Seri Buku BRR - Buku 0 - Tsunami

download Seri Buku BRR - Buku 0 - Tsunami

of 118

Transcript of Seri Buku BRR - Buku 0 - Tsunami

  • 8/18/2019 Seri Buku BRR - Buku 0 - Tsunami

    1/118

  • 8/18/2019 Seri Buku BRR - Buku 0 - Tsunami

    2/118

  • 8/18/2019 Seri Buku BRR - Buku 0 - Tsunami

    3/118

    TSUNAMIHabis Bencana Terbitlah Terang

  • 8/18/2019 Seri Buku BRR - Buku 0 - Tsunami

    4/118

    Pengarah : Kuntoro Mangkusubroto

    Penggagas : Hanief Arie

    Editor : M Agus Susanto

      Bambang Bujono

      Rayagung Hidayat

      Margaret Agusta (Kepala)

      Cendrawati Suhar tono (Koordinator)

    Editor Bahasa : Suhardi Soedjono

    Penulis : (alm.) Budi Syahbudin

      Cendrawati Suhartono

      Gita Widya Laksmini Soerjoatmodj o

      Happy Soelistio

      Ondy A Saputra

      Rusdi Mathari

    Alih bahasa ke Inggris

    Editor : Harumi Supit

    Editor Bahasa : Margaret Agusta

    Penerjemah : Tjandra Kerton

      Narottama Notosusanto

    BADAN REHABILITASI DAN REKONSTRUKSI NAD–NIAS(BRR NAD–NIAS)

    16 April 2005 - 16 April 2009

    Kantor Pusat

    Jl. Ir. Muhammad Thaher No. 20

    Lueng Bata, Banda Aceh

    Indonesia, 23247

    Telp. +62-651-636666

    Fax. +62-651-637777

    Kantor Perwakilan Nias

    Jl. Pelud Binaka KM. 6,6

    Ds. Fodo, Kec. Gunungsitoli

    Nias, Indonesia, 22815

    Telp. +62-639-22848

    Fax. +62-639-22035

    www.e-aceh-nias.org

    know.brr.go.id

    Kantor Perwakilan Jakarta 

    Jl. Galuh ll No. 4, Kabayoran Baru

    Jakarta Selatan

    Indonesia, 12110

    Telp. +62-21-7254750

    Fax. +62-21-7221570

    Penyusunan Seri Buku BRR ini didukung oleh Multi Donor Fund (MDF)

    melalui United Nations Development Programme (UNDP) Technical Assistance to BRR Project

    ISBN 978-602-8199-31-5

    Fotografi : Arif Ariadi

      Bodi Chandra  Yusnirsyah Sirin

    Desain Grafis : Bobby Haryanto (Kepala)

    Em Samudra

    Edi Wahyono

      Jennier Purba

      Mistono

      Wasito

    Penyelaras Akhir : Aichida Ul–Aflaha

      Heru Prasetyo

    Intan Kencana Dewi

      Maggy Horhoruw

      Ricky Sugiarto (Kepala)

  • 8/18/2019 Seri Buku BRR - Buku 0 - Tsunami

    5/118

    Melalui Seri Buku BRR ini, Pemerintah beserta seluruh rakyat Indonesia dan BRR hendak

    menyampaikan rasa terima kasih yang mendalam atas uluran tangan yang datang dari

    seluruh dunia sesaat setelah gempa bertsunami yang melanda Aceh pada 26 Desember

    2004 serta gempa yang melanda Kepulauan Nias pada 28 Maret 2005.

    Empat tahun berlalu, tanah yang dulu porak–poranda kini ramai kembali seiring

    dengan bergolaknya ritme kehidupan masyarakat. Capaian ini merupakan buah

    komitmen yang teguh dari segenap masyarakat lokal serta komunitas nasional dan

    internasional yang menyatu dengan ketangguhan dan semangat para korban yang

    selamat meski telah kehilangan hampir segalanya.

    Berbagai dinamika dan tantangan yang dilalui dalam upaya keras membangun kembali

    permukiman, rumah sakit, sekolah, dan infrastruktur lain, seraya memberdayakan para

    penyintas untuk menyusun kembali masa depan dan mengembangkan penghidupan

    mereka, akan memberikan pemahaman penting terhadap proses pemulihan di Aceh dan

    Nias.

    Berdasarkan hal tersebut, melalui halaman–halaman yang ada di dalam buku ini,BRR ingin berbagi pengalaman dan hikmah ajar yang telah diperoleh sebagai sebuah

    sumbangan kecil dalam mengembalikan budi baik dunia yang telah memberikan

    dukungan sangat berharga dalam membangun kembali Aceh dan Nias yang lebih baik

    dan lebih aman; sebagai catatan sejarah tentang sebuah perjalanan kemanusiaan yang

    menyatukan dunia.

  • 8/18/2019 Seri Buku BRR - Buku 0 - Tsunami

    6/118

  • 8/18/2019 Seri Buku BRR - Buku 0 - Tsunami

    7/118

    Saya bangga,kita dapat berbagi pengalaman, pengetahuan, dan pelajaran

    dengan negara-negara sahabat. Semoga apa yang telah kita lakukandapat menjadi sebuah standar dan benchmark bagi upaya-upaya serupa,

    baik di dalam maupun di luar negeri.

    Sambutan Presiden Susilo Bambang Yudhoyonopada Upacara Pembubaran BRR di Istana Negara, 17 April 2009

    tentang keberangkatan tim BRR untuk Konferensi Tsunami Global Lessons Learneddi Markas Besar PBB di New York, 24 April 2009

  • 8/18/2019 Seri Buku BRR - Buku 0 - Tsunami

    8/118

    Pemandangan salah satu pesisir Meulaboh, Aceh Barat di bulan Januari 2005, memasuki pekan

    kedua pascatsunami, kehidupan masih terasa lumpuh. Foto: Paulus Tirta

  • 8/18/2019 Seri Buku BRR - Buku 0 - Tsunami

    9/118

    Daftar IsiPendahuluan viiiBagian 1. Dari Tsunami ke Rehabilitasi dan Rekonstruksi 1

    Bagian 2. Bergegas ke Tanah Bencana 11

    Bagian 3. Episentrum di Serambi Mekkah 29

    Bagian 4. Liku-liku Operasi Tanggap Darurat 43

    Bagian 5. Membangun Tano Niha 59

    Bagian 6. Jalan Damai Pascatsunami 71

    Bagian 7. Mewujudkan Harapan 83

    Bagian 8. Akhirulkalam: Belajar dari Tsunami 95Catatan 100

    Daftar Istilah 101

  • 8/18/2019 Seri Buku BRR - Buku 0 - Tsunami

    10/118

    SELAMA tiga kali dua puluh empat jam, terhitung sejak 27 Desember 2004, SangSaka Merah Putih berkibar setengah tiang: bencana nasional dimaklumatkan. Aceh dan

    sekitarnya diguncang gempa bertsunami dahsyat. Seluruh Indonesia berkabung. Warga

    dunia tercengang, pilu.

    Tsunami menghantam bagian barat Indonesia dan menyebabkan kehilangan berupa

     jiwa dan sarana-prasarana dalam jumlah yang belum pernah terbayangkan sebelumnya.

    Bagi yang selamat (penyintas), rumah, kehidupan, dan masa depan mereka pun turut raib

    terseret ombak.

    Besaran 9,1 skala Richter menjadikan gempa tersebut sebagai salah satu yang terkuat

    sepanjang sejarah modern. Peristiwa alam itu terjadi akibat tumbukan dua lempeng

    tektonik di dasar laut yang sebelumnya telah “jinak” selama lebih dari seribu tahun.

    Namun, dengan adanya tambahan tekanan sebanyak 50 milimeter per tahun secara

    perlahan, dua lempeng tersebut akhirnya mengentakkan 1.600-an kilometer patahan

    dengan keras. Patahan itu dikenal sebagai patahan megathrust  Sunda.

    Episentrumnya terletak di 250 kilometer barat daya Provinsi Nanggroe Aceh

    Darussalam. Retakan yang terjadi, yakni berupa longsoran sepanjang 10 meter, telah

    melentingkan dasar laut dan kemudian mengambrukkannya. Ambrukan ini mendorong

    dan mengguncang kolom air ke atas dan ke bawah. Inilah yang mengakibatkan

    serangkaian ombak dahsyat.

    Pendahuluanviii

      T  S  U  N  A  M  I  :  H  a  b  i  s  B  e  n  c  a  n  a  T  e  r  b  i  t  l  a  h

      T  e  r  a  n  g

  • 8/18/2019 Seri Buku BRR - Buku 0 - Tsunami

    11/118

    Hanya dalam waktu kurang dari setengah jam setelah gempa, tsunami langsung

    menyusul, menghumbalang pesisir Aceh dan pulau-pulau sekitarnya hingga 6 kilometer

    ke arah daratan. Sebanyak 126.741 jiwa melayang dan, setelah tragedi tersebut, 93.285

    orang dinyatakan hilang. Sekitar 500.000 orang kehilangan hunian, sementara 750.000-an

    orang mendadak berstatus tunakarya.

    Pada sektor privat, yang mengalami 78 persen dari keseluruhan kerusakan, 139.195

    rumah hancur atau rusak parah, serta 73.869 lahan kehilangan produktivitasnya.

    Sebanyak 13.828 unit kapal nelayan raib bersama 27.593 hektare kolam air payau

    dan 104.500 usaha kecil-menengah. Pada sektor publik, sedikitnya 669 unit gedung

    pemerintahan, 517 pusat kesehatan, serta ratusan sarana pendidikan hancur atau mandek

    berfungsi. Selain itu, pada subsektor lingkungan hidup, sebanyak 16.775 hektare hutan

    pesisir dan bakau serta 29.175 hektare terumbu karang rusak atau musnah.

    Kerusakan dan kehilangan tak berhenti di situ. Pada 28 Maret 2005, gempa 8,7 skala

    Richter mengguncang Kepulauan Nias, Provinsi Sumatera Utara. Sebanyak 979 jiwa

    melayang dan 47.055 penyintas kehilangan hunian. Dekatnya episentrum gempayang sebenarnya merupakan susulan dari gempa 26 Desember 2004 itu semakin

    meningkatkan derajat kerusakan bagi Kepulauan Nias dan Pulau Simeulue.

    Dunia semakin tercengang. Tangan-tangan dari segala penjuru dunia terulur untuk

    membantu operasi penyelamatan. Manusia dari pelbagai suku, agama, budaya, afiliasi

    politik, benua, pemerintahan, swasta, lembaga swadaya masyarakat, serta badan nasional

    dan internasional mengucurkan perhatian dan empati kemanusiaan yang luar biasa besar.

    Dari skala kerusakan yang diakibatkan kedua bencana tersebut, tampak bahwa sekadar

    membangun kembali permukiman, sekolah, rumah sakit, dan prasarana lainnya belumlah

    cukup. Program pemulihan (rehabilitasi dan rekonstruksi) harus mencakup pula upayamembangun kembali struktur sosial di Aceh dan Nias. Trauma kehilangan handai-taulan

    dan cara untuk menghidupi keluarga yang selamat mengandung arti bahwa program

    pemulihan yang ditempuh tidak boleh hanya berfokus pada aspek fisik, tapi juga nonfisik.

    Pembangunan ekonomi pun harus bisa menjadi fondasi bagi perkembangan dan

    pertumbuhan daerah pada masa depan.

    Pada 16 April 2005, Pemerintah Republik Indonesia, melalui penerbitan Peraturan

    Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2005, mendirikan Badan

    Rehabilitasi dan Rekonstruksi Wilayah dan Kehidupan Masyarakat Provinsi Nanggroe

    Aceh Darussalam dan Kepulauan Nias, Sumatera Utara (BRR). BRR diamanahi tugas untuk

    mengoordinasi dan menjalankan program pemulihan Aceh-Nias yang dilandaskan pada

  • 8/18/2019 Seri Buku BRR - Buku 0 - Tsunami

    12/118

  • 8/18/2019 Seri Buku BRR - Buku 0 - Tsunami

    13/118

    Capaian 4 TahunRehabilitasi dan Rekonstruksi

    104.500usaha kecil menengah (UKM) lumpuh

    155.182tenaga kerja dilatih

    195.726

    UKM menerima bantuan

    635.384orang kehilangan tempat tinggal

    127.720orang meninggal dan 93.285 orang hilang 

    139.195rumah rusak atau hancur

    73.869hektare lahan pertanian hancur

    1.927guru meninggal

    13.828kapal nelayan hancur

    1.089

    sarana ibadah rusak2.618

    kilometer jalan rusak

    3.415sekolah rusak

    517sarana kesehatan rusak

    669bangunan pemerintah rusak

    119 jembatan rusak

    22pelabuhan rusak

    8bandara atau airstrip rusak

    140.304rumah permanen dibangun

    69.979hektare lahan pertanian direhabilitasi

    39.663guru dilatih

    7.109kapal nelayan dibangun atau dibagikan

    3.781

    sarana ibadah dibangun atau diperbaiki3.696kilometer jalan dibangun

    1.759sekolah dibangun

    1.115sarana kesehatan dibangun

    996bangunan pemerintah dibangun

    363 jembatan dibangun

    23pelabuhan dibangun

    13bandara atau airstrip dibangun

  • 8/18/2019 Seri Buku BRR - Buku 0 - Tsunami

    14/118

  • 8/18/2019 Seri Buku BRR - Buku 0 - Tsunami

    15/118

    Dari Tsunami keRehabilitasi danRekonstruksi

    BENCANA tak bisa ditolak, anugerah tak bisa diharap, begitu kata pepatah.Suatu pagi di hari Ahad, 26 Desember 2004, bencana mahadahsyat, gempa yang disusul

    tsunami, meluluhlantakkan sebagian Aceh dan Kepulauan Nias, Sumatera Utara. Wilayah

    itu seluas tiga kali DKI Jakarta, dan sudah barang tentu ini bukan wilayah tak bertuan. Di

    wilayah seluas itu, selain penduduk, juga banyak prasarana—dari jalan sampai pasar, dari

     jembatan sampai gedung sekolah.

    Angka–angka yang diperoleh kemudian membuktikan betapa dahsyat bencana itu.

    Sebelum tsunami, tercatat penduduk Aceh sekitar 4.297.485. Berdasarkan sensus 2005,

    warga Aceh adalah 4.031.589 orang, atau berkurang sekitar 265.896. Sedangkan jumlah

    korban total, termasuk yang bukan warga Aceh, mendekati 127.000 orang, ditambah

    93.285 yang dinyatakan hilang. Adapun prasarana, seperempat jumlah jembatan di

    provinsi ini, atau total 150 kilometer (lebih panjang daripada jalan darat Jakarta–Bandung

    lewat jalan tol Cipularang), rusak berat tak bisa dilewati. Panjang jalan total yang

    mengalami kerusakan baik ringan hingga berat mencapai 2.618 km. Rumah yang rusak

    mendekati angka 140.000 rumah (di Aceh dan Nias). Sementara itu, 3.415 gedung sekolah

    serta lebih dari 200 puskesmas dan rumah sakit tak mungkin digunakan tanpa rehabilitasi

    dan rekonstruksi.

    Yang tertulis dalam berlembar–lembar halaman buku inimerupakan kisah yang berujung pada harapan tumbuhnya

    hidup yang lebih baik di Tanah Bencana.

    Sebagian Banda Aceh hancur

     pertokoan menjelma bak samp

    raksasa, jenazah terserak di ma

    mana, akibat tsunami, 26 Dese

    2004. Foto: Donang Wahyu

  • 8/18/2019 Seri Buku BRR - Buku 0 - Tsunami

    16/118

    Singkat kata, bencana gempa dan tsunami di Aceh dan beberapa wilayah di Kepulauan

    Nias, Sumatera Utara, mengguratkan kenangan tak terperikan. Inilah bencana alam

    terbesar di dunia dalam jangka 100 tahun terakhir. Sebagian Banda Aceh, ibu kota Aceh,

    hancur total, pertokoan menjelma bak sampah raksasa, jenazah terserak di mana–mana.

    Tsunami itu bergerak dengan kecepatan 600-800 kilometer per jam dari arah laut, yang

    kemudian masuk ke daratan sampai sejauh 6 kilometer, melemparkan kapal–kapal

    dari pelabuhan ke atap pertokoan, menggulung dan mencabik–cabik tubuh manusia,

    menghantam dan menghanyutkan rumah dan jembatan, menggerus dan membalikkan

     jalan. Halaman sekitar Masjid Baiturrahman di Banda Aceh, masjid yang menjadi pengenal

    ibu kota Serambi Mekkah, berubah bak tempat pembuangan sampah raksasa: berserakan

    dan bertumpuk berbagai sisa rumah, bangunan, pohon, juga jenazah. MDF’s tsunami

    recovery waste management project sempat menghitung bahwa tumpukan sampah

    tsunami dapat menutupi sekitar 45 lapangan bola dengan dimensi masing-masing

    88.000 m2. Jadi total volume sampah tsunami mencapai sekitar 400.000 m3.

    Bagaimana pemerintah yang baru berusia sekitar dua bulan harus menangani dampak

    bencana ini? Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden (Wapres) Jusuf

    Kalla merupakan pemimpin Indonesia yang pertama kali terpilih lewat pemilihan

    presiden dan wakil presiden secara langsung. Mereka baru dilantik pada 20 Oktober 2004,

    dan bencana itu menimpa pada 26 Desember 2004. Buku ini berisi rekaman dari berbagai

    proses yang terjadi sesaat setelah bencana yang diikuti dengan tindakan pemerintah.

    Itu sebabnya semua tokoh dan posisi yang dijabatnya ditulis sesuai dengan waktu

    terjadinya peristiwa. Penerbitan buku ini diniatkan menggambarkan bagaimana kerja

    keras dan kerja sama pemerintah dan segenap warga negara Indonesia serta warga dunia

    menangani tanggap darurat setelah bencana terjadi hingga korban tak bertambah besar.

    Dan kemudian pemulihan kehidupan dan lingkungan di Tanah Bencana ini.

    Buku ini diawali dengan kisah bagaimana kabar bencana itu sampai ke Presiden, Wakil

    Presiden, dan para pejabat yang lain beserta reaksi mereka hingga terbentuknya tim

    tanggap darurat sementara di pendapa gubernuran Aceh. Digambarkan dahsyatnya

    bencana itu melalui laporan dari para pejabat, baik sipil maupun militer, baik pusat

    maupun daerah. Mayat di mana–mana, sampah sisa rumah, gedung, mebel, dan

    potongan pohon menumpuk menutup jalan. Kawasan yang terkena tsunami lumpuh

    total: listrik dan peralatan komunikasi mati, makanan dan air minum tiada, rumah pun

    misalkan masih ada tak mungkin lagi ditempati. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono,

    yang ketika itu tengah berkunjung ke Jayapura, Papua, segera mengadakan rapat kabinet

    terbatas dengan rombongan yang terdiri atas sembilan menteri. Selain memberikanarahan garis kebijakan secara umum, Presiden menyampaikan belasungkawa serta

    menetapkan gempa dan tsunami di Aceh dan Sumatera Utara sebagai bencana nasional.

    2

      T  S  U  N  A  M  I  :  H  a  b  i  s  B  e  n  c  a  n  a  T  e  r  b  i  t  l  a  h

      T  e  r  a  n  g

  • 8/18/2019 Seri Buku BRR - Buku 0 - Tsunami

    17/118

    Sementara itu, di Jakarta, Wapres Jusuf Kalla selaku Ketua Badan Koordinasi Nasional

    Penanggulangan Bencana dan Penanganan Pengungsi melakukan langkah koordinasi

    dengan instansi terkait. Wapres memerintahkan dua menteri dan sejumlah pejabat Aceh

    agar segera berangkat ke daerah bencana.

    Gambaran betapa dahsyatnya tsunami itu juga diangkat antara lain melalui kesaksian

    korban bencana yang, alhamdulillah, masih hidup. Mereka menceritakan bagaimana

    melihat dan kemudian terseret dan terlambungkan oleh air laut yang naik dengan

    kecepatan 30 kilometer per jam di darat, dengan deru bagaikan pesawat jet, menyapu

    segalanya. Di daerah yang diempas tsunami, dua kilometer dari garis pantai rata dengan

    tanah. Di bagian ini disertakan sebuah kisah “Membuka Meulaboh”. Kota pelabuhan

    penting di bagian barat Aceh ini sempat putus total hubungan dengan dunia sekitarnya.

    Lalu, cerita kesibukan dari menyelamatkan korban hingga mendirikan dapur umum,

    dari mengadakan air bersih sampai mendirikan rumah sakit darurat pun mengikuti.

    Tujuan utama kegiatan ini adalah menyelamatkan mereka yang masih hidup secepat

    Warga desa di sekitar Lhok Nga

    selamat menerima bantuan bamakanan yang dijatuhkan dar

    helikopter tentara Amerika Ser

    Foto: AFP/Jewel Samad 

  • 8/18/2019 Seri Buku BRR - Buku 0 - Tsunami

    18/118

    mungkin agar tak menambah jumlah korban meninggal. Lalu kerja mengevakuasi

     jenazah dan membersihkan sampah tsunami agar penyakit tak berjangkit. Keterlibatan

    relawan, Tentara Nasional Indonesia (TNI), dan Kepolisian Republik Indonesia (Polri) serta

    militer asing mendominasi aktivitas tersebut. Inilah bukti sejarah kemanusiaan yangoleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam pidato mengenang satu tahun tsunami

    disebutkan sebagai “melintasi batas–batas agama, suku, ras, dan kebudayaan”. Aceh ketika

    itu menjadi semacam tempat pertemuan segala bangsa. Yang hitam, cokelat, kuning, dan

    putih semuanya terlibat dalam kerja sama untuk satu tujuan: menyelamatkan korban,

    memulihkan lingkungan nan porak–poranda itu.

    Dan itu dimungkinkan karena SBY dan JK (demikian panggilan populer Presiden

    dan Wapres) menyepakati untuk membuka isolasi Aceh dari dunia luar. Beberapa hari

    setelah bencana, SBY mengumumkan bahwa angkasa Republik Indonesia terbuka bagi

    penerbangan asing yang membawa bantuan untuk Aceh dan Nias. Wapres menghubungi

    sebuah badan Perserikatan Bangsa–Bangsa agar mereka mengoordinasi bantuaninternasional. Sedangkan Panglima Tentara Nasional Indonesia langsung menyetujui

    tawaran bantuan militer dari negara–negara sahabat. Besarnya bencana menyebabkan

    helikopter, alat–alat berat, bahkan peranti pembersih dan penjernih air untuk minum,

    semua yang mutlak diperlukan setelah bencana gempa dan tsunami terjadi, yang kita

    miliki tak lagi mencukupi. Namun tantagan dahsyat tidak berhenti di situ. Di penghujung

    Maret 2008 Nias bergoncang kuat. Kerusakan yang ditimbulkan kembali menyita perhatian

    serius.

    Banda Aceh dari udara sebelum

    bencana besar itu: luas daratan

    sekitar 70 km2, dihuni sekitar

    300.000 warga. Foto: Koleksi Lapan

    4

      T  S  U  N  A  M  I  :  H  a  b  i  s  B  e  n  c  a  n  a  T  e  r  b  i  t  l  a  h

      T  e  r  a  n  g

  • 8/18/2019 Seri Buku BRR - Buku 0 - Tsunami

    19/118

    Di Aceh tsunami ternyata menjadi “berkah tersembunyi”. Gelombang pasang raksasa

    ini membuat baik pemerintah Indonesia maupun Gerakan Aceh Merdeka (GAM)

    memikirkan kembali konflik yang telah berjalan hampir 30 tahun, konflik bersenjata yang

    membawa korban ribuan orang. Tiba–tiba ada tugas yang jauh lebih utama daripadaberbaku hantam: membantu warga yang terkena bencana. Bukankah GAM, misalnya,

    mengaku mengangkat senjata untuk memperjuangkan rakyat Aceh? Bila mereka tak lalu

    membuktikan kata–katanya itu, ketika rakyat benar–benar menunggu uluran tangan dari

    siapa pun, tidakkah GAM akan kehilangan dukungan?

    Yang kita saksikan selanjutnya adalah perundingan demi perundingan di masa tanggap

    darurat dan sesudahnya, dan akhirnya kesepakatan damai ditandatangani oleh kedua

    belah pihak, 15 Agustus 2005. Proses itu bisa berlangsung cepat karena seorang fasilitator

    bernama Martti Ahtisaari, mantan Presiden Finlandia, begitu tegas dan adil dalam

    menjembatani perundingan ke perundingan.

    Tentulah tak mungkin Aceh dan Nias terus–menerus dibiarkan dalam kondisi

    tanggap darurat, terus–menerus para korban dibantu hidupnya. Korban bencana perlu

    dikembalikan hidupnya seperti semula, bahkan kalau mungkin dengan lebih baik. Maka

    dibentuklah satu badan untuk menangani pemulihan kembali di Tanah Bencana—bukan

    hanya pemulihan fisik, tapi juga yang nonfisik, misalnya penyembuhan mereka yang

    Banda Aceh dua hari setelah ts

    menghantam daratan sampai

    sejauh 6 km, lebih dari 93.000

    warga hilang dan lebih dari 12

    meninggal. Foto: Koleksi Lapan

  • 8/18/2019 Seri Buku BRR - Buku 0 - Tsunami

    20/118

    KETERANGANLEGENDA

    Pusat Gempa

    Batas Provinsi

    Batas Kabupaten

    Laut

    Sumber peta: data BPS, Peta Rupabumi

    Bakosurtanal skala 50.000, geospasial

    perumahan, pemetaan aset. Datum WGS

    1984, proyeksi UTM. Peta dibuat pada bulan

    Januari 2009 oleh Tim Teknis Buku Peta BRR

    PETA PUSAT GEMPA BUMI

    26 DESEMBERTAHUN 2004

    6

      T  S  U  N  A  M  I  :  H  a  b  i  s  B  e  n  c  a  n  a  T  e  r  b  i  t  l  a  h

      T  e  r  a  n  g

  • 8/18/2019 Seri Buku BRR - Buku 0 - Tsunami

    21/118

  • 8/18/2019 Seri Buku BRR - Buku 0 - Tsunami

    22/118

  • 8/18/2019 Seri Buku BRR - Buku 0 - Tsunami

    23/118

    menderita trauma. Bencana begitu dahsyat, sehingga diperlukan suatu badan yang

    memiliki kewenangan yang cukup untuk sebuah kerja yang cepat, terhindarkan dari

    birokrasi.

    Pada 16 April 2005, turunlah Peraturan Pemerintah Pengganti Undang–Undang (Perpu)

    tentang Pembentukan Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Nanggroe Aceh Darussalamdan Nias (BRR NAD–Nias), badan yang diberi tugas membangun kembali Aceh dan Nias,

    yang langsung bertanggung jawab kepada Presiden untuk menghindarkan birokrasi yang

    sering lamban. Di bagian ini dikisahkan ihwal pembentukan BRR NAD–Nias, termasuk

    kebijakan off dan on-budget , suatu mekanisme pengelolaan dana yang bersih dan bebas

    korupsi. Juga strategi membangun kembali Tanah Bencana yang bukan saja melibatkan

    masyarakat, melainkan sedapat mungkin memenuhi keinginan para korban bencana.

    Ternyata, dari keporakporandaan yang hampir membuat putus asa, Indonesia

    bisa membangun kembali semuanya, bahkan lebih daripada sebelum Aceh dan NIas

    terkena bencana. Dan ini tak hanya berkaitan dengan yang fisik, misalnya permukiman

    dan prasarana lalu lintas yang membaik. Kondisi keamanan di Aceh juga terpulihkanoleh banyak faktor, tapi awalnya adalah bencana itu. Dan berkat perdamaianlah hasil

    pemilihan kepala daerah secara langsung di Aceh bisa memunculkan seorang gubernur

    mantan pemimpin GAM tanpa gejolak. Gubernur baru ini pun ternyata bisa segera

    bekerja sama dengan semua pihak—termasuk dengan BRR NAD-Nias, yang dikritiknya

    semasa ia berkampanye untuk pemilihan kepala daerah. Aceh secara nyata memang

    menuju masa depan yang damai.

    Kita kutip pidato Presiden SBY pada peringatan setahun gempa dan tsunami: “Mulai

    saat ini dan selanjutnya masa depan Aceh bukan lagi masa depan penuh darah dan air

    mata, melainkan masa depan yang penuh kerja keras dan harapan.” Dan sesungguhnya

    masa depan penuh kerja keras dan harapan itu bukan hanya untuk Aceh, melainkan

    untuk seluruh wilayah Republik Indonesia dari Sabang sampai Merauke. Buku ini semoga

    menjadi rujukan bahwa tidak ada persoalan betapapun rumit dan kompleksnya yang tak

    mungkin diatasi di negeri ini.

    Beberapa saat setelah tsunam

    mereka yang selamat berupay

    mencari tempat mengungsi. Sa

    satu keluarga di Banda Aceh ya

    selamat. Foto: Serambi Indone

    Bedu Saini 

  • 8/18/2019 Seri Buku BRR - Buku 0 - Tsunami

    24/118

  • 8/18/2019 Seri Buku BRR - Buku 0 - Tsunami

    25/118

    TELEPON seluler Menteri Koordinator (Menko) Kesejahteraan Rakyat AlwiShihab berbunyi. Masuk pesan singkat (Short Message Service/SMS). Ketua Harian Badan

    Koordinasi Nasional (Bakornas) Penanggulangan Bencana dan Penanganan Pengungsi itu,

    antara percaya dan tak percaya, membaca pesan tersebut: “Ada gempa dahsyat di Aceh.”

    Hari itu Ahad, 26 Desember 2004, sekitar pukul 11.00 Waktu Indonesia Timur. Alwi

    Shihab berada dalam rombongan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Bandara

    Nabire, Papua. Mereka baru saja mengunjungi korban gempa yang terjadi beberapa hari

    sebelumnya. Saat itu rombongan bersiap masuk ke pesawat untuk terbang ke Jayapura.

    Biarpun meragukan kebenaran SMS itu, Alwi Shihab memperlihatkan juga telepon

    selulernya kepada rekan di sampingnya, Menko Politik, Hukum, dan Keamanan Widodo

    A.S. “Jangan–jangan SMS ini tidak benar,” kata Alwi.

    Rupanya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mendengar percakapan kedua menko

    yang memang berada di dekatnya itu. “Ada apa?” tanya Presiden. Langsung Menko

    Widodo A.S., yang sudah memegang telepon seluler Alwi Shihab, membacakan pesan itu.

    Reaksi Presiden spontan, minta kabar itu dicek ulang, segera.

    Bergegaske Tanah Bencana

    “Inilah bencana alam terbesar dalam sejarah Indonesia.Pemerintah daerah lumpuh, prasarana hancur, listrik padam,

    bahan bakar tak ada, komunikasi dan transportasi mati.”

    — Presiden Susilo Bambang Yudhoyono

    Foto–foto rekaman di awal ben

     yang memperlihatkan orang–

    berupaya menyelamatkan diri

    belakangan menjadi rujukan u

    merencanakan operasi tangga

    darurat. Salah satu fotografer y

    sempat memotret saat–saat a

    bencana adalah Bedu Saini da

    harian Serambi Indonesia, Ban

     Aceh. Ia kehilangan dua anakn

    Salah satu hasil jepretan Bedu:

    Simpang Lima, Banda Aceh, M

     pagi, 26 Desember 2004, beber

    menit setelah air laut naik.

  • 8/18/2019 Seri Buku BRR - Buku 0 - Tsunami

    26/118

    Pada hari yang sama di Jakarta, sekitar pukul 08.00 Waktu Indonesia Barat, Wapres

    Jusuf Kalla baru saja duduk di jok mobilnya. Salah seorang anggota stafnya tergopoh–

    gopoh mendekat ke mobil yang siap meluncur ke Istora Senayan. Pagi itu acara Wapres

    menghadiri halalbihalal keluarga besar Aceh.

    Anggota staf itu menyampaikan pesan singkat yang masuk ke telepon selulernya: “Pak,di Aceh ada gempa, dahsyat sekali.” Wapres tertegun. Sebagai Ketua Badan Koordinasi

    Nasional (Bakornas) Penanggulangan Bencana dan Penanganan Pengungsi, bencana

    adalah urusannya. Lalu ia meminta stafnya mengecek tayangan CNN —saluran berita

    televisi Amerika Serikat yang biasanya meliput peristiwa–peristiwa penting dunia dengan

    cepat—kalau–kalau ada berita tentang Aceh. Untuk mendapatkan keterangan lebih jauh,

    Wapres menelepon pejabat–pejabat pemerintah daerah di Banda Aceh. Namun tak satu

    pun telepon bisa dihubungi.

     Ketua Bakornas ini mulai syak, jangan–jangan bencana di Aceh memang besar. Segera

    ia mengirim pesan singkat ke Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, mengabarkan soal

    gempa di Aceh. Jawab Presiden: “Saya sudah tahu. Tolong koordinasikan.”

    Sementara itu, salah seorang anggota staf Wapres menelepon Budi Atmadi Adiputro,

    Deputi Bakornas yang selama ini menjadi tangan kanan Jusuf Kalla dalam urusan

    bencana. Pada masa pemerintahan sebelumnya pun keduanya sudah bekerja sama

    menangani berbagai bencana nasional. Waktu itu Jusuf Kalla adalah Menko Kesejahteraan

    Rakyat, ex–officio atau yang secara otomatis menjabat pula sebagai Wakil Ketua Bakornas,

    sedangkan Budi sudah menjabat sebagai Deputi Bakornas. Ternyata Budi, yang sedang

    berlibur bersama keluarga di Ciwidei, Bandung Selatan, belum mendengar kabar itu.

    Segera ia menelepon teman–temannya di Banda Aceh. Telepon tak kunjung tersambung.

    Gagal memperoleh keterangan dari Banda Aceh, ia pun menghubungi Badan Meteorologi

    dan Geofisika (BMG) di Jakarta. Keterangan BMG sungguh mengejutkan: benar, ada

    gempa di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, dan jarum alat pengukur gempa di BMG

    sampai mentok . Jadi, menurut alat yang disebut seismograf itu, skala gempa tersebut

    besar sekali.

    Syahdan, acara halalbihalal masyarakat Aceh di Istora Senayan pagi itu, yang dihadiri

    Wapres Jusuf Kalla, yang semula santai dan meriah, mendadak berubah. Wakil Gubernur

    Aceh Azwar Abubakar, yang mendapat kesempatan pertama memberikan sambutan,

    mengatakan hatinya tengah terbelah karena di Aceh ada gempa besar. Rupanya, sebelum

    Azwar berpidato, mereka yang berhalalbihalal itu belum banyak yang tahu, atau masih

    bertanya–tanya, soal gempa di Aceh. Segera orang–orang sibuk dengan telepon selulermasing–masing. Pidato sambutan Wapres singkat, lalu acara bubar. Wapres tak segera

    beranjak, malah mengadakan rapat mendadak di Istora Senayan itu juga, mungkin karena

    beberapa pejabat hadir dalam halalbihalal tersebut.

    12

      T  S  U  N  A  M  I  :  H  a  b  i  s  B  e  n  c  a  n  a  T  e  r  b  i  t  l  a  h

      T  e  r  a  n  g

  • 8/18/2019 Seri Buku BRR - Buku 0 - Tsunami

    27/118

  • 8/18/2019 Seri Buku BRR - Buku 0 - Tsunami

    28/118

  • 8/18/2019 Seri Buku BRR - Buku 0 - Tsunami

    29/118

    “Air naik! Air naik!”

    Orang–orang

    berteriak, panik, k

    gelombang pertam

    tsunami masih

    hanya menggenan

    Simpang Lima, pusat Kota Banda

     Aceh, setinggi mat

    kaki. Beberapa

    menit kemudian,

    gelombang kedua

    menghanyutkan

    segalanya. Foto:

    Serambi Indonesia

    Bedu Saini 

  • 8/18/2019 Seri Buku BRR - Buku 0 - Tsunami

    30/118

    Di sudut lain Jakarta, Ahad pagi itu juga. Panglima TNI Jenderal Endriartono Sutarto

    sedang berbaring di kolong mobil Impala tuanya, di rumah dinasnya di Jalan Denpasar.

    Tiba–tiba pengawal menghampirinya. Ada kabar dari Dinas Siaga Markas Besar (Mabes)

    TNI di Cilangkap tentang gempa besar di Aceh.

    Dalam organisasi Bakornas, Panglima TNI terdaftar sebagai salah satu anggota.

    Keanggotaan itu memberinya wewenang untuk segera bertindak kalau terjadi bencana

    dan tindakan memang diperlukan. Namun pagi itu Panglima tak langsung mengambil

    suatu keputusan penanggulangan bencana apa pun karena informasi dari Cilangkap

    yang baru saja disampaikan kepadanya belum cukup jelas. Lalu Panglima TNI mencoba

    menghubungi Panglima Komando Daerah Militer (Pangdam) Iskandar Muda Mayjen

    Endang Suwarya untuk menanyakan ihwal bencana di Nanggroe Aceh Darussalam itu.

    Gagal, meski berkali–kali upaya dilakukan. Hubungan telepon Jakarta–Banda Aceh putus.

    Baru di tengah hari masuk telepon dari Presiden yang telah berada di Jayapura. Presiden

    menanyakan apakah Panglima sudah tahu tentang gempa di Aceh. Panglima menjawab

    iya, tapi dia masih mencari informasi lebih jauh.

    Informasi dari Banda Aceh terhambat oleh putusnya komunikasi. Untunglah militer

    memiliki radio komunikasi single–sideband (SSB). Dengan SSB itulah Pangdam Mayjen

    Endang Suwarya mengumpulkan informasi dari semua komando distrik militer (kodim)

    di kabupaten yang terkena bencana, lalu melaporkannya ke Dinas Siaga Mabes TNI di

    Cilangkap. Informasi yang terkumpul di Mabes TNI itu oleh Perwira Dinas Siaga Brigjen

    Darmawi Chaidir dilaporkan ke Panglima TNI Jenderal Endriartono Sutarto dan Asisten

    Operasi Kepala Staf Umum (Kasum) Mayjen Adam Damiri.

    Saat itu juga Mayjen Adam Damiri meminta Perwira Dinas Siaga menelepon balik

    Pangdam Mayjen Endang Suwarya, agar Pangdam segera membantu masyarakat dan

    tetap waspada. Untuk menguatkan perintah lisan itu, Asisten Operasi Kasum pun mintadituliskan telegram yang isinya langkah–langkah yang harus diambil Pangdam Iskandar

    Muda. Telegram itu kemudian dikirimkan atas nama Panglima TNI, ditembuskan kepada

    tiga kepala staf dan Kasum, serta kepada Panglima sebagai laporan. Langkah yang

    harus diambil itu, antara lain, semua satuan TNI yang tak sedang menjalankan tugas

    operasional keamanan segera mengevakuasi korban, menggelar rumah sakit lapangan,

    dan menyelenggarakan dapur umum. Setiap perkembangan harus langsung dilaporkan,

    kapan saja. Tapi proses ini memerlukan waktu sebelum dilaporkan kepada Panglima TNI.

    Syahdan, begitu mendengar laporan dari Perwira Dinas Siaga Brigjen Darmawi Chaidir,

    Jenderal Endriartono segera membayangkan jalan–jalan darat sulit ditempuh karena

    air laut naik ke darat dan kemungkinan besar prasarana lalu lintas darat rusak. Tak ada jalan untuk menolong para korban selain dari udara. Langsung Jenderal Endriartono

    menelepon Kepala Staf Angkatan Udara Marsekal Cheppy Hakim dan Asisten Operasi

    Kasum TNI Mayjen Adam Damiri. Panglima menanyakan alat angkut udara yang tersedia

    guna mengirimkan bantuan ke daerah bencana. Jawaban yang diperoleh bikin kecut:

    16

      T  S  U  N  A  M  I  :  H  a  b  i  s  B  e  n  c  a  n  a  T  e  r  b  i  t  l  a  h

      T  e  r  a  n  g

  • 8/18/2019 Seri Buku BRR - Buku 0 - Tsunami

    31/118

    “Pesawat Hercules yang kita miliki saat ini yang bisa terbang hanya enam. Itu pun jam

    terbangnya sudah hampir habis. Helikopter TNI jumlahnya juga terbatas.” Tak ada jalan

    lain, pikir Panglima TNI, untuk menyelamatkan korban yang masih hidup, harus minta

    bantuan militer negara sahabat. Kebetulan, Panglima mengenal baik mereka.

    Pucuk dicinta ulam tiba. Sebelum Jenderal Endriartono menelepon rekan–rekannya,telepon berdering. Di seberang, Panglima Angkatan Bersenjata Australia Jenderal Peter

    Cosgrove berbicara. Rupanya, para panglima militer di negara sahabat, begitu mendengar

    berita bencana di Aceh, segera proaktif menghubungi Panglima TNI. Jenderal Cosgrove

    menawarkan bantuan obat–obatan dan tenaga medis. Sebelum menjawab tawaran itu,

    Panglima TNI terlebih dahulu menceritakan keadaan Aceh menurut laporan Pangdam

    Iskandar Muda. Bencana ini luar biasa, sehingga bantuan obat–obatan dan tenaga medis,

    “It’s not enough,” kata Panglima TNI. Ia memerlukan banyak pesawat guna mengangkut

    bantuan ke daerah–daerah karena diperkirakan banyak jalan darat yang rusak parah dan

    tak mungkin dilalui kendaraan. Kalau bisa, kata Panglima TNI, Australia juga mengirimkan

    Herculesnya. Tak berpanjang–panjang, Cosgrove langsung menjanjikan empat Hercules.

    Melalui telepon itu juga Panglima Tentara Singapura Letjen Ng Yat Chung menjanjikan

    Seolah tidak ada berita lain, se

    beberapa pekan sebagian besa

    halaman media massa nasion

    hanya menyajikan kedahsyata

    bencana tsunami di Aceh dan

    Sumatera Utara, bencana terb

    dalam 100 tahun terakhir.

    Foto: Yusnirsyah Sirin

  • 8/18/2019 Seri Buku BRR - Buku 0 - Tsunami

    32/118

    LHOKSEUMAWEANDA ACEH

    MAKASAR

    JAKARTA

    JAYAPU

     Antara Tsunami di Aceh hingga MoU Damai di Helsink

    26 Di Jayapura,Papua, Presidenmenetapkan bencana

    gempa bumi dan

    tsunami di NAD–

    Sumatera Utara sebagai

    “bencana nasional”,

    dan membatalkan

    kunjungan ke Ambon.

    Di Jakarta, Ketua

    Bakornas PBP Jusuf Kalla

    mengirim tim pertama

    pemerintah ke Aceh.

    Di Jakarta, PanglimaTNI menginstruksikan

    Pangdam Iskandar

    Muda menggelar

    operasi kemanusiaan.

    27 Saat transitdi Makassar dalamperjalanan Jayapura–

    Lhokseumawe, Presiden

    menyatakan hari

    berkabung nasional pada

    27–29 Desember 2004.

    Di Banda Aceh, malam

    hari, Tim Penanggulangan

    Bencana Sementara

    dibentuk, dan Deputi

    Bakornas PBP Budi

    Atmadi Adiputro

    menjadi ketua tim.

    28 Di Banda Aceh,Presiden menyarankanempat prioritas

    penanganan bencana:

    perbaikan komunikasi,

    distribusi bahan logistik

    dan obat–obatan,

    relokasi pengungsi,

    serta pencarian orang

    hilang dan jenazah.

    Ketua Bakornas

    mengundang UNOCHA

    atau badan PBB untuk

    urusan kemanusiaan agar

    mengoordinasi bantuan

    internasional dan para

    pekerja kemanusiaan.

    Segera berbagai bantuan

    asing masuk ke Aceh.

    30 Presiden memintaMenko Kesra Alwi Shihab

    berkantor di Aceh.

    Ketua Bakornas

    mengeluarkan SK

    Nomor 01/2004 tentang

    Pembentukan Tim

    Nasional Penanganan

    Bencana Aceh.

    29 Presiden melaluiMenteri Sosial BachtiarChamsyah memberikan

    12 arahan langkah

    tanggap darurat.

    Pemerintah menetapkan

    penerimaan semua

    bantuan melalui Menko

    Kesejahteraan Rakyat.

    DESEMBER 2004

    18

      T  S  U  N  A  M  I  :  H  a  b  i  s  B  e  n  c  a  n  a  T  e  r  b  i  t  l  a  h

      T  e  r  a  n  g

  • 8/18/2019 Seri Buku BRR - Buku 0 - Tsunami

    33/118

  • 8/18/2019 Seri Buku BRR - Buku 0 - Tsunami

    34/118

    tiga Hercules. Tawaran bantuan juga datang dari Panglima Angkatan Bersenjata Malaysia

    Jenderal Tan Sri Dato’ Seri Mohd. Zahidi bin H. Zainuddin. Sementara itu, Komandan

    Komando Pasifik Amerika Serikat Admiral Fargo dan kapal induknya, USS Abraham

    Lincoln, yang sedang menuju Hong Kong, langsung berbelok arah menuju Aceh untuk

    memberikan bantuan. Kapal induk ini antara lain membawa 17 helikopter.

    Sesungguhnya, sampai hari itu, mereka yang berada di luar daerah bencana baru

    menduga–duga bahwa gempa di Aceh sangatlah besar. Tentang “air laut” yang naik ke

    darat, pada umumnya mereka pun belum sepenuhnya tahu apa yang sebenarnya terjadi.

    Putusnya hubungan telepon ke Aceh menutup informasi tentang Aceh. Baru di kalangan

    militer—ini pun terbatas pada beberapa orang, termasuk Panglima TNI—dengan radio

    komunikasi SSB, informasi tentang bencana terkabarkan. Tapi ini pun belum sepenuhnya

    menggambarkan dahsyatnya gempa 9,1 skala Richter pada pukul 08.50 itu, yang

    sekitar 15 menit kemudian disusul tsunami, gelombang setinggi belasan meter yang

    mengempas ke darat sampai sekitar 6 kilometer, dengan kecepatan 30 kilometer per

     jam, yang meratakan apa pun yang dilewatinya—sebagaimana sudah disebutkan di

    bagian terdahulu. Baru kemudian, sesuai dengan jalannya jarum jam dan beredarnya hari,

    gambaran tentang gempa dan tsunami makin lengkap dan menyebar ke seluruh penjuru.

    Jenderal Endriartono Sutarto pun baru yakin benar besarnya bencana di Aceh setelah

    Senin esok harinya mendapat laporan langsung dari Pangdam Iskandar Muda Mayjen

    Endang Suwarya. Pangdam melaporkan, ketika gempa terjadi, ia berada di Aceh Tengah,

    menghadiri acara menanam 800.000 pohon di sekitar Danau Laut Tawar. Ia mengetahui

    soal gempa itu begitu dahsyat dan disusul naiknya air laut dari anak buahnya, antara lain

    Komandan Kodim Pidie dan Komandan Kodim Lhokseumawe. Di Lhokseumawe, air laut

    menghantam ke darat sampai alun–alun dengan ketinggian hingga dua meter. Banyak

    korban meninggal, termasuk anggota TNI. Acara penanaman pohon pun dipercepat.Setelah itu, Pangdam bersama Komandan Resor Militer (Danrem) Liliwangsa dan anggota

    rombongan yang lain terbang ke Pidie dengan helikopter. Dalam perjalanan ke Pidie,

    masuk informasi bahwa Banda Aceh tergenang air laut sampai dua meter. Pangdam

    memutuskan untuk kembali ke Banda Aceh. Pidie ia serahkan kepada Danrem Liliwangsa.

    Di Banda Aceh, helikopter yang ditumpangi Pangdam tak mungkin mendarat di

    Lapangan Blang Padang, lapangan terdekat dengan Kodam. Lapangan itu tergenang air.

    Sampah dan sisa–sisa bangunan pun menumpuk. Tak ada tempat mendarat di sekitar

    Kodam, helikopter lalu menuju Pangkalan Udara Blang Bintang, yang—karena begitu

     jauh dari pantai—tak tersentuh air laut. Dari Blang Bintang, dengan bus pinjaman dari

    komandan pangkalan udara itu, Pangdam memasuki Banda Aceh.

    Tiang–tiang listrik tumbang, lumpur di mana–mana, bangkai binatang berserakan.

    Orang–orang berlarian panik. Jalan masuk ke Banda Aceh dipenuhi sampah yang terdiri

    atas berbagai macam benda, dan mayat terserak di mana–mana. Dengan susah payah

    bus yang membawa Pangdam Iskandar Muda itu akhirnya sampai juga di Rumah Sakit

    Kesdam (Kesehatan Kodam). Meski dalam perjalanan Pangdam sudah membayangkan

    20

      T  S  U  N  A  M  I  :  H  a  b  i  s  B  e  n  c  a  n  a  T  e  r  b  i  t  l  a  h

      T  e  r  a  n  g

  • 8/18/2019 Seri Buku BRR - Buku 0 - Tsunami

    35/118

    betapa besar bencana ini, sesampai di rumah sakit tetap saja ia kaget: ratusan mayat

    bergelimpangan di halaman, puluhan korban luka dirawat di dalam. Waktu itu jam

    menunjukkan pukul 12.30 WIB.

    Dari Rumah Sakit Kesdam, Pangdam langsung ke Markas Batalyon 112. Soalnya,

    ia memperoleh informasi bahwa banyak warga, termasuk istri dan anaknya sendiri,

    mengungsi ke markas batalyon tersebut. Benar, setiba di Markas Batalyon 112, Pangdam

    bertemu dengan anak dan istrinya. Ia pun sempat menengok sejumlah korban, termasuk

    Kepala Staf Kodam yang terluka parah. Sesudah itu, tanpa membuang–buang waktu,

    Pangdam langsung memberikan komando: keluarkan semua bahan makanan, buat dapurumum untuk warga sipil dan militer. Anggota Kodam dipersilakan mencari anggota

    keluarganya yang hilang, sedangkan yang mempunyai anak kecil diharap tetap menjaga

    markas. Selebihnya diperintahkan mengikuti Pangdam ke kota, memberikan pertolongan

    kepada korban yang masih hidup dan mengevakuasi korban yang meninggal. Inilah

    pasukan penolong dan pengevakuasi mayat pertama yang terkoordinasi, terdiri atas 500

    siswa Sekolah Calon Perwira dan hampir seribu anggota Kodam.

    Pengungsi dari Meulaboh berja

    kaki menuju Banda Aceh. Jalan

    dan jembatan tak mungkin dil

    kendaraan setelah dihantam a

     yang lari dengan kecepatan pe

     jet. Foto: Arie Basuki 

  • 8/18/2019 Seri Buku BRR - Buku 0 - Tsunami

    36/118

     Meskipun Panglima TNI sudah membayangkan besarnya bencana berdasarkan laporan

    dari Mabes TNI, laporan Pangdam yang lebih detail memberikan gambaran bahwa

    bencana di Aceh mahadahsyat dan tak pernah terjadi sebelumnya. Maka siang hari itu

     juga Panglima terbang ke Lhokseumawe, antara lain untuk memberikan laporan kepada

    Presiden, yang hari itu terbang dari Jayapura ke Aceh.

    Penerbangan Nabire–Jayapura ditempuh dalam waktu sekitar dua jam. Presiden dan

    rombongan mendarat di Bandara Sentani, Jayapura, sekitar pukul 13.00 Waktu Indonesia

    Timur—sekitar pukul 11.00 Waktu Indonesia Barat. Malam harinya, Presiden dijadwalkan

    menghadiri perayaan Natal bersama masyarakat Papua di Gelora Cenderawasih. Sejak

    mendarat, di tengah suasana peringatan Natal, Presiden sibuk mencari informasi tentang

    gempa di Aceh dan Sumatera Utara.

    Malamnya, sekitar 5.000 orang hadir dalam perayaan Natal yang berjalan sesuai dengan

    rencana. Dalam sambutannya, meski tidak secara khusus, Presiden menyinggung bencana

    di Aceh. “Damai, kasih, dan sukacita itu hendaknya diamalkan bagi saudara–saudara kita

    sesama bangsa yang benar–benar membutuhkan, terutama mereka yang mengalami

    musibah gempa di Alor, Nabire, dan terakhir di Aceh dan Sumatera Utara.”

    Sehabis perayaan Natal, informasi makin jelas: gempa di Aceh adalah gempa besar,

     jauh lebih besar dibandingkan dengan gempa Nabire yang menewaskan sekitar 130

    orang. Malam itu juga diselenggarakan jumpa pers di Gedung Negara Jayapura. Presiden

    bercerita tentang gempa dan tsunami di Aceh dan Sumatera Utara sebagaimana yang

    dilaporkan kepadanya. Hingga malam itu, korban meninggal sudah lebih dari 800

    orang. Angka ini, kata Presiden, akan terus bergerak naik karena belum semua korban

    dievakuasi. Jelas, ini sebuah gempa besar. Malam itu juga Presiden menyatakan gempa

    di Aceh sebagai bencana nasional. Presiden membatalkan rencana kunjungan ke Ambon

    karena esok harinya dia dan rombongan akan langsung terbang ke Aceh.

    Pemerintahan Yudhoyono–Jusuf Kalla pada hari itu baru berusia dua bulan lebih

    sepekan. Pada usia semuda itu, pemerintah ini harus menanggulangi bencana yang oleh

    Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Colin Powell, yang pernah memimpin Operasi Gurun

    di Irak, dikatakan sebagai bencana yang dahsyatnya belum pernah ia saksikan. Menurut

    David Nabarro, direktur urusan bantuan kesehatan dalam krisis di Badan Kesehatan

    Perserikatan Bangsa–Bangsa, skala bencana di Aceh ini sangatlah besar, suatu skala yang

    belum pernah dihadapinya.

    Dugaan Powell dan Nabarro tidak berlebihan. Kemudian kita tahu, sepanjang pantai

    Banda Aceh sejauh enam kilometer ke daratan tersapu tsunami. Total di seluruh NanggroeAceh Darussalam, daratan yang “rata dengan tanah” ini 28.485 hektare atau hampir 40

    persen luas DKI Jakarta. Sebagian besar daerah tersebut adalah kawasan permukiman

    dan kegiatan ekonomi seperti pasar dan pertokoan. Jadi, meski luas daratan yang

    porak–poranda kurang dari setengah persen, korban meninggal sekitar 7,5 persen dari

    total penduduk Nanggroe Aceh Darussalam atau 126.741 orang.

    22

      T  S  U  N  A  M  I  :  H  a  b  i  s  B  e  n  c  a  n  a  T  e  r  b  i  t  l  a  h

      T  e  r  a  n  g

  • 8/18/2019 Seri Buku BRR - Buku 0 - Tsunami

    37/118

    Angka–angka dalam bencana tersebut baru bisa diketahui beberapa hari setelah

    bencana. Andai saja Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tak segera menyatakan

    bencana di Aceh sebagai bencana nasional, kemungkinan besar angka–angka itu

     jauh lebih tinggi. Sebab, penetapan bencana di Aceh sebagai bencana nasional

    dengan sendirinya menggerakkan semua departemen dan kementerian untuk

    segera memberikan bantuan ke sana. Lantas, esoknya, setelah malamnya Presiden

    mengumumkan bencana nasional itu, ketika singgah di Makassar dalam perjalanan

    Jayapura–Lhokseumawe, dinyatakanlah hari berkabung nasional tiga hari. Pernyataan

    ini sekaligus sebagai imbauan agar seluruh rakyat Indonesia ikut berdukacita dan

    memberikan bantuan semampunya—kalaulah bukan materiil, ya, moril. Dengan dua

    pernyataan tersebut, Presiden tak hanya menggerakkan birokrasi, tapi juga seluruh

    bangsa, untuk ikut menangani bencana di Aceh dan Sumatera Utara itu.

    Sementara itu, Wakil Presiden sebagai Ketua Bakornas Penanggulangan Bencana dan

    Penanganan Pengungsi bergerak cepat. Ia mengirimkan tim ke Aceh untuk langsung

    mengetahui apa yang sebenarnya terjadi, agar perencanaan penanganan bencana

    bisa dilakukan sebaik mungkin. Wapres, selain membekali Menteri Komunikasi dan

    Informatika Sofyan Djalil uang Rp 200 juta, juga meminjaminya telepon satelit. Wapres

    Kawasan pusat pertokoan Ban

     Aceh luluh–lantak; Bappenas

    menghitung, bencana gempa

    tsunami mengakibatkan hilanharta benda senilai Rp 41,4 tril

    Foto: Antara/Zarqoni Maksum

  • 8/18/2019 Seri Buku BRR - Buku 0 - Tsunami

    38/118

    minta, begitu sampai di Aceh, Menteri segera melaporkan segera seperti apa sebenarnya

    bencana ini. Ternyata kemudian, telepon satelit pun tak berfungsi. Menteri bisa

    menghubungi Wapres lewat komunikasi SSB milik TNI di Banda Aceh, malam hari.

    Dari tim yang dikirimkan inilah Wapres Jusuf Kalla mendapatkan informasi yang

    membuat dia langsung meminta Menteri Keuangan Jusuf Anwar menyediakan uang

    kontan Rp 10 miliar untuk dibawa ke Aceh esoknya. Wapres tak mau tahu dari mana

    Menteri mendapat uang sebanyak itu. Pokoknya, esok harinya uang itu sudah harus

    dibawa untuk dana penanganan bencana.

    Lalu apa yang disaksikan Menteri Sofyan Djalil di hari Ahad itu? Menteri itu mendarat diMedan sekitar pukul 16.00. Sedianya, di Bandara Polonia itu pesawat hanya akan mengisi

    bahan bakar sebelum melanjutkan penerbangan ke Aceh. Namun mereka mendapat

    kabar bahwa Bandara Iskandar Muda, Banda Aceh, tak bisa didarati. Pesawat Garuda

    yang terbang ke Banda Aceh pagi itu kembali ke Medan. Ceritanya, pesawat itu tak berani

    mendarat karena tak ada pemandu pendaratan di menara pengendali lalu lintas udara di

    Kapal terdampar di tengah

    Kota Banda Aceh; saksi mata

    mengatakan, gelombang air

    setinggi dua kali pohon kelapa

    itu tak menyisakan apa pun dan

    melambungkan kapal–kapal yang

    tengah berlabuh di pantai ke tengah

    kota. Foto: AFP/Kazuhiro Nogi 

    24

      T  S  U  N  A  M  I  :  H  a  b  i  s  B  e  n  c  a  n  a  T  e  r  b  i  t  l  a  h

      T  e  r  a  n  g

  • 8/18/2019 Seri Buku BRR - Buku 0 - Tsunami

    39/118

  • 8/18/2019 Seri Buku BRR - Buku 0 - Tsunami

    40/118

    DI Thailand, wisatawan berlarianmenghindari kejaran air bah. Ada yang

    selamat, tapi lebih banyak yang tertelanair laut. Kekuatan mereka tak sepadan,

    memang. Bangunan resor saja banyak

    yang hancur. Apalagi manusia. Tayangan

    di televisi itu menjerat mata siapa pun.

    Pemandangan lain lebih mengenaskan.

    Masyarakat miskin di Sri Lanka juga tak

    luput dari terjangan gelombang besar itu.

    Nun jauh di New York, sepasang

    mata menangkap pemandangan yang

    menyedihkan itu. Malam itu, setelah

    menyaksikan tayangan tersebut, Paryono

    Atianto, Kuasa Usaha Indonesia di New York, langsung terhuyung. Jantungnya

    kian berdegup keras saat dia mengetahui

    episentrum atau pusat gempa itu ternyata

    tak jauh dari pantai Aceh. Bergegas dia

    menghidupkan komputer, menunggu kabar

    dari Internet.

    Namun dia tetap gundah. Tak banyak

    informasi yang dia dapatkan. Praktis

    malam itu Paryono tidak tidur. Frustrasi

    memenuhi kepalanya. Dia mengontak

    Deputi Wakil Tetap Republik Indonesia di

    PBB, Adiyatwidi Adiwoso Asmady—yang

    biasa dipanggil Wieke—yang malam

    itu berada di Florida. Wieke, yang juga

    terenyak menyaksikan tayangan yang

    sama di televisi Aljazeera, membesarkan

    hati koleganya itu, “Bertahanlah, saya

    kembali dengan pesawat pertama yang

    memungkinkan.”

    Mafhum bahwa bencana yang terjadi

    teramat besar, Wieke segera memutuskan

    untuk mengakhiri cuti akhir tahunnya. Ia

    menghubungi atasannya, Rezlan I. Jenie—

    Wakil Tetap RI di PBB—yang tengah berada

    di Tokyo, Jepang. Mereka sepakat berbagitugas. Rezlan ke Jakarta, sedangkan

    Wieke kembali ke New York, ke kantornya.

    Langkah cepat memang harus

    dilakukan. Liburan akhir tahun harus

    segera diakhiri. Kantor yang hanya dihuni

    karyawan dengan jumlah sekadarnya—

    kebanyakan tengah menghabiskan libur

    akhir tahun—harus segera dihidupkan.

    Sesuatu yang mengerikan tengah terjadi diTanah Air, ribuan kilometer dari New York.

    Benar saja, di 38th Street, kantor

    Perwakilan Tetap Republik Indonesia

    (PTRI) di PBB, ledakan kegiatan segera

    terjadi. Telepon terus berdering sesudah

    United States Geological Survey (USGS)

    mengidentifikasi gempa besar dan lokasi

    episentrumnya terletak di pantai barat

    Pulau Sumatera. Kabar ini menjadi

    pembuka badai yang berlangsung dalam

    beberapa hari kemudian. Kesibukan

    langsung terjadi.

    Esok paginya, kantor UN Office for the

    Coordination of Humanitarian Affairs

    (UNOCHA) mengadakan rapat koordinasi

    dengan negara–negara yang terkena

    tsunami dan beberapa negara donor.

    Rapat yang dipimpin Jan Egeland, Direktur

    OCHA, dan wakilnya, Margareta Wahlstrom,

    mengumpulkan data dari negara–negara

    yang menjadi korban gelombang raksasa

    ini.

    Paryono, dengan hati–hati, melaporkan

    bahwa korban di Indonesia yang terdata

    saat itu berjumlah 300 orang. Sri

    Lanka masih berada di urutan teratas,

    diikuti India. Dalam pertemuan itu pula

    dilaporkan bencana juga mengakibatkan

    kerusakan dan merenggut korban di

    beberapa negara lain, seperti Thailand,

    Maladewa, dan Seychelles. Rapat ini

    memutuskan untuk memonitor terus

    perkembangannya.

    Di Indonesia sendiri, Presiden Susilo

    Bambang Yudhoyono mengumumkan

    bahwa Aceh—yang masih dirundung

    konflik—terbuka untuk para pekerjakemanusiaan, bahkan beberapa pesawat

    militer negara tetangga, seperti Singapura

    dan Australia. Hal ini membuat semua

    orang di New York lega. Egeland seperti

    mendapat suntikan darah. Saat tampil

    di CNN, dia menyerukan agar dunia

    bersatu untuk mengatasi dampak

    Jalan Panjang untuk Sebuah Resolusi

    26

      T  S  U  N  A  M  I  :  H  a  b  i  s  B  e  n  c  a  n  a  T  e  r  b  i  t  l  a  h

      T  e  r  a  n  g

  • 8/18/2019 Seri Buku BRR - Buku 0 - Tsunami

    41/118

    bencana yang belum pernah dialami ini.

    Dia juga meminta negara maju segera

    mengucurkan bantuan.Kesibukan Wieke tak jua surut.

    Perempuan ini mengikuti pertemuan

    koordinasi berikutnya dengan Sekretaris

    Jenderal PBB untuk membahas apa yang

    harus dikerjakan negara–negara yang

    menjadi korban tsunami itu. Gambar–

    gambar dari Aceh yang memberitakan

    kehancuran yang luar biasa membuat

    Indonesia ditetapkan sebagai koordinator

    negara korban tsunami.

    Hampir bersamaan dengan itu, Presiden

     Yudhoyono menyatakan bahwa Indonesiaakan mengadakan Konferensi Tingkat

    Tinggi ASEAN khusus membahas bencana

    tsunami. Presiden pun mengundang

    Sekjen PBB Kofi Annan untuk hadir. Sore

    itu pula Wieke menemui Sekjen PBB.

    Syukurlah, Kofi Annan menyatakan akan

    hadir pada pertemuan itu.

    Mengantisipasi hasil KTT ASEAN di

    Jakarta, PTRI menggalang suara di PBB.

    Kesiapan PBB sangat dibutuhkan dan

    perlu ada payung hukumnya: Resolusi

    Majelis Umum Perserikatan Bangsa–

    Bangsa tentang Tsunami 2004. Namun itu

    tidaklah mudah. Wieke harus melakukan

    lobi panjang dan berpacu dengan waktu

    karena draf resolusi ini harus sudah

    selesai dalam enam hari. Termasuk

    mengadopsi hasil KTT ASEAN di Jakarta.

    Bila tidak, negosiasi dengan negara donor

    akan sangat alot karena mereka memiliki

    syarat–syarat yang biasa dipakai dalam

    memberikan bantuan. Sebaliknya, negara–

    negara korban teramat membutuhkan

    bantuan dengan segera.

    Kesibukan lain pun terjadi di Jenewa,Swiss, kantor PBB yang lain. Mereka

    mempersiapkan Imbauan Kilat (Flash

     Appeal) PBB untuk menggalang bantuan

    bagi negara–negara yang terkena tsunami.

    Indonesia sendiri dipimpin Menteri

    Negara Perencanaan Pembangunan/

    Ketua Bappenas Sri Mulyani Indrawati

    dalam Pertemuan Tingkat Menteri

    tentang Dukungan Kemanusiaan

    kepada Komunitas Terdampak Tsunami(Ministerial–level Meeting on Humanitarian

    Assistance to Tsunami–Affected

    Communities) pada 11 Januari 2005, yang

    menjadi ajang diluncurkannya flash appeal 

    tersebut. Luar biasa, flash appeal kali ini

    menghasilkan janji bantuan sebesar US$

    6,3 miliar untuk seluruh wilayah yang

    terdampak tsunami.

    Kembali ke New York. Kerja keras

    Wieke berbuah hasil. Draf resolusi pun

    rampung dan kemudian disahkan dalam

    Sidang Khusus Majelis Umum PBB, 19

    Januari 2005. Resolusi ini menekankan

    tata cara kerja PBB membantu pemulihan

    pascabencana tsunami, mengimbau

    negara–negara untuk memberikan

    bantuan, mendukung pelaksanaan

    Konferensi Pengurangan Risiko Bencana

    di Kobe, menghargai kesepakatan Paris

    Club untuk memberikan moratorium

    buat pembayaran utang bagi negara

    yang terkena bencana, serta mendorong

    dibentuknya kemitraan atas permintaan

    dan dipimpin oleh negara tuan rumah—

    dengan negara donor, lembaga keuangan

    internasional dan regional, serta pihak–

    pihak lain.

    Untuk menggalang dan menjaga

    komitmen negara donor, PBB lalu

    membentuk sebuah konsorsium global

    (Global Consortium for Tsunami–Affected

    Countries) dan menunjuk seorang utusan

    khusus. Setelah proses pemilihan yang

    intensif dan melibatkan calon–calon dari

    Jepang dan Thailand, posisi ini kemudian

    diisi mantan Presiden Amerika Serikat,

    William Jefferson (Bill) Clinton, yang diberi

    mandat untuk bekerja selama dua tahun.Sebuah landasan hukum dan prinsip

    kerja sama di tingkat internasional bagi

    berlanjutnya perhatian dan bantuan dunia

    telah terbentuk. Hasil yang pantas dari

    sebuah perjuangan diplomasi antarbenua.

  • 8/18/2019 Seri Buku BRR - Buku 0 - Tsunami

    42/118

  • 8/18/2019 Seri Buku BRR - Buku 0 - Tsunami

    43/118

    KETIKA tsunami itu menggulung daratan Aceh, mereka yang selamat sempatberpikir: kiamatkah hari ini? Lalu mereka pun teringat hadis bahwa kiamat terjadi

    pada Jumat. Hari itu, 26 Desember 2004, adalah hari Ahad, jadi petaka ini bukanlah

    akhir zaman. Maka orang–orang yang dikaruniai panjang umur itu pun menjadi saksi

    kedahsyatan bencana tersebut.

    Kesan itulah yang dirasakan Mar’ie Muhammad, Ketua PMI. Mar’ie termasuk dalam

    rombongan yang pada hari bencana tiba di Banda Aceh, petang hari, dengan pesawat

    pribadi Wapres Jusuf Kalla. “Saya melangkah, ada mayat, melangkah lagi, ada mayat

    lagi, dengan bentuk yang sudah mengenaskan,” tutur mantan Menteri Keuangan itu.

    “Anak–anak kecil di jalanan berteriak sambil menangis memanggil–manggil ibunya;

    orang–orang dewasa dengan pandangan kosong, kadang berteriak, stres kehilangan

    keluarganya; makanan tidak ada, air tidak ada, listrik mati, minyak tidak ada. Ini seperti

    latihan kiamat, kiamat kecil.” Ia sendiri selama seminggu setelah pulang dari Aceh

    menderita stres berat, kadang spontan berteriak begitu terbayang kiamat kecil itu.

    Mula–mula adalah gempa yang membuat orang pun tak bisa bertahan berdiri.

    (Kemudian diketahui gempa tersebut berkekuatan 9,1 skala Richter—hanya kurang

    0.9 skala untuk mencapai angka 10, skala terbesar pada seismograf, alat pengukur

    gempa.) Suami–istri Usman Ahmady, 55 tahun, dan Dina Astina, 35 tahun, sedang

    Episentrumdi Serambi Mekkah

    “Hidup berhenti hanya dalam lima menit. Air datang lalu pergimembawa ribuan nyawa dalam waktu singkat.”

    —Ismail Sarong, empu serunai kale

    Selalu ada “keajaiban” dalambencana; banyak masjid tetap

    berdiri meski dihantam tsunam

    Pemandangan di Masjid

    Baiturrahman, Banda Aceh, sa

    satu tempat pengungsi berlind

    sekitar masjid menjadi tempat

    sampah raksasa. Foto: Ilham A

  • 8/18/2019 Seri Buku BRR - Buku 0 - Tsunami

    44/118

    dalam perjalanan dari Calang, Aceh Jaya, menuju Banda Aceh untuk menghadiri pesta

    pernikahan kerabatnya. Namun, sesampai di Simpang Lima, Banda Aceh, tiba–tiba mobil

    yang mereka tumpangi oleng. Karyawan Pemda Aceh Jaya dan istrinya itu mengira ban

    mobil pecah. Mereka turun, tapi langsung terjatuh karena bumi bergoyang; mencoba

    duduk pun susah. Begitu melihat orang–orang di sekitar juga terjatuh, sadarlah mereka

    bahwa ada gempa besar. Setelah gempa berhenti, mereka melanjutkan perjalanan ke

    Lhong Raya untuk menghadiri acara pernikahan.

    Inilah cerita suami–istri yang meninggalkan ketiga anaknya di rumah karena berpikir

    mereka bisa segera pulang ke Calang, 150 kilometer dari Banda Aceh. Ternyata suami–istri

    ini harus menerima kenyataan bahwa mereka tak lagi bisa bertemu dengan ketiga

    anaknya, untuk selamanya.

    ”Setelah akad nikah di Baiturrahman dibatalkan karena gempa, upacara dilangsungkan

    di rumah. Sehabis acara, kami mencemaskan anak–anak di rumah. Kami pamit pulang.

    Dari Lhong Raya menuju Calang harus kembali melewati Kota Banda Aceh. Begitu

    memasuki kota, kami kaget luar biasa. Lumpur hitam di mana–mana, mobil–mobilterjungkal. Dan astagfirullah, mayat–mayat masih segar bergelimpangan di Jalan Teuku

    Umar. Mobil harus berjalan zigzag mencari celah. Saya menjadi histeris, teringat ketiga

    anak kami.”

    Kecemasan dan keputusasaan Dina sangat beralasan. Calang, ibu kota Kabupaten

    Aceh Jaya, kota pantai barat, langsung berhadapan dengan Samudera Indonesia. Bila air

    laut sampai ke tengah Kota Banda Aceh, kota di pantai utara yang boleh dikata punya

    bumper Pulau Sabang, lalu apa yang terjadi dengan Calang? Beberapa hari kemudian,

    Dina mendengar kabar bahwa Calang rata dengan tanah, dan sekitar 80 persen dari

    warganya tewas atau hilang. Dina berharap ketiga anaknya termasuk yang 20 persen.

    Namun, setelah mencari dari kamp pengungsian satu ke yang lain, akhirnya mereka

    pasrah. Barangkali Usman dan Dina masih bisa bertahan karena mereka tak sendiri.

    Atasan Usman, Bupati Aceh Jaya, yang ketika tsunami melanda sedang berada di Jakarta,

    kembali ke Calang dengan stres berat: istri dan ketiga anaknya yang tak ikut ke Jakarta

    hilang tanpa jejak. Satu–satunya anggota keluarga yang selamat adalah seorang anaknya

    yang kuliah di Banda Aceh.

    Usman dan Dina tak mengalami sendiri tergulung gelombang dahsyat bernama

    tsunami itu. Banyak di antara mereka yang bertahan hidup menderita trauma karena

    merasakan sendiri tergulung ombak, berada di ambang kematian. Salah satunya adalah

    Ismail Sarong, ketika itu berusia 60 tahun, empu peniup serunai kale, seruling khas Aceh.

    Di Ahad pagi itu, di Lapangan Blang Padang, Banda Aceh, tengah dilangsungkan

    lomba maraton 10K Banda Aceh. Sekitar 3.000 orang, peserta dan penonton, memenuhi

    lapangan dan sekitarnya. Ismail Sarong diundang panitia lomba untuk memeriahkan

    pesta lari ini. Dan ia menyaksikan orang–orang tersapu gelombang laut sebelum ia sendiri

    tergulung di dalamnya. “Hidup berhenti hanya dalam lima menit. Air datang lalu pergi

    membawa ribuan nyawa dalam waktu singkat,” kenang sang peniup serunai.

    30

      T  S  U  N  A  M  I  :  H  a  b  i  s  B  e  n  c  a  n  a  T  e  r  b  i  t  l  a  h

      T  e  r  a  n  g

  • 8/18/2019 Seri Buku BRR - Buku 0 - Tsunami

    45/118

    Pagi, sebelum pukul tujuh, Ismail mengawali tugasnya dengan duduk di mobil bak

    terbuka sembari meniupkan lantunan nada–nada dari alat musiknya, diiringi entakan

    gendang yang ditabuh Rusdiansyah, anak lelakinya. Mobil itu mengikuti para pelari. Baru

    puluhan meter dari Blang Padang, tiba–tiba tanah bergoyang. Gempa besar. Orang–orang

    berlarian. “Pikiran saya tak enak. Saya segera turun dari mobil, melihat sekeliling. Banyak

    bangunan rontok. Orang–orang menjerit, takut, dan bingung.” Lomba lari pun bubar.

    Karena acara bubar, Ismail bersama Rusdiansyah berboncengan skuter pulang ke

    rumah di Gampong Pande. Mereka mampir sebentar ke rumah seorang sahabat di dekat

    lapangan, sekadar menengok apakah sahabat itu ikut terkena musibah gempa atau tidak.

    Ternyata tidak. “Saya sempat duduk sebentar, berbincang tentang gempa yang baru

    terjadi. Tapi perasaan tak tenang, ingat istri dan anak–anak di rumah. Saya lalu pamit,”tutur Ismail.

    Beberapa ruas jalan ternyata ditutup. Banyak puing berserakan dan bertumpuk di

     jalan itu. Ismail menyusuri jalan tikus bermaksud mengambil jalan di depan Masjid Raya

    Baiturrahman. Dari depan Masjid Baiturrahman—masjid ini tak begitu parah terguncang

    gempa—Ismail pun terus melaju ke arah pantai. Gampong Pande, kampungnya, memang

    Salah satu sudut Kota Banda A

    beberapa kota di NAD menjadlumpuh total dalam beberapa

    komunikasi terputus, listrik ma

    makanan dan minuman musn

    Foto: Arie Basuki 

  • 8/18/2019 Seri Buku BRR - Buku 0 - Tsunami

    46/118

  • 8/18/2019 Seri Buku BRR - Buku 0 - Tsunami

    47/118

    Saksi bisu kedahsya

    alam di kawasan wi

     pantai Lhok Nga, se

    gelombang laut seti

    belasan meter deng

    kecepatan puluhan

    kilometer per jammenyapu segala yan

    termasuk memangk

     pohon–pohon kelap

    Foto: Antara/Maha E

    Swasta

  • 8/18/2019 Seri Buku BRR - Buku 0 - Tsunami

    48/118

    dekat dengan pantai. Namun, saat mereka baru melintas sekitar 10 meter, terdengar

    seseorang berteriak dari lantai dua masjid. “Pak, Pak, balik Pak, air laut naik,” seru orang itu

    seraya menunjuk ke arah datangnya air, arah yang dituju Ismail dan anaknya.

    Ketika itulah Ismail baru menyadari suara gemuruh bagaikan deru pesawat jet. Lelaki

    tinggi kurus ini kebingungan. Ia mengerem mendadak skuternya dan berteriak kepadaRusdiansyah, pemuda 24 tahun itu. “Cepat kau lari! Gendang taruh di mana saja. Kau

    lari, jangan menoleh ke belakang!” (Jauh hari kemudian, ia baru menyadari keanehan

    perintahnya itu; bukankah seharusnya dengan membonceng skuter bisa lebih cepat

    menjauhi gelombang air yang mengejar? Tapi Ismail bersyukur karena justru dengan lari

    anaknya selamat sampai di pendapa gubernuran yang hanya tergenang, tidak tersapu

    tsunami.)

    Ketika Rusdiansyah lari secepatnya, Ismail yang panik membelokkan arah kendaraannya.

    Rupanya, kepanikan menghambat geraknya dan gelombang itu keburu menyapu dia dan

    skuternya. Inilah pengalaman yang masih diingat peniup serunai kale itu:

    Dari 126.000 lebih korban meninggal

    di Aceh, sekitar 30.000 di antaranya

    anak–anak; dan anak–anak yang

    selamat banyak menderita cacat

    tubuh. Foto: Yusnirsyah Sirin

    34

      T  S  U  N  A  M  I  :  H  a  b  i  s  B  e  n  c  a  n  a  T  e  r  b  i  t  l  a  h

      T  e  r  a  n  g

  • 8/18/2019 Seri Buku BRR - Buku 0 - Tsunami

    49/118

    “Gelombang air hitam yang membawa bongkahan kayu menghantam. Saya terseret,

    timbul–tenggelam. Saya rasakan badan saya menghantam tembok. Napas terasa sesak.

    Saya masih duduk di Vespa rupanya. Kaki terjepit Vespa, dan kami teronggok di gunungan

    sampah dan balok kayu. Saya meronta, melepaskan jepitan itu. Saya tak merasakan sakit

    waktu itu. Pikiran saya hanya ke rumah. Terbayang anak–anak.

    “Tiba–tiba air surut, lebih kencang dibanding ketika menghantam saya sebelumnya.

    Mendadak serunai kale yang tadi saya sangkutkan di setang Vespa muncul di permukaan,

    tepat di hadapan saya. Dalam hati saya berkata, serunai ini dalam keadaan macam begini

    masih mau ikut. Jadi untuk seterusnya saya tidak boleh lepas dari serunai.

    “Segera saya raih serunai dari kayu jati itu, saya selempangkan ke punggung. Saya

    bisa menggerakkan tangan, tapi rasanya tak ada tenaga untuk menggerakkan kaki.

    Saya lihat seseorang mendekat dari balik tembok. Orang itu lalu membopong saya. Saya

    sepenuhnya sadar, ingat semua kejadian, namun saya tak bisa berkata apa pun. Tubuh

    saya menggigil, mulut terasa terkunci. Saya dibaringkan di lantai. Saya mendengar

    pembacaan ayat–ayat Al–Quran bercampur tangis dan jeritan.”

    Syahdan, Rusdiansyah yang selamat itu menemukan bapaknya di masjid sekitar pukul

    sebelas siang, sekitar tiga jam setelah bencana terjadi. Mereka berdua malam itu tidur di

    masjid, tak bisa pulang. Orang–orang bilang, jalan menuju Gampong Pande belum bisa

    dilewati, masih tergenang air dan tertutup tumpukan puing–puing. Lagi pula kaki Ismail

    ternyata luka. Ismail kemudian diinapkan di rumah salah seorang keponakannya di Ulee

    Kareng yang tak terkena tsunami.

    Lebih dari sebulan Ismail harus tinggal di rumah keponakannya. Selama itu, bila

    ayahnya berniat menjenguk rumah, Rusdiansyah selalu melarang. Ketika akhirnya

    pulang kampung, Ismail terenyak seolah napasnya berhenti. Di hadapannya hanyahamparan lahan, kering, dengan beberapa pohon tinggi masih berdiri dan nisan–nisan di

    makam bersejarah berserakan. Peniup serunai ini menemukan sisa tembok dan fondasi

    rumahnya. Rumahnya lenyap beserta seluruh penghuninya ketika itu: ibu, istri, dan kelima

    anak perempuannya. Gampong Pande seperti tak pernah ada. “Sedih betul kala itu.

    Rasanya ingin mati. Tapi saya coba kuatkan hati. Banyak pula orang yang mengalami nasib

    seperti kami, bahkan ada yang lebih menderita,” katanya.

    Adalah Basariyah, 45 tahun, yang biasa dipanggil Neneh, warga Lampaseh,

    Kecamatan Meuraxa, Banda Aceh. Ketika gempa terjadi, seisi rumah janda sembilan

    anak ini sempat menghambur ke luar rumah. Gempa berhenti, mereka kembali masuk

    ke rumah, dan Neneh menyuapi si bungsu yang baru berusia satu setengah tahun. Anaksulungnya berniat ke Sabang hendak melihat keadaan setelah gempa. Baru seratus meter

    melangkah ke arah kota, ia segera balik ke rumah dan berteriak, “Air laut naik…. Lari! Lari!”

  • 8/18/2019 Seri Buku BRR - Buku 0 - Tsunami

    50/118

  • 8/18/2019 Seri Buku BRR - Buku 0 - Tsunami

    51/118

    Kisah Neneh menyadarkan kita betapa pentingnya memasyarakatkan kemungkinan

    berbagai bencana yang mengancam dan cara menyelamatkan diri. Mereka yang tak

    menyadari bencana ini, bukannya lari menjauh, justru berlindung di dalam rumah.

    Padahal gelombang laut tersebut pasti menggulung rumah itu. Inilah kisah ibu yang

    kehilangan tujuh anaknya dalam bencana Ahad pagi itu.

    ”Saya bingung dan tak tahu harus berbuat apa mendengar teriakan anak lelaki saya

    itu. Keenam anak dan seorang cucu naik ke lantai dua. Salah seorang anak berteriak,

    minta saya mengunci pintu rumah. Saya mengunci pintu sambil masih menggendong si

    bungsu.

    “Belum sempat saya memutar anak kunci, air bah menghantam pintu. Anak dalam

    gendongan saya terlepas. Saya tak mampu menyelamatkannya. Gelombang kedua lebih

    kuat. Saya masih sempat melihat semua isi rumah hanyut, termasuk anak–anak, tapi saya

    tak bisa berbuat apa–apa. Saya merasa tergulung air. Saya ingat, saya digulung–gulung

    air sampai ke tengah kota. Kaki saya tersangkut di tumpukan reruntuhan rumah. Saya naik

    ke tumpukan puing–puing itu. Kepala saya terhantam lemari besar. Saya pingsan.

    “Waktu sadar kembali, saya memandang langit; ini kiamat bukan? Ternyata matahari

    masih bersinar. Saya melihat ke sekeliling. Oh, saya berada dekat sekolah. Baru kemudian

    saya merasa kaki saya sakit, selembar seng menancap. Kepala saya memar. Saya raih

    sebatang kayu, saya jadikan tongkat untuk berjalan. Selembar kain yang tersangkut saya

    ambil untuk membungkus tubuh. Saya tak tahu kenapa seluruh pakaian saya lenyap.

    Tiba–tiba saya melihat salah satu anak saya terjepit batang pohon asam yang roboh. Ia tak

    bergerak. Saya melangkah menuju anak itu….”

    Ketika sadar, Neneh mendapati dirinya terbungkus dari kaki hingga kepala—itulah

    kantong mayat. Ia pun berteriak sekuat tenaga, “Saya masih hidup. Tolong dibuka….”Ternyata Neneh ditemukan para pekerja sukarela dan dibawa ke pendapa gubernuran. Ia

    disangka telah tak bernyawa, maka dimasukkan ke kantong mayat.

    Malam itu juga Neneh dibawa ke Rumah Sakit Kesdam Iskandar Muda.

    Usman, Dina, Ismail, dan Neneh hanyalah sekadar contoh. Melihat keluasan wilayah

    yang dilanda tsunami, bisa dibayangkan betapa banyak yang menjadi korban. Menyadari

    dahsyatnya air bah itu—sampai setinggi belasan meter dan dengan kecepatan 30

    kilometer per jam di daratan—bisa dikatakan tak ada apa pun yang mampu bertahan.

    Akhirnya, angka–angka memang menggambarkan secara tak langsung luar biasanya

    gempa yang disusul tsunami yang melanda wilayah barat dan utara Aceh. Wilayah itu

    lumpuh, terisolasi, tanpa alat komunikasi dan listrik, juga tanpa makanan dan air minum.

    Gempa, tentu saja, terasa di seluruh Nanggroe Aceh Darussalam. Tapi tsunami “hanya”

    menerjang 11 kabupaten dan dua kota, menewaskan lebih dari 126.000 orang, dan

    lebih dari 93.000 orang dinyatakan hilang. Gelombang raksasa yang mendera daratan

    sampai enam kilometer itu meninggalkan kawasan dua kilometer dari pantai ke darat

    Bencana tak mengenal korban

    sebuah sedan mewah terdamp

    di sebuah pintu gudang

    bersama tumpukan sampah.

    Foto: Yusnirsyah Sirin

  • 8/18/2019 Seri Buku BRR - Buku 0 - Tsunami

    52/118

    rata dengan tanah; pohon–pohon kelapa tinggal pokok setinggi semeter. Panjang

    pantai barat Aceh yang digulung tsunami mencapai 240 kilometer. Total pantai yangtersapu tsunami 800 kilometer, kira–kira sama dengan jarak Jakarta–Surabaya. Adapun

    luas daratan yang digerus tsunami, menurut perhitungan Bappenas, mendekati

    180.600 hektare atau sama sekitar 28.485 hektare dapat dikatakan rata dengan tanah.

    Panjang jalan yang rusak tak bisa dilewati mencapai 2.618 k ilometer. Akibatnya, banyak

    sekali daerah yang tak bisa dijangkau lewat darat setelah tsunami, terutama wilayah di

    pantai barat.

    Di Lampu’uk, kota pantai di ujung barat laut Aceh, boleh dikata lebih dari 80 persen

    kota hancur. Sebuah masjid yang bertahan menjadi tempat mengungsi sekitar 10 persen

    warganya yang selamat. Ke sinilah, antara lain, dua mantan Presiden Amerika Serikat, BillClinton dan George W. Bush Sr., berkunjung.

    Lebih dahsyat adalah Calang, ibu kota Aceh Jaya. Hampir di seluruh kota itu tak ada

    bangunan yang berdiri lagi. Kota ini pun terisolasi dari daerah lain karena jalan darat

    mustahil ditempuh, dan pantainya pun dipenuhi sampah. Hanya sekitar 2.500 dari

    Warga Calang yang selamat

    menerima bantuan kemanusiaandari helikopter Seahawk Angkatan

    Laut Amerika Serikat, 4 Januari 2005.

    Kota di pantai barat Aceh ini hancur

    total. Foto: Jefri Aries

    38

      T  S  U  N  A  M  I  :  H  a  b  i  s  B  e  n  c  a  n  a  T  e  r  b  i  t  l  a  h

      T  e  r  a  n  g

  • 8/18/2019 Seri Buku BRR - Buku 0 - Tsunami

    53/118

    12.000 penduduk Calang yang selamat. Sedangkan Meulaboh, ibu kota Aceh Barat,

    bisa dikata hancur total. Di pusat Kota Meulaboh hanya beberapa bangunan beton dan

    sebuah menara radio yang masih berdiri setelah tsunami. Meulaboh merupakan kota

    pelabuhan penting di pantai barat yang berada dalam wilayah kabupaten Aceh Barat,

    sebelum tsunami terdata berpenduduk sekitar 190.000 jiwa, dan setelah tsunami menjadi

    181.939 jiwa.

    Tak berlebihan orang menyebut 26 Desember 2004 sebagai “kiamat kecil”. Di sebagian

    besar wilayah yang terisolasi, mereka yang selamat harus mengalami kelaparan dan

    kehausan lebih dari 24 jam sebelum bantuan dikirimkan, tepatnya dijatuhkan, dari

    udara. Wilayah–wilayah yang disapu tsunami menjelma bak daerah tak bertuan. Yang

    membedakan daerah tak bertuan dengan wilayah yang terkena tsunami hanya satu: di

    tempat bekas tsunami mengamuk, mayat berserakan.

    Pemandangan itulah yang membuat para pemimpin yang mengunjungi daerah

    bencana langsung meningkatkan besarnya bantuan yang dijanjikan. Presiden George

    W. Bush Sr. semula menjanjikan bantuan US$ 15 juta. Kritik dari Perserikatan Bangsa–Bangsa membuat George W. Bush Sr. menambah bantuan dari Amerika Serikat menjadi

    US$ 20 juta. Setelah ia menyaksikan daerah bencana, ia naikkan lagi bantuan itu menjadi

    US$ 35 juta. Angka ini ternyata masih diubah lagi setelah Colin Powell menyaksikan

    sendiri Aceh yang hancur. Powell, Menteri Luar Negeri AS kala itu, setelah berunding

    dengan Presiden Bush, meningkatkan angka bantuan negaranya sepuluh kali lipat:

    menjadi US$ 350 juta.

    Bappenas, bekerja sama dengan Bank Dunia, mendokumentasikan kerusakan ini

    dalam “Rencana Induk Rehabilitasi dan Rekonstruksi Wilayah dan Kehidupan Masyarakat

    Provinsi NAD dan Kepulauan Nias, Sumatera Utara”. Pada dokumen yang tertuang

    dalam Keputusan Presiden Nomor 30 Tahun 2005 itu, yang kemudian menjadi kerangka

    acuan Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi NAD dan Nias dalam melaksanakan

    tugasnya, tergambar kerusakan serta kerugian di Aceh dan Nias mencapai nilai lebih

    dari Rp 41,4 triliun atau sekitar 2,7 persen dari produk domestik bruto nasional. Inilah

    bencana terdahsyat kedua dalam waktu satu abad belakangan, yang hanya tertandingi

    oleh bencana dua hari angin topan di Bangladesh pada 12–13 November 1970. Topan di

    Bangladesh itu juga membuat air laut naik sampai tujuh meter, lebih dari 300.000 jiwa

    tewas, serta ratusan ribu rumah dan bangunan lain hancur.

  • 8/18/2019 Seri Buku BRR - Buku 0 - Tsunami

    54/118

    Putusnya transportasi dan komunikasi

    itulah yang membuat keadaan semakin

    sulit. Jalur transportasi ke Aceh Barat

    dan Takengon tak bisa digunakan. Ke

    arah selatan sama saja. Tiga buah

     jembatan putus. Praktis daerah ini

    terisolasi. Bantuan teramat sulit datang

    ke Meulaboh. Lumpuhnya transportasi

    dan komunikasi membuat Meulaboh

    seperti daerah yang terlupakan. “Tolong

    sampaikan bahwa Meulaboh juga sama

    parahnya seperti daerah yang lain,”

    ujar Kolonel Infanteri Geerhan Lantara,

    Komandan Korem 012 Teuku Umar,

    kepada wartawan.

    MEULABOH terbilang parah akibat

    tsunami menyapu Aceh, Desember

    2004. Kota di sisi pantai barat Aceh yang

    letaknya berdekatan dengan pusat gempa

    ini diserang ombak dari tiga sisi yang

    berbeda secara bertubi–tubi.

    Gelombang tsunami menyeret bangunan

    dan hanya meninggalkan fondasi–fondasi

    dan material bangunan yang berserakan

    di sepanjang radius dua sampai lima

    kilometer dari pantai. Kerusakan ini

     juga membuat jalur transportasi dan

    komunikasi—baik dari utara (Banda Aceh)

    maupun dari selatan (Medan)—terputus.

    Aliran listrik dan jaringan komunikasi

    telepon, termasuk telepon seluler, mati.

    Membuka Meulaboh

    Pusat Kota Meulaboh hancur. Berita

    terisolasinya Meulaboh langsung

    ditanggapi oleh Presiden Susilo

    Bambang Yudhoyono: menghubungi

    Komandan Korem Meulaboh,

    Kolonel Geerhan Lantara. Presiden

    meminta agar akses laut dan darat

    ke dan dari Meulaboh diupayakan

    segera dibuka. Foto: Jefri Aries40

      T  S  U  N  A  M  I  :  H  a  b  i  s  B  e  n  c  a  n  a  T  e  r  b  i  t  l  a  h

      T  e  r  a  n  g

  • 8/18/2019 Seri Buku BRR - Buku 0 - Tsunami

    55/118

  • 8/18/2019 Seri Buku BRR - Buku 0 - Tsunami

    56/118

  • 8/18/2019 Seri Buku BRR - Buku 0 - Tsunami

    57/118

    BELUM pernah terjadi dalam sejarah dunia, penanganan bencana sebesar danseluas akibat gempa dan tsunami seperti di Aceh ini. Dalam keadaan pemerintah daerah

    mati suri dan telekomunikasi putus, tim penanggulangan bencana harus bekerja. Ketika

    itu, mereka semua bekerja bagaikan orang buta: belum ada peta bencana, belum ada

    sistem kerja. Toh, Budi Atmadi Adiputro, Deputi Bakornas, harus menjalankan tugasnya.

    Ia pun malam itu juga, setiba di pendapa gubernuran Nanggroe Aceh Darussalam,

    langsung membagi tugas di antara tenaga yang ada. Ia mencocok–cocokkan agar antara

    orang dan tugasnya sesuai, setidaknya bersinggungan. Ketua Palang Merah Indonesia

    Mar’ie Muhammad diserahi tugas mengoordinasi evakuasi mayat. Muhammad Syafwan,

    Direktur Jenderal Pemberdayaan Sosial Departemen Sosial, bertanggung jawab mengatur

    masalah makanan. Dokter Ferdinand Laihad, salah seorang anggota staf ahli Departemen

    Kesehatan, ditugasi mengoordinasi masalah kesehatan. Ketua Fraksi Partai Amanat

    Nasional yang juga tokoh Aceh, Farhan Hamid, mendapat tugas menyiapkan tenda

    darurat atau shelter , karena tak ada orang dari Departemen Pekerjaan Umum. Budi Atmadimengaku memimpin dengan gaya komando: “Salah sekalipun saya putuskan, karena saya

    pikir harus ada keputusan agar ada kemajuan setiap harinya.”

    Liku-liku OperasiTanggap Darurat

    Dua hal dilakukan pemerintah dengan tepat dalam kerja di masatanggap darurat. Memberdayakan Bakornas dan membuka pintu

    Serambi Mekkah kepada dunia internasional yang ingin membantu Aceh dan Nias.

    Siang–malam tanpa henti, s

    bergiliran anggota TNI, Polri

    relawan dalam dan luar neg

    serta anggota organisasi ma

    dan politik mengevakuasi je

     Alhamdulillah, daerah benc

    terbebas dari berjangkitnya

     penyakit. Foto: Ali Reza

  • 8/18/2019 Seri Buku BRR - Buku 0 - Tsunami

    58/118

    Apa pun usaha yang dilakukan tim penanggulangan bencana di hari–hari pertama

    sesudah bencana, karena minimnya informasi, tim itu hanya bisa menangani kawasanyang mungkin dicapai. Tenaga yang ada di masyarakat belum terkoordinasi. Juga, ketika

    bantuan dari Angkatan Bersenjata Australia dengan Hercules C–130–nya mendarat di

    Bandara Iskandar Muda, 28 Desember siang, tim penanggulangan bencana belum bisa

    memanfaatkannya dengan baik. Padahal pasukan ini berangkat dari Australia dengan

    informasi hampir nol. “Yang kami tahu, pengungsi dan korban meninggal sangat banyak

    dan akan terus bertambah dari jam ke jam di hari–hari pertama,” tulis Brigjen Dave

    Chalmers, Komandan Operation Sumatra Assist, nama satuan tugas yang dikirim ke Aceh

    ini. Chalmers menuliskan pengalamannya di majalah resmi militer Australia, Defence.

    Sebenarnya, pasukan Australia ini tidak sama sekali nol dalam pengalaman menangani

    bencana. Beberapa tahun sebelumnya, militer Australia ikut menolong korban tsunamidi Papua Nugini. Jadi, dari pengalaman di Papua Nugini tersebut, mereka mengantisipasi

    apa saja yang paling diperlukan dalam bencana seperti itu. Menurut Chalmers dalam

    tulisan itu, yang terpenting untuk menangani bencana adalah tim kesehatan yang

    menyediakan obat–obatan, termasuk air minum, dan tenaga medis untuk merawat

    korban yang luka–luka. Selain itu, diperlukan alat–alat berat untuk membongkar

    Gajah pun membantu

    membersihkan sampah tsunami;kerajaan Aceh di masa jayanya

     pernah memiliki pasukan gajah

     yang menggentarkan musuh.

    Foto: AFP/Philippe Desmazes

    44

      T  S  U  N  A  M  I  :  H  a  b  i  s  B  e  n  c  a  n  a  T  e  r  b  i  t  l  a  h

      T  e  r  a  n  g

  • 8/18/2019 Seri Buku BRR - Buku 0 - Tsunami

    59/118

    reruntuhan mencari korban yang meninggal atau masih hidup. (Itulah mengapa

    Panglima Angkatan Bersenjata Australia Jenderal Peter Cosgrove menawarkan bantuanobat–obatan dan tim medis kepada Panglima TNI Jenderal Endriartono Sutarto.) Karena

    belum jelas prioritas kerja penanggulangan bencana, pada hari pertama ini tim Operation

    Sumatra Assist langsung mengoperasikan alat penyaring air yang mereka bawa. Dan

    dengan cepat warga Banda Aceh antre panjang untuk mendapatkan air minum. Di

    kawasan yang terendam air laut, semua sumur tercemar.

    Empat hari kemudian, 30 Desember, Wapres Jusuf Kalla membentuk Tim Nasional

    Penanganan Bencana Aceh. Wapres mengetuai tim ini karena dia Ketua Bakornas. Ketua

    hariannya Menko Kesejahteraan Rakyat Alwi Shihab, sedangkan Budi Atmadi ditunjuk

    sebagai kepala staf operasi. Toh, setelah ada surat keputusan resmi pun, rapat tim setiap

    malam di pendapa gubernuran yang dijadikan pos komando itu masih seperti semula:

    belum bisa mengoordinasi semua tenaga yang ada dan belum mencakup seluruh daerah

    bencana. Di mata Mayjen Bambang Darmono, anggota staf ahli Panglima TNI yang

    bergabung dalam rapat tim tersebut sejak 28 Desember malam, koordinasi penanganan

    bencana masih kacau. Pendayagunaan tenaga yang ada belum efektif. Sebagai tentara

    yang terlatih dalam “standar prosedur operasi”, ia merasa lebih bisa menjalankan

    Tumpukan sampah setinggi

    dua lantai bangunan di JalanSisingamangaraja, Banda Ac

    Pada mulanya adalah kebing

    bagaimana harus memulai

     pembersihan sampah tsunam

    akhirnya kerja keras, gotong–

    di antara masyarakat Aceh,

    Indonesia, dan dunia memus

    sampah itu. Foto: Serambi

    Indonesia/Bedu Saini 

  • 8/18/2019 Seri Buku BRR - Buku 0 - Tsunami

    60/118

    Nasional Jumlah

    Relawan 5.645 orang  

    Tim Medis 124 tim

    Personel Paramedis 11.800 orang 

    Alat berat 493 unit

    Personel Militer 6.000 personel

    Internasional Jumlah

    Negara yang Terlibat 34 negara

    Personel 16.000 orang  

    Tim Medis 117 tim

    Kapal Induk 9 unit

    Rumah Sakit Apung 1 unit

    Kapal Perang 14 unit

    Pesawat 31 unit

    Helikopter 82 unit

    46

      T  S  U  N  A  M  I  :  H  a  b  i  s  B  e  n  c  a  n  a  T  e  r  b  i  t  l  a  h

      T  e  r  a  n  g

  • 8/18/2019 Seri Buku BRR - Buku 0 - Tsunami

    61/118

    Dua Belas Tata CaraPenanggulangan Bencana

    TIGA hari setelah bencana tsunami menyapu Aceh,

    Presiden Susilo Bambang Yudhoyono melalui Menteri

    Sosial Bachtiar Chamsyah mengeluarkan 12 arahan

    penanggulangan bencana.

    Laksanakan evakuasi secara intensif.1.

    Laksanakan pengelolaan pengungsi.2.

    Terus lakukan pencarian orang hilang dan3.

    pengumpulan jenazah.

    Buka jalur logistik serta lakukan resupply dan4.

    pendistribusian logistik yang diperlukan.

    Buka dan pulihkan jaringan komunikasi antardaerah5.

    atau kota.

    Lakukan pembersihan kota yang hancur, yang penuh6.

    puing dan lumpur.

    Lakukan pengelolaan bantuan, baik dari dalam7.

    maupun luar negeri, dengan sebaik–baiknya.

    Gunakan dana pemerintah untuk penanggulangan8.

    bencana, dan gunakan pula dengan tepat

    sumbangan dana, baik dari dalam maupun luarnegeri.

    Meskipun kegiatan di Aceh berkonsentrasi pada9.

    kegiatan pena