi lambung akut, dekompresi

gaster sebelum melakukan DPL, dan mengeluarkan isi lambung yang

berarti mencegah aspirasi. Adanya darah pada NGT menunjukkan

kemungkinan adanya cedera esofagus ataupun saluran gastrointestinal

bagian atas bila nasofaring ataupun orofaringnya aman. Perhatian: gastric

tube harus dimasukkan melalui mulut (orogastric) bila ada kecurigaan

fraktur tulang fasial ataupun fraktur basis cranii agar bisa mencegah tube

masuk melalui lamina cribiformis menuju otak.

B. Kateter urin

Tujuan pemasangan adalah mengatasi retensi urin, dekompresi

buli-buli sebelum melakukan DPL, dan untuk monitor urinary output

sebagai salah satu indeks perfusi jaringan. Hematuria menunjukkan

adanya cedera traktus urogenitalis. Perhatian: ketidak mampuan untuk

kencing, fraktur pelvis yang tidak stabil, darah pada metus urethra,

hematoma skrotum ataupun ekimosis perineum maupun prostat yang

letaknya tinggi pada colok dubur menjadi petunjuk agar dilakukan

pemeriksaan uretrografi retrograd agar bisa diyakinkan tidak adanya

rupture urethra sebelum pemasangan kateter. Bilamana pada primary

survey maupun secondary survey kita ketahui adanya robek uretra,

mungkin harus dilakukan pemasangan kateter suprapubik oleh dokter yang

berpengalaman.

4. Pengambilan sampel darah dan urin

Page 14: Trauma Abdomen

Darah yang diambil sewaktu pemasangan jarum infus gunanya adalah

menentukan tipe darah. Pada pasien yang hemodinamiknya stabil adalah untuk

penentuan tipe dan crossmatch bagi yang hemodinamiknya tidak stabil.

Bersamaan dengan itu dilakukan juga pemeriksaan darah rutin, kalium + glukosa

+ amylase (pada trauma tumpul) dan juga kadar alkohol darah. Walaupun kadang

tidak penting, dilakukan juga pemeriksaan laboratorium tambahan pada pasien

yang diketahui punya sakit lain sebelumnya, ataupun pasien yang akan menjalani

pemeriksaan Rontgen dengan bahan kontras (terutama yodium) intravena. Urin

dikirim untuk urinalisa ataupun tes obat dalam urin bilamana diperlukan. Untuk

wanita dengan usia produktif, dilakukan juga pemeriksaan tes kehamilan.2

Indikasi untuk urinalisis diagnostik termasuk trauma yang signifikan pada dan

perut/atau panggul, gross hematuria, hematuria mikroskopis dalam pengaturan

hipotensi, dan mekanisme deselerasi yang signifikan.5

5. Pemeriksaan radiologi

A. Pemeriksaan X-Ray untuk screening trauma tumpul

Rontgen untuk screening adalah Ro-foto cervical lateral, thorax AP

dan pelvis AP dilakukan pada pasien trauma tumpul dengan multitrauma.

Rontgen foto abdomen 3 posisi (telentang, tegak dan lateral dekubitus)

berguna untuk melihat adanya udara bebas di bawah diafragma ataupun

udara di luar lumen di retroperitonium, yang kalau ada pada keduanya

menjadi petunjuk untuk dilakukannya laparotomi. Hilangnya bayangan

psoas menunjukkan kemungkinan cedera retroperitoneal.

B. Pemeriksaan X-Ray untuk screening trauma tajam

Pasien luka tusuk dengan hemodinamik yang abnormal tidak

memerlukan pemeriksaan screening X-Ray. Pada pasien luka tusuk di atas

umbilikus atau dicurigai dengan cedera thoracoabdominal dengan

hemodinamik yang normal, rontgen foto thorax tegak bermanfaat untuk

menyingkirkan hemo atau pneumothorax, ataupun untuk dokumentasi

adanya udara bebas intraperitoneal. Pada pasien yang hemodinamiknya

Page 15: Trauma Abdomen

normal, pemasangan klip pada luka masuk maupun luka keluar dari suatu

luka tembak dapat memperlihatkan jalannya peluru maupun adanya udara

retroperitoneal pada rontgen foto abdomen tidur.

C. Pemeriksaan dengan kontras yang khusus

1. Uretrografi

Sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya, harus dilakukan

uretrografi sebelum pemasangan kateter urin bila kita curigai adanya

ruptur uretra. Pemeriksaan uretrografi dilakukan dengan memakai

kateter No. 8-F dengan balon dipompa 15-20 cc di fossa naviculare.

Dimasukkan 15-20 cc kontras yang tidak diencerkan. Dilakukan

pengambilan foto dengan proyeksi oblik dengan sedikit tarikan pada

penis.

2. Sistografi

Ruptur buli-buli intra ataupun ekstraperitoneal terbaik ditentukan

dengan pemeriksaan sistografi ataupun CT sistografi. Dipasang kateter

uretra dan kemudian dipasang 300 cc kontras yang larut dalam air pada

kolf setinggi 40 cm di atas pasien dan dibiarkan kontras mengalir ke

dalam buli-buli atau sampai (1) aliran terhenti (2) pasien secara

spontan mengedan, atau (3) pasien merasa sakit. Diambil foto rontgen

AP, oblik dan foto post-voiding. Cara lain adalah dengan periksaan CT

Scan (CT cystogram) yang terutama bermanfaat untuk mendapatkan

informasi tambahan tentang ginjal maupun tulang pelvisnya.2

Pada trauma pelvis atau abdomen bagian bawah dengan hematuria,

dilakukan sistografi dan ureterogram bila ada kecurigaan cedera uretra,

terutama bila ada riwayat cedera pelana seperti jatuh di atas setang

sepeda.1

3. CT Scan/IVP

Page 16: Trauma Abdomen

Bilamana ada fasilitas CT Scan, maka semua pasien dengan

hematuria dan hemodinamik stabil yang dicurigai mengalami cedera

sistem urinaria bias diperiksa dengan CT Scan dengan kontras dan bisa

ditentukan derajat cedera ginjalnya. Bilamana tidak ada fasilitas CT

Scan, alternatifnya adalah pemeriksaan IVP.2 Pada penderita dengan

hematuria yang keadaannya stabil harus dilakukan IVP.1

4. Gastrointestinal

Cedera pada struktur gastrointestinal yang letaknya retroperitoneal

(duodenum, colon ascendens, colon descendens) tidak akan

menyebabkan peritonitis dan bisa tidak terdeteksi dengan DPL.

Bilamana ada kecurigaan, pemeriksaan dengan CT Scan dengan

kontras ataupun pemeriksaan Ro-foto untuk traktus gastrointestinal

bagian atas ataupun bagian bawah dengan kontras harus dilakukan.

6. Pemeriksaan Diagnostik pada Trauma Tumpul2,6

Apabila ada bukti awal atau pun bukti yang jelas menunjukkan pasien

harus segera ditransfer, pemeriksaan yang memerlukan banyak waktu tidak perlu

dilakukan. Beberapa prosedur yang dapat dilakukan antara lain diagnostik

peritoneal lavage, CT scan, maupun Focused Assesment Sonography in Trauma

(USG FAST).

Diagnostik Peritoneal Lavage (DPL) merupakan prosedur invasif yang

bisa dikerjakan dengan cepat, memiliki sensitivitas sebesar 98% untuk perdarahan

intraperitoneal. DPL harus dilakukan pada pasien trauma tumpul dengan

hemodinamik abnormal, khususnya apabila ditemui:

1. Perubahan sensorium akibat trauma kapitis, intoksikasi alkohol, kecanduan

obat-obatan.

2. Perubahan sensasi akibat trauma spinal.

3. Cedera organ yang berdekatan dengan iga bawah, pelvis, vertebra lumbalis.

4. Pemeriksaan fisik diagnostik tidak jelas.

Page 17: Trauma Abdomen

5. Diperkirakan akan ada kehilangan kontak dengan pasien dalam waktu yang

agak lama, misalnya pasien menjalani pembiusan untuk cidera

ekstraabdominal, pemeriksaan angiografi.

6. Adanya lap-belt sign (kontusio dinding perut) dengan kecurigaan trauma usus.

DPL juga diindikasikan pada pasien dengan hemodinamik normal apabila

dijumpai hal-hal tersebut serta apabila fasilitas USG dan CT scan tidak memadai.

Kontraindikasi untuk DPL adalah apabila dijumpai indikasi yang jelas

untuk laparatomi. Kontaindikasi relatif lainnya antara lain operasi abdomen

sebelumnya, morbid obesiti, sirosis yang lanjut dengan adanya koagulopati

sebelumnya. Bisa dipakai teknik terbuka atau tertutup (Seldinger) di

infraumbilikal oleh dokter yang terlatih. Pada pasien dengan fraktur pelvis

maupun ibu hamil lebih baik digunakan supraumbilikal guna mencegah terjadinya

hematoma pelvis atau membahayakan uterus.

Adanya aspirasi darah segar, isi gastrointestinal, serat sayuran maupun

empedu yang keluar melalui tube DPL pada pasien dengan hemodinamik yang

abnormal menunjukkan indikasi kuat untuk laparatomi. Bila tidak ada darah segar

(lebih dari 10 cc) atau cairan geses, dilakukan lavase dengan 1000 cc (10

cc/kgBB) larutan Ringer Laktat. Sesudah cairan tercampur dengan cara menekan

maupun melakukan log-roll, cairan ditampung kembali dan diperiksa di

laboratorium untuk melihat isi gastrointestinal, serat maupun empedu. Tes

dinyatakan positif apabila dijumpai eritrosit lebih dari 100.000 /mm3, leukosit >

500/mm3 atau pengecatan gram positif untuk bakteri.

Ultrasound FAST memberikan cara yang cepat, noninvasif, akurat, dan

murah untuk mendeteksi hemoperitoneum dan dapat diulang kapan pun.

Ultrasound juga dapat digunakan sebagai alat diagnostik bedside di kamar

resusitasi yang secara bersamaan dengan pelaksanaan beberapa prosedur

diagnostik maupun terapeutik lainnya. Indikasi pemakaiannya sama dengan DPL.

Faktor yang mempengaruhi penggunaannnya antara lain obesitas, adanya udara

subkutan ataupun bekas operasi abdomen sebelumnya. Scanning dengan

ultrasound bisa dengan cepat dilakukan untuk mendeteksi hemoperitoneum.

Dicari scan dari kantung perikard, fossa hepatorenalis, fossa splenorenalis serta

Page 18: Trauma Abdomen

cavum Douglas. Sesudah scan pertama, idelanya dilakukan lagi scan kedua atau

scan kontrol 30 menit berikut. Scan kontrol ditujukan untuk melihat pertambahan

hemoperitoneum pada pasien dengan perdarahan yang berangsur-angsur.

CT Scan merupakan prosedur diagnostik di mana kita perlu memindahkan

pasien ke tempat scanner, memberikan kontras intravena untuk pemeriksaan

abdomen atas, bawah serta pelvis. Akibatnya, dibutuhkan banyak waktu dan

hanya dilakukan pada pasien dengan hemodinamik stabil, di mana kita tidak perlu

segera melakukan laparatomi. Dengan CT scan kita memperoleh keterangan

mengenai organ yang mengalami kerusakan dan tingkat kerusakannya, serta

mendiagnosa trauma retroperitoneal maupun pelvis yang sulit didiagnosis dengan

pemeriksaan fisik, FAST, dan DPL.

Kontraindikasi relatif penggunaan CT Scan antara lain penundaan yang

terjadi sampai alat CT scan siap untuk dipergunakan, adanya pasien yang tidak

kooperatif yang tidak mudah ditenangkan dengan obat, atau alergi terhadap bahan

kontras yang dipakai bilamana bahan kontras non ionik tidak tersedia.

Tabel 2.1. Perbandingan prosedur diagnostik DPL, FAST, serta CT scan

DPL FAST CT Scan

Indikasi Menunjukkan darah

bila hipotensif

Menunjukkan

cairan bila hipotensi

Menunjukkan

kerusakan organ

bila tensi normal

Keuntungan Deteksi dini, semua

pasien, cepat 98%

sensitif, deteksi

cedera usus, tidak

butuh transpor

Deteksi dini, semua

pasien, non-invasif,

cepat, 86-97%

akurat, tidak

membutuhkan

transport

Lebih spesifik

untuk cedera,

sensitivitas 92-98%

Kerugian Invasif, spesifisitas

rendah, tidak bisa

Bergantung

operator, distorsi

Memakan waktu,

dibutuhkan

Page 19: Trauma Abdomen

untuk trauma

diafragma dan

retroperitoneal

oleh udara usus,

tidak bisa untuk

trauma diafragma,

usus dan pankreas

transpor, tidak

untuk trauma

diafragma, usus,

dan pankreas

7. Pemeriksaan diagnostik pada trauma tajam adalah sebagai berikut:2

A. Cedera toraks bagian bawah

Untuk pasien asimptomatik dengan kecurigaan cedera pada

diafragma dan struktur abdomen bagian atas diperlukan pemeriksaan fisik

maupun foto toraks berulang, torakoskopi atau laparaskopi, serta

pemeriksaan CT scan.

Dengan pemeriksaan tersebut kita masih bisa menemukan adanya

hernia diafragma sebelah kiri karena luka tusuk torakoabdominal sehingga

untuk luka lain diperlukan eksplorasi bedah. Untuk luka tembak

torakoabdominal, pilihan terbaik adalah laparatomi.

B. Eksplorasi lokal luka dan pemeriksaan fisik serial dibandingkan dengan

DPL pada luka tusuk abdomen depan

Sebanyak 55-65% pasien luka tusuk tembus abdomen depan akan

mengalami hipotensi, peritonitis ataupun eviserasi omentum maupun usus

halus. Untuk pasien seperti ini harus segera dilakukan laparatomi. Untuk

pasien lain, sesudah konfirmasi adanya luka tusuk tembus peritoneum

dilakukan eksplorasi lokal pada luka sampai laparatomi. Laparatomi

merupakan salah satu pilihan relevan untuk semua pasien. Untuk pasien

yang relatif asimptomatik, pilihan diagnostik non-invasif adalah

pemeriksaan fisik diagnostik serial dalam 24 jam, DPL, maupun

laparoskopi diagnostik. Pemeriksaan fisik diagnostik serial membutuhkan

sumber daya manusia yang besar. Dengan DPL bisa diperoleh diagnosis

lebih dini pada pasien asimptomatik dan akurasi mencapai 90% bila

menggunakan hitung jenis sel seperti pada trauma tumpul. Laparaskopi

Page 20: Trauma Abdomen

diagnostik bisa mengkonfirmasi dan menyingkirkan tembusnya

peritoneum tetapi kurang bermakna untuk mengenali cedera tertentu.

C. Pemeriksaan fisik diagnostik serial dibandingkan CT dengan double atau

triple kontras pada cedera fisik maupun punggung

Ketebalan otot pinggang maupun punggung melindungi organ

visera di bawahnya pada luka tusuk maupun luka tembak. Walaupun

laparatomi merupakan pilihan yang relevan, untuk pasien asimptomatik

terdapat pilihan diagnostik lain yaitu pemeriksaan fisik serial, CT dengan

double atau triple kontras atau DPL. Dengan pemeriksaan fisik diagnostik

serial untuk pasien asimptomatik yang menjadi simptomatik, diperoleh

akurasi terutama untuk deteksi cedera retroperitoneal maupun

intraperitoneal di belakang linea aksilaris anterior.

CT scan dengan kontras memakan banyak waktu serta

membutuhkan ketelitian untuk memeriksa bagian kolon retroperitoneal

pada sisi luka tusuk. Ketajamannya sebanding dengan pemeriksaan fisik

diagnostik serial, tetapi memungkinkan deteksi yang lebih dini.

Page 21: Trauma Abdomen

Bagan Evaluasi Trauma Abdomen7

2.4. Indikasi Untuk Laparatomi Pada Orang Dewasa2,8,9A

1. Indikasi berdasarkan evaluasi abdomen

a. Trauma tumpul abdomen dengan Diagnostic Peritoneal Lavage (DPL)

positif atau Ultrasound.

b. Trauma tumpul abdomen dengan hipotensi yang berulang walaupun

diadakan resusitasi yang adekuat.

c. Peritonitis dini atau yang menyusul.

d. Perdarahan dari gaster, dubur, atau daerah genitourinari akibat trauma

tembus.

e. Luka tembak melintas rongga peritoneum atau retroperitoneum

viseral/vaskular.

f. Eviserasi (pengeluaran isi usus).

2. Indikasi Berdasarkan Pemeriksaan Rontgen

Page 22: Trauma Abdomen

a. Udara bebas, udara retroperitoneum, atau ruptur hemidiafragma setelah

trauma tumpul.

b. CT dengan kontras memperlihatkan ruptur traktus gastrointestinal, cedera

kandung kemih intraperitoneal, cedera renal pedicle, atau cedera organ

viseral yang parah setelah trauma tumpul atau tembus.

2.5. Problem Khusus2

1. Trauma tumpul

Organ yang sering terkena pada trauma tumpul adalah hepar, lien, maupun

ginjal. Walaupun demikian, dengan semakin banyaknya penggunaan seat-belt,

semakin banyak ruptur organ berongga, truma spinal, dan ruptur uterus terjadi.

2. Specific injuries

A. Diafragma

Robekan diafragma dapat terjadi di bagian manapun pada kedua

diafragma; yang paling sering mengalami cedera adalah diafragma kiri.

Cedera biasanya 5-10 cm panjangnya dengan lokasi di posterolateral dari

diafragma kiri. Pada pemeriksaan foto toraks awal akan terlihat diafragma

yang lebih tinggi ataupun kabur, bisa berupa hemothoraks ataupun adanya

bayangan udara yang membuat gambaran diafragma menjadi kabur,

ataupun kelihatannya NGT yang terpasang didalam gaster terlihat di

toraks.

B. Duodenum

Ruptur duodenum ditemukan pada pengendara yang tidak

menggunakan sabuk pengaman pada kejadian tubrukan frontal dengan

pukulan langsung pada abdomen, misalnya kena stang motor. Adanya

aspirasi darah dari gaster ataupun adanya udara retroperiuneum pada

rontgen foto abdomen menyebabkan kecurigaan akan terjadinya cedera

duodenum. Untuk pasien yang dicurigai, bisa dilakukan pemeriksaan

rontgen gastrointestinal atas maupun CT Scan dengan double-contrast.

Page 23: Trauma Abdomen

C. Pankreas

Umumnya cedera pankreas terjadi pada pukulan langsung di

epigastrum, dengan kolumna vertebralis sebagai alas. Adanya amilase

yang normal pada awalnya tidak menyingkirkan kemungkinan cedera

pankreas. Bisa juga sebaliknya, terjadi peninggian kadar amilase dengan

sumber diluar pankreas. Kecuali bila secara konstan didapatkan

peninggian kadar amilase, maka harus diperiksa kemungkinan adanya

cedera pankreas ataupun viscera lainnya. Pada 8 jam pertama pasca

trauma, pemeriksaan dengan CT dengan double contrast bisa saja belum

menunjukkan cedera pankreas, dan sebaiknya dilakukan ulang

pemeriksaannya. Bila pemeriksaan CT ulang tidak menunjukkan

perbedaan, dianjurkan melakukan tindakan eksplorasi bedah atau alternatif

lain yang mungkin bermanfaat seperti Endoscopic Retrograde Cholangio

Pancreatography (ERCP).

D. Genitourinaria

Pukulan langsung pada bagian punggung ataupun flank bisa

menyebabkan kontusio, hematoma, ataupun ekimosis yang merupakan

tanda adanya kerusakan ginjal dibawahnya, dan sehingga perlu dilakukan

pemeriksaan traktus urinarius dengan CT scan ataupun IVP. Indikasi

tambahan untuk perlunya pemeriksaan traktus urinarius adalah gross-

hematuria maupun hematuria mikroskopis pada pasien dengan:

Luka tusuk tembus abdomen.

Pasien trauma tumpul dengan serangan hipotensi.

Adanya cedera intraabdominal lain pada trauma tumpul abdomen.

Pada pasien dengan cedera uretra biasanya dijumpai fraktur pelvis

bagian depan. Cedera uretra dibedakan atas cedera diatas (posterior)

ataupun dibawah (anterior) diafragma urogenitalis. Ruptur uretra posterior

biasanya merupakan cedera pada pasien dengan cedera multisistem dan

Page 24: Trauma Abdomen

fraktur pelvis, sedangkan ruptur uretra anterior biasanya disebabkan

straddle injury dan biasanya cedera yang terisolir.

E. Usus halus

Trauma tumpul usus halus biasanya terjadi karena adanya

deselerasi tiba-tiba dengan efek robeknya pada bagian yang terfiksir,

terutama bila pemakaian seat-belt yang tidak tepat. Adanya jejas yang

transversal, linear pada dinding perut (seat-belt sign) ataupun adanya

fraktur distraksi lumbar (chance fracture) pada x-ray harus dicurigai

kemungkinan adanya cedera pada usus. Pada sebagian pasien ada sakit

perut yang hebat dengan nyeri tekan. Pada sebagian lagi diagnosa agak

sulit karena perdarahan yang minimal terjadi pada organ yang tertarik.

F. Cedera organ padat

Cedera pada hepar, lien, ataupun ginjal yang mengakibatkan syok,

instabilitas hemodinamik maupun bukti klinis adanya perdarahan yang

masih berlangsung menjadi indikasi perlunya dilakukan laparotomi.

Cedera organ padat dengan hemodinamik yang normal sering berhasil

ditangani secara konservatif; pasien seperti ini harus dirawat untuk

observasi yang ketat.

3. Fraktur pelvis dan cedera yang berhubungan

Tulang sakrum dan tulang-tulang innominate (ilium, ischium, dan pubis)

beserta struktur ligamen akan membentuk pelvis. Bila terjadi fraktur tulang

maupun cedera ligamen, maka dapat disangkakan bahwa pasien telah mengalami

pukulan yang cukup kuat. Fraktur pelvis erat hubungannya dengan cedera

intraperitoneal maupun retroperitoneal, baik organ visera maupun pembuluh

darahnya. Insidensi robeknya aorta abdominalis cukup tinggi pada pasien dengan

fraktur pelvis, terutama yang jenisnya anteroposterior.

A. Mekanik trauma dan klasifikasi

Page 25: Trauma Abdomen

Ada 4 pola pukulan yang menyebabkan fraktur pelvis: (1)

kompresi antero-posterior, (2) kompresi lateral, (3) tarikan lateral, dan (4)

pola kombinasi/kompleks. Kompresi antero-posterior dapat terjadi pada

pejalan kaki yang ditabrak mobil maupun tabrakan motor, pukulan

langsung pada pelvis maupun jatuh dari ketinggian lebih dari 3,6 m. Bila

terjadi simfisiolisis, maka akan terjadi robekan ligamen posterior

sakroiliaka, sakrospinosum, sakrotuberositas ataupun lantai fibromuskuler

dari pelvis, yang terlihat sebagai fraktur sakroiliaka dengan/tanpa dislokasi

ataupun fraktur sakrum. Dengan terbukanya pelvic ring, dapat terjadi

perdarahan dari pleksus vena pelvis, dan (kadang-kadang) perdarahan dari

cabang arteri iliaka interna.

B. Penilaian

Pada trauma abdomen, harus segera diperiksa pinggang, skrotum,

dan daerah perianal apakah terdapat jejas, pembengkakan ataupun darah

pada meatus; juga laserasi pada perineum, vagina, rektum, dan glutea yang

menunjukkan kemungkinan adanya fraktur terbuka pelvis, di samping

colok dubur yang menunjukkan prostat yang letaknya tinggi.

Lalu kemudian dilakukan pemeriksaan stabilitas pelvis. Indikasi

awal adanya instabilitas pelvis adalah adanya panjang tungkai yang

berbeda ataupun deformitas berupa eksorotasi tanpa adanya fraktur

tungkai. Karena pelvis yang instabil dapat mengalami eksorotasi, karena

itu pelvis dapat ditutup dengan menekan kedua krista iliaka pada SIAS.

Dapat dirasakan adanya gerakan dengan memegang krista iliaka dan pelvis

yang instabil itu sambil ditekan kedalam dan keluar (maneuver kompresi-

distraksi). Dengan kerusakan di bagian posterior, sisi pelvis yang terkena

dapat didorong ke arah kranial atau ditarik ke arah kaudal. Gerakan ini

bisa dirasakan pada perabaan di daerah spina iliaka posterior sambil

mendorong-menarik hemipelvis yang instabil tersebut.

C. Penanganan

Page 26: Trauma Abdomen

Ada beberapa teknik sederhana yang dapat dipergunakan sebelum

mentransfer pasien dan selama resusitasi dengan kristaloid ataupun darah.

Teknik itu antara lain: (1) diikatnya angkin ke sekitar pelvis sebagai sling,

yang mengakibatkan endorotasi tungkai, (2) penggunaan vaccum-type long

sping splinting device (bean bag) atau (3) penggunaan Pneumatic

Antishock Garment (PASG). Juga dapat dilakukan reduksi terhadap fraktur

asetabulumnya dengan menggunakan traksi longitudinal.

BAB 3

Page 27: Trauma Abdomen

KESIMPULAN

Semua pasien trauma tumpul dengan hemodinamik yang tidak stabil harus

segera dinilai kemungkinan perdarahan intrabdominal maupun kontaminasi

traktus gastrointestinal dengan melakukan DPL (Diagnostic Peritoneal Lavage),

ataupun FAST (Focused Assessment Sonography in Trauma). Pasien peritonitis

dengan hemodinamik normal bisa dinilai dengan CT scan, dengan keputusan

operasi didasarkan pada organ yang terkena dan beratnya trauma.

Semua pasien luka tusuk abdomen dan sekitarnya yang mengalami

hipotensi, peritonitis ataupun eviscerasi organ memerlukan laparotomi segera.

Semua luka tembak yang menyeberang rongga peritoneum ataupun bagian

retroperitoneum dengan bagian pembuluh darah harus segera di laparotomi.

Pasien luka tusuk abdomen depan dengan gejala yang ringan, bila eksplorasi lokal

menunjukkan tembusnya peritoneum, dievaluasi dengan pemeriksaan fisik

diagnostik berulang ataupun DPL.

Penanganan trauma tumpul dan tajam pada abdomen antara lain

mengembalikan fungsi vital dan optimalisasi oksigenasi dan perfusi jaringan,

menentukan mekanisme trauma, pemeriksaan fisik yang hati-hati dan diulang

berkala, menentukan cara diagnostik yang khusus bila diperlukan, tetap curiga

bila ada cedera vaskular maupun retroperitoneal yang tersembunyi, dan segera

menentukan bila diperlukan operasi.

DAFTAR PUSTAKA

Page 28: Trauma Abdomen

1. Pusponegoro, A.D. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 3. Jakarta: EGC, 2011,

Bab 6; Trauma dan Bencana.

2. American College of Surgeons. Advanced Trauma Life Support Untuk

Dokter Edisi 7. Jakarta: IKABI, 2004, Bab 5; Trauma Abdomen.

3. Ahmadsyah, I. Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah. Jakarta: Binarupa Aksara

Publisher, 2009, Bab 2; Digestive.

4. Fabian, Timothy C. Infection in Penetrating Abdominal Trauma: Risk

Factors and Preventive Antibiotics. The American Surgeon 2002; 68: 29-

35

5. Udeani, J., Geibel, J., 2011. Blunt Abdominal Trauma. Available from:

http://emedicine.medscape.com/article/1980980-workup#aw2aab6b5b3.

[Accessed 8th January 2012]

6. Eastern Association for the Surgery of Trauma. Practice Management

Guidelines for The Evaluation of Blunt Abdominal Trauma. EAST

Practice Management Guidelines Work Group: Brandywine Hospital,

2001, p; 2-27

7. American College of Surgeons, 2003. Evaluation of Abdominal Trauma.

Committee on Trauma: Subcommittee on Publications. Available from:

8. Demetriades, D., Velmahos, G. Technology-Driven Triage of Abdominal

Trauma: The Emerging Era of Nonoperative Management. Annu Rev Med

2003; 54: 1-15

9. Sivit, C.J. Abdominal Trauma Imaging: Imaging Choices and

Appropriateness. Pediatr Radiol 2009; 39: S158-S160

Page 29: Trauma Abdomen