PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi,...

347
ABSOLUTE M£I}IA Perspektif, Konseptualisasi dan Konteks Yuridis ~ PEMERINTAHAN

Transcript of PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi,...

Page 1: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

ABSOLUTE M£I}IA

Perspektif, Konseptualisasi dan Konteks Yuridis

~

PEMERINTAHAN

Page 2: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

HUKUM PEMERINTAHAN DESA(PERSPEKTIF, KONSEPTUALISASI DAN KONTEKS YURIDIS)

Page 3: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi
Page 4: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

HUKUM PEMERINTAHAN DESA(PERSPEKTIF, KONSEPTUALISASI DAN KONTEKS YURIDIS)

Dr. Isharyanto, S.H., M.Hum.Dila Eka Juli Prasetya, S.H.

Page 5: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

HUKUM PEMERINTAHAN DESA(PERSPEKTIF, KONSEPTUALISASI DAN KONTEKS YURIDIS)

Cetakan I Agustus 2016x + 336 hlm,: 14,5x20,5 cmISBN: 978-602-1083-39-0

Penulis:Dr. Isharyanto, S.H., M.Hum.

Dila Eka Juli Prasetya, S.H.

Desain Sampul:Imam Syahirul Alim

Layout:Eko Taufik

Penerbit:CV. ABSOLUTE MEDIA

Krapyak Kulon RT 03 No. 100, Panggungharjo Sewon, BantulYogyakarta. Telp: 087839515741 / 082227208293

Email: [email protected]: www.penerbitabasolutemedia.com

Copyright@2016 Dr. IsharyantoHak cipta dilindungi oleh undang-undang No. 19 Tahun 2002 Tentang HakCipta Dilarang memperbanyak/menyebarkan dalam bentuk apapun tanpa

ijin tertulis dari Penulis dan Penerbit

Page 6: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

v

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami haturkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan Taufik, Rahmat, Hidayat, serta Inayahnya sehingga penulis dapat menyelesaikan buku yang diberi judul, Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis).

Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi para mahasiswa, akademisi, dan praktisi di bidang hukum pemerintahan desa untuk melakukan pengembangan kajian hukum dan sebagai pemandu penyelenggaraan pemerintahan desa yang ideal.

Dalam perjalannya, desa sebagai satuan pemerintahan terbawah sekaligus terdepan di Negara Republik Indonesia mengalami pasang-surut pengaturan dan perlakuan dari pemerintah. Mulai dari era penjajahan yang cenderung memperlakukan desa sesuai dengan kepentingan penjajah, era orde lama yang cenderung fluktuatif antara sentralistis dan pemberian otonomi, era orde baru yang cenderung sentralistis, orde reformasi pada masa berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang cenderung belum mengarusutamakan desa sebagai pusat pembangunan kemasyarakatan, pelaksanaan kemandirian pemerintahan, dan pertumbuhan ekonomi. Puncaknya adalah setelah disahkan Undang-Undang tentang Desa pada tanggal 18 Desember 2013 yang kemudian diundangkan pada

Page 7: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

vi HUKUM PEMERINTAHAN DESA

tanggal 15 Januari 2014 yang kemudian disebut sebagai Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, desa dibangun dengan konstruksi hybrid fungsi self governing community dengan local self goverment, diharapkan melalui formulasi ini desa menjadi lebih berkembang maju tanpa meninggalkan kepribadian sesuai dengan Nawa Cita yang dicanangkan pemerintah yaitu melakukan pembangunan dari pinggiran.

Tiada gading yang tak retak, tiada hal yang sempurna di dunia ini kecuali Tuhan Yang Maha Esa. Untuk penyempurnaan dan pengembangan buku ini penulis menanti saran dan masukan kepada semua pihak yang memiliki peminatan tentang hukum pemerintahan desa. Atas terbitnya buku ini penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang membantu terwujudnya karya ini.

Semoga buku ini dapat bermanfaat.

Penulis,

Dr. Isharyanto, S.H., M.Hum.Dila Eka Juli Prasetya, S.H.

Page 8: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

vii

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .......................................................... vDAFTAR ISI ....................................................................... vii

BAB I DESENTRALISASI DAN PEMERINTAHAN DAERAH........................................................... 1

A. DESENTRALISASI: Originalitas Konsep .......... 1B. Bentuk-Bentuk Hubungan Pusat dan Daerah .... 10C. Pemerintahan Daerah ......................................... 13

BAB II DESA DALAM BINGKAI TRADISI DAN KONSTITUSI ................................................... 41

A. Tradisi Kedaulatan Rakyat .................................. 41B. Konfigurasi Pemahaman ..................................... 48

BAB III DESA DAN STRUKTUR KENEGARAAN ....... 53

A. Optik Historik Konstitusional ............................ 53B. Tipologi Desa ..................................................... 58C. Otonomi dan Kewenangan Desa ........................ 67

BAB IV PENGATURAN DESA PADA MASA KOLONIAL 73

A. Masa Kolonial Hindia Belanda ........................... 73B. Pada Masa Pemerintahan Balatentara Jepang ...... 90

Page 9: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

viii HUKUM PEMERINTAHAN DESA

BAB V PENGATURAN DESA DALAM KURUN WAKTU PERTAMA BERLAKUNYA UNDANG- UNDANG DASAR 1945 (18 AGUSTUS 1945 – 27 DESEMBER 1949) ....................................... 93

A. Pembentukan Negara dan Undang-undang Dasar 1945 ................................................................... 93

B. Dinamika Legislasi ............................................. 97

BAB VI PENGATURAN DESA DALAM KURUN WAKTU KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA SERIKAT 1949 ........................... 111

A. Pembentukan Negara Republik Indonesia Serikat 111B. Sistem Pemerintahan Daerah dan Pengaturan Desa ................................................. 114

BAB VII PENGATURAN DESA PADA MASA BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG DASAR SEMENTARA 1950 ........................................... 117

A. Terbentuknya Kembali Negara Kesatuan Indonesia ............................................................ 117B. Sistem Pemerintahan Daerah .............................. 122C. Pengaturan Desa ................................................. 125

BAB VIII PENGATURAN DESA PADA KURUN WAKTU KEDUA BERLAKUNYA UNDANG- UNDANG DASAR 1945 ................................... 131

A. Dekrit Presiden 5 Juli 1959 ................................ 131B. Sistem Pemerintahan Daerah .............................. 136

Page 10: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

ixPerspektif, Konseptualisasi dan Konteks Yuridis

C. Pengaturan Desa ................................................. 141D. Konfigurasi Kenegaraan Orde Baru .................... 145

BAB IX PENGATURAN DESA PADA MASA REFORMASI (TAHUN 1999-2004) ................. 161

A. Sistem Pemerintahan Daerah .............................. 161B. Pengaturan Desa ................................................. 162

BAB X PENGATURAN DESA SETELAH PERUBAHAN UNDANG-UNDANG DASAR 1945 (TAHUN 2004-2013) ........................................ 187

A. Perubahan Undang-undang Dasar ...................... 187B. Sistem Pemerintahan Daerah .............................. 194C. Pengaturan Desa ................................................. 197

BAB XI PENGATURAN DESA PADA MASA BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2014 TENTANG DESA ................... 233

A. Pengaturan Desa ................................................. 233B. Peran Peraturan Desa dalam Menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN ............................ 282C. Dualisme Kementerian ....................................... 290D. Peranan Desa dalam Menunjang Welfare State .... 310

BAB XII PENUTUP ........................................................ 317

DAFTAR PUSTAKA ........................................................... 327BIOGRAFI PENULIS ........................................................ 335

Page 11: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi
Page 12: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

1

BAB I

DESENTRALISASI DAN PEMERINTAHAN DAERAH

A. DESENTRALISASI: ORIGINALITAS KONSEP

Desentralisasi sering dianggap sebagai bentuk konkrit dari mekanisme pemisahan kekuasaan negara. Sebagai suatu konsep, terutama di lingkungan negara berkembang, desentralisasi telah diperdebatkan sejak lama dan ditilik dari segi pertumbuhan pemahamannya, telah berkembang melalui 3 (tiga) gelombang. Ketiga gelombang pertumbuhan desentralisasi itu digambarkan oleh Syarief Hidayat sebagai berikut.1

Gelombang pertama, terjadi pada tahun 1950-an, di mana desentralisasi telah mendapatkan perhatian khusus dan telah diartikulasi sebagai konsep yang paling relevan untuk memperkuat dan memberdayakan pemerintahan daerah. Sementara itu, gelombang kedua desentralisasi, terutama di negara berkembang, terjadi pada dasawarsa 1970-an, penerimaan konsep desentralisasi lebih bervariatif, dan pemahamannya lebih ditujukan sebagai alat untuk pencapaian tujuan pembangunan nasional. Sedangkan gelombang desentralisasi yang ketiga, ditandai dengan perluasan

1Syarief Hidayat, “Desentralisasi di Indonesia: Tinjauan Literatur”, dalam Syarief Hidayat et.al., 2005, Otonomi Daerah dalam Perspektif Lokal, Jakarta, LIPI, hlm. 26-28.

Page 13: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

2 HUKUM PEMERINTAHAN DESA

kajian, di mana desentralisasi tidak lagi menjadi monopoli fokus ilmu politik dan administrasi negara saja, tetapi telah menarik perhatian disiplin yang lain. Dapat disebut di sini misalnya, ekonomi, hukum, sosiologi, dan antropologi.

Untuk keperluan studi ini, maka saya tidak akan menguraikan satu persatu bagaimana di siplin ilmu pengetahuan itu memahami desentralisasi, akan tetapi lebih difokuskan satu hal saja yaitu desentralisasi dari perspektif pemerintahan dan administratif.

Menurut Mawhood, desentralisasi merupakan devolution of power from central to local government.2 Dalam perspektif yang lebih luas, Rondinelli dan Cheema merumuskan desentralisasi sebagai the transfer of planing, decision making, or administrative authority from central goverment to its field organisations, local administrative units, semi autonomous and parastatal organisations, local government, or non-government organisations.3 Dalam uraian selanjutnya, Rondinelli dan Cheema merumuskan adanya 4 (empat) bentuk desentralisasi.4

Pertama, deconcentration, yaitu distribusi wewenang administrasi dalam pemerintahan. Kedua, delegation to semi autonomous or parastatal organisations, yaitu pendelegasian otoritas manajemen dan pengambilan keputusan atas fungsi-fungsi tertentu yang sangat spesifik, kepada organisasi-organisasi yang secara langsung tidak di bawah kontrol pemerintah. Ketiga, devolution, yaitu penyerahan fungsi dan otoritas (the transfer of function and authorities) dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah.

2Mawhood P. (Editor), 1987, Local Government in the Third World:The Experience of Tropical Africa, Chicheser, John Wiley & Son.

3Rondineeli dan Cheema, 1983, Decentralisation and Development: Policy Implementation of Developing Countries, hlm. 18.

4Ibid., hlm. 18-25.

Page 14: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

3Perspektif, Konseptualisasi dan Konteks Yuridis

Sedangkan bentuk keempat, adalah swastanisasi, yaitu penyerahan beberapa otoritas dalam perencanaan dan tanggung jawab administrasi tertentu kepada organisasi swasta.

Saya berpendapat bahwa makna desentralisasi beserta bentuk-bentuknya sebagaimana dikemukakan oleh Rondinelli dan Cheema di atas cukup komprehensif dan luas. Sifat komprehensif dan luas nampak dari konseptualisasi desentralisasi yang disorot dalam aspek teknik, spasial, dan administratif, sebagai elemen utama. Selanjutnya, makna desentralisasi juga mencakup pendelegasian wewenang tidak hanya mengenai teknis pemerintahan tetapi juga mencakup organisasi semi pemerintah, bahkan di dalam sektor swasta.

Namun demikian saya menganggap cakupan desentralisasi seperti dikemukakan oleh Rondinelli dan Cheema di atas tidak menggambarkan secara penuh persoalan hubungan antara pemerintah pusat dan daerah. Saya setuju dengan Slater, ketika mengatakan bahwa aspek penting yang dilupakan oleh definisi kedua pakar tersebut adalah mengabaikan the transfer of power from central to peripheral state.5 Lugasnya, definisi itu mengabaikan the territorial dimension of state power, seperti dipaparkan oleh Conyers.

Di samping itu, mengutip pendapat Henry Maddick, antara desentralisasi dengan dekonsentrasi dapat dibedakan.6 Desentralisasi dipandang sebagai “pengalihan kekuasaan secara hukum untuk melaksanakan fungsi yang spesifik maupun risudal yang menjadi kewenangan peemrintah daerah”, sedangkan dekonsentrasi merupakan the delegation of authority adequate for

5Slater, 1990, “Debating of Decentralisation: A Reply to Rondinelli, Development and Change, Vol. 21., hlm. 504.

6Henry Maddick, 1996, Democracy: Decentralization and Development, London, Asia House Publishing, hlm. 23.

Page 15: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

4 HUKUM PEMERINTAHAN DESA

the discharge of specified functions to staff of a central department who are situated outside the headquaters.

Mengenai perbedaan desentralisasi dan dekonsentrasi ini, dengan mengutip pendapat Parson, Syarif Hidayat dan Bhenyamin Hoessen7 menyatakan bahwa dari aspek politik desentralisasi merupakan sharing of the govermental power by a central rulling group with other groups each having authority within a specefic area of the state. Sementara dekonsentrasi merupakan the sharing of power between members of the same rulling group having authority respectively in different areas of the state.

Seperti paparan di awal paragraf bahwa desentralisasi merupakan bentuk nyata dari pelaksanaan prinsip pemisahan kekuasaan dalam suatu organisasi negara. Dalam literatur klasik, kecenderungan desentralisasi dapat dikaitkan dengan bentuk negara, yang secara normatif merupakan ajaran baku dalam ilmu negara. Menurut Miriam Budiardjo8 (2008), pemisahan itu dilaksanakan secara horisontal dan vertikal. Pemisahan kekuasaan secara horisontal kekuasaan dibagi menurut fungsinya yaitu legislatif, eksekutif, dan yudisial. Sementara itu, pemisahan kekuasaan secara vertikal tercermin dalam pembagian kekuasaan berdasarkan tingkat atau hubungan antartingkatan pemerintahan. Dalam konteks pemisahan kekuasaan secara vertikal itulah maka perbincangan mengenai bentuk negara menemukan relevansinya.

Literatur hukum tata negara pada umumnya menunjuk bahwa bentuk negara meliputi 3 (tiga) macam bentuk, yaitu negara kesatuan, negara federal, dan negara konfederasi. Uraian

7Syarif Hidayat dan Bhenyamin Hossen, 2001, Paradigma Baru Otonomi Daerah, Jakarta, Penerbit P2P-LIPI, hlm. 23-25.

8Miriam Budiardjo, 2008, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Edisi Revisi, Jakarta, Penerbit Gramedia Pustaka Utama.

Page 16: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

5Perspektif, Konseptualisasi dan Konteks Yuridis

selanjutnya berfokus kepada bentuk negara kesatuan supaya relevan dengan isu hukum yang telah ditetapkan dalam rumusan masalah di atas. Di samping itu, telah menjadi kenyataan konstitusional bahwa Indonesia ialah negara kesatuan berbentuk republik (Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945).

Menurut Ni’matul Huda, di dalam negara kesatuan pemerintah pusat menjalankan kedaulatan tertinggi negara meskipun untuk mencegah kesewenang-wenangan, aktivitas pemerintah diawasi dan dibatasi oleh undang-undang.9 Konsekuensi logis dari posisinya sebagai penyelenggara kedaulatan negara, maka unit-unit pemerintahan yang dibentuk dan berada di bawah pemerintah pusat harus tunduk kepada pemerintah pusat. Tanpa disertai dengan ketundukan dan kepatuhan secara organisasional menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku, akan terjadi tumpang tindih dan tabrakan dalam pelaksanaan kewenangan (prinsip unity of command).

Menurut Wajong, sebagaimana dikutip oleh Ni’matul Huda, dalam negara kesatuan, bagian-bagian negara ini disebut dengan daerah, sedangkan istilah daerah ini merupakan teknis bagi penyebutan suatu bagian teritorial yang berpemerintahan sendiri dalam rangka negara kesatuan dimaksud.10 Negara kesatuan sering dibedakan ke dalam 2 (dua) bentuk yaitu negara kesatuan dengan sistem sentralisasi dan negara kesatuan dengan sistem desentralisasi. Ciri khas sistem sentralisasi adalah pemerintah pusat senantiasa mendominasi pelaksanaan urusan pemerintahan dengan mengesampingkan peran dan hak pemerintah daerah untuk ikut terlibat langsung dan mandiri dalam rangka mengelola serta

9Ni’matul Huda, 2009, Hukum Pemerintahan Daerah, Jogjakarta, Penerbit UII Press, hlm. 27.

10Ibid., hlm. 29.

Page 17: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

6 HUKUM PEMERINTAHAN DESA

memperjuangkan kepentingan daerahnya. Sementara itu, dalam sistem desentralisasi, kepada daerah-daerah diberikan kekuasaan untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri, yang disebut dengan daerah otonom.11

Menurut Irawan Soejito, desentralisasi ada 3 (tiga) macam jenis, yaitu desentralisasi teritorial, desentralisasi fungsional termasuk desentralisasi menruut dinas/kepentingan, dan desentralisasi administratif atau lazim dikenal sebagai dekonsentrasi.12 Desentralisasi teritorial adalah adalah desentralisasi kewenangan yang dilakukan oleh pemerintah kepada suatu badan umum (openbaar lichaam) seperti persekutuan yang berpemerintahan sendiri. Desentralisasi fungsional adalah pemberian kewenangan dari fungsi pemerintahan negara atau daerah untuk diselenggarakan atau dialankan oleh suatu organ atau badan ahli yang khusus dibentuk untuk itu. Sementara, dekonsentrasi adalah pelimpahan sebagian kewenangan pemerintah pusat kepada alat perlengkapan atau organnya sendiri di daerah.

Kualifikasi yang lebih tegas diberikan oleh RDH. Koesoemahatmadja, yang membagi desentralisasi ke dalam 2 (dua) kelompok pengertian yaitu dekonsentrasi (deconcentratie) atau ambtelijke decentralisatie dan desentralisasi ketatanegaraan (staatkundige dencentralitatie).13 Dekonsentrasi adalah pelimpahan kekuasaan dari alat perlengkapan negara tingkatan lebih atas kepada bawahannya guna melancarkan pekerjaan di dalam melaksanakan tugas pemerintahan, misalnya pelimpahan kekuasaan

11Abdurrahman (Editor), 1987, Beberapa Pemikiran Tentang Otonomi Daerah, hlm. 56.12Irawan Soejito, 1990, Hubungan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, Jakarta,

Penerbit Rineka Cipta, hlm. 29.13RDH. Koesoemahatmadja, 1979, Pengantar Ke Arah Sistem Pemerintahan Daerah

di Indonesia, Bandung, Penerbit Bina Cipta, hlm. 14-15.

Page 18: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

7Perspektif, Konseptualisasi dan Konteks Yuridis

dan wewenang menteri kepada gubernur. Sedangkan desentralisasi ketatanegaraan atau desentralisasi politik adalah pelimpahan kekuasaan perundangan dan pemerintahan (regelende en besturende bevoegheid) kepada daerah-daerah otonom di dalam lingkungannya.

Diuraiakan lebih lanjut bahwa desentralisasi ketatanegaraan atau desentralisasi politik tadi dapat dipilah menjadi 2 (dua) macam, yaitu desentralisasi teritorial (territoriale decentralisatie) dan desentralisasi fungsional (functionale decentralisatie). Desentralisasi teritorial merupakan pelimpahan kekuasaan untuk mengatur dan mengurus rumah tangga daerah masing-masing (otonomi), sementara desentralisasi fungsional adalah pelimpahan kekuasaan untuk mengatur dan mengurus sesuatu atau beberapa kepentingan tertentu. Di dalam desentralisasi semacam ini dikehendaki agar kepentingan-kepentingan tertentu tadi diselenggarakan oleh golongan-golongan yang bersangkutan sendiri.

Dari berbagai teorisasi desentralisasi di atas, satu pertanyaan tidak selalu terjawab di dalamnya yaitu dari manakah pelimpahan kekuasaan itu berasal? Atau siapakah pemegang original power dalam rangka desentralisasi tersebut?

Dalam konteks negara federal, tentu hal itu dapat ditinjau dalam pemahaman yang lebih mudah, sebab asal-usul negara federal semenjak awal melekatkan pemegang kekuasaan asli itu adalah pada negara bagian, sebagai satuan teritorial berbanding dengan pemerintah federal sebagai pemerintah pusat. Dalam konteks ini, segala urusan pemerintahan sebenarnya merupakan wewenang pemerintah negara bagian, kecuali yang dalam konstitusi federal (sebagai sebuah “kontrak sosial) diserahkan untuk diurus pemerintah federal. Walaupun dalam tataran praktis, definisi ini terlalu romantis, sebab dalam negara federal tak terhindarkan adanya semacam sentralisasi ke arah kekuasaan federal antara lain melalui

Page 19: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

8 HUKUM PEMERINTAHAN DESA

penafsiran konstitusi. Menurut Bagir Manan, kecenderungan sentralisasi itu terjadi bukan karena penyelenggaraan keamanan dan ketertiban, melainkan akibat perkembangan fungsi pemerintahan di bidang kesejahteraan umum, perlindungan hak-hak warganegara, khususnya hak asasi, serta kewenangan mengadili, dan sebagainya.14 Sebagai contoh adalah kecenderungan federasi di Amerika Serikat, yang nampaknya akan menjadi ciri suatu periode pemerintahan dari masa ke masa.

Sementara dalam konteks negara kesatuan, hubungan pemerintah pusat dengan pemerintah daerah (sebagai bagian atau satuan teritorial negara yang “lebih kecil”) di bidang otonomi bersifat administrasi negara. Jadi, kekuasaan asli (original power) melekat kepada negara, yang dalam hal ini diwakili oleh pemerintah pusat. Oleh sebab itu, pemahaman desentralisasi dalam konteks negara kesatuan harus dipahami sebagai penyerahan kekuasaan oleh negara, dalam hal ini pemerintah pusat, untuk menjadi urusan rumah tangga daerah suatu urusan pemerintahan kepada daerah. Dalam negara kesatuan, pemerintah pusatlah yang membentuk cara-cara penentuan urusan rumah tangga satuan otonomi, yang akan menentukan juga sifat (luas atau terbatas) atas suatu otonomi. Memang, dalam konteks negara kesatuan, persoalan hubungan dengan satuan otonomi “yang lebih rendah” tidak saja mencakup praktik penentuan urusan otonomi, tetapi juga menyangkut perosalan hubungan keuangan, hubungan pengawasan, dan cara menyusun serta menyelenggarakan organisasi pemerintahan di daerah.

Karena desentralisasi dipahami dalam konteks politik pemerintahan terkait dengan the territorial dimension of state

14Bagir Manan, 2001, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, Jogjakarta, Penerbit UII Press, hlm. 34.

Page 20: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

9Perspektif, Konseptualisasi dan Konteks Yuridis

power, maka arah pembicaraan berkaitan dengan mekansime hubungan pemerintah pusat dengan pemerintahan daerah. Dalam hal ini, pemahaman satuan-satuan teritorial dalam suatu negara menjadi penting untuk dilihat lebih lanjut. Pada dimensi ini, penyelenggaraan negara diwujudkan ke dalam satuan-satuan teritorial yang lebih kecil diwujudkan dalam bentuk dekonsentrasi teritorial, satuan otonomi teritorial, atau federal.

Secara umum, B.C. Smith menunjuk adanya 2 (dua) tujuan desentralisasi, yaitu tujuan politik dan tujuan ekonomi.15 Secara politik tujuan desentralisasi adalah untuk memperkuat pemerintahan daerah, meningkatkan keterampilan dan kemampuan politik para penyelenggara pemerintah dan masyarakat, dan untuk mempertahankan integrasi nasional. Sedangkan secara ekonomi, desentralisasi bertujuan untuk meningkatkan kemampuan pemerintah daerah dalam menyediakan public and good services, serta untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas pembangunan di daerah. Lebih jauh, J. Ruland menegaskan bahwa decentralisation as a corrolary local autonomy, is seen as a positive contribution to increase people participation, which would eventually lead to socio-economic development.16

Penyelenggaraan fungsi pemerintahan yang lebih luas oleh pemerintah daerah tersebut perlu didukung oleh sumber pembiayaan yang memadai. Disadari bahwa sumber-sumber penerimaan antar satu daerah dengan daerah lainnya sangat beragam. Ada beberapa daerah dengan sumber daya yang dimiliki mampu menyelenggarakan otonomi daerah, namun tidak

15B.C. Smith, 1985, Decentralization: The Territorial Dimension of the State, London, Asia Publishing House.

16J. Rulland, 1993, Urban Development in Southeast Asia: Regional Cities and Local Government, Bouldier, Westview Press, hlm. 3.

Page 21: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

10 HUKUM PEMERINTAHAN DESA

tertutup kemungkinan ada beberapa daerah akan menghadapi kesulitan dalam menyelenggarakan tugas desentralisasi, mengingat keterbatasan sumber daya yang dimiliki.

B. Bentuk-Bentuk Hubungan Pusat dan Daerah

Menurut Bagir Manan, dari bentuk-bentuk pemencaran kekuasaan dijumpai 3 (tiga) bentuk hubungan pemerintah pusat dan pemerintah daerah.17 Pertama, hubungan pemerintah pusat dan pemerintah daerah menurut dasar dekonsentrasi teritorial. Kedua, hubungan pemerintah pusat dan pemerintah daerah menurut dasar otonomi teritorial. Ketiga, hubungan pemerintah pusat dan pemerintah daerah menurut dasar federal.

Dalam pandangan Bagir Manan, terutama untuk bentuk hubungan pemerintah pusat dan pemerintah daerah menurut dasar otonomi teritorial dengan hubungan pemerintah pusat dan pemerintah daerah menurut dasar federal dijumpai persamaan maupun perbedaan.18 Persamaannya adalah baik dekonsentrasi maupun otonomi, sama-sama hanya menyelenggarakan pemerintahan di bidang administrasi negara. Keduanya sama-sama bersifat administratiefrechtelijk, bukan staatsrechtelijk.

Sementara itu perbedaannya, dasar hubungan pemerintah pusat dan pemerintah daerah menurut dasar dekonsentrasi teritoral, bukan merupakan hubungan antara dua subyek hukum (publiek rechtspresoon) yang masing-masing mandiri. Satuan pemerintahan dekonsentrasi merupakan kesatuan wewenang dengan departemen atau kementerian yang bersangkutan. Sifat wewenang satuan

17Ibid, hlm. 32.18Ibid., hlm. 33.

Page 22: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

11Perspektif, Konseptualisasi dan Konteks Yuridis

pemerintahan teritorial dekonsentrasi adalah delegasi atau mandat, dan tidak ada wewenang yang berdasarkan atribusi.

Dikaitkan dengan bentuk negara, Bagir Manan menyebutkan bahwa otonomi teritorial merupakan konsep dalam negara kesatuan.19 Diuraikan lebih lanjut bahwa:

Satuan otonomi teritorial merupakan suatu satuan mandiri dalam lingkungan negara kesatuan yang berhak melakukan tindakan hukum sebagai subyek hukum untuk mengatur dan mengurus fungsi pemerintahan (administrasi negara) yang menjadi urusan rumah tangganya. Jadi [memiliki] kesamaan dengan hubungan pemerintah pusat dan pemerintah daerah menurut dasar federal, yaitu hubungan antara dua subyek hukum yang masing-masing berdiri sendiri. Perbedaannya, dalam otonomi teritorial, pada dasarnya seluruh fungsi kenegaraan dan pemerintahana da dalam lingkungan pemerintahan pusat yang kemudian dipencarkan kepada satuan-satuan otonomi.20

Selanjutnya, Bagir Manan menguraikan bahwa ada 4 (empat) cara untuk melakukan pemencaraan kepada satuan-satuan otonomi tersebut.21 Pertama, undang-undang menetapkan secara tegas berbagai fungsi pemerintahan (administrasi negara) sebagai urusan rumah tangga daerah. Cara-cara ini mirip dengan cara-cara dalam sistem sistem federal yang merinci kekuasaan negara bagian. Kedua, pemerintah pusat dari waktu ke waktu menyerahkan berbagai urusan baru kepada satuan otonomi. Ketiga, pemerintah pusat mengakui urusan-urusan pemerintahan tertentu yang “diciptakan” atau yang kemudian diatur dan diurus satuan otonomi, baik karena

19Ibid., hlm. 34.20Ibid., hlm. 33-34.21Ibid., hlm. 34.

Page 23: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

12 HUKUM PEMERINTAHAN DESA

tidak diatur dan tidak diurus oleh pemerintah pusat maupun atas dasar semacam concurrent power. Keempat, membiarkan suatu urusan yang secara tradisional atau sejak semula dikenali sebagai fungsi pemerintahan yang diatur dan diurus satuan otonomi.

Seperti diuraikan dalam paparan di atas, pemerintah pusat yang membentuk cara-cara penentuan suatu otonomi. Cara penentuan ini akan mencerminkan suatu bentuk otonomi terbatas atau otonomi luas. Menurut Bagir Manan, sekurang-kurangnya ada 3 (tiga) hal untuk untuk menggolongkan penentuan suatu otonomi digolongkan sebagai “otonomi terbatas.”22 Pertama, urusan-urusan rumah tangga daerah ditentukan secara kategoris dan pengembannya diatur dengan cara tertentu pula. Kedua, apabila sistem supervisi dan pengawasan dilakukan sedemikian rupa, sehingga daerah otonom kehilangan kemandirian untuk menentukan secara bebas cara-cara mengatur dan mengurus rumah tangga daerahnya. Ketiga, sistem hubungan keuangan pemerintah pusat dan pemerintah daerah yang menimbulkan hal-hal seperti keterbatasan kemampuan keuangan asli daerah, yang akan membawa membatasi ruang gerak otonomi daerah.

Sementara, “otonomi luas” biasa bertolak dari prinsip “semua urusan pemerintahan pada dasarnya menjadi urusan rumah tangga daerah, kecuali yang ditentukan sebagai urusan pemerintah pusat.” Bagir Manan menyebut mekanisme demikian sebagai “titik temu persamaan antara sistem negara kesatuan berotonomi dengan sistem negara federal.”23 Seperti hasil studi yang dilakukan oleh Eddy Toet Hendratno, bahwa dalam negara kesatuan sekalipun amat memungkinkan untuk dilaksanakan kebijakan desentralisasi

22Ibid., hlm. 37.23Ibid., hlm. 38.

Page 24: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

13Perspektif, Konseptualisasi dan Konteks Yuridis

yang mengarah kepada sistem federal.24 Demikianlah, derajat desentralisasi dalam negara kesatuan akan menentukan corak atau sifat otonomi yang diselenggarakan oleh daerah. Pada titik inilah terdapat hubungan antara desentralisasi dengan otonomi.

Dengan tertib berpikir demikian, desentralisasi pada akhirnya bukan saja pemencaran wewenang (spreiding van bevoegheid), tetapi mengandung juga pembagian kekuasaan (scheiding van machten) untuk mengatur dan mengurus penyelenggaraan pemerintahan negara, antara pemerintah pusat dengan satuan-satuan pemerintahan tingkatan lebih rendah. Hal ini disebabkan desentralisasi senantiasa berkaitan dengan status mandiri atau otonom, sehingga setiap pembicaraan desentralisasi akan selalu dipersamakan atau dengan sendirinya membicarakan otonomi. Di Indonesia, salah satu prinsip terpenting dalam pemencaran kekuasaan setelah reformasi konstitusi adalah bahwa pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan, seperti diatur di dalam Pasal 18 ayat (6) UUD 1945. Hak pemerintahan daerah untuk menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain tersebut mempunyai korelasi erat dengan eksistensi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan fungsi legislasi yang diembannya.

C. PEMERINTAHAN DAERAH

1. Makna Pemerintahan Daerah

Sepadan dengan percakapan pemerintahan daerah, dalam literatur sering dijumpai juga istilah local government. Sebagai sebuah konsep Barat, maka ada baiknya terlebih dahulu dituntun

24Eddy Toet Hendratno, 2009,

Page 25: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

14 HUKUM PEMERINTAHAN DESA

agar pemahaman juga dalam kerangka pemikiran Barat. Menurut Bhenyamin Hossein, local government mengandung 3 (tiga) pengertian.25 Pertama, local government dalam arti “lembaga atau organ.” Kedua, local government dalam arti “organ maupun fungsi.” Ketiga, sebagai “daerah otonom.”

Dalam pengertian pertama, yaitu local government sebagai “lembaga” atau “organ”, maksudnya adalah organ pemerintah di tingkat daerah atau wadah yang menyelenggarakan kegiatan pemerintahan di daerah. Pengertian ini sering dipertukarkan dengan makna local authority. Baik local government maupun local authority keduanya menunjuk kepada council dan major, dewan dan kepala daerah, yang rekrutmen pejabatnya atas dasar pemilihan.

Pada pengertian yang kedua, yaitu local government dalam arti “organ” maupun “fungsi”, tidak sama dengan konteks di tingkat pusat, yang mencakup lembaga eksekutif, legislatif, dan yudisial. Pada local government hampir tidak ada percakapan mengenai lembaga yudisial. Hal ini karena materi pelimpahan wewenang kepada pemerintah daerah hanyalah mencakup kewenangan pemerintahan. Jika di daerah terdapat organ-organ yudisial, seperti pengadilan negeri/kejaksaan negeri, misalnya, tidaklah merupakan bagian dari organ daerah, karena tetap merupakan badan yang independen dan otonom.

Istilah “eksekutif” dan “legislatif ” juga tidak lazim diberikan untuk konteks local government karena secara umum istilah yang kerap dipakai adalah fungsi pembentukan kebijakan (policy making function) dan fungsi pelaksanaan kebijakan (policy executing function). Fungsi pembentukan kebijakan dilaksanakan oleh pejabat yang dipilih melalui pemilihan umum, sedangkan fungsi

25Bhenyamin Hossein, 2001, “Transparansi Pemerintahan”, Jurnal Inovasi, November, hlm. 3.

Page 26: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

15Perspektif, Konseptualisasi dan Konteks Yuridis

pelaksanaan kebijakan dilakukan oleh pejabat yang diangkat atau birokrat lokal.

Local government dalam pengertian yang ketiga, yaitu sebagai “daerah otonom”, dimaksudkan sebagai subdivisi politik nasional yang diatur oleh hukum dan secara substansial mempunyai kontrol terhadap urusan-urusan lokal, termasuk dalam pemungutan pajak atau memecat pegawai dengan tujuan tertentu. Dalam pengertian ini local government memiliki otonomi dalam arti self government, yaitu mempunyai kewenangan mengatur (rules making, regelling), dan mengurus (rules aplication, bestuur) kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri. Bagaimanakah batas kepentingan masyarakat setempat yang dapat diatur dan diurus menurut prakarsa sendiri? Hal itu akan tergantung kepada substansi otonomi daerah yang dianut, yang pembahasan mengenai hal itu akan menyusul pada uraian-uraian berikutnya dalambagian ini.

Jika dicermati, ketentuan dalam UUD 1945, semenjak awal para pendiri negara sudah meletakkan instrumen manajemen pengelolaan negara, khususnya menyangkut hubungan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Instrument itu menyangkut positivisasi desentralisasi baik yang menyangkut basis territorial maupun fungsional. Kita melihat hal desentralisasi teritorial antara lain dalam Penjelasan UUD 1945 (pra-amandemen), sebuah academic guidelines karya Prof. Soepomo, yang antara lain mengatakan:

Daerah Indonesia akan dibagi dalam daerah propinsi dan daerah propinsi akan dibagi pula dalam daerah yang lebih kecil. Di daerah-daerah yang bersifat otonom (streek dan locale

Page 27: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

16 HUKUM PEMERINTAHAN DESA

rechtsgemeenschappen) atau bersifat daerah administrative belaka, semuanya menurut aturan yang akan ditetapkan dengan undang-undang.26

Adanya ketentuan mengenai daerah otonom dan daerah administratif, menunjukkan original intent dari UUD 1945 untuk mengakui adanya semangat otonomi, semangat untuk kemandirian dan kebebasan mengatur dan mengurus diri sendiri. Konstitusi semenjak awal, kata I Gde Pantja Astawa, juga memahami perlu pengakuan pemerintahan sendiri (self government, zelfstandingheid), yang menunjukkan keterikatan hubungan dengan satuan pemerintahan lain yang lebih besar atau yang mempunyai wewenang menentukan isi dan batas-batas wewenang satuan pemerintahan sendiri yang tingkatannya lebih rendah atau yang menjalankan fungsi khusus tertentu.27 Namun demikian, otonomi itu tetap merupakan subsistem dari negara kesatuan (decentralized unitary state), seperti halnya Negara Kesatuan Republik Indonesia.28 Menurut Bagir Manan, pilihan untuk menggunakan otonomi bagi penyelenggaraan pemerintahan daerah bukan sekedar pertimbangan praktis, tetapi ditentukan pula oleh pertimbangan politik, pertimbangan pengalaman, pertimbangan kesejarahan, dan lain sebagainya.29

26Setelah 4 kali Perubahan Undang-Undang Dasar 1945, susunan konstitusi dewasa ini meliputi Pembukaan dan Pasal-Pasal, sedangkan Penjelasan, yang kontroversial karena dianggap tidak lazim dihapus dan materi di dalamnya menjadi ketentuan Pasal-Pasal.

27I Gde Pantja Astawa, 2009, Problematika Hukum Otonomi Daerah di Indonesia, Bandung: Alumni, hlm. 52.

28Ibid., hlm. 53. Lihat juga: Solly Lubis, 1983, Perkembangan Garis Politik dan Perundang-undangan Pemerintahan Daerah, Bandung: Alumni, hlm. 16.

29Bagir Manan, “Dasar dan Dimensi Politik Otonomi dan UU No. 22 Tahun 1999”, makalah, Bandung, 1999, hlm. 2.

Page 28: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

17Perspektif, Konseptualisasi dan Konteks Yuridis

Pengalaman selama Orde Baru menunjukkan bahwa corak penyuelenggaraan pemerintahan daerah yang bercirikan berbagai sosok bias pusat dalam distribusi sumber daya politik dan ekonomi yang terjadi selama 32 tahun terakhir ini (1966-1997) adalah produk dari sebuah rejim, yaitu sebuah sistem politik yang otoritarian yang membangun legitimasi politiknya melalui sentralisasi sentralisasi sumber daya politik dan ekonomi secara nasional. Suasana integratif itu sendiri lebih merupakan gejala permukaan yang berhasil diciptakan melalui gabungan pendekatan atas elit daerah melalui ganjaran kekuasaan di satu pihak dan politik sentralisasi, represi, dan penyeragaman, aspirasi lokal melalui berbagai instrumen kebijakan yang memungkinkan untuk itu, di lain pihak. Dengan strategi tersebut di atas, sampai dengan 1997 pengaturan politik lokal di era Orde Baru bisa dianggap sebagai prestasi luar biasa dalam membenahi permasalahan nasional yang diwariskan oleh Orde Lama. Orde Baru telah mampu meredam berbagai gejolak politik separatis di tingkat lokal yang pernah terjadi di era Orde Lama. Orde Baru telah berhasil membangun simbol-simbol ke-nasionalan, dan negarapun secara meluas hadir di semua lokalitas.

Pilihan kebijakan itu dilatarbelakangi oleh 3 (tiga) pertimbangan. Pertama, adanya kekhawatiran terhadap persatuan dan munculnya kekuatan-kekuatan yang memecah persatuan. Kedua, sentralisasi diperlukan dalam kerangka memelihara keseimbangan politik dan keamanan dalam pembagian sumber daya, khususnya antara Jawa yang dihuni oleh sebagai besar rakyat Indonesia, dan luar Jawa yang memiliki sebagian besar sumber daya ekonomi. Ketiga, pemahaman politik sebelum tahun 1965,

Page 29: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

18 HUKUM PEMERINTAHAN DESA

sehingga pemerintah tetap ingin memegang kendali yang kuat atas kebijakan pembangunan ekonomi.30

Namun, sinyal-sinyal kegagalan (kesemuan keberhasilan) pengaturan politik lokal ini semakin mencolok ke permukaan tatkala beberapa masyarakat daerah, terutama Irian Jaya dan Aceh, menuntut perubahan mendasar dalam pengaturan politik lokal dan dalam hubungan pusat-daerah. Bahkan, salah satu bentuk tuntutan itu adalah tuntutan separatis untuk membentuk negara sendiri, bukan sekedar menuntut perubahan ke bentuk negara federal.

Menurut Pratikno, permasalahannya bukan semata-mata terletak pada bentuk negara.31 Dalam negara federal sekalipun, sentralisasi politik yang dijalankan oleh Orde Baru bisa saja tetap berlangsung. Dalam konteks komparatif, hal ini bisa dilihat dari negara-negara seperti Uni Soviet, yang walaupun menganut federalisme, namun menerapkan sistem pemerintahan yang sentralistis sejalan dengan sistem politik otoritarian yang dijalankannya. Oleh karena itu, issu yang lebih mendasar adalah bagaimana membangun sistem politik yang lebih akomodatif terhadap tuntutan daerah dan mampu mengkondisikan bahwa menjadi bagian wilayah Republik Indonesia adalah sebuah keberuntungan dan bukan kebuntungan.

Atas dasar pemikiran tersebut Pratikno mengajukan argumentasi bahwa hubungan pusat-daerah pada era Indonesia

30Diskusi lebih lanjut, lihat dalam Kanneth Dacey, “Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah di Indonesia”, dalam Niekh Dvas, et.al., 1989, Keuangan Pemerintah Daerah di Indonesia, Jakarta, Penerbit UI Press.

31Pratikno, “Hubungan Pusat-Daerah Gelombang Ketiga: Sosok Otonomi Dearah di Indonesia Pasca Soeharto”, dalam www.pratikno.staff.ugm.ac.id, diakses di Sukoharjo pada tanggal 14 April 2010, pukul 2.06 WIB., hlm. 14.

Page 30: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

19Perspektif, Konseptualisasi dan Konteks Yuridis

Baru pasca-kepresidenan-Soeharto perlu didukung oleh sistem politik yang mempunyai karakter dasar sebagai berikut:32

Pertama, sistem politik nasional harus dibangun berdasarkan mekanisme demokrasi di atas pilar-pilar politik lokal yang kuat. Artinya, representasi politik tingkat nasional (terutama anggota DPR dan MPR) perlu mencerminkan perwakilan wilayah yang dipilih secara demokratis oleh rakyat daerah. Topangan politik lokal dalam politik nasional ini antara lain bisa dibangun melalui pemilu dengan sistem distrik. Hal ini dimaksudkan untuk menjamin agar proses pembuatan keputusan di tingkat nasional melibatkan perwakilan dan kepentingan daerah, termasuk dalam kebijakan mengenai alokasi sumber daya ekonomi.

Kedua, demokrasi di tingkat lokal menjadi suatu keharusan agar desentralisasi tidak membawa implikasi pada otoritarianisme di tingkat lokal. Pengembangan demokrasi lokal ini sekaligus untuk memindahkan orientasi politisi lokal dari ketaatan terhadap elit politik nasional kepada ketaatan kepada masyarakat daerah.

Ketiga, diperlukan pemisahan antara supra-struktur politik di tingkat nasional dengan yang di tingkat daerah. Yang perlu segera dilakukan adalah pemisahan antara kepemimpinan desentralisasi dan dekonsentrasi, dan ketegasan perbedaan antara konstituensi politik nasional dengan konstituensi politik lokal. Jabatan kepala daerah otonom dan kepala wilayah administratif perlu dipegang oleh orang yang berbeda, atau yang dikenal dengan Unintegrated Prefectoral System (Wallis 1989: 122-141). Oleh karena itu rekrutmen dan pertanggung-jawaban kepala daerah otonom harus selesai di tingkat daerah.

32Ibid., hlm. 15-16.

Page 31: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

20 HUKUM PEMERINTAHAN DESA

Keempat, diperlukan suatu mekanisme politik di luar parlemen nasional yang menjamin akses politik para daerah otonom untuk melakukan bargaining (paling tidak ‘tekanan politik’) kepada pemerintah pusat dalam pembuatan kebijakan yang mempengaruhi kepentingan daerah otonom. Mekanisme ini bisa dijalankan oleh kelompok kepentingan, kelompok penekan dan Lembaga Swadaya Masyarakat yang berbasis di tingkat daerah, atau juga dilakukan oleh Asosiasi Daerah-daerah Otonom yang berusaha untuk mempengaruhi proses pembuatan kebijakan pusat yang mempengaruhi kepentingan daerah.

Setelah reformasi konstitusi dalam 4 (empat) tahap pengambilan keputusan (1999-2002), anutan desentralisasi itu makin memperoleh kekuatan yuridis konstitusional. Didahului dengan ketentuan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, Negara Indonesia adalah negara hokum. Positivisasi “negara hokum” mensyaratkan adanya pemencaran kekusaan, antara lain melalui mekanisme desentralisasi, yang kemudian diatur di dalam Pasal 18, Pasal 18A, dan Pasal 18B. Pengejawantahan desentralisasi adalah otonomi daerah dan daerah otonom. Secara yuridis,dalam konsep daerah otonom dan otonomi daerah mengandung elemen wewenang mengatur dan mengurus. Wewenang mengatur dan mengurus merupakan substansi otonomi daerah. Aspek spasial dan masyarakat yang memiliki dan terliput dalam otonomi daerah telah jelas sejak pembentukan daerah otonom.

Mohammad Hatta, sebagaimana dikutip oleh Bagir Manan, mengatakan sebagai berikut:33

Oleh karena Indonesia terbagi atas beberapa pulau dan golongan bangsa, maka perlulah tiap-tiap golongan kecil atau besar,

33Bagir Manan, Suatu Kaji Ulang...., op.cit., hlm. 6.

Page 32: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

21Perspektif, Konseptualisasi dan Konteks Yuridis

mendapat otonomi, mendapat hak untuk menentukan nasib sendiri. Satu-satunya dapat mengatur pemerintah pemerintahan sendiri menurut keperluan dan keyakinan sendiri, asal saja peraturan masing-masing tidak berlawanan dengan dasar-dasar pemerintahan umum.

Selanjutnya diuraikan oleh Mohammad Hatta bahwa:34

Memang rakyat di Daerah juga mempunyai kekuatan, artinya berhak memutuskan segala hal yang mengenai lingkungan Daerahnya sendiri, berhak mengatur rumah tangganya menruut putusan mufakat mereka sendiri. Tetapi kedaulatan yang dilakukan oleh rakyat Daerah bukanlah kedaulatan yang keluar dari pokoknya sendiri, melainkan kedaulatan yang datang dari kedaulatan yang lebih atas.

Kami berpendapat bahwa ungkapan Mohammad Hatta di atas menunjukkan sikap konsekuen untuk mengakui keperluan bahwa sebaiknya dalam manajemen pemerintahan di negara semacam Indonesia mutlak dilakukan otonomi daerah, yang pada hakekatnya merupakan wewenang mandiri untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan. Hanya saja ada pembatasan, yaitu otonomi itu merupakan “hasil” pemberian dari pemerintah pusat, sebagai “kedaulatan yang datang dari kedaulatan yang lebih atas.”

Selama Orde Baru misalnya, otonomi daerah dipandang lebih menekankan kewajiban daripada hak. Artinya aspek hak dan aspek kewajiban itu memang sama-sama ada, akan tetapi aspek kewajibanlah yang lebih menonjol. Menurut Sujamto, hal ini disebabkan karena:35

34Ibid.35Sujamto, Cakrawala Otonomi Daerah...., op.cit., hlm. 18-21.

Page 33: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

22 HUKUM PEMERINTAHAN DESA

1. Daerah otonom dan Pemerintah Daerah yang dibentuk menurut Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945 itu semuanya merupakan subsistem Negara Kesatuan dan Pemerintah Republik Indonesia. Dengan kata lain, daerah otonom itu diadakan atau dibentuk dengan mengemban misi tertentu, yaitu dalam rangka memperlancar penyelenggaraan pemerintahan. Jadi, daerah mengemban kewajiban tertentu, yang untuk pelaksanaannya ia diberi hak-hak dan wewenang tertentu. Dengan demikian, kewajiban lahir lebih dahulu daripada hak.

2. Oleh karena aspek hak itu timbul kemudian, maka jika terjadi tuntuan dari masyarakat di suatu Daerah agar Daerahnya diberi otonomi, maka tuntutan yang demikian itu tidak mempunyai dasar konstitusional. Yang menentukan apakah suatu daerah itu diberi otonomi atau tidak adalah Presiden (dengan persetujuan DPR), karena pembentukan, demikian pula penghapusan suatu Daerah otonom harus ditetapkan dengan undang-undang.

3. Berdasarkan prinsip kedaulatan, maka “kedaulatan rakyat” di daerah tidak bersifat hakiki maupun mutlak, akan tetapi hanya sebagai “perolehan” dari pemberian sistem kedaulatan yang lebih atas, dengan demikianlah wajar kalau dapat diambil kembali.

Menurut Ateng Sjaffrudin, pandangan yang menganggap otonomi daerah itu lebih merupakan kewajiban daripada hak, rasanya tidak sepenuhnya cocok karena:36

36Ateng Sjaffrudin, 1991, Titik Berat Otonomi pada Daerah Tingkat II dan Perkembangannya, Bandung, Penerbit Mandar Maju, hlm. 5-6.

Page 34: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

23Perspektif, Konseptualisasi dan Konteks Yuridis

1. Dalam implementasinya banyak sekali kewajiban yang diberikan kepada pemerintah daerah oleh pemerintah pusat yang tidak seimbang dengan kemampuan aparatur pemerintah daerah untuk memikul dan menjalankannya;

2. Dengan adanya penekanan aspek kewajiban yang biasanya dicerminkan dengan adanya aturan pelaksanaan yang kaku dan jelimet, maka mengakibatkan ruang gerak aparatur pemerintah daerah menjadi sempit, khususnya dalam rangka mengembangkan prakarsa maupun dalam menyesuaikan instruksi dan arahan atasan dengan situasi dan kondisi daerah;

3. Kata “kewajiban” ini mengandung makna sanksionistik, yaitu apabila Daerah tidak mau persis menerima dan melaksanakan apa yang diinstruksikan, diarahkan, dan ditetapkan, maka ada kemungkinan Daerah akan mendapatkan sanksi-sanksi tertentu, misalnya dana akan ditarik dan dialihkan ke daerah lain.

Diuraikan lebih lanjut, bahwa persepsi otonomi itu lebih merupakan kewajiban daripada hak, membuktikan sekali lagi bahwa otonomi yang tidak konsisten dengan yang diperintahkan oleh Undang-Undang Dasar 1945 yang didasari oleh filsafat Pancasila.37 Seperti paparan B. Hestu Cipta Handoyo, bahwa otonomi daerah yang dianggap lebih menekankan pada aspek kewajiban daripada hak, merupakan bentuk pengingkaran dari pengakuan terhadap satuan-satuan pemerintahan asli yang telah diakui oleh Pasal 18 Undang-Undang dasar.38

37Ibid.38B. Hestu Cipta Handoyo, 1998, Otonomi Daerah: Titik Berat Otonomi dan Urusan

Rumah Tangga Daerah Pokok-Pokok Pikiran Menuju Reformasi Hukum di Bidang Pemerintahan Daerah, Jogjakarta, Penerbit Universitas Atma Jaya, hlm. 41.

Page 35: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

24 HUKUM PEMERINTAHAN DESA

Problematika lain, yang perlu kejelasan lebih lanjut adalah materi wewenang yang tercakup dalam otonomi daerah. Oleh karena itu, disamping pembentukan daerah otonom tercakup dalam konsep desentralisasi adalah penyerahan materi wewenang atau disebut oleh amandemen Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945 sebagai urusan pemerintahan.

Secara akademik, mencermatik praktik otonomi daerah terutama sekali semenjak Orde Baru (1974-1999) hingga dewasa ini (2009), urusan pemerintahan sebagai kerangka hubungan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah meliputi bidang-bidang sebagai berikut:

1. Urusan dalam bidang politik. Hal ini berhubungan dengan ruang lingkup wewenang pemerintah daerah baik dalam pengambilan keputusan maupun implementasi kebijakan . Berbagai sorotan terkait dengan hal ini diarahkan kepada Kepala Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Perangkat Daerah, dan sebagainya. Secara konseptual, berbagai anggapan terhadap praktik, khususnya selama Orde Baru, mengindikasikan bahwa urusan dalam bidang politik yang dimiliki oleh pemerintah daerah sangat terbatas. Bahkan hal tersebut sering dituding sebagai biang keladi tidak tercapainya pencapaian tujuan politik dari desentralisasi dan otonomi daerah di Indonesia. Menurut Arbi Sanit, hingga tahun 2000, pemerintah daerah lebih diperlakukan sebagai aparatur administrasi pemerintahan pusat. Hal ini disebabkan karena secara riil kewenangan pemerintah daerah sangat

Page 36: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

25Perspektif, Konseptualisasi dan Konteks Yuridis

terbatas karena tidak diberikan kekuasaan untuk mengambil keputusan sendiri.39 Meskipun demikian perlu ditelaah dan dikonfirmasi lebih lanjut argumen tersebut, yaitu apakah benar secara kenyataan sama sekali tidak ada ruang gerak, atau semacam diskresi, bagi pemerintah daerah dalam konfigurasi politik pada periode tersebut.

2. Urusan pemerintahan terkait dengan pengelolaan sumber daya ekonomi. Sorotan terhadap hal ini antara lain terkait dengan mekanisme kelembagaan dalam pengelolaan sumber daya ekonomi, khsuusnya sektor energi, minyak, dan gas bumi, serta bahan mineral lainnya, karena berimplikasi kepada perimbangan keuangan pemerintah pusat dengan pemerintah daerah.

3. Urusan pemerintahan terkait dengan hubungan keuangan. Urusan dalam bidang keuangan ini sangat penting untuk dicermati, karena berkaitan dengan kapasitas pemerintahan daerah untuk melaksanakan anggaran daerah sebagai salah satu acuan untuk menilai kualitas ekonomi yang dimiliki.

Dengan penyerahan urusan pemerintahan oleh Pemerintah kepada daerah otonom berarti terjadi distribusi urusan pemerintahan yang secara implisit distribusi wewenang antara Pemerintah dan daerah otonom. Konsep urusan pemerintahan menunjukan dua indikator penting, yaitu fungsi atau aktivitas dan asal urusan pemerintahan tersebut. Urusan pemerintahan yang didistribusikan hanya berasal dari Presiden dan tidak berasal dari Lembaga Negara Tertinggi dan Lembaga Tinggi Negara lainnya. Oleh karena itu,

39Arbi Sanit, “Problematik Otonomi Daerah dan Distribusi Kekuasaan Pusat-Daerah” dalam Syamsuddin Haris et.al., 2000, Paradigma Baru Hubungan Pusat-Daerah di Indonesia: Format Otonomi Daerah Masa Depan, Jakarta, Penerbit Kantor Menteri Negara Riset dan Teknologi bekerjasama dengan Lembaga Ilmu Pengatahuan Indonesia, hlm. 97.

Page 37: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

26 HUKUM PEMERINTAHAN DESA

dalam konteks ini muncul berbagai urusan pemerintahan seperti pendidikan, kesehatan, pekerjaan umum dan lain-lain. Dalam hal ini tidak lazim untuk menyebut urusan konstitusi, legislasi, dan yudisial dalam tataran otonomi daerah.

Untuk mengetahui urusan pemerintahan yang menjadi urusan rumah tangga daerah, maka perlu diketahui sistem otonomi yang dipergunakan dalam penyelenggaraan pemerintahan di Daerah. Menurut Bagir Manan, argumen ini berangkat dari pemahaman bahwa cara menentukan isi rumah tangga, tergantung pada sistem otonomi yang digunakan. Sebaliknya sistem otonomi dapat dikenali dengan cara mengetahui cara penentuan isi atau urusan rumah tangga daerah.40

2. Sistem Otonomi

Sistem otonomi41 adalah tatanan yang bersangkutan dengan cara-cara membagi wewenang, tugas, dan tanggung jawab mengatur dan mengurus urusan pemerintahan antara Pusat dan Daerah. Menurut Bagir Manan, salah satu penjelmaan dari pembagian tersebut, maka daerah-daerah akan memiliki sejumlah urusan pemerintahan baik atas dasar penyerahan atau pengakuan atau dibiarkan sebagai urusan rumah tangga daerah.42 Secara konseptual dikenal adanya 3 (tiga) macam sistem otonomi, yaitu sistem otonomi materiil, sistem otonomi formal, dan sistem otonomi nyata/riil.

40Lihat dalam Bagir Manan, “Suatu Kaji Ulang atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974”, Majalah Pro Justitia No. 2 Tahun XI, April 1991, hlm. 14.

41Bagir Manan menggunakan istilah “sistem rumah tangga daerah”, Mahfud M.D. menggunakan istilah “asas otonomi.”

42Bagir Manan, 1990, Hubungan Pusat dan Daerah Menurut UUD 1945, Jakarta, Penerbit Pustaka Sinar Harapan, hlm. 24-25.

Page 38: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

27Perspektif, Konseptualisasi dan Konteks Yuridis

Dalam sistem otonomi materiil, isi dari urusan rumah tangga daerah telah ditentukan secara tegas dan terperinci, artinya ada pembagian wewenang, tugas, dan tanggung jawab yang rinci antara pusat dan daerah. Urusan pemerintahan yang termasuk ke dalam urusan rumah tangga daerah ditetapkan dengan pasti. Lebih lanjut, Bagir Manan menguraikan sistem otonomi riil ini sebagai berikut.

Sistem...berpangkal tolak pada pemikiran bahwa memang ada perbedaan mendasar antara urusan pemerintahan pusat dan daerah. Daerah dianggap memang mempunyai ruang lingkup urusan pemerintahan sendiri yang secara materiil berbeda dengan urusan pemerintahan yang diatur dan diurus oleh Pusat. Lebih lanjut, sistem ini berpangkal dari pemikiran bahwa urusan-urusan pemerintahan itu dapat dipilah-pilah ke dalam berbagai lingkungan satuan pemerintahan.

Diuraikan oleh Muh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, bahwa di dalam sistem otonomi materiil, untuk mengetahui sebuah urusan merupakan urusan pemerintah pusat atau urusan pemerintah daerah, harus melihat kepada materi yang akan diatur dan diurus oleh masing-masing satuan pemerintahan. Oleh karena itu, dengan melihat kepada materinya, orang sudah dapat membedakan bahwa suatu urusan itu termasuk urusan pemerintah pusat atau urusan pemerintah daerah.43

Pada tataran praksis, sistem otonomi materiil relatif sukar untuk dipakai sebagai landasan dalam melaksanakan kebijaksanaan penyerahan urusan-urusan pemerintahan dari pemerintah kepada

43Muh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, 1983, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Jakarta, Penerbit Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, hlm. 254.

Page 39: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

28 HUKUM PEMERINTAHAN DESA

pemerintah daerah. Menurut Bagir Manan, sistem otonomi materiil mengandung sejumlah kelemahan yaitu:44

1. Sistem otonomi materiil bertolak dari asumsi yang keliru, seolah-olah urusan pemerintahan dapat diketahui jumloahnya dan dapat dipilah-pilah secara pasti pula antara urusan pemerintah pusat dengan urusan pemerintah daerah;

2. Mudah menimbulkan spanning hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, karena kemungkinan pemerintah daerah banyak menuntut agar urusan pemerintahan tertentu diserahkan kepadanya;

3. Tidak fleksibel, sehingga perkembangan desentralisasi tidak dapat berjalan sesuai dengan perkembangan daerah, dan daerah menjadi serbaa tergantung kepada kehendak dan kecenderungan-kecenderungan yang ada di Pusat;

4. Ada kecenderungan serba uniformitas tanpa memperhitungkan kenyataan dan perbedaan-perbedaan antara daerah-daerah yang berlainan;

5. Tidak mendorong inisiatif dan kreatifitas Daerah untuk mengembangkan pelayanan terhadap masyarakat karena dibatasi pada urusan-urusan yang diserahkan saja.

Selanjutnya mengenai sistem otonomi formil. Sistem otonomi ini berpangkal tolak dari prinsip bahwa tidak ada perbedaan antara sifat urusan yang diselenggarakan pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Apa saja yang dapat diselenggarakan oleh pemerintah pusat pada hakekatnya dapat juga diselenggarakan oleh pemerintah daerah. Dengan demikian, dalam sistem otonomi formil pada prinsipnya pemerintah daerah boleh mengatur dan

44Bagir Manan, Hubungan Pusat dan Daerah...., op.cit., hlm. 15.

Page 40: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

29Perspektif, Konseptualisasi dan Konteks Yuridis

mengurus segala sesuatu urusan rumah tangga menurut inisiatif dan kebebasan sendiri, meskipun urusan tersebut belum diserahkan oleh pemerintah pusat. Menurut Bagir Manan, dalam sistem ini isi rumah tangga daerah tidak diberikan (toekennen) tetapi sesuatu yang dibiarkan tumbuh (toelaten) atau diberi pengakuan (erkennen).45 Jika pemerintah pusat menganggap layak bahwa suatu urusan dapat dilaksanakan oleh pemerintah daerah, maka penyerahan urusan tersebut secara formal akan dilaksanakan melalui peraturan perundang-undangan. Tetapi Sujamto mengatakan bahwa urusan-urusan yang termasuk ke dalam urusan rumah tangga Daerah tidak a priori harus ditetapkan dalam atau dengan Undang-Undang. Daerah boleh mengatur dan mengurus segala sesuatu yang dianggap penting bagi daerahnya asal tidak memasuki hal-hal atau urusan-urusan yang telah diatur dan diurus oleh pemerintah pusat dan atau Daerah yang lebih tinggi tingkatannya.46 Selanjutnya, dasar pertimbangan apakah yang dapat dipakai guna menentukan bahwa suatu urusan pemerintahan oleh pemerintah pusat dianggap layak diserahkan kepada daerah? Menurut Muh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, hal tersebut sepenuhnya menurut pertimbangan aspek kemanfaatan dalam penyelenggaraan pemerintahan, artinya penyerahan suatu urusan pemerintahan dapat saja dilakukan asalkan berdasarkan pertimbangan daya guna pemerintahan.47

Seperti ditulis oleh Bagir Manan, bahwa justru dengan adanya kriteria yang tidak jelas, kecuali menurut dasar kemanfaatan penyelenggaraan pemerintahan, sistem otonomi formil mendukung sentralisasi. Ketidakpastian urusan rumah tangga Daerah, akan

45Bagir Manan, Suatu Kaji Ulang...., loc.cit.46Sujamto, 1984, Otonomi Daerah yang Nyata dan Bertanggung Jawab, Jakarta, Penerbit

Ghalia Indonesia, hlm. 98.47Muh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, op.cit., hlm. 254-255.

Page 41: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

30 HUKUM PEMERINTAHAN DESA

menjelmakan Daerah serba menunggu dan tergantung kepada pemerintah pusat.48

Untuk mengatasi persoalan-persoalan yang timbul dalam rangka penerapan sistem otonomi formil dan sistem otonomi materiil tersebut, maka sistem otonomi riil dianggap sebagai jalan tengah, karena mengandung anasir-anasir kedua sistem tersebut.49 Adapun substansi sistem otonomi riil menurut Bagir Manan adalah:

1. Adanya suatu urusan pangkal yang ditetapkan pada saat pembentukan suatu daerah otonom, memberikan kepastian mengenai urusan rumah tangga daerah, sesuatu yang absen dari sistem otonomi formil.

2. Daerah dapat mengatur dan mengurus pula semua urusan pemerintahan yang menurut pertimbangan adalah penting, sepanjang belum diatur dan diurus oleh Pusat atau Daerah tingkat lebih atas.

3. Otonomi didasarkan kepada faktor-faktor nyata di daerah, sehingga memungkinkan munculnya perbedaan isi dan jenis urusan rumah tangga Daerah sesuai dengan keadaan masing-masing.

Jabaran dari setiap sistem otonomi di atas akan membantu memberikan penafsiran terhadap hakekat otonomi daerah. Berdasarkan sistem otonomi materiil, hakekat otnomi daerah bukanlah merupakan sesuatu yang tumbuh dan berkembang secara alamiah, yang kemudian oleh pemerintah pusat diakui melalui peraturan perundang-undangan, melainkan hanyalah merupakan hasil dari adanya penyerahan yang didasarkan pada sifat dan

48Hubungan Pusat dan Daerah...., hlm. 25.49Sujamto, op.cit., hlm. 106-107.

Page 42: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

31Perspektif, Konseptualisasi dan Konteks Yuridis

kodrat urusan pemerintahan yang bersangkutan. Jadi, ada atau tidaknya otonomi daerah amat tergantung kepada kewenangan dari pemerintah pusat atau daerah tingkat lebih atas. Lagipula, ada atau tidaknya otonomi tergantung juga kepada mekanisme penyerahan dari pemerintah pusat atau daerah tingkat lebih atas, yang pertimbangannya sangat lentur karena menitikberatkan kepada aspek kemanfaatan.

Sebaliknya, dalam sistem otonomi formil menunjukkan bahwa hakekat otonomi merupakan sesuatu yang tumbuh dan berkembang serta diberi pengakuan oleh pemerintah pusat atau daerah tingkat yang lebih atas. Namun, penentuan kriteria bahwa suatu urusan layak diserahkan kepada pemerintah daerah secara formal dengan peraturan perundang-undangan, juga berlandaskan kepada kemanfaatan penyelenggaraan pemerintahan. Tetapi mengingat otonomi daerah dalam sistem ini merupakan sesuatu yang tumbuh dan berkembang serta diberi pengakuan oleh pemerintah pusat atau daerah tingkat yang lebih atas, maka kedudukan pemerintah pusat dengan pemerintah daerah tidaklah bersifat hierarkis, melainkan sebagai mitra (patnership) dalam penyelenggaraan pemerintah pada umumnya.

Hal yang senada tetapi berbeda dalam penekanan adalah hakekat otonomi daerah menurut sistem otonomi riil. Mirip dengan sistem otonomi formil, di sini hakekat otonomi merupakan sesuatu yang tumbuh dan berkembang serta diberi pengakuan oleh pemerintah pusat atau daerah tingkat yang lebih atas, akan tetapi

Page 43: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

32 HUKUM PEMERINTAHAN DESA

disertai persyaratan yaitu berdasarkan keadaan atau faktor riil yang tumbuh dan berkembang di lingkungan masyarakat suatu Daerah.

Menurut Syarief Hidayat, kemampuan dari kebijakan otonomi daerah untuk empowerment local goverment antara lain sangat ditentukan seberapa jauh kepentingan daerah itu sendiri tercermin dalam substansi kewenangan yang diserahkan kepada daerah.50 Lebih lanjut diuraikan bahwa idealnya desentralisasi akan mencapai tujuannya jika keberadaannya merupakan realisasi perpaduan antara pemerintah (baik pusat maupun daerah) dengan masyarakatnya. Sebaliknya, bila kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah banyak diinisiasi oleh pemerintah pusat, maka dipastikan keberadaannya relatif lebih sulit untuk mencapai atau sekurang-kurangnya mendekati tujuan yang diinginkan. Kehadiran desentralisasi dalam format seperti ini pada hakekatnya lebih banyak didominasi oleh keinginan pemerintah pusat untuk memperlicin kepentingannya di daerah.51

Dalam organisasi negara bangsa selalu terdapat sejumlah urusan pemerintahan yang sepenuhnya diselenggarakan secara sentralisasi beserta penghalusannya dekonsentrasi. Tetapi tidak pernah terdapat suatu urusan pemerintahan apapun yang diselenggarakan sepenuhnya secara desentralisasi. Urusan pemerintahan yang menyangkut kepentingan dan kelangsungan hidup berbangsa dan bernegara lazimnya diselenggarakan secara sentralisasi dan dekonsentrasi. Urusan pemerintahan yang

50Syarief Hidayat, dalam Syamsuddin Haris et.al., 2000, Paradigma Baru Hubungan Pusat-Daerah di Indonesia: Format Otonomi Daerah Masa Depan, Jakarta, Penerbit Kantor Menteri Negara Riset dan Teknologi bekerjasama dengan Lembaga Ilmu Pengatahuan Indonesia, hlm. 1.

51Ibid., hlm. 4.

Page 44: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

33Perspektif, Konseptualisasi dan Konteks Yuridis

mengandung dan menyangkut kepentingan masyarakat setempat (lokalitas) diselenggarakan secara desentralisasi.

Penyelenggaraan pemerintahan yang tertib merupakan syarat utama bagi terwujudnya tujuan negara. Menurut James Manor, suatu pemerintahan daerah yang baik harus didukung oleh 4 (empat) hal sebagai berikut:52 Pertama, kekuasaan yang memadai agar dapat memberikan pengaruh yang juga memadai dalam sistem politik dan dalam kegiatan-kegiatan pembangunan. Kedua, sumber-sumber keuangan untuk menjalankan tugas memadai. Ketiga, kapasitas administratif yang memadai. Keempat, mekanisme akuntabilitas/pertanggungjawaban yang bisa dipercaya.

3. DaerahOtonom,WilayahAdministratif,danInstansiVertikal

Sebagai akibat diterapkannya desentralisasi sebagai asas penyelenggaraan pemerintahan daerah, maka menimbulkan daerah otonom, yaitu daerah yang menerima penyerahan wewenang dari pemerintah pusat, serta berhak mengatur dan mengurus kepentingan berdasarkan prakarsa sendiri. Kedudukan daerah otonom merupakan subyek hukum dan dianggap sebagai reschtspersoon. Contoh daerah otonom menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah adalah kabupaten dan kota. Dengan digunakannya asas desentralisasi pada kabupaten dan kota, maka kedua daerah tersebut menjadi daerah otonom penuh. Hal ini berbeda pada masa keberlakuan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Di Daerah, yang menunjuk kabupaten/kotamadya,

52James Manor, 1999, The Political Economy of Democratic Decentralization, Washington D.C., World Bank, hlm. 55.

Page 45: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

34 HUKUM PEMERINTAHAN DESA

di samping sebagai daerah otonom juga sebagai daerah/wilayah administratif (local state goverment). Jadi, merupakan campuran antara daerah otonom dengan wilayah administratif. Itulah sebabnya, pada masa keberlakukan undang-undang tersebut, istilah yang digunakan adalah Pemerintah Kabupetan Tingkat II dan Pemerintah Kotamadya Tingkat II. Frasa “kabupaten” dan “kotamadya” menunjuk sebagai wilayah administratif, sementara frasa “daerah tingkat II” pada masing-masing wilayah menunjukkan keduanya sebagai daerah otonom.

Tetapi keadaan berubah semenjak ditetapkannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Istilah “daerah tingkat II”, termasuk “daerah tingkat I” untuk provinsi, dihapuskan. Provinsi, kabupaten, dan kota, merupakan daerah otonom, yang tidak mengenal sistem bertingkat. Keadaan itu dilanjutkan dengan keberlakuan Undang-Undang Nomor 32 Tahun2 004.

Munculnya daerah atau wilayah administratif di atas merupakan konsekuensi diterapkannya asas dekonsentrasi. Telah dijelaskan di muka, bahwa dekonsentrasi adalah pelimpahan sebagian wewenang pejabat di tingkat pusat kepada pejabat di wilayah negara. Oleh karena itu, di daerah terdapat suatu wilayah yang merupakan wilayah kerja pejabat yang menerima wewenang sebagian dari pejabat pusat tersebut. Wilayah kerja itu disebut sebagai wilayah administratif.

Pada masa Hindia Belanda hingga tahun 1960-an, ada pejabat yang namanya residen, wedana, dan camat. Ketiganya merupakan pejabat pusat pusat yang ditempatkan di daerah kerja administrasi karisidenan, kawedanan, dan kecamatan, yang merupakan

Page 46: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

35Perspektif, Konseptualisasi dan Konteks Yuridis

wilayah administratif. Pada masa Orde Baru satu-satunya wilayah adminstratif yang dipertahankan adalah kecamatan. Sementara daerah lainnya seperti provinsi dan kabupaten/kotamadya berstatus campuran sebagai daerah administatif dan daerah otonom. 53

Pada masa keberlakuan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974, terdapat wilayah administratif kecamatan dan kota administratif. Camat dan walikota administratif adalah pejabat pemerintah pusat yang ditempatkan di wilayah kerja administratif kecamatan dan kota administratif. Oleh karena itu baik camat maupun walikota administratif merupakan kepala wilayah, dan bukan merupakan kepala daerah. Dalam kota administratif, sekalipun menyelenggarakan urusan pemerintahan daerah, akan tetapi tidak mempunyai Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, untuk menunjukkan statusnya sebagai daerah otonom. Dewasa ini, semenjak keberlakuan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, keberadaan kota administratif dihapuskan dan wilayah yang ada ditetapkan sebagai daerah otonom, kecuali untuk kota sebagai satuan pemerintahan di lingkungan Provinsi Daerah Ibukota Jakarta, tetap dipertahankan. Sementara kecamatan tetap dipertahankan akan tetapi fungsinya bukan lagi merupakan pejabat pusat di wilayah administratif kecamatan, akan tetapi sebagai perangkat daerah.54

Dalam praktik pemerintahan juga dikenal adanya instansi vertikal. Keberadaan instansi vertikal berhubungan dengan wilayah administratif dan asas dekonsentrasi. Pada masa keberlakuan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974, di Provinsi Daerah Tingkat I dan Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat

53Hanif Nurcholish, 2005, Teori dan Praktik Pemerintahan dan Otonomi Daerah, Jakarta, Penerbit Grasindo, hlm. 24.

54Ibid., hlm. 25.

Page 47: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

36 HUKUM PEMERINTAHAN DESA

II terdapat kantor departemen tertentu. Misalnya di Provinsi Jawa Tengah terdapat Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, maka di Kabupaten Boyolali terdapat Kantor Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Kedua kantor tersebut merupakan instansi yang sama-sama dimiliki oleh departemen di tingkat pusat, yaitu Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Pejabat dan semua pegawainya diangkat oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Bahkan, di masa itu, tidak hanya departemen saja, akan tetapi satuan organisasi di lingkungan sebuah departemen mengingat kepentingan politik dan lingkup urusannya dapat juga mempunyai wilayah administrasi hingga di tingkat daerah. Misalnya: (i) Direktorat Jenderal Sosial dan Politik Departemen Dalam Negeri, mempunyai Kantor Direktorat Sosial dan Politik di Provinsi dan kabupaten/kotamadya; (ii) Direktorat Jenderal Imigrasi Departemen Kehakiman, mempunyai Kantor Imigrasi di Provinsi dan Kabupaten/Kotamadya; (iii) Direktorat Jenderal Bina Marga Departemen Pekerjaan Umum, mempunyai Kantor Binar Marga di Provinsi dan Kabupaten/Kotamadya, dan sebagainya. Nyaris semua departemen, kecuali Departemen Luar Negeri dan Departemen Pertahanan, mempunyai wilayah kerja hingga ke tingkat provinsi dan kabupaten/kotamadya. Instansi semacam itulah yang disebut sebagai instansi vertikal. Hubungan instansi vertikal dengan departemen di tingkat pusat adalah hierarkis dan subordinat.

Jadi, instansi vertikal adalah lembaga pemerintah yang merupakan cabang dari kementerian di tingkat pusat yang berada di wilayah administrasi sebagai kepanjangan tangan dari departemen pusat. Oleh karena itu, instansi vertikal dibiayai oleh departemen pusat. Pejabat diangkat, diberhentikan, dan dibina oleh pejabat pusat.

Page 48: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

37Perspektif, Konseptualisasi dan Konteks Yuridis

Semenjak tahun 1999, seluruh instansi vertikal itu dihapus, kecuali untuk instansi yang menurut ketentuan undang-undang menjalankan urusan pemerintahan yang menjadi kompetensi absolut pemerintah pusat. Misalnya Kantor Wilayah Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia, Kantor Wilayah Departemen Agama, dan wilayah kerja administrasi dari satuan organisasi kementerian lainnya seperti imigrasi, bea cukai, dan pajak. Demikian juga, seperti Badan Pertanahan Nasional, juga masih merupakan instansi vertikal yang mempunyai wilayah kerja Kantor Wilayah di tingkat provinsi dan Kantor Pertanahan di Kabupaten/Kota.

Berkaitan dengan susunan daerah tersebut, bagaimanakah yang dikehendaki oleh Undang-Undang Dasar 1945? Dalam naskah asli Undang-Undang Dasar 1945 Bab VI Pasal 18, yang berbunyi:

Pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil, dengan bentuk susunan pemerintahan ditetapkan dengan undang-undang, dengan memandang dan mengingati dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara, dan hak-hak asal-usul dalam daerah yang bersifat istimewa.

Dari anak kalimat, “mengingati dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara”, memberikan makna sistem demokrasi yang intinya pada permusyawaratan dalam dewan perwakilan rakyat daerah. Pemerintah daerah yang menganut sistem demokrasi adalah pemerintah daerah otonom, bukan pemerintah wilayah administrasi. Dengan tafsir ini, maka sesungguhnya substansi ketentuan Pasal 18 tadi harus diartikan bahwa “pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan daerah kecil” hanya terdiri atas pemeritnah daerah yang bersifat otonom.

Page 49: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

38 HUKUM PEMERINTAHAN DESA

Bhenjamin Hossein55 menyebut ada 2 (dua) dugaan mengapa Prof. Soepomo membuat rumusan penjelasan semacam itu.56 Dugaan pertama, Prof. Soepomo, sang guru besar hukum adat itu, masih terpengaruh konfigurasi ketatanegaraan masa Hindia Belanda. Dalam sistem peemritnahan daerah masa itu dikenal adanya daerah administratif dan daerah otonom.Pemerintah meliputi beberapaa daerah gewest (setingkat Provinsi). Daerah gewest terbagi atas gemeente (kotapraja) dan plaatselijke (kabupaten yang bersifat pedesaan), yang kesemuanya itu merupakan daerah administratif sekaligus daerah otonom. Di bawah gemeente dan plaatselijke terdapat daerah administratif belaka, yaitu afdeling, district (kawedanan), dan onderdistrict (kecamatan).

Dugaan kedua, Prof. Soepomo tidak mengacu kepada dinamika yang berkembang dalam rapat-rapat BPUPKI untuk membahas pemerintahan daerah. Dalam risalah Sidang BPUPKI disebutkan:

Pemerintah daerah yang terdiri atas daerah besar dan kecil harus dengan memandang dan mengingati “dasar permusyawaratan” artinya bagaimanapun bentuknya pemerintahan daerah, pemerintahan itu harus berdasarkan atas permusyawaratan, jadi misalnya, dengan mengadakan dewan perwakilan daerah.]

55Bhenjamin Hossein, 2000, hlm. 4-6.56Perlu dicatat bahwa Penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 yang diklaim merupakan

satu kesatuan naskah dengan Batang Tubuh Undang-Undang Dasar 1945, semenjak Dekrit Presiden 5 Juli 1959 hingga pedoman penataran P-4 masa Orde Baru, bukanlah karya PPKI yang menetapkan konstitusi pada 18 Agustus 1945. Keseluruhan naskah penjelasan adalah karya pribadi Prof. Soepomo, yang kemudian dicantumkan dalam Berita Republik Indonesia Tahun II Nomor 7, tanggal 15 Februari 1946. Adapun bahan untuk penjelasan itu terutama sekali disarikan dari pembahasan Undang-Undang Dasar dalam forum BPUPKI.

Page 50: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

39Perspektif, Konseptualisasi dan Konteks Yuridis

Dari dokumen itu dapat ditafsirkan bahwa pembentuk Undang-Undang Dasar 1945 menginginkan bentuk pemerintahan adalah pemeritnah daerah yang berbentuk otonom karena harus bersendikan permusyawaratan dan ditandai dengan lembaga permusyawaratan itu, dan bukan daerah administratif.

Keberadaan daerah otonom tersebut dapat dijelaskan dari sisi kepentingan nasional maupun sisi kepentingan pemerintah daerah itu sendiri. Ditinjau dari sisi kepentingan nasional, maka tujuan keberadaan daerah otonom itu antara lain to provide training in political leadership dan to create political stability.57 Sementara itu dari sisi pemerintah daerah, kebijakan daerah otonom adalah untuk mewujudkan political equality, local responsibility, dan local responsiveness.

Menurut Smith, dalam kerangka political equality diharapkan akan lebih membuka kesempatan bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam berbagai aktivitas politik di tingkat lokal sehingga dengan elegan dapat mempraktikkan bentuk-bentuk partisipasi politik seperti menjadi anggota partai politik dan kelompok kepentingan, di samping mengkritisi berbagai kebijakan pemerintah.58

Sementara itu, dalam kerangka local accountability, akan mendorong pemerintah daerah untuk meningkatkan kemampuannya dalam memperhatikan hak-hak dari komunitas yang meliputi hak untuk ikut serta dalam proses pengambilan keputusan dan implementasi dalam kebijakan di daerah, serta hak untuk mengontrol pemerintah daerah itu sendiri.59 Akhirnya, local responsiveness dijadikan tujuan pembentukan daerah otonom

57B.C. Smith, op.cit., hlm. 23.58Ibid., hlm. 24.59Ibid., hlm. 25.

Page 51: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

40 HUKUM PEMERINTAHAN DESA

karena pemerintah daerah dinggap lebih mengetahui berbagai masalah yang dihadapi oleh komunitasnya, sehingga diharapkan akan menjadi jalan yang terbaik untuk mengatasi sekaligus meningkatkan akselerasi dari pembangunan sosial dan ekonomi di daerah.60

60Ibid., hlm. 26.

Page 52: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

41

BAB II

DESA DALAM BINGKAI TRADISI DAN KONSTITUSI

A. TRADISI KEDAULATAN RAKYAT

Pada paparan di muka sudah disampaikan bahwa desentralisasi bukan sekedar pemencaran wewenang (sepreiding van bevoegdheid) tetapi mengandung juga pembagian kekuasaan (scheiding van machten) untuk mengatur dan mengurus penyelenggaraan pemerintahan negara antara pemerintah pusat dengan satuan-satuan pemerintahan tingkatan lebih rendah atau satuan pemerintahan daerah yang otonom. Ditinjau dari praksis pemerintahan, adanya satuan pemerintahan daerah yang otonom bagi negara Indonesia telah tercermin jauh sebelum Proklamasi Kemerdekaan 1945. Menurut Bagir Manan, pada tahun 1926, Samaun telah menulis bahwa pemerintahan negara modern akan tersusun dari: (i) pemerintah dan parlemen; (ii) pemerintah provinsi dan dewan provinsi; dan (iii) pemerintah kota dan dewan kota. Demikian pula, Mohammad Hatta dalam tulisan (brosur) Ke Arah Indonesia Merdeka (1932) telah menyebutkan bahwa pembentukan pemerintahan daerah (pemerintahan yang berotonomi) merupakan salah satu aspek pelaksanaan kedaulatan rakyat.61

61Bagir Manan, Menyongsong Fajar..., op.cit., hlm. 175.

Page 53: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

42 HUKUM PEMERINTAHAN DESA

Kedaulatan rakyat yang antara lain tercermin dalam bentuk demokrasi, bagi bangsa Indonesia jauh sebelum republik terbentuk merupakan tabiat asli masyarakat Indonesia. Tradisi kedaulatan rakyat itu umumnya mengacu kepada tradisi kemasyarakatan yang berkembang di masyarakat pedesaan. Tradisi pedesaan ini dibedakan dengan tradisi yang berkembang di lingkungan kraton yang menjadi pusat pemerintahan di masa yang lalu. Menurut Jimly Asshiddiqie, dengana adanya 2 (dua) konfigurasi tradisi kedaulatan rakyat tersebut maka telah mengakar dua macam kedaulatan yaitu kedaulatan raja (berlaku di keraton-keraton) dan kedaulatan rakyat (berlaku di pedesaan).62 Timbul pertanyaan, bagaimanakah bentuk kedaulatan rakyat sebagai tradisi asli di pedesaan itu?

Menurut Aidul Fitriciada Azhari, bentuk-bentuk kedaulatan rakyat di pedesaan dapat dilihat dalam proses pengambilan keputusan yang dilakukan secara bersama-sama melalui musyawarah nagari (Sumatera Barat), rembug desa (Jawa), sakehe desa (Bali), begundem (Sasak), dan sebagainya. Selain itu, di pedesaan Jawa dikenal pula adanya lembaga pepe yang merupakan cara bagi rakyat untuk menyatakan protesnya kepada penguasa.63 Ditambahkan oleh Aidul Fitriciada Azhari bahwa:64

Meskipun terdapat sifat-sifat umum dari kedaulatan rakyat di pedesaan tersebut, namun sistem yang berlaku di suatu desa pada dengan lainnya berbeda-beda. Kedaulatan rakyat di suatu desa pada dasarnya merupakan suatu refleksi dari struktur sosial dan

62Jimly Asshiddiqie, 1994, Gagasan Kedaulatan Rakyat dalam Konstitusi dan Pelaksanaan di Indonesia, Jakarta, Ind-Hill Co, hlm. 39.

63Aidul Fitriciada Azhari, 2000, Sistem Pengambilan Keputusan Demokratis Menurut Konstitusi, Surakarta, Penerbit UMS Press, hlm. 38.

64Ibid., hlm. 38-39.

Page 54: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

43Perspektif, Konseptualisasi dan Konteks Yuridis

respons atau tanggapan terhadap keadaan sekelilingnya yang merupakan hasil dari interaksi sosial. Oleh karena itu, terdapat beraneka ragam prinsip atau asas yang dapat dijadikan acuan bagi bentuk kedaulatan rakyat sesuai dengan struktur sosial dan pola tanggapan masing-masing desa. Dalam konteks ketatanegaraan Indonesia, hal ini mengakibatkan pula lahirnya perbedaan acuan, identifikasi, dan intepretasi atas asas-asas ketatanegaraan yang berasal dari khazanah tradisional bangsa Indonesia.

Pendapat di atas dikonfirmasi oleh Alfian yang mengatakan bahwa terdapat perbedaan asas dalam tradisi kemasyarakatan pedesaan di Minangkabau dan Jawa. Kedua macam tradisi tersebut patut diambil sebagai representasi tradisi karena mempunyai pengaruh yang sangat besar pada pembentukan dasar-dasar ketatanegaraan Indonesia.65

Tetapi secara umum, masyarakat Indonesia, dengan segala bentuk aneka rupa kedaulatan rakyat dengan pijakan operasional yang tidak sama satu sama lain, secara umum mempunyai tradisi yang dikategorikan ke dalam kedaulatan rakyat. Hanya saja pemahaman mengenai hal tersebut tidak sama. Misalnya, Mohammad Hatta menunjuk adanya istilah “daulat Tuanku” dan “daulat Rakyat” untuk mengkonfirmasi kedaulatan rakyat yang berlaku di lingkungan keraton dan lingkungan pedesaan.66 Namun Soepomo, profesor hukum adat yang berpengaruh, mencoba bersikap moderat, di mana dipahami bahwa kedaulatan rakyat di pedesaan tetap berlaku dalam kerangka kekuasaan kerajaan. Soepomo menggunakan tradisi desa sebagai identifikasi

65Alfian, 1986, Pemikiran dan Perubahan Politik di Indonesia, Jakarta, Penerbit Gramedia Pustaka Utama, hlm. 127.

66Mohammad Hatta, “Menuju ke Arah Kedaulatan Rakyat”, dalam Miriam Budiardjo (Editor), 1986, Masalah Kenegaraan, Jakarta, Penerbit Gramedia Pustaka Utama, hlm. 41-42.

Page 55: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

44 HUKUM PEMERINTAHAN DESA

mengenai kedaulatan bagi Indonesia merdeka, tetapi pada saat yang bersamaan ia pun menerapkan tradisi keraton dalam bentuk ajaran manunggaling kawula lan gusti.67

Menang, menarik untuk dicermati, bahwa dalam kerangka penyusunan Undang-Undang Dasar 1945 dalam Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), sebuah badan transisional untuk mempersiapkan kemerdekaan Indonesia bentukan Pemerintahan Balatentara Jepang, ide untuk menarik tradisi kedaulatan rakyat ke dalam sistem pemerintahan negara cukup mengemuka. Bahkan, seperti diselidiki oleh A. Hamid S. Attamimi, tradisi kedaulatan rakyat tadi menjelma ke dalam Cita Negara Indonesia, yang melahirkan hakekat negara Republik Indonesia sebagai “Republik Desa.”68 Dalam konteks ini, pandangan Soepomo sangat berpengaruh, yang kemudian dikenal sebagai pandangan menurut dasar “teori integralistik.”

Soepomo, saat berbicara mengenai Cita Negara Indonesia, menunjuk kepada cita negara yang terdapat pada paguyuban masyarakat desa, di mana para pemimpinnya bersatu jiwa dengan rakyatnya dan senantiasa memegang teguh persatuan dan keseimbangan dalam masyarakat.69 Menurut Yusril Ihza Mahendra, konsep persatuan antara pemimpin dan rakyat itu digambarkan oleh Soepomo sebagai persatuan antara kawula dan gusti, yaitu persatuan antara dunia luar dan dunia batin, antara mikrokosmos dan makrokosmos. Dalam pandangan yang demikian, Soepomo berpendapat bahwa tidaklah menjadi soal, apakah negara Indonesia

67Bandingkan: Marsilam Simanjuntak, 1994, Pandangan Negara Integralistik, Jakarta, Penerbit Pustaka Utama Grafiti, hlm. 243.

68 . Hamid S. Attamimi, 1990, Peranan Keputusan Presiden dalam Penyelenggaraan Negara, Disertasi Doktor Ilmu Hukum Fakultas Pascasarjana Universitas Indonesia, Jakarta, hlm. 101.

69Ibid., hlm. 102.

Page 56: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

45Perspektif, Konseptualisasi dan Konteks Yuridis

merdeka itu akan menjadi republik atau monarki. Yang penting, kepala negara menyatu dengan rakyatnya sesuai paham mistik tradisional tersebut.70

Lebih lanjut, atas dasar kontruksi pemikiran semacam itu maka:71

Negara Republik Indonesia yang akan menggantikan Hindia Belanda, [merupakan] negara yang strukturnya disesuaikan dengan sociale structuur masyarakat Indonesia yang asli pada masa sekarang, yaitu desa, disesuaikan pula dengan panggilan zaman. Soepomo menunjuk kepada perlunya tiap negara mempunyai keistimewaan sendiri yang berhubungan dengan riwayat dan corak masyarakatnya, sebagaimana terlihat dalam kehidupan desa. Soepomo juga berbicara mengenai tujuan negara yang berdasar persatuan, seperti halnya Desa, dengan tujuan negara yang “bersatu dan adil”, “untuk kepentingan rakyat seluruhnya”, atau dengan kata lain bersatu, adil, dan makmur.

Menurut Logemann, pengalihan sistem pemerintahan “Republik Desa” ke dalam sistem pemeritahan negara Indonesia yang modern itu dengan memindahtanamkan (overplanting) dari desa yang memenuhi kebutuhannya sendiri (autarke dorp) kepada Negara Modern (moderne staat), meskipun dalam menyatakan itu ia menyangsikan keberhasilannya.72 Namun, A. Hamid S. Attamimi justru mendukung tesis Soepomo di atas sebab kajiannya

70Yusril Ihza Mahendra, 1996, Dinamika Tatanegara Indonesia: Kompilasi Aktual Masalah Konstitusi, Dewan Perwakilan, dan Sistem Kepartaian, Jakarta, Penerbit Gema Insani Press, hlm. 9.

71A. Hamid S. Attamimi, Ibid., hlm. 102-103.72J.H.A. Logemann, 1982, Keterangan-Keterangan Baru Tentang Terjadinya Undang-

Undang Dasar Hindia Belanda, Malang, Penerbit Laboratorium Pancasila IKIP Malang, hlm. 18.

Page 57: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

46 HUKUM PEMERINTAHAN DESA

menunjukkan sistem pemerintahah negara yang ditetapkan dalam Undang-Undang Dasar 1945 mengadopsi dasar ketatanegaraan dalam sistem pemerintahan desa. Hal itu terbukti seperti “kepala negara dipersamakan dengan kepala desa yang bukan hanya memimpin masyarakat melainkan juga sesepuhnya. Kepala desa mewujudkan rasa keadilan rakyat dan cita-citanya. Seperti halnya kepala desa yang senantiasa bermusyawarah dengan warga desa atau dengan kepala-kepala keluarga dalam desa, kepala negara dan kepala lembaga-lembaganya juga merupakan pemimpin yang sejati, pemimpin yang diidamkan oleh rakyat.”73

Namun dengan dianutnya ketetapan bahwa Indonesia adalah negara kesatuan yang berbentuk republik (Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945), maka dengan sendirinya idealisasi “Republik Desa” tinggal menjadi gagasan belaka. Seperti yang dipaparkan oleh Yusril Ihza Mahendra, idealisasi “Republik Desa” yang berpijak kepada cita negara integralistik versi Soepomo merupakan hasil reduksi yang abstrak karena:74

1. Cenderung mengabaikan kelemahan-kelemahan yang mungkin dimiliki oleh seorang kepala desa;

2. Mengabaikan faktor kekuasaan yang lebih tinggi, yang cenderung eksploitatif terhadap desa melalui kepala desa;

3. Mengabaikan kemungkinan timbulnya kekuatan oposisi terhadap kepaal desa yang juga mempunyai kepentingan-kepentingan pribadi tertentu; dan

4. Dalam tataran praksis, pemilihan langsung kepala desa misalnya, apakah benar-benar mengesampingkan segala macam kepentingan?

73Ibid., hlm. 104.74Yusril Ihza Mahendra, op.cit., hlm. 11.

Page 58: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

47Perspektif, Konseptualisasi dan Konteks Yuridis

Lebih lanjut diuraikan oleh Yusril Ihza Mahendra bahwa:75

Konstitusi Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945, adalah konstitusi negara modern yang disusun dengan mempertemukan aliran-aliran pemikiran para penyusunnya. Konsep tentang presiden di dalam Undang-Undang Dasar 1945 tidak semata-mata menggambarkan konsep “manunggaling kawula lan gusti, tetapi merupakan konsep yang rasional dengan batas-batas kekuasaan serta tugas dan wewenang yang jelas, juga pengawasan dari lembaga-lembaga kenegaraan modern, serta bertanggung jawab kepada suatu lembaga pula. Mekanisme demikian sama sekali tidak dikenal dalam konsep kepemimpinan tradisional masyarakat pedesaan Indonesia.

Kritik tersebut mengkonfirmasi apa yang “dikhawatirkan” Logemann di atas, yaitu “apakah mungkin memindahkan struktur agraris dan untuk sebagian besar autarkis (memenuhi kebutuhan sendiri) dari desa ke negara modern?”76 Seperti juga Mohammad Hatta, walaupun secara konsisten memandang kedaulatan rakyat yang aslia dalah yang dipraktikkan di desa-desa, tetapi tetap terbuka problem analisis “bagaimana menyesuaikan dasar mufakat di kampung atau di nagari kepada pemerintahan Indonesia yang begitu luas daerahnya dan begitu besar urusannya?”77

Lepas dari perdebatan intelektual yang begitu berharga berkaitan dengan dasar ketatanegaraan Indonesia, yang menempatkan desa sebagai locus argumentasi, dan tidaklah menjadi fokus uraian dalam buku untuk membuktikan, apakah benar hal tersebut teradopsi dalam Undang-Undang Dasar 1945 atau

75Ibid.76J.H.A. Logemann, loc.cit.77Dalam Miriam Budiardjo (Editor), Masalah Kenegaraan, op.cit., hlm. 51.

Page 59: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

48 HUKUM PEMERINTAHAN DESA

tidak, tetapi merupakan satu hal yang pasti: para pendiri negara umumnya sepakat bahwa kedaulatan rakyat merupakan tabiat asli masyarakat Indonesia. Justru dengan tidak jelasnya, problem analisisi karakter dan kelembagaan desa, seperti terekam dalam uraian-uraian sebelumnya, maka pada masa-masa selanjutnya desa tetap akan menjadi salah satu persoalan, khususnya terkait dengan kerangka hubungan pemerintah pusat dengan pemerintah daerah.

B. KONFIGURASI PEMAHAMAN

Pada awalnya kesatuan masyarakat adat (desa, nagari, binua, kampung, gampong, negeri, huta, sosor, marga, lembang, kuwu, pemusungan, yo, paraingu, lumban, dan lain-lain) yang tersebar di penjuru Nusantara mempunyai karakter yang hampir sama. Masyarakat adat merupakan suatu kesatuan masyarakat yang bersifat otonom, yaitu mereka mengatur sistem kehidupannya. Ia lahir, berkembang bersama, dan dijaga oleh masyarakat itu sendiri. Menurut Ade Saptomo, masyarakat adat, yang dalam Penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 karya Soepomo diklaim berjumlah lebih kurang 250 zelfbestuurende landschappen tidak sama dengan pengertian sebagai persekutuan masyarakat adat. Dalam hal ini, persekutuan masyarakat adat merupakan volksgemeen-scappen, yang mempunyai sistem sosial sendiri dan mempunyai hubungan yang kuat dengan tanah, pengelolaan sumber daya alamnya, dan mempunyai keleluasaan untuk tetap mempertahankan nilai-nilai lokal atau kearifan-kearifan lokal yang ada.78

Persekutuan masyarakat adat semacam itu, lanjut Ade Saptomo, mempunyai nilai yang berbeda dengan yang dianut oleh

78Ade Saptomo, 2010, Hukum dan Kearifan Lokal Revitalisasi Hukum Adat Nusantara, Jakarta, Penerbit Grasindo, hlm. 15.

Page 60: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

49Perspektif, Konseptualisasi dan Konteks Yuridis

kesatuan masyarakat yang biasa disebut “Desa” di Jawa, sebuah kesatuan yang dibentuk oleh kekuatan struktural yang kemudian dikirim ke luar Jawa. Kehidupan-kehidupan komunitas masyarakat adat dimaksud tidak sepenuhnya otonom dan terlepas dari proses pengintegrasian ke dalam kesatuan kehidupan organisasi negara bangsa yang berskala besar dan berformat nasional.79

Desa, atau nama lain, adalah kesatuan masyarakat yang tergabung berdasarkan garis keturunan (genealogi) yang mendiami wilayah (teritori) tertentu. Orang tidak bisa mengukur berapa luas wilayah yang mereka diami, tetapi selalu ada kearifan lokal untuk mengukur batas-batas wilayah berdasarkan prinsip sejauh mata memandang atau sejauh batu dilempar. Semuanya merupakan organisasi masyarakat lokal yang mempunyai kepemerintahan atau kepengurusan sendiri (self governing community) yang berdasar pada adat-istiadat setempat. Adat mengandung jati diri, norma, nilai dan tata aturan untuk mengelola tanah, sumberdaya alam, warga maupun hubungan-hubungan sosial (pernikahan, kematian, sengketa, pembagian tanah, dan sebagainya). Setiap masyarakat adat mempunyai tatacara adat untuk mengelola (merawat dan membagi) tanah (kekayaan) secara komunal (bersama) dengan prinsip kesejahteraan (welfare society), keseimbangan dan berkelanjutan. Pemimpin adat ditentukan secara turun-temurun melalui jalan musyawarah tanpa pergolakan kekuasaan (politik) di dalam lingkup keluarga atau masyarakat. Pemimpin adat bukanlah jabatan yang sarat dengan kekuasaan dan kekayaan, tetapi posisi kehormatan yang sarat dengan tanggungjawab untuk mengurus dan melindungi tanah, penduduk, keamanan, hubungan-hubungan sosial, dan sebagainya.

79Ibid.

Page 61: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

50 HUKUM PEMERINTAHAN DESA

Di Sumatera Barat, nagari mempunyai aturan hukum adat yang sangat kuat dalam hal pengelolaan (terutama aturan tentang pembatasan penjualan) tanah pusako. Masyarakat adat Atoin Meto di Timur Tengah Selatan (NTT) mempunyai aturan yang kuat dalam mengelola kayu cendana. Kayu cendana boleh ditebang kalau umurnya sudah tua dan harus melalui upacara adat. Suku Amungme di Timika (Papua) juga mempunyai hukum adat untuk merawat secara seimbang dan keberlanjutan terhadap sungai, sampan dan sagu. Sungai tidak boleh dikotori, sagu tidak boleh ditebang sembarangan. Demikian juga dengan suku Dayak Kanayan yang mendiami binua. Mereka memiliki sejumlah norma, kearifan lokal dan kesantunan yang menjunjung tinggi prinsip keteladanan, keadilan, kebersamaan, keseimbangan dan keberlanjutan dalam mengelola warga, sumberdaya alam dan hubungan sosial. Tentu saja masih banyak aturan hukum adat yang mengatur masalah pemerintahan, pengelolaan sumberdaya, hubungan sosial, dan seterusnya.

Sekali lagi, berbagai kesatuan masyarakat adat di atas mempunyai kesamaan karekter, meski bentuknya berbeda-beda. Perbedaan utama antara desa di Jawa dengan kesatuan masyarakat adat di daera-daerah lain (Luar Jawa) adalah bahwa desa-desa di Jawa mengalami penaklukan lebih dulu oleh penguasa kerajaaan mulai dari Mataram Kuno (Hindu) sampai Mataram Islam, yang kemudian diteruskan oleh penaklukan pemerintah kolonial sejak abad ke-15. Berbagai kerajaan di Jawa yang silih berganti pada umumnya berbentuk kerajaan agraris yang hidupnya sangat tergantung pada tanah dan penduduk desa. Penguasa kerajaan (yang mempunyai armada perang) mengklaim bahwa setiap jengkal tanah di wilayah yang ditundukkannya merupakan miliknya. Rakyat desa tidak lagi mempunyai kedaulatan atas tanah yang semua menjadi

Page 62: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

51Perspektif, Konseptualisasi dan Konteks Yuridis

basis kehidupan mereka. Penguasa kerajaan melakukan pemaksaan kepada rakyat desa untuk menanami tanah dan mereka berkewajiban memberikan (setor) upeti (pajak) kepada raja. Para pemimpin desa (bekel) bukan lagi sebagai pemimpin rakyat desa, tetapi sebagai aparat kerajaan yang bertugas mengontrol penduduk desa dan mengumpulkan upeti dari rakyat. Pemimpin desa menjadi kaya raya dan ditakuti, sebaliknya rakyat desa selalu tertindas dan jatuh miskin.

Pada awalnya Desa merupakan organisasi komunitas lokal yang mempunyai batas-batas wilayah, dihuni oleh sejumlah penduduk, dan mempunyai adat-istiadat untuk mengelola dirinya sendiri. Inilah yang disebut dengan self-governing community. Sebutan Desa sebagai kesatuan masyarakat hukum baru dikenal pada masa kolonial Belanda. Desa pada umumnya mempunyai pemerintahan sendiri yang dikelola secara otonom tanpa ikatan hirarkhis-struktural dengan struktur yang lebih tinggi. Di Sumatera Barat, misalnya, nagari adalah sebuah “republik kecil” yang mempunyai pemerintahan sendiri secara otonom dan berbasis pada masyarakat (self-governing community).

Desa-Desa di Jawa sebenarnya juga menyerupai “republik kecil”, dimana pemerintahan Desa dibangun atas dasar prinsip kedaulatan rakyat. Trias politica yang diterapkan dalam negara-bangsa modern juga diterapkan secara tradisional dalam pemerintahan Desa. Desa-Desa di Jawa, mengenal Lurah (kepala Desa) beserta perangkatnya sebagai badan eksekutif, Rapat Desa (rembug Desa) sebagai badan legislatif yang memegang kekuasaan tertinggi, serta Dewan Morokaki sebagai badan yudikatif yang bertugas dalam bidang peradilan dan terkadang memainkan peran sebagai badan pertimbangan bagi eksekutif.80

80Soetarjo Kartohadikoeomo, 1984, Desa, Jakarta, Penerbit Sumur Bandung.

Page 63: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

52 HUKUM PEMERINTAHAN DESA

Ditinjau dari segi etimologis, “Desa” , yang cikal bakalnya diperkenalkan oleh seorang warga Belanda Mr. Herman Warner Muntighe yang bertugus sebagai Pembantu Gubernur Jenderal Inggris pada tahun 1817, berasal dari bahasa Sanskerta yaitu “deca”, yang berarti tanah air, tanah asal atau tanah kelahiran, tanah leluhur yang merujuk kepada satu kesatuan hidup dengan kesatuan norma serta memilki batas yang jelas.81 Menurut S. Wojowasito, Desa berarti: (i) sekelompok rumah di luar kota yang merupakan kesatuan kampong, dusun; (ii) udik atau dusun, dalam arti daerah pedalaman sebagai lawan kota; dan (iii) tempat, tanah, daerah.82 Istilah Desa memang umum dipakai di Pulau Jawa, Madura, dan Bali. Sebutan lain untuk desa ialah kelurahan, karena kepala desa mendapatkan sebutan “lurah.” Dalam praktik, seperti akan diuraikan dalam bab berikutnya, istilah untuk menunjuk “Desa” sangat beragam di berbagai tempat di Indonesia.

81Departemen Dalam Negeri, 2007, Laporan Akhir Studi Revitalisasi Otonomi Desa, Jakarta, Direktorat Pemberdayaan Masyarakat Desa, hlm. 47-48.

82S. Wojowasit, 2001, Kamus Umum Belanda-Indonesia, Jakarta, Penerbit Ictiar Baru van Hoeve, hlm. 66.

Page 64: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

53

BAB III

DESA DAN STRUKTUR KENEGARAAN

A. OPTIK HISTORIK KONSTITUSIONAL

Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945 naskah asli (sebelum Perubahan) berbunyi: Pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil, dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang, dengan memandang dan mengingati dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara, dan hak-hak asal-usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa. Desa sebenarnya termasuk daerah-daerah kecil yang mempunyai hak-hak asal-usul dan bersifat istimewa. Dalam penjelasan juga ditegaskan: “Daerah Indonesia akan dibagi dalam daerah propinsi dan daerah propinsi akan dibagi pula dalam daerah yang lebih kecil’. Dari fakta konstitusional itu menampakkan hal-hal sebagai berikut:

1. Dalam negara Indonesia dibentuk pemerintahan daerah;2. Pemerintah daerah terdiri atas daerah besar dan daerah kecil;3. Pemerintah daerah harus bersendikan demokrasi yaitu adanya

permusyawaratan dalam Dewan Perwakilan Rakyat Daerah; dan

4. Daerah-daerah swapraja dan kesatuan masyarakat hukum pribumi yang memiliki susunan asli harus diperhatikan untuk

Page 65: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

54 HUKUM PEMERINTAHAN DESA

dijadikan pemerintah daerah yang bersifat istimewa setelah dilakukan pembaruan, yaitu dengan mengadopsi sistem demokrasi dalam sistem pemerintahannya.

Susunan pemerintahan daerah sebagaimana naskah asli Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945 tersebut meliputi daerah besar dan daerah kecil. Di dalam bagian Penjelasan, yang merupakan karya pribadi Prof. Soepomo (1946), “daerah besar” nomenklaturnya ditentukan secara jelas yaitu provinsi. Sedangkan “daerah kecil” sama sekali tidak disebutkan.

Untuk memperoleh kejelasan mengenai susunan pemerintahan daerah itu sebaiknya melihat kembali kepada setting pembentukan Undang-Undang Dasar 1945 pada sidang BPUPKI. Apa yang terbaca sebagai keadaan faktual dan kemudian mempengaruhi pemahaman (begrip) pemerintahan daerah adalah konfigurasi pemerintahan daerah yang diatur oleh pemerintah Balatentara Jepang.

Melalui Undang-Undang Nomor 27 tentang Pemerintah Daerah dan Nomor 28 tentang Pemerintahan Syu dan Tokubetsu Syi, susunan pemerintahan daerah meliputi:

a. Pemerintahan Syu (setingkat karisidenan);b. Pemerintahan Ken (setingkat kabupaten) dan pemerintahan

syi (setingkat kotapraja);c. Pemerintahan Gun (setingkat kawedanan);d. Pemerintahan Son (setingkat kecamatan);e. Pemerintahan Ku (setingkat kelurahan atau desa).

Di samping itu, untuk daerah-daerah swapraja (kerajaan atau kesultanan), juga masih dipertahankan dengan nama Kooti, yang mana setiap kooti dibagi ke dalam Ken, Gun, dan Ku. Namun

Page 66: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

55Perspektif, Konseptualisasi dan Konteks Yuridis

Jepang menghapus asas desentralisasi, yang terbukti dengan dibubarkannya dewan-dewan daerah pada setiap daerah otonom tersebut. Namun demikian, kabupaten dan kotapraja berjalan terus tanpa dewan, semua kekuasaannya dijalankan oleh Bupati (Kentyoo) dan Walikota (Setyoo).83 Baru pada masa akhir kekuasaannya, Jepang menghidupkan kembali daerah otonom, khususnya di daerah Syu dan Syi.84

Dengan demikian, pada saat Pasal 18 dirumuskan, maka yang dimaksud dengan “daerah besar” adalah daerah Syu (setingkat Karisidenan) dan “daerah kecil” maksudnya adalah daerah Ken (daerah setingkat regentschap atau kabupaten) serta daerah Syi (daerah setingkat Staatsgemeenten atau kotapraja).

Bagaimana dengan munculnya istilah provinsi? Provinsi sebagai “daerah besar” adalah hasil pelaksanaan ketentuan Bestuurshervormingswet 1922, yang menunjukkan daerah otonom meliputi: (i) Provinsi dengan luas sama dengan daerah administrasi gewest; (ii) Regentschap yang luasnya sama dengan daerah administrasi kabupaten; dan (iii) Staatsgemeenten atau kotapraja yang luasnya sama dengan daerah kota yang bersangkutan.

Di samping itu, dalam Sidang PPKI tanggal 19 Agustus 1945 telah menghasilkan beberapa hal, antara lain soal penetapan Daerah Republik Indonesia, yang salah satunya mengatur bahwa untuk sementara daerah negara Indonesia akan dibagi ke dalam 8 provinsi yang masing-masing dipimpin oleh seorang gubernur. Kedelapan provinsi itu adalah:

83Soehino, 1983, Perkembangan Pemerintahan di Daerah, Jogjakarta, Penerbit Liberty, hlm. 15.

84Hanif Nurcholis, 2005, Teori dan Praktik Pemerintahan dan Otonomi Daerah, Jakarta, Penerbit Grasindo, hlm. 53.

Page 67: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

56 HUKUM PEMERINTAHAN DESA

a. Jawa Barat;b. Jawa Tengah;c. Jawa Timur;d. Sumatera;e. Borneo;f. Sulawesi;g. Maluku; danh. Sunda Kecil.

Jadi, mengapa Prof. Soepomo menafsirkan provinsi sebagai “daerah besar” dalam tulisan pribadinya yang kemudian menjadi Penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 18 dan diterbitkan pada tahun 1946, karena ia telah menghadapi kenyataan bahwa sesuai dengan hasil sidang PPKI tanggal 19 Agustus 1945, negara republik telah dibagi ke dalam provinsi-provinsi. Sedangkan untuk “daerah kecil” tidak disebut secara jelas karena memang masih banyak “daerah kecil” dengan sistem pemerintahan dan nama yang bermacam-macam seperti karisidenan, kooti (daerah swapraja), kota (gemeente), kabupaten (regentschap), desa, nagari, atau marga.85 Dengan demikian, secara historis, semenjak awal eksistensi desa sebagai salah satu bentuk volksgemenschappen atau indlandshe gemeente “dibiarkan” seperti keadaan pada zaman Hindia Belanda, sehingga walaupun eksis, akan tetapi tidak memperoleh “tempat” yang jelas dalam konteks susunan pemerintahan daerah yang dikehendaki oleh undang-undang dasar pasca proklamasi.

Secara historis juga, pada awalnya Desa merupakan organisasi komunitas lokal yang mempunyai batas-batas wilayah, dihuni oleh sejumlah penduduk, dan mempunyai adat-istiadat untuk

85Ibid., hlm. 55.

Page 68: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

57Perspektif, Konseptualisasi dan Konteks Yuridis

mengelola dirinya sendiri. Inilah yang disebut dengan self-governing community. Sebutan Desa sebagai kesatuan masyarakat hukum baru dikenal pada masa kolonial Belanda. Desa pada umumnya mempunyai pemerintahan sendiri yang dikelola secara otonom tanpa ikatan hirarkhis-struktural dengan struktur yang lebih tinggi. Di Sumatera Barat, misalnya, nagari adalah sebuah “republik kecil” yang mempunyai pemerintahan sendiri secara otonom dan berbasis pada masyarakat (self-governing community). Pengakuan dan penghormatan negara terhadap Desa dalam konstitusi sebenarnya nampak jelas dalam penjelasan Pasal 18 disebutkan bahwa: Dalam territoir Negara Indonesia terdapat lebih kurang 250 zelfbesturende landchappen dan volksgemenschappen, seperti Desa di Jawa dan Bali, negeri di Minangkabau, dusun dan marga di Palembang dan sebagainya. Daerah-daerah itu mempunyai susunan asli, dan oleh karenanya dapat dianggap sebagai daerah yang bersifat istimewa. Kalimat ini menegaskan bahwa republik harus mengakui keberadaan Desa-Desa di Indonesia yang bersifat beragam.

Konsep zelfbesturende landchappen identik dengan Desa otonom (local self government) yaitu Desa sebagai kesatuan masyarakat hukum yang berhak dan berwenang mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Sedangkan konsep volksgetneenschappen identik dengan kesatuan masyarakat hukum adat atau menurut orang Bali disebut dengan “Desa adat” atau self governing community. Zelfbesturende landchappen akan mengikuti azas desentralisasi (pemberian) dan volksgetneenschappen akan mengikuti azas rekognisi/pengakuan (meski azas ini tidak dikenal dalam semesta teori desentralisasi).

Namun keragaman dan pembedaan zelfbesturende landchappen (Desa otonom) dan volksgetneenschappen (Desa adat) itu lama kelamaan menghilang, apalagi pada masa Orde Baru dilakukan

Page 69: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

58 HUKUM PEMERINTAHAN DESA

penyeragaman dengan model Desa administratif, yang bukan Desa otonom dan bukan Desa adat. Lebih memprihatinkan lagi, Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 malah menghilangkan istilah Desa. Pasal 18 ayat (1) menegasakan: “Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten dan kota mempunyai pemerintahan daerah yang diatur dengan undang-undang”. Juga pasal 18B ayat 2 menegaskan: Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang”.

Meskipun istilah Desa hilang dalam Perubahan UUD 1945, tetapi klausul “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya…” berarti mengharuskan negara melakukan rekognisi terhadap kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat, yang di dalamnya mencakup Desa, nagari, mukim, huta, sosor, kampung, marga, negeri, parangiu, pakraman, lembang dan seterusnya.

Dalam skala yang lebih luas, konsep zelfbestuurende lanschappen sesungguhnya menunjuk kepada daerah swapraja, sedangkan volksgemenschappen atau indlandshe gemeente menujuk kepada kesatuan masyarakat hukum adat seperti Desa, nagari, mukim, huta, sosor, kampung, marga, negeri, parangiu, pakraman, lembang dan seterusnya.

B. TIPOLOGI DESA

Menurut Sutoro Eko, berdasarkan sketsa teori dan pengalaman sejarah, setidaknya ada 3 (tiga) posisi politik desa bila ditempatkan

Page 70: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

59Perspektif, Konseptualisasi dan Konteks Yuridis

dalam formasi negara yaitu (i) desa sebagai organisasi komunitas lokal yang mempunyai pemerintahan sendiri atau disebut dengan self-governing community; (ii) desa sebagai bentuk pemerintah lokal yang otonom atau disebut local self government; dan (iii) desa sebagai bentuk pemerintahan negara di tingkat lokal atau disebut dengan local state government. 86

Pertama, desa sebagai organisasi komunitas lokal yang mempunyai pemerintahan sendiri atau disebut dengan self-governing community. Dalam tradisi Minangkabau, self-governing community ini identik dengan “republik kecil”, sebuah posisi yang dimiliki nagari-nagari pada masa lampau. Self-governing community berarti komunitas lokal membentuk dan menyelenggarakan pemerintahan sendiri berdasarkan pranata lokal, bersifat swadaya dan otonom, tidak dibentuk oleh kekuatan eksternal dan tidak terikat secara struktural dengan organisasi eksternal seperti negara. Secara historis, tidak hanya nagari di Minangkabau yang punya predikat self-governing community, tetapi juga desa-desa di Jawa maupun komunitas adat di daerah-daerah lain di Indonesia.

Kedua, desa sebagai bentuk pemerintah lokal yang otonom atau disebut local self government. Posisi local self government ini merupakan bentuk pemerintahan lokal secara otonom, sebagai konsekuensi dari desentralisasi politik (devolusi), yakni negara mengakui pemerintah daerah yang sudah ada atau membentuk daerah baru, yang kemudian disertai pembagian atau penyerahan kewenangan kepada pemerintah lokal.

Sementara, bagi desa, sebutan “otonomi asli” merupakan bentuk otonomi tradisional dalam kerangka self governing community, dan posisi local self government merupakan bentuk

86Sutoro Eko, “Mempertegas Posisi Politik dan Kewenangan Desa”, dalam www.forumdesa.com, diakses di Sukoharjo pada tanggal 22 April 2010, pukul 20.51 WIB.

Page 71: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

60 HUKUM PEMERINTAHAN DESA

“otonomi modern” dalam payung negara bangsa. Jika desa akan dikembangkan menjadi local self government, maka yang harus dilakukan bukan sekadar menegaskan kewenangan asal-usul, melainkan negara melakukan desentralisasi politik (devolusi) kepada desa, seperti yang dilakukan negara kepada daerah. Dalam regulasi, misalnya, perlu ditegaskan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi menjadi provinsi, kabupaten/kota dan desa.

Ketiga, desa sebagai bentuk pemerintahan negara di tingkat lokal atau disebut dengan local state government. Ini merupakan bentuk lain dari pemerintahan yang sentralistik, yang tidak melakukan devolusi, melainkan hanya melakukan dekonsentrasi. Contoh yang paling jelas dari tipe ini adalah kecamatan dan kelurahan. Keduanya bukan unit pemerintahan lokal yang otonom atau menerima desentralisasi dari negara, melainkan sebagai kepanjangan tangan negara di tingkat lokal. Daerah maupun desa di masa Orde Baru juga dibuat sebagai kepanjangan tangan negara (local state government). Model local state government ini jelas menimbulkan banyak kerugian: ketimpangan ekonomi-politik pusat dan lokal, ketergantungan dan ketidakmampuan lokal, dan hilangnya kedaulatan rakyat.

Ketiga posisi di atas bersifat absolut, harus dibedakan dan dipilah secara tegas dan jelas. Penempatan posisi daerah atau desa tidak boleh menggabungkan lebih dari satu model, melainkan harus tegas memilih salah satu model agar penggunaan kewenangan, pengambilan keputusan, penyelenggaraan pemerintahan dan hubungan antarpemerintah lebih jelas dan efektif. Penggabungan lebih dari satu model tentu akan menimbulkan ketidakjelasan penyelenggaraan pemerintahan.

Page 72: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

61Perspektif, Konseptualisasi dan Konteks Yuridis

Memang tidak solusi yang tunggal dan seragam untuk memposisikan desa. Setidaknya ada dua variabel penting yang harus diperhatikan. Pertama, pengaruh adat terhadap pemerintahan desa yang modern. Kedua, pengalaman dan kapasitas desa beradaptasi dengan nilai-nilai dan perangkat modern dalam pemerintahan desa

Dengan menggunakan kedua variabel tadi, untuk mencerna otonomi desa, Sutoro Eko mengidentifikasikan adanya 5 (lima) tipologi desa.87 Kelima tipologi tersebut mencakup: (i) ada adat tetapi tidak ada desa; (ii) ada desa akan tetapi tanpa adat; (iii) integrasi antara adat dengan desa; (iv) dualisme adat dan desa; dan (v) tidak ada adat dan tidak ada desa.

Pada tipologi yang pertama, yaitu “ada adat tetapi tidak ada desa”, menggambarkan bahwa desa hanya sebagai komunitas lokal berbasis adat yang tidak mempunyai pemerintah desa seperti yang terjadi pada komunitas-komunitas lokal di kawasan Eropa dan Amerika. Kalau di Indonesia misalnya ada Rukun Tetangga (RT) maupun Rukun Warga (RT). Sayangnya, RT di Indonesia juga mempunyai beban dan urusan administrasi pemerintahan. Organisasi lain yang steril dari urusan pemerintahan adalah komunitas atau organisasi masyarakat adat. Intinya, komunitas lokal itu memiliki organisasi lokal yang lebih menyerupai asosiasi lokal ketimbang institusi pemerintah. Organisasi atau asosiasi lokal itu bukanlah bawahan struktur pemerintah yang lebih tinggi, serta tidak menjalankan tugas-tugas administrasi dan pemerintahan yang diberikan oleh pemerintah, melainkan hanya menjalankan fungsi mengurus urusan-urusan kemasyarakatan yang bersifat lokal dan sukarela. Organisasi semacam ini sama sekali tidak meributkan masalah desentralisasi dan otonomi lokal yang berhubungan

87Ibid.

Page 73: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

62 HUKUM PEMERINTAHAN DESA

dengan pemerintah, kecuali hanya sebagai bentuk modal sosial yang digunakan oleh warga untuk menolong dirinya sendiri, bekerjasama, membangun kepercayaaan, dan bisa juga sebagai basis civil society untuk berpartisipasi dalam pembangunan. Meski tidak berurusan dengan desentralisasi, bukan berarti pemerintah mendiamkan masyarakat lokal itu. Wilayah maupun penduduk di komunitas lokal itu tetap menjadi kewenangan dan tanggungjawab pemerintah, terutama tanggungjawab pemerintah memberikan pelayanan publik (pendidikan, kesehatan, perumahan, air minum, listrik, transportasi dan sebagainya) yang tidak mungkin mampu ditangani sendiri oleh organisasi lokal.

Pada tipologi yang kedua, di mana “ada desa akan tetapi tanpa adat”, merupakan model yang persis dengan desa-desa di Jawa yang umumnya sudah lama berkembang sebagai institusi pemerintahan lokal modern yang meninggalkan adat. Modernisasi pemerintahan desa melalui Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa relatif “sukses” diterapkan di Jawa. Ini terlihat dengan tradisi pengelolaan pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan yang melekat di desa. Secara inkremental desa-desa di Jawa mulai memupuk kemampuan mengelola pemerintahan dan pembangunan secara baik, sementara arena demokrasi dan civil society juga mulai tumbuh. Meski belum sebagian besar, banyak desa di Jawa dipimpin oleh kepala desa progresif, yang menempa kemampuan dengan baik, mempunyai rencana strategis sebagai pedoman dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan, serta menyiapkan keuangan desa yang baik (akuntabel, transparan, dan partisipatif ). Desa-desa seperti itu sudah relatif siap ditransformasikan menjadi local self government yang mempunyai predikat otonomi secara. Dalam konteks ini perlu ada undang-undang pemerintahan desa khusus

Page 74: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

63Perspektif, Konseptualisasi dan Konteks Yuridis

di Jawa yang menegaskan tentang otonomi desa (kedudukan dan kewenangan) seperti halnya otonomi daerah di kabupaten/kota. Ketentuan undang-undang itu menegaskan kedudukan desa-desa di Jawa bukan sebagai bagian dari kabupaten semata, melainkan juga sebagai bagian dari negara. Inilah yang disebut dengan devolusi untuk desa. Penegasan tentang kedudukan desa itu juga disertai dengan pembagian (distribusi) kewenangan secara proporsional antara pusat, provinsi, kabupaten/kota dan desa. Dengan cara ini, desa-desa di Jawa jelas akan mempunyai kewenangan devolutif dan distributif yang lebih konkret, bukan lagi kewenangan kering atau kewenangan sisa yang tidak jelas. Kewenangan juga diikuti dengan perimbangan keuangan atau alokasi dana kepada desa untuk membiayai kewenangan itu. Konsekuensinya pemerintah desa mempunyai hak yang lebih jelas, sekaligus berkewajiban dan bertanggungjawab dalam “mengatur” dan “mengurus” tanah dan penduduk desa untuk kesejahteraan masyarakat.

Tipologi yang ketiga, yaitu integrasi antara adat dengan desa, atau terjadi peleburan antara desa dan adat. Model ini persis sama dengan nagari di Sumatera Barat kondisi sekarang. Sumatera Barat telah melancarkan “kembali ke nagari” sejak 2000 yang menggabungkan (integrasi) desa negara dengan adat nagari menjadi satu wadah tunggal nagari. Jika sebelumnya ada dualisme antara pemerintah desa negara dengan adat nagari (dan adat mengalami marginalisasi), maka sekarang terjadi integrasi ke dalam nagari, sehingga nagari tumbuh menjadi the local state. Nagari itu menggabungkan antara skema local self government dan self governing community, atau menegakkan prinsip tali tigo sapilin (negara, agama dan adat). Nagari mengenal pembagian kekuasaan berdasarkan Trias Politica yaitu eksekutif (pemerintah nagari), legislatif (badan perwakilan nagari) dan yudikatif (kerapatan adat

Page 75: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

64 HUKUM PEMERINTAHAN DESA

nagari maupun majelis adat dan syarak) yang bertugas menjadi instusi peradilan lokal (penyelesaian konflik lokal, bukan pidana) dan badan pertimbangan kepada eksekutif dan legislatif agar kebijakan nagari tetap sesuai dengan adat dan agama. Sesuai dengan adat setempat, kepemerintahan dan kepemimpinan nagari bertumpu pada tigo sajarangan (ninik mamak, cerdik pandai dan alim ulama), yang sekarang ditambah unsur bundo kanduang dan pemuda. Sekarang nagari belum menemukan konsep baru untuk mewadahi lima unsur nagari itu, tetapi kelimanya masuk dalam badan eksekutif dan legislatif. Sedangkan unsur Kerapatan Adat Nagari hanya mewadahi unsur ninik mamak, sedangkan Mejelis Ulama khusus mewadahi unsur alim ulama. Meski nagari mengenal legislatif (badan perwakilan nagari) sebagai arena demokrasi perwakilan, tetapi model demokrasi nagari tidak bertumpu pada hubungan eksekutif-legislatif itu. Sesuai dengan adat setempat, praktik demokrasi nagari yang sudah mengakar adalah demokrasi deliberatif, yakni permusyawaratan secara elitis antar pemimpin nagari. Ini adalah titik kelemahan empirik yang didistorsi oleh adat. Partisipasi perempuan dan pemuda hanya bersifat simbolik dan formalistik. Akses mereka dalam proses deliberasi tetap terbatas karena arena didominasi oleh elite nagari. The local state nagari juga bersifat korporatis, dimana seluruh unsur diwadahi secara tunggal di dalam wadah “negara” nagari. Akibatnya ruang dan aktor civil society tidak bisa tumbuh dengan baik di aras nagari.

Nagari yang baru mempunyai sederet kewenangan yang lebih jelas dan alokasi dana untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan. Kewenangan nagari antara lain mencakup kewenangan administratif, mengontrol tanah ulayat, pasar, tata ruang nagari, dan seterusnya. Keputusan untuk investasi di nagari, misalnya, tidak diputuskan

Page 76: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

65Perspektif, Konseptualisasi dan Konteks Yuridis

secara sepihak oleh kabupaten, melainkan keputusan pertama terletak pada nagari.

Tipologi keempat, yaitu model “dualisme adat dan desa”. Contoh yang paling menonjol model ini adalah desa-desa di Bali. Sampai sekarang di Bali tetap mempunyai dua bentuk desa yaitu “desa dinas”, sebagai bagian dari otoritas negara (negara) dan desa pakraman (adat). Desa dinas adalah birokrasi kepanjangan tangan negara yang mengatur dan mengurus masalah-masalah administrasi pemerintahan dan pembangunan. Sedangkan desa pakraman menjalankan fungsi merawat adat-istiadat, kontrol terhadap pemerintah desa dinas, termasuk mengontrol penggunaan tanah adat dari intervensi negara dan modal. Sejauh ini, desa pakraman tidak bersedia digabung dengan desa dinas sebagaimana pengalaman di Sumatera Barat, sebab mereka tidak mau kehilangan otonomi dan adat, serta tidak bersedia berposisi secara hirarkhis di bawah negara. Skema dualistik itu menarik sebab, berbeda dengan doktrin Trias Politica, kekuasaan desa-desa di Bali dipisah menurut garis pemerintahan dan pembangunan yang menjadi domain desa dinas dengan adat dan kemasyarakatan yang merupakan domain desa pakraman. Desa pakraman menjadi organisasi komunitas lokal yang menjadi identitas, basis otonomi dan kontrol terhadap pemerintah desa dinas. Dengan demikian desa pakraman menjadi arena civil society dan partisipasi warga. Berbeda dengan Kerapatan Adat Nagari di Sumatera Barat yang terintegrasi dan ikut “menguasai” pemerintahan nagari, desa pakraman di Bali mempunyai domain sendiri yang otonom dan ikut “mempengaruhi” atau “mengontrol” negara.

Dengan skema itu Trias Politica (eksekutif, legitlatif dan yudikatif ) dalam konteks desa dinas tidak berlaku. Sampai sekarang desa-desa dinas di Bali tidak mempunyai Badan Perwakilan Desa

Page 77: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

66 HUKUM PEMERINTAHAN DESA

sebagaimana terjadi di desa-desa di Jawa. Desa dinas tidak berjalan secara efektif sebagai institusi modern yang menjalankan fungsi pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan. Di sana ada dualisme antara kepala desa (dinas) dengan pendesa (pemimpin desa pakraman). Warga lebih percaya pada pendesa ketimbang kepala desa. Ini persoalan yang serius. Pemerintah desa dinas menghadapi delegitimasi dan distrust dari warga, sementara desa pakraman menjadi “tirani” yang tidak bisa dikontrol publik. Sebagai contoh desa pakraman tumbuh menjadi “negara” yang mempunyai polisi adat (pecalang) yang relatif represif kepada warga.

Tipologi yang kelima adalah model “tidak ada adat dan tidak ada desa” alias model kelurahan. Kelurahan adalah bentuk satuan administrasi birokrasi negara yang bekerja di aras lokal, atau sering disebut sebagai the local state government. Berbeda dengan desa, kelurahan tidak mempunyai otonomi, melainkan hanya menjalankan tugas-tugas administrasi pemerintahan yang didelegasikan dari atas. Pimpinan kelurahan adalah lurah, yang berstatus Pegawai Negeri Sipil dan posisinya sebagai pejabat administrasi (karir) yang diangkat. Dia tidak bertanggungjawab kepada rakyat, melainkan kepada pejabat yang mengangkatnya. Pengaturan tentang kelurahan sudah dimulai secara tegas dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa.

Ketentuan undang-undang ini memberi ruang peralihan dari desa yang otonom menjadi keluarahan yang berstatus sebagai unit administratif. Banyak pengalaman menunjukkan bahwa desa-desa yang berada di wilayah perkotaan, urbanized, industrialized atau menjadi pusat pemerintahan dan perdagangan, telah berubah menjadi kelurahan. Dengan sendirinya kelurahan tidak lagi

Page 78: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

67Perspektif, Konseptualisasi dan Konteks Yuridis

mempunyai hak dan kontrol atas tanah ulayat atau tanah bengkok, karena semua ini diambil alih oleh negara.

Perubahan dari desa menuju kelurahan tentu memperbaiki sistem birokrasi lokal, juga mengakhiri tarik-menarik antara desa dan supradesa, atau antara adat dengan negara. Tetapi kelurahan menghilangkan otonomi dan demokrasi desa. Umumnya perubahan dari desa ke kelurahan merupakan kehendak supradesa untuk meningkatkan pendapatan pajak dan melancarkan kapitalisasi terhadap tanah yang menjadi milik desa.

C. OTONOMI DAN KEWENANGAN DESA

Istilah otonomi berasal dari bahasa Yunani, yaitu autos yang berarti “sendiri” dan nomos yang berarti peraturan. Oleh karena itu, secara harafiah otonomi berarti peraturan sendiri atau undang-undang sendiri, yang selanjutnya berkembang menjadi pemerintahan sendiri.88 Selanjutnya diuraikan bahwa otonomi daerah adalah penyerahan sebagian urusan rumah tangga dari pemerintah yang lebih atas kepada pemeritnah di bawahnya, dan sebaliknya, pemerintah di bawahnya yang menerima sebagian urusan tersebut telah mampu melaksanakannya.89

Menurut Bagir Manan, otonomi merupakan sebuah tatanan ketatanegaraan (staatsrechtelijk) dan bukan bukan sekedar tatanan admistrasi negara (administratiefrechtelijk). Sebagai tatanan ketatanegaraan, otonomi berkaitan dengan dasar-dasar bernegara dan susunan organisasi negara.90 Selanjutnya, Ateng Syarifudin

88Dharma Setyawan Salam, 2003, Otonomi Daerah dalam Perspektif Lingkungan, Nilai, dan Sumber Daya, Jakarta, Penerbit Djambatan, hlm. 81.

89Ibid., hlm. 82.90Bagir Manan, Menyongsong Fajar...., op.cit., hlm. 24.

Page 79: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

68 HUKUM PEMERINTAHAN DESA

menunjuk makna otonomi sebagai kebebasan atau kemandirian (zelfstandigheid) tetapi bukan kemerdekaan (onafhankelijkheic). Dalam pemberian tanggung jawab terkandung 2 (dua) unsur, yaitu:

1. Pemberian tugas dalam arti sejumlah pekerjaan yang harus diselesaikan serta kewenangan untuk melaksanakannya;

2. Pemberian kepercayaan berupa kewenangan untuk memikirkan dan menetapkan sendiri bagaimana menyelesaikan tugas itu.91

Pada bagian lain Bagir Manan menyatakan bahwa otonomi adalah kebebasan dan kemandirian (vrijheid dan zelfsatndigheid) dari satuan pemerintahan yang lebih rendah untuk mengatur dan mengurus sebagian urusan pemerintahan. Urusan pemerintahan yang boleh diatur dan idurus secara bebas dan mandiri itu menjadi atau merupakan urusan rumah tangga satuan pemerintahan yang lebih rendah itu. Artinya kebebasan dan kemandirian merupakan hakekat isi otonomi.92

Terdapat dua komponen utama pengertian otonomi, yaitu pertama, komponen wewenang menetapkan dan melaksanakan kebijakan sebagai komponen yang mengacu kepada konsep “pemerintahan” yang terdapat dalam pengertian otonomi. Kedua, komponen kemandirian sebagai komponen yang mengacu pada kata-kata “oleh, dari, dan untuk rakyat.” Kemandirian tersebut diterjemahkan oleh Mohammad Hatta sebagai mendorong tumbuhnya prakarsa dan aktivitas sendiri.93 Jadi, dari bermacam-

91Ateng Syarifudin, “Pasang Surut Otonomi Daerah”, Orasi Dies Natalis Universitas Parahiyangan, Bandung, 1983.

92Bagir Manan, 1993, Perjalanan Historis Pasal 18 UUD 1945, Karawang, UNSIKA.93Bhenyamin Hossein, 1993, Berbagai Faktor yang Mempengaruhi Besarnya Otonomi

Daerah Tingkat II Suatu Kajian Dsentralisasi dan Otonomi Daerah dari Segi Ilmu Administrasi

Page 80: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

69Perspektif, Konseptualisasi dan Konteks Yuridis

macam pengertian itu otonomi dalam konteks pemerintahan mengandung 2 (dua) segi utama yaitu komponen wewenang menetapkan dan melaksanakan kebijakan dan komponen kemandirian.

Menurut Sutoro Eko94, pembicaraan tentang kewenangan desa sebenarnya sangat relevan dilakukan dalam konteks desa sebagai local self government, atau setidaknya pembicaraan itu akan mengarah pada pengembangan desa menuju local self government. Selanjutnya diuraikan bahwa dari sisi historis dan legal-formal, desa mempunyai 4 (empat) jenis kewenangan.95 Pertama, kewenangan generik atau kewenangan asli, yang sering disebut hak atau kewenangan asal-usul yang melekat pada desa (atau nama lain) sebagai kesatuan masyarakat hukum. Kedua, kewenangan devolutif, yaitu kewenangan yang harus ada atau melekat kepada desa karena posisinya sebagai pemerintahan lokal (local-self government), meski desa belum diakui sebagai daerah otonom seperti kabupaten/kota. Ketiga, kewenangan distributif, yakni kewenangan mengelola urusan (bidang) pemerintahan yang dibagi (bukan sekadar delegasi) oleh pemerintah kepada desa. Keempat, kewenangan dalam pelaksanaan tugas pembantuan.

Untuk kewenangan yang pertama, yaitu kewenangan generik, sering pula disebut sebagai property right komunitas untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri atau yang sering disebut sebagai wujud otonomi asli. Ada beberapa jenis kewenangan generik yang sering dibicarakan, yaitu (i) Kewenangan membentuk dan mengelola sistem pemerintahan sendiri; (ii) Kewenangan mengelola sumberdaya lokal (tanah

Negara, disertasi Fakultas Pascasarjana, Universitas Indonesia, Jakarta, hlm. 9.94Ibid.95Ibid.

Page 81: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

70 HUKUM PEMERINTAHAN DESA

kas desa, tanah bengkok, tanah ulayat, hutan adat, dll); (iii) Kewenangan membuat dan menjalankan hukum adat setempat; (iv) Kewenangan mengelola dan merawat nilai-nilai dan budaya lokal (termasuk adat-istiadat); dan (v) Kewenangan yudikatif atau peradilan komunitas (community justice system), misalnya dalam hal penyelesaian konflik lokal. Di Sumatera Barat, misalnya, terdapat lembaga Kerapatan Adat Nagari yang mempunyai kewenangan dalam menjalankan peradilan, terutama penyelesaian sengketa pusako. Di Jawa, dulu, ada dewan morokaki, sebuah wadah para tetua desa yang memberikan pertimbangan kepada lurah desa, sekaligus menjalankan fungsi penyelesaian sengketa lokal.

Untuk kewenangan yang kedua, yaitu kewenangan devolutif, yaitu kewenangan yang harus ada atau melekat kepada desa karena posisinya sebagai pemerintahan lokal (local-self government), meski desa belum diakui sebagai daerah otonom seperti kabupaten/kota. Sebagai contoh, ada sejumlah kewenangan desa yang bisa dikategorikan sebagai kewenangan devolutif, yaitu:

1. Penetapan bentuk dan susunan organisasi pemerintahan desa; 2. Pencalonan, pemilihan dan penetapan Kepala Desa; 3. Pencalonan, pemilihan, pengangkatan dan penetapan

perangkat desa; 4. Pembentukan dan penetapan lembaga masyarakat; 5. Penetapan dan pembentukan Baadan Permusyawaratan Desa; 6. Pencalonan, pemilihan dan penetapan anggota Badan

Permusyawaratan Desa; 7. Penyusunan dan penetapan anggaran desa; 8. Penetapan peraturan desa; 9. Penetapan kerja sama antar desa; dan10. Penetapan dan pembentukan Badan Usaha Milik Desa.

Page 82: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

71Perspektif, Konseptualisasi dan Konteks Yuridis

Ketiga, kewenangan distributif, yakni kewenangan mengelola urusan (bidang) pemerintahan yang dibagi (bukan sekadar delegasi) oleh pemerintah kepada desa. Menurut hukum positif dewasa ini, seperti Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, kewenangan distributif ini disebut sebagai “kewenangan yang oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku belum dilaksanakan oleh daerah dan pemerintah”, yang dalam pratiknya sering dikritik sebagai “kewenangan kering” karena tidak jelas atau “kewenangan sisa” karena desa hanya menerima kewenangan sisa (karena semuanya sudah diambil kabupaten/kota) yang tidak jelas dari supradesa. Bagaimana bentuk-bentuk kewenangan distributif? Kabupaten Solok, misalnya, sudah melakukan distribusi sejumlah 111 urusan kepada nagari, yang hal itu bisa disebut sebagai kewenangan distributif. Demikian juga dengan Direktorat Jenderal Pemberdayaan Masyarakat Desa Kementerian Dalam Negeri pada tahun 2001 sudah pernah menyiapkan Manual Pemerintahan Desa, yang salah satu isinya adalah positive list tentang kewenangan desa berdasarkan bidang-bidang pemerintahan dan pembangunan. Daftar kewenangan itu dapat disebut kewenangan distributif, yang perlu dicermati kembali dan dilembagakan menjadi kebijakan dan regulasi resmi.

Keempat, kewenangan dalam pelaksanaan tugas pembantuan. Ini sebenarnya bukan termasuk kategori kewenangan desa karena tugas pembantuan hanya sekadar melaksanakan tugas tertentu yang disertai pembiayaan, sarana dan prasarana serta sumber daya manusia dengan kewajiban melaporkan pelaksanaannya dan mempertanggungjawabkan kepada yang menugaskan. Titik kewenangannya justru bersifat “negatif”, yaitu kewenangan desa menolak tugas pembantuan bila tidak disertai pendukungnya.

Page 83: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

72 HUKUM PEMERINTAHAN DESA

Dalam pandangan Syamsuddin Haris,96 kita tidak mungkin otonomi desa merupakan turunan dari otonomi daerah, esensi kedua otonomi ini tidak sama. Pada tingkat kabupaten/kota basisnya desentralisasi oleh pusat, sementara basis otonomi desa adalah kepercayaan masyarakat. Masalahnya adalah apakah desa di masa depan akan didesain sebagaimana yang dilakukan oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, sehingga desa seolah-olah menjadi eksperimen, menjadi ujicoba yang tidak ada habis-habisnya, padahal desa telah mempunyai otonomi asli. Dalam hal ini, self governing community tetap bisa menjadi basis mengembangkan otonomi desa dan demokrasi desa. Tidak semua desa harus dipaksakan memiliki badan permusywaratan karena ada desa yang telah memiliki hal-hal seperti itu, ada yang sifatnya sebagai adat atau agama, sehingga dapat kembali ke semangat keanekaragaman. 97

96Syamsuddin Haris, “Otonomi Desa, Perlukah Diatur?”, dalam www.forumdesa.com., diakses di Sukoharjo pada tanggal 22 April 2010, pukul 21.33 WIB.

97Ibid.

Page 84: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

73

BAB IV

PENGATURAN DESA PADA MASA KOLONIAL

A. Masa Kolonial Hindia Belanda

1. Sistem Pemerintahan Daerah

Pada tahun 1854, Pemerintah kolonial Belanda mengeluarkan Regeeringsreglement yang merupakan cikal-bakal pengaturan tentang daerah dan Desa. Ketentuan Regeeringsreglment tersebut dimaksudkan sebagai Konstitusi Hindia Belanda yang dalam sekian banyak pasalnya (khususnya yang termuat dalam Bab V) mengisyaratkan dengan jelas untuk mewujudkan Hindia Belanda sebagai rechsstaat. Menurut Regeering Reglement (RR) 1854, Nederlandse Indie diperintah oleh Gubernur Jenderal atas nama Raja/Ratu Nederland secara sentralistis. Daerah Nederlandse Indie dibagi dalam dua kategori besar yaitu het indirect atau het inlandsch bestuurd gebeied dan direct bestuurd gebeied atau gouvernnement gebeied. Daerah het indirect atau het inlandsch bestuurd gebeied adalah daerah yang diperintah secara tidak langsung oleh penguasa Batavia. Menurut Amrah Muslimin, daerah ini biasanya berbentuk kerajaan atau kesultanan yang terikat dengan perjanjian politik baik jangka panjang (Kasultanan Jogja, Kasunanan Solo, dan Kasultanan Deli) maupun jangka pendek (Kasultanan Goa, Bone, dan sebagainya). Perjanjian ini dilakukan oleh raja/sultan dari kerajaan/

Page 85: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

74 HUKUM PEMERINTAHAN DESA

kesultanan lokal dengan Residen/Gubernur sebagai wakil Gubernur Jenderal atas nama Raja/Ratu Belanda. Dengan perjanjian tersebut kerajaan/kesultanan memiliki status “negara semi merdeka” dalam lingkungan Kerajaan Belanda. Daerah-daerah tersebut diperintah sendiri oleh penguasa pribumi dan memiliki struktur pemerintahan lokal sendiri.98 Pemerintah Hindia Belanda hanya menempatkan para pengawas dengan pangkat Asisten Residen, Residen, atau Gubernur sesuai dengan tingkatan daerah yang didasarkan pada kepentingan pemerintah Hindia Belanda. Dari sinilah kemudian muncul kedudukan khusus suatu daerah yang dikenal dengan nomenklatur Zelfbesturende Lanschappen (Daerah Swapraja atau berpemerintahan sendiri atau otonom). Di samping itu terdapat suatu kesatuan hukum adat yang mengurus rumah tangganya sendiri berdasarkan hukum adat seperti Desa, Marga, Huta, Kuria, Nagari, dan sebagainya. Menurut Soehino, kesatuan masyarakat hukum ini cara pengaturannya dibedakan antara yang ada di Jawa dan Madura dengan yang ada di luar Jawa dan Madura. Di Jawa dan Madura diatur dalam Inlandsche Gemeente Ordonanntie Java end Madura (IGO, S. 1906-83). Sedangkan untuk di luar Jawa dan Madura diatur dalam Inlandsce Gemeente Ordonannantie Buitengewesten (IGOB, S.1938-490 jo S. 1983-68).99

Sementara, direct bestuurd gebeied atau gouvernnement gebeied adalah yang diperintah secara langsung oleh Batavia secara hirarkis. Pemerintahannya bersifat administratif atau sering disebut “pemerintahan pangreh praja”. Pemerintahan ini pun dibedakan

98Amrah Muslimin, 1986, Aspek-aspek Hukum Otonomi Daerah, Bandung, Penerbit Alumni, hlm. 14-15.

99Soehino, 1983, Perkembangan Pemerintahan Di Daerah, Jogjakarta, Penerbit Liberty, hlm. 6.

Page 86: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

75Perspektif, Konseptualisasi dan Konteks Yuridis

antara pemerintahan di wilayah Jawa dan Madura dengan Luar Jawa dan Madura.

Di daerah Jawa dan Madura, secara berurutan tingkatan pemerintahan adalah :100

1. Provinsi atau Gewest yang dipimpin oleh Gouvernour atau Gubernur;

2. Karesidenan atau Residensi, yang dipimpin oleh Resident atau Residen;

3. Kabupaten atau Regenschap, yang dipimpin oleh seorang Bupati atau Regent;

4. Kawedanan atau Distrct yang dipimpin oleh Wedono;5. Kecamatan atau Onder district yang dipimpin oleh Camat

sebagai Asisten Wedana); dan6. Desa (Lurah/Kepala Desa).

Di daerah Luar Jawa dan Madura, secara berurutan tingkatan pemerintahan adalah :

1. Provinsi atau Gewest, yang dipimpin oleh Gubernur atau Gouvernur;

2. Karesidenan atau Residensi yang dipimpin oleh Residen; 3. Afdeling , yang dipimpin oleh Asisten Residen atau Assistent

Resident;4. Onder Afdeling, yang dipimpin oleh Controleur; 5. District/Kawedanan yang dipimpin oleh Demang;6. Onderdistrict/Kecamatan, yang dipimpin oleh Asisten

Demang; dan

100Ibid., hlm. 5-6.

Page 87: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

76 HUKUM PEMERINTAHAN DESA

7. Desa/Marga/Kuria/Nagari/nama lain yang dipimpin oleh Kepala Desa/nama lain).

Gubernur sampai Asisten Residen untuk Jawa dan Controleur untuk luar Jawa adalah berkebangsaan Belanda dan disebut Eurpese Bestuurambtenaren. Sedangkan Bupati sampai Lurah/Kepala Desa untuk Jawa dan Demang sampai kepala desa/nama lain untuk luar Jawa berkebangsaan pribumi dan disebut Inlandse Bestuurambtenaren.

Dengan adanya Decentralisatie Wet 1903 (S.1903-329 tanggal 23 Juli 1903) prinsip otonomi mulai diperkenalkan. Di beberapa daerah, di luar daerah otonom, mulai dibentuk Locale Raad (semacam Dewan Perwakilan Rakyat Daerah). Selanjutnya, ketentuan dalam Regeeringsreglement 1854 diubah dengan penambahan bab baru yaitu Bab X yang mengatur tentang pembentukan Volksraad (dimaksudkan sebagai Dewan Perwakilan Rakyat, meskipun secara politik tak lebih sebagai Penasehat Gubernur Jenderal), dan baru terbentuk pada tahun 1918 oleh Gubernur Jenderal Mr. Graaf van Limburg Stirum. Soehino dengan jelas menggambarkan adanya perubahan tersebut sebagai berikut:101

[Sejak) 20 Mei 1908 timbullah pergerakan-pergerakan nasional yang antara lain menuntut supaya Hindia Belanada diberi status dominion dalam ikatan dengan Kerajaan Belanda, dan supaya dibentuk Dewan Perwakilan Rakyat Pusat yang mempunyai kekuasaan untuk ikut serta menetapkan undang-undang dan mengawasi kebijaksanaan pemerintah pusat. Bahkan, lebih dari itu, telah terdengar pula tuntutan berdirinya Negara Indonesia Merdeka, terlepas dari ikatan kerajaan Belanda.

101Ibid., hlm. 6.

Page 88: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

77Perspektif, Konseptualisasi dan Konteks Yuridis

Menggarisbawahi pendapat Soehino mengenai perlunya lembaga yang mengawasi kebijaksanaan pemerintah pusat tersebut, Soetandyo Wignjosoebroto mennguraikan bahwa hal tersebut sudah dimulai dari persidangan Tweede Kamer, akhir tahun 1880, ketika L.W.C. Keuchenius membuka perdebatan soal itu. Menurut Kechenius, sudah tiba waktunya pemerintah membuka mata untuk melihat perkembangan di tanah Hindia Belanda dan, untuk kemudian, melakukan reformasi ketatanegaraan yang sudah harus dipandang sebagai sesuatu langkah yang amat diperlukan agar kebijakan dan urusan pemerintahan tidak lagi hanya terpusat di tangan gubernur jenderal beserta Raad van Indie saja.102 Soetandyo juga menginformasikan bahwa pendapat tersebut didukung oleh W.K. Baron van Dedem, walaupun sebatas pada masalah anggaran biaya pemerintah tanah jajahan. Diuraikan bahwa:103

Negeri Belanda sudah tidak akan lagi mungkin memperlakukan tanah jajahannya sebagai suatu wingewest yang lewat praktik cultuurstelsel dapat menjamin pembiayaan layanan administrasi pemerintahan di Hindia Belanda. Konsekuensinya, ialah bahwa anggaran pemerintahan Hindia Belanda haruslah dapat dibiayai oleh pendapatan-pendapatan yang diperoleh dari Hindia Belanda itu sendiri. Tidak dapat dihindari lagi bahwa urusan keuangan serta anggaran pendapatan dan belanja negara antara negara induk dengan negara koloninya, harus dipisahkan. Dengan demikian, bukan hanya amandemen terhadap Regeringsregleement 1854, tetapi juga terhadap De Indische Comptabilities Wet atau ICW tahun 1864...[K]epada Hindia Belanda haruslah diberikan

102Soetandyo Wignjosoebroto, 2004, Desentralisasi dalam Tata Pemerintahan Kolonial Belanda: Kebijakan dan Upya Sepanjang Babak Akhir Kekuasaan Kolonial di Indonesia (1900-1940), Malang, Penerbit Bayumedia Publishing, hlm. 4.

103Ibid., hlm. 5.

Page 89: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

78 HUKUM PEMERINTAHAN DESA

kewenangan legislatif tersendiri dengan membentuk badan legislatif tersendiri.

Setelah memakan perdebatan hampir 50 tahun di parlemen Belanda, baru pada tanggal 23 Juli 1903 undang-undang mengenai desentralisasi pemerintahan di Hindia Belanda, yang dinamakan De Wet Houdende Decentralisatie van Het Bestuur in Nederlands-Indie, berhasil diterima sidang dan diundangkan dalam Staatsblaad van Het Koninkrijk Der Nederlanden tahun 1903 Nomor 219, yang kemudian dikenal sebagai Decentralisatie Wet 1903.

Menurut Irawan Soedjito, Decentralisatie Wet 1903 sesungguhnya merupakan penambahan 3 (tiga) pasal baru terhadap ketentuan Regeringsregleement 1854, yakni Pasal 68a, Pasal 68b, dan Pasal 68c.104 Diuraikan lebih lanjut bahwa alasan-alasan untuk merubah ketentuan itu adalah:

[D]ilatarbelakangi oleh adanya suatu pandangan bahwa dengan semakin banyak urusan-urusan yang harus dilayani lambat laun pemerintah yang sentralistis itu makin melebihi beban yang dapat dipikul pemerintah pusat, karena banyak hal yang bersifat lokal sederhana harus diurus oleh pemerintah pusat. Sehingga pada akhir abad XIX orang mulai memandang lebih untuk mulai menyerahkan pembinaan urusan dan kepentingan-kepentingan lokal kepada badan-badan pemerintah lokal yang diberi sekadar kebebasan (zelfstanding) dan dapat memiliki keuangan sendiri.105

Dengan adanya Decentralisatie Wet 1903 tersebut, pemerintah Hindia Belanda membuka kemungkinan dibentuknya daerah-daerah otonom di luar daerah-daerah otonom berdasarkan hukum

104Irawan Soedjito, Sejarah Pemerintahan Daerah di Indonesia, hlm. 79-80.105Ibid.

Page 90: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

79Perspektif, Konseptualisasi dan Konteks Yuridis

adat. Menurut Amrah Muslimin, ketentuan-ketentuan baru dalam Regeringsregleement 1854, yang kelak menjadi Pasal 123, Pasal 124, dan Pasal 125 Indische Staatsregeling, membuka kemungkinan dibentuknya daerah-daerah otonom yang disebut Gewestelijke atau Local Raden (semacam Dewan Perwakilan Rakyat Daerah), yang mempunyai keuangan sendiri guna membiayai kebutuhan-kebutuhan khusus dari daerah-daerah otonom tersebut.106 Peraturan tersebut kemudian ditindaklanjuti dengan Decentralisatie Besluit 1904 dan Local Ordonantie 1905.

Hingga tahun 1908 tidak kurang dari 15 gemeenten dan 6 gewesten. Batavia, Meester Cornelis (Jatinegara), dan Buitenzorg (Bogor) dibentuk pada tahun 1905. Pada tahun 1906 dibentuk Bandung, Cirebon, Pekalongan, Tegal, Semarang, Surabaya, Magelang, Kediri, Blitar, Padang, Palembang, dan Makasar. Lalu Medan (1909) dan Malang (1914). Sejumlah gewesten yang dibentuk sebelum 1908 adalah Banten, Rembang, Madura, Besuki, Banyumas, dan Madiun.107

Harus dicatat, pembentukan daerah-daerah otonom menurut Decentralisatie Wet 1903 itu merupakan pemberian dengan berlandaskan pada asas-asas desentralisasi pemerintahan. Sementara itu, pemerintah Hindia Belanda membiarkan penyelenggaraan pemerintahan menurut daerah swapraja dan desa, yang tetap berjalan menurut hukum adat dan dilaksanakan oleh orang-orang bumiputera. Jadi, saat itu ada 2 (dua) daerah otonom yaitu daerah otonom menurut Decentralisatie Wet 1903 dan daerah otonom seperti daerah swapraja dan desa.

Khusus untuk daerah swapraja dapat dikatakan relatif otonom, meskipun agar tetap sejalan dengan kebijakan pemerintah

106Amrah Muslimin, op.cit., hlm. 16.107Soetandtyo Wignjosoebroto, op.cit., hlm. 22.

Page 91: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

80 HUKUM PEMERINTAHAN DESA

pusat, maka Pemerintah Hindia Belanda meminta raja atau sultan atau kepala daerah swapraja lainnya untuk melakukan tindakan-tindakan atau melaksanakan urusan-urusan tertentu atas biaya pemerintah pusat atau pemerintah atasnya. Raja atau sultan atau kepala daerah swapraja lainnya tersebut, yang melakukan tindakan atau melaksanakan urusan dari pemerintah pusat atau pemerintah atasnya dengan biaya yang telah ditentukan oleh pemerintah pusat disebut melaksanakan medebewind (tugas pembantuan).108

Medebewind dilaksanakan oleh raja atau sultan atau kepala daerah swapraja lainnya, kemudian dipertanggungjawabkan pelaksanaannya kepada Pemerintah Hindia Belanda. Pengertian medebewind semacam itulah yang kemudian dianut secara konsisten oleh pemerintah Orde Baru, sebagai asas penyelenggaraan pemerintahan daerah bersama-sama dengan asas desentralisasi dan asas dekonsentrasi.

Memang secara teoritis, medebewind sendiri mempunyai makna yang berbeda-beda. Menurut Bagir Manan, medebewind diberikan oleh pemerintah pusat atau pemerintah yang lebih atas kepada pemerintah daerah di bawahnya berdasarkan undang-undang. Oleh karena itu medebewind diartikan juga sebagai serta tantra atau tugas pembantuan.109 Secara konkrit, Bagir Manan menyebut medebewind sebagai tugas melaksanakan peraturan perundang-undangan tingkat lebih tinggi (de uitvoering van hogere regelingen). Daerah terikat melaksanakan peraturan perundang-undangan termasuk yang diperintahkan atau diminta (vorderen) dalam rangka tugas pembantuan.110

108Soehino, Perkembangan Pemerintahan di Daerah...., op.cit., hlm. 13.109Bagir Manan, Hubungan Pusat dan Daerah...., op.cit., hlm. 85.110Ibid., hlm. 179.

Page 92: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

81Perspektif, Konseptualisasi dan Konteks Yuridis

RDH. Koesoemahatmadja memberikan pengertian medebewind sebagai pemberian kemungkinan dari pemerintah pusat atau daerah yang lebih atas untuk meminta bantuan kepada pemerintah daerah atau pemerintah daerah yang tingkatannya lebih rendah agar menyelenggarakan tugas atau urusan rumah tangga daerah yang tingkatannya lebih atas.111 Mengenai tata cara pelaksanaan medebewind itu dilukiskan oleh Koesoemahatmadja sebagai berikut:112

Daerah-daerah...diberi tugas pembantuan oleh pemerintah pusat yang disebut medebewind atau zelfbestuur (menjalankan peraturan-peraturan yang dibuat oleh dewan yang lebih tinggi). Dalam menjalankan medebewind tersebut urusan-urusan yang diselenggarakan oleh pemerintah daerah masih tetap merupakan urusan pusat atau daerah yang lebih atas, tidak beralih menjadi urusan rumah tangga daerah yang dimintai bantuan. Hanya saja daerah otonom menyelenggarakan bantuan tersebut diserahkan sepenuhnya kepada daerah itu sendiri. Daerah otonom ini tidak berada di bawah pemerintah, juga tidak dapat dimintai pertanggungjawaban oleh pemerintah pusat atau daerah yang lebih tinggi yang memberi tugas. Karena hakekatnya urusan yang diperbantukan pada daerah otonom tersebut adalah urusan pusat, maka dalam sistem medebewind anggarannya berasal dari anggaran pusat yang ditransfer langsung ke kas daerah. Anggaran ini masuk ke rekening khusus yang pertanggungjawabannya terpisah dari anggaran daerah.

111Koesoemahatmadja,Pengantar ke Arah...., op.cit., hlm. 21-22.112Ibid.

Page 93: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

82 HUKUM PEMERINTAHAN DESA

Lebih lanjut diuraikan bahwa dalam sistem medebewind pemerintah pusat atau daerah otonom yang lebih tinggi menyerahkan urusan yang menurut peraturan perundang-undangan merupakan kewenangannya, kepada daerah otonom di bawahnya. Daerah otonom yang diserahi lalu melaksanakannya melalui perangkat atau dinas-dinas. Dalam melaksakan tugas tersebut, aparat pelaksana tidak bertanggung jawab kepada pemerintah pusat atau daerah yang lebih tinggi yang memberi tugas tetapi kepada kepala daerah (zelfuitvoering).113

2. Pengaturan Desa

Walaupun sudah diundangkan ketentuan Decentralisatie Wet 1903 jo. Decentralisatie Besluit jo. Local Ordonantie 1905, apa yang disebut sebagai inlandsche gemeenten (baik yang berada dalam kota yang dikenal sebagai kampung maupun di luar kota yang dikenal sebagai desa) belum dimaksukkan dalam pembicaraan. Barulah kemudian dipandang perlu untuk menganggapi kepentingan perkembangan kehidupan golongan penduduk pribumi di desa-desa disiapkanlah dan diundangkan sebuah ordonansi khusus, yaitu De Inlanfsche Gemeente Ordonantie (Ind. S. 1906-83, 3 Februari 1906), yang dalam kepustakaan disingkat IGO. Ordonansi itu dimaksudkan utnuk mengatur urusan pengelolaan berikut kepentingan rumah tangga komunitas-komunitas pedesaan pribumi di Jawa dan Madura yang diperintah langsung oleh pemerintah Hindia Belanda (yang oleh sebab itu desa-desa di daerah Vorstenlanden dan beberapa daerah particuliere landerijen di

113Ibid.

Page 94: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

83Perspektif, Konseptualisasi dan Konteks Yuridis

lembah Cimanuk, sejauh belum ditebus dan dibebeaskan sebagai tanah negara, tidaklah termasuk yang diatur dalam ordonansi ini.114

Ordonansi itu meliputi 20 pasal, yang terbagi ke dalam 4 (empat) bagian untuk mengatur urusan organisasi dan pendapatan desa, penyelenggaraan administrasi desa berikut pertanggungjawabannya, pengelolaan harta milik dan kekayaan desa, serta penyelenggaraan kerja-kerja untuk kepentingan negara, atau untuk apapun yang oleh warga desa dianggap penting bagi desa. Dalam penjelasan atas Ordonnantie itu yang dimuat dalam Bijblad 6567 disebutkan bahwa ketetapan-ketetapan dalam Ordonnantie secara konkret mengatur bentuk, kewajiban dan hak kekuasaan pemerintah Desa baik berdasarkan hukum ketataprajaan maupun berdasarkan hukum perdata.

Di dalam ordonansi itu tersimpul paling tidak adanya 9 (sembilan) asas pemerintahan desa, yaitu:115

1. Kedudukan para kepala desa diakui resmi oleh pemerintah;2. Jabatan kepala desa harus diperoleh melalui suatu pemilihan;3. Pendapatan kepala desa dan pembatu-pembantunya akan

diperoleh berdasarkan adat yang diakui berlaku;4. Pengelolaan pemerintah desa diserahkan kepada kepala

desa berdasarkan aturan-aturan yang akan menjamin pelaksanaannya yang baik;

5. Ada sejumlah orang yang ditentukan untuk boleh ikut berembug mengenai persoalan-persoalan desa;

6. Kepala desa akan mewakili desanya di luar maupun di dalam pada setiap perkara hukum;

114Ibid., hlm. 33.115Soetandyo Wignjosubroto, op.cit., hlm. 37.

Page 95: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

84 HUKUM PEMERINTAHAN DESA

7. Harta kekayaan komunal harus selalu dijaga dan dipertahankan adanya;

8. Kerja-kerja wajib (tanpa dibayar) untuk kepentingan desa memperoleh dasar pembenaran dan bahwa kemungkinan akan danya pembebanan-pembebanan lain oleh desa masih dibuka; dan

9. Pejabat yang berkedudukan lebih atas dapat turun tangan untuk mengatur hal ikhwal yang berhubungan dengan kewenangan yang ada pada kepala desa.

Ordonansi itu mengalami beberapa kali perubahan, masing-masing dengan ordonansi yang dimaklumat di dalam S.1910-591, S. 1913-235, dan S. 1919-217) dan pada tahun-tahun 1925, 1928, dan 1929, berdasarkan Pasal 6 Instellingsordonanties Provinsi-Provinsi Jawa Barat (S.1925-378), Jawa Timur (1928-295), dan Jawa Tengah (S. 1929-227), IGO ini mengalami perubahan lagi pada beberapa pasalnya sehubungan dengan dinyatakannya dalam instellings ordonanties tersebut bahwa IGO dikecualikan berlakunya untuk ressorten yang berada dalam lingkungan de staadsgemeenten.116

Meskipun berbagai peraturan yang muncul masih jauh dari sempurna, tetapi dalam rangka perundang-undangan Hindia Belanda semuanya telah berhasil menghilangkan keragu-raguan tentang kedudukan Desa sebagai badan hukum, lebih dari posisi Desa sekedar kesatuan komunal masyarakat. Peraturan telah berhasil pula mengembangkan kemajuan kedudukan hukum Desa sebagai pemilik harta benda.117 Bahkan, dengan pengaturan tersebut eksistensi desa dengan segala adat, kebutuhan, dan kepentingannya telah menyebabkan eksistensi dan otoritas kepala

116Ibid., hlm. 33.117Soetardjo Kartohadikoesoemo, op.cit., hlm. 39.

Page 96: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

85Perspektif, Konseptualisasi dan Konteks Yuridis

desa pun, kini, menjadi semakin tegas dan kukuh.118 Lebih lanjut, pada bagian lain Soetandjo Wignjosubroto menggambarkan efek hukum dari keberadaan IGO bagi eksistensi desa sebagai berikut:

Namun bagi desa, dengan diundangkannya IGO, akan berkonsekuensi lebih lanjut. Ketentuan IGO yang memberikan pengakuan dengan jalan memberikan landasan sanksi legal-formal kepada desa-desa (di Pulau Jawa dan Madura) pada akhirnya telah menjadikan desa-desa tersebut semakin terintegrasi ke dalam struktur pemerintahan kolonial. Dengan begitu, desa-desa akan mudah dikontrol dalam suatu sistem patronase, untuk digerakkan ke tujuan yang telah diprogram dari atas oleh pemerintah kolonial.119

Pengaturan tentang Desa seperti disebut di atas menimbulkan perdebatan di kalangan akademisi maupun internal pemerintahan kolonial.120 Misalnya, Van Deventer menyambutnya dengan gembira. Menurut Van Deventer, dengan keluarnya peraturan tentang Desa, hak Desa untuk mendapat dan menguasai milik sendiri telah diberi dasar hukum. Berdasarkan hak itu Desa akan dapat menyusun “pendapatan Desa” sendiri. Hal ini penting berhubungan dengan hendak didirikannya sekolah Desa dan lumbung Desa pada waktu itu. Sebaliknya Mr. Van Bockel dalam Koloniale Studien tahun 1921 mengatakan, bahwa peraturan itu merupakan sebuah tatapraja untuk Desa, yang dimasukkan dengan paksa ke dalam suatu susunan yang asing baginya, dengan tiada mengingat tingkat kecerdasan rakyat dan susunan tatapraja dalam daerah. Van Vollenhoven berpendapat senada. Setelah mengucapkan penghargaannya terhadap tujuan ordonansi di atas,

118Soetandyo Wignjosubroto, op.cit., hlm. 36.119Ibid.120E.B. Sitorus, dkk, 2007, Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang tentang Desa,

Jakarta, Direktorat Jenderal Pemberdayaan Masyarakat Desa, hlm. 43.

Page 97: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

86 HUKUM PEMERINTAHAN DESA

yang bermaksud hendak menguatkan kedudukan Desa, maka ia mencela bahwa dalam peraturan itu membuat ordonansi kurang cukup mengindahkan sifat-sifat asli dari Desa di daerah Jawa, Madura dan Pasundan. 121

Dalam konteks perdebatan di atas, akhirnya Islandsche Gemeent Ordonantie tahun 1906 tidak berlaku untuk empat daerah Swapraja di Surakarta dan Yogyakarta. Di daerah-daerah tadi, yang pada hakekatnya adalah daerah Negorogung di jaman dahulu, dimana otonomi Desa karena percampuran kekuasaan Raja antara lain disebabkan oleh apanage stelsel sejak 1755, telah menjadi rusak, maka kedudukan Desa sebagai daerah hukum otonom sudah rusak pula.122

Meski demikian, hukum asli yang menjadi pokok-pokok dasar kebudayaan bangsa, meskipun telah terpendam dibawah reruntuhan Desa asli selama ratusan tahun, setelah kesatuan Desa sebagai daerah hukum itu di daerah Swapraja di Jawa dihidupkan kembali, maka ia hidup kembali juga.

Begitu kuatnya, hingga waktu permulaan kemerdekaan di daerah Yogyakarta muncul peraturan untuk menggabungkan Desa-desa yang kecil-kecil menjadi kesatuan daerah yang lebih besar. Peraturan itu mengalami kesulitan. Selain itu, sebagai penjelmaan dari kesatuan daerah hukum itu barangkali belum diketahui umum, bahwa daerah Yogyakarta penjualan tanah milik di Desa (malah juga penggadaian) kepada seorang yang bukan penduduk Desa, harus mendapat ijin dari rapat Desa.

Pada tahun 1912 pemerintah Pakualaman melancarkan penataan Desa, tertanggal 18 Oktober 1912 untuk distrik Sogan,

121Ibid.122Ibid.

Page 98: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

87Perspektif, Konseptualisasi dan Konteks Yuridis

Kabupaten Adikarta, untuk penataan dimana ordonansi tahun 1906 dipakai sebagai model. Penataan itu diumumkan dalam “Vaststelling van de gemeenteregeling en gemeentebestuursregeling in het district Sogan kabupaten Adikarta”.

Pada tahun 1918 itu juga Kasultanan Yogyakarta oleh Rijksbestuurder ditetapkan sebuah peraturan semacam itu. Peraturan itu diumumkan dalam Rijksblad tahun 1918 No. 22. Penataan Pakualaman tahun 1912 pun lalu diganti dan namanya dalam bahasa Belanda disebut “Regelen betreffende het beheer en de huishoudelijke belangen der inlandche gemeenten in het distriect Sogan kabupaten Adikarta”, sama dengan peraturan buat Kasultanan. Perubahan itu diumumkan dalam Rijksblad tahun 1918 No. 24. Baik di Kasultanan dan Pakualaman, dalam tahun itu diluncurkan peraturan tentang pengangkatan, pemberhentian sementara, pemecatan dari jabatan, tentang penghasilan dan kewajiban pemerintah Desa. Peraturan ini unutk Kasultanan dimuat dalam Rijksblad tahun 1918 No. 23, diubah dalam Rijksblad tahun 1925 No. 17 dan buat Pakualaman dimuat dalam Rijksblad tahun 1918 No. 25 diubah dalam Rijklsblad No. 17/1925.

Sedangkan daerah-daerah Kasunanan Surakarta dan Mangkunegaran tidak mempunyai peraturan serupa. Di daerah-daerah itu berlaku peraturan-peraturan lain; bagi Kasunanan termuat dalam Rijksblad tahun 1917 No. 33; bagi Mangkunegaran termuat dalam Rijksblad tahun 1917 No. 14, yakni peraturan-peraturan yang membagi daerah Kasunanan dan daerah Mangkunegaran dalam sejumlah wilayah Desa. Menurut riwayat pasal 71 Regeringsreglement 1854 memang yang hendak diatur hanya kedudukan Desa di Jawa dan Madura. Beberapa tahun kemudian pemerintah Hindia Belanda mengetahui bahwa di luar Jawa dan Madura ada juga daerah-daerah hukum seperti Desa-Desa

Page 99: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

88 HUKUM PEMERINTAHAN DESA

di Jawa. Karena itu, pemerintah kolonial juga menyusun peraturan untuk mengatur kedudukan daerah-daerah itu semacam IGO yang berlaku di Jawa dan Madura. Inlandsche Gemeente Ordonnantie untuk Karesidenan Amboina termuat dalam S.1914 No-629 jo. S.1917-223. Peraturan itu adalah Bepalingen met betrekking tot de regeling van de huishoudelijke belangen der inlandsche gemeenten in de residentie Amboina, diganti dengan peraturan yang memuat dalam S.1923-471. Peraturan untuk Sumatera Barat termuat dalam S.1918-667; mulai berlaku pada tanggal 31 Desember 1918 diganti dengan peraturan termuat dalam S-1918-667 dan 774 dan dalam S.1921-803. Untuk karesidenan Bangka termuat dalam S.1919-453. Peraturan untuk karesidenan Palembang termuat dalam S.1919-814; untuk Lampung termuat dalam S.1922-564; untuk Tapanuli termuat dalam S.1923-469; untuk daerah Bengkulu termuat dalam S.1923-470; untuk daerah Belitung termuat dalam S.1924-75 dan untuk daerah Kalimantan Selatan dan Timur termuat dalam S.1924-275; kemudian ditetapkan Hogere Inlandsche Verbanden Ordonnantie Buitengewesten S.1938-490 jo. S.1938-681.123

Berbagai peraturan itu tampak ambigu. Di satu sisi pemerintah kolonial membuat peraturan secara beragam (plural) yang disesuaikan dengan konteks lokal yang berbeda. Di sisi lain berbagai peraturan itu tidak lepas dari kelemahan. Van Vollenhoven selalu mengkritik bahwa peraturan-peraturan itu berbau Barat.124 Dengan berpegang pada ordonansi-ordonansi itu pemerintah Hindia Belanda telah membentuk, kadang secara paksa, seperti halnya di Belitung, daerah-daerah baru yang diberi hak otonomi, dari masyarakat-masyarakat yang belum mempunyai kedudukan

123Ibid., hlm. 46.124Ibid., hlm. 47.

Page 100: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

89Perspektif, Konseptualisasi dan Konteks Yuridis

sebagai masyarakat hukum; ataupun kesatuan-kesatuan masyarakat yang dulu memang sudah mempunyai kedudukan sebagai daerah hukum, akan tetapi kemudian dirusak oleh kekuasaan Raja-raja atau kekuasaan asing, sehingga hak otonominya telah hilang. Desa-Desa seperti itu terdapat di daera daerah Swapraja di Jawa, Belitung dan sebagian dari tanah-tanah partikelir. Desa-Desa baru yang dibentuk atas dasar Inlandsche gemeente-ordonnantie terdapat di daerah-daerah Sumatera Timur, Kalimantan, Bangka, Belitung, Sulawesi Selatan, Swapraja di Jawa dan bekas tanah partikelir. Daerah-daerah dimana masyarakat itu dahulu kala sudah mempunyai kedudukan sebagai daerah hukum yang otonom, maka setelah kedudukan itu dihidupkan, maka pemerintah disitu menurut syarat-syarat yang baru berjalan dengan lancar. Hal ini dapat dimengerti sebab meskipun penduduk Desa itu sudah lama tidak menjalankan kewajiban sebagai warga Desa yang otonom, tetapi otonomi itu sudah berjalan secara turun-temurun dan menjadi bagian erat dalam kebudayaan rakyat setempat. 125

Pemerintah Hindia Belanda pada tanggal 23 Januari 1941 menyampaikan rancangan Rancangan Desa-ordonannantie baru kepada Volksraad. Ordonnantie itu kemudian ditetapkan pada tanggal 2 Agustus 1941 (S. 1941-356). Substansi Desa Ordonanntie baru berlainan dengan berbagai ordonansi sebelumnya. Prinsipnya ialah supaya Desa diberi keleluasaan untuk berkembang menurut potensi dan kondisinya sendiri. Untuk mencapainya, Desa tidak lagi dikekang dengan berbagai peraturan-peraturan (regulasi) yang mengikat dan instruktif. Berdasarkan atas prinsip itu dalam Desa Ordonanntie baru dinyatakan perbedaan antara Desa yang sudah maju dan Desa yang belum maju. Untuk Desa yang sudah maju, pemerintahan dilakukan oleh sebuah Dewan Desa (Desaraad),

125Soetardjo Kartohadikoesoemo, op.cit., hlm. 56.

Page 101: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

90 HUKUM PEMERINTAHAN DESA

sedang Desa untuk yang belum maju pemerintahan disusun tetap sediakala yaitu pemerintahan dilakukan oleh Rapat Desa yang dipimpin oleh kepala Desa yang dibantu oleh parentah Desa.

Selanjutnya dalam Desa Ordonnantie baru itu, pemerintah hendaknya minimal mencampuri dalam rumah tangga Desa dengan peraturan-peraturan yang mengikat, bahkan dalam pemerintahan Desa itu diharuskan lebih banyak menggunakan hukum adat.

Namun sampai pada waktu jatuhnya pemerintahan Hindia Belanda Desa Ordonnantie itu belum bisa dijalankan. Sejak lahirnya “otonomi baru” bagi Desa yang disajikan dalam Inlandsche Gemeente-ordonnantie tahun 1906, maka berturut-turut dengan segala kegiatan diadakan aturan-aturan baru tentang “kas Desa”, tentang “lumbung Desa”, “bank Desa”, “sekolah Desa”, “pamecahan Desa”, “bengkok guru Desa” “bale Desa”, tebasan pancen dan pajak bumi, “seribu satu aturan berkenaan dengan (mengatur, mengurus, memelihara dan menjaga keamanan hutan), yang semuanya itu menimbulkan satu akibat yaitu menambah beban rakyat berupa uang dan tenaga. Padahal berbagai aturan itu umumnya bukan hanya tidak dimengerti oleh rakyat Desa, akan tetapi juga disangsikan akan manfaatnya bagi rakyat Desa, malah sebagian besar nyata-nyata sangat bertentangan dengan kepentingan Desa dan melanggar hak-hak asasi.

B. PADA MASA PEMERINTAHAN BALATENTARA JEPANG

1. Sistem Pemerintahan Daerah

Pada masa pendudukan militer Jepang, To Indo dikuasai oleh tiga divisi besar tentara pendudukan yang berbeda. Wilayah Jawa dikuasai oleh Divisi XVI Angkatan Darat (Gunseikanbu Jawa)

Page 102: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

91Perspektif, Konseptualisasi dan Konteks Yuridis

yang berpusat di Jakarta. Wilayah Sumatera dikuasai oleh Divisi XXV Angkatan Darat (Gunseikanbu Sumatera) yang berpusat di Bukittinggi. Sedangkan wilayah Kalimantan, Nusa Tenggara, Sulawesi, Maluku, dan Papua dikuasai oleh Angkatan Laut (Minseibu/Kaigun) yang berpusat di Makassar.

Khususnya Jawa, pemerintahan tertinggi berada di tangan Saikoo Sikikan (Gunsereikan). Nomenkaltur daerah diganti menurut bahasa Jepang. Beberapa tingkatan daerah dihapuskan. Begitu pula dengan Locale Raad-nya dibekukan/dibubarkan. Pada masa pendudukan Jepang tingkatan daerahnya menjadi:

a. Syuu (karesidenan) dipimpin oleh Syuutyookan;b. Si (kota)/Ken (kabupaten) dipimpin oleh Sityoo/Kentyoo, Gun

(distrik) dipimpin oleh Guntyoo;c. Son (kecamatan) dipimpin oleh Sontyoo; dan d. Ku (desa) dipimpin oleh Kutyoo.

Daerah dengan kedudukan Zelfbesturende Lanschappen atau daerah swapraja diganti nomenklaturnya menjadi Kooti. Daerah ini masih diperkenankan memiliki pemerintahan sendiri, namun dengan pengawasan yang sangat ketat dari pemerintahan militer dengan menempatkan pejabat Kooti-Zimukyoku-tyookan.

Jepang menjadikan semua tingkat pemerintahan tersebut sebagai daerah administratif. Jadi, daerah-daerah otonom yang telah dibuat pada masa Hindia Belanda dijadikan daerah administrasi. Baru pada masa akhjir kekuasaannya, Jepang menghidupkan kembali daerah otonom, khususnya di daerah Syuu dan Syi. Bersamaan dengan itu Jepang kembali menghidupkan Locale Raad dengan nomenklatur Syuu Sangi-kai bagi Syuu dan Tokubetsu Si Sangi-kai bagi Si.

Page 103: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

92 HUKUM PEMERINTAHAN DESA

2. Pengaturan Desa

Pada zaman pemerintahan Jepang, pengaturan mengenai Desa diatur dalam Osamu Seirei No. 7 yang ditetapkan pada tanggal 1 Maret Tahun Syoowa 19 (2604 atau 1944). Dari ketentuan Osamu Seirei ini ditegaskan bahwa Kucoo (Kepala Ku, Kepala Desa) diangkat dengan jalan pemilihan. Sedangkan dewan yang berhak untuk menentukan tanggal pemilihan dan syarat-syarat lain dalam pemilihan Kucoo adalah Guncoo. Sedangkan untuk masa jabatan Kucoo adalah 4 tahun. Kucoo dapat dipecat oleh Syuucookan.126 Selanjutnya menurut E.B. Sitorus, pada jaman penjajahan Jepang, Desa ditempatkan di atas aza (kampung, dusun) yang merupakan institusi terbawah.127 Pada pendudukan Jepang ini, Otonomi Desa kembali dibatasi bahkan Desa dibawah pengaturan dan pengendalian yang sangat ketat. Rakyat desa dimobilisasi untuk keperluan perang, menjadi satuan-satuan milisi, seperti Heiho, Kaibodan, Seinendan, dan lain-lain. Kepala Desa difungsikan sebagai pengawas rakyat untuk menanam tanaman yang dikehendaki Jepang, seperti jarak, padi dan tebu. Pemerintah Desa pada jaman pendudukan Jepang terdiri dari 9 (sembilan) pejabat: Lurah, Carik, 5 (lima) orang Mandor, Polisi Desa dan Amir (mengerjakan urusan agama).

126Bayu Surianingrat, 1985, hlm. 189-190.127Op.cit., hlm. 46.

Page 104: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

93

BAB V

PENGATURAN DESA DALAM KURUN WAKTU PERTAMA BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG DASAR 1945

(18 AGUSTUS 1945 – 27 DESEMBER 1949)

A. PEMBENTUKAN NEGARA DAN UNDANG-UNDANG DASAR 1945

Desentralisasi dan otonomi daerah menjadi perhatian awal menyusul lahirnya Undang-Undang Dasar 1945, 18 Agustus 1945. Pada bab IV Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945 yang mengatur masalah Pemerintahan Daerah, disebutkan bahwa:

“Pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil, dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang, dengan memandang dan mengingati dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara, dan hak-hak asal-usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa”.

Mengenai substansi Pasal 18 tersebut, kami sepenuhnya setuju dengan penafsiran yang diberikan oleh Hanif Nurcholish, sebagai berikut:

Page 105: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

94 HUKUM PEMERINTAHAN DESA

Inti Pasal 18 tersebut adalah dalam negara Indonesia terdapat pemerintahan daerah. Pemerintahan tersebut meliputi daerah besar dan daerah kecil. Pemerintah daerah yang dibentuk tersebut baik dalam daerah besar maupun daerah kecil harus memperhatikan dua hal: (i) dasar permusyawaratan; dan (ii) hak asal usul dalam daerah yang bersifat istimewa. Yang dimaksud dengan harus memperhatikan dasar musyawarah adalah pemerintahan daerah harus bersendikan demokrasi yang ciri utamanya ada musyawarah dalam dewan perwakilan rakyat. Sedangkan yang dimaksud dengan harus memperhatikan hak asal-usul dalam daerah yang bersifat istimewa adalah, pemerintah daerah yang dibentuk tidak boleh secara sewenang-wenang menghapus daerah-daerah yang pada zaman Belanda merupakan daerah swapraja yang disebut zelfbesturende landschappen dan kesatuan masyarakat hukum pribumi seperti desa, nagari, marga, dan lain-lain, yang disebut volksgemenschappen atau zelfstandigemenschappen atau dorfgemeinschapten.128

Lebih lanjut mengenai tidak akan dihapusnya daerah-daerah yang mempunyai asal usul istimewa yang meliputi meliputi zelfbesturende landschappen (daerah swapraja semacam Kesultanan Yogyakarta, Kasunanan Surakarta, dan Kesultanan Goa) dan volksgemenschappen atau zelfstandigemenschappen atau inlandshe gemeente atau dorfgemeinschapten berupa kesatuan masyarakat hukum pribumi (adat/asli) seperti desa di Jawa, nagari di Minangkabau, marga di Sumatera Selatan, gampong di Aceh, kuria di Tapanuli, dan kampung di Kalimantan Timur, Hanif Nurcholish menyatakan sebagai berikut:

128Hanif Nurcholish, 2005, Teori dan Praktik Pemerintahan dan Otonomi Daerah, Jakarta, Penerbit Grasindo, hlm. 48-49.

Page 106: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

95Perspektif, Konseptualisasi dan Konteks Yuridis

Daerah-daerah ini telah memiliki tata cara sendiri dalam mengatur perikehidupan sosialnya seperti mengatur sistem pemerintahannya, sistem ekonominya, sistem keamanannya, dan sistem sosial budayanya. Semua dikembangkan sendiri secara mantap dan langgeng. Daerah tersebut diakui dan diberi hak untuk tetap mengatur urusan rumah tangganya sendiri. 129

Dalam bagian penjelasan Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945 dinyatakan bahwa:

”Dalam territoir Indonesia terdapat lebih kurang 250 Zelfbesturende landschappen dan Volksgemeenschappen, seperti Desa di Jawa dan Bali, negeri di Minangkabau, dusun dan marga di Palembang dan sebagainya. Daerah-daerah itu mempunyai susunan asli, dan oleh karenanya dapat dianggap sebagai daerah yang bersifat istimewa”. Selanjutnya dinyatakan juga: ”Negara Republik Indonesia menghormati kedudukan daerah-daerah istimewa tersebut dan segala peraturan negara yang mengenai daerah-daerah itu akan mengingati hak-hak asal-usul daerah tersebut”.

Untuk Volksgemeenschappen Penjelasan Pasal 18 UUD 1945 tidak menyebutkan jumlah tertentu, akan tetapi menyebutkan contoh yaitu Desa di Jawa dan Bali, Nagari di Minangkabau, dusun dan marga di Palembang dan sebagainya. Meski dalam Undang-Undang Dasar 1945 Zelfbesturende Landschappen dan Volksgemeenschappen diberlakukan sama namun antara keduanya ada perbedaan mendasar. Tidak ada Landschappen atau swapraja yang berada dalam wilayah Volksgemeeschappen. Secara hirarkhis kedudukan Zelfbesturende Landschappen berada di atas

129Ibid., hlm. 56.

Page 107: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

96 HUKUM PEMERINTAHAN DESA

Volksgemeenschappen. Meski desa-desa di Jawa hanya merupakan salah satu bentuk Volksgemeenschappen seperti yang disebut dalam penjelasan pasal 18 UUD 1945, namun istilah “Desa” digunakan sebagai istilah yang menggantikan istilah Volksgemeenschappen. Desa telah menjadi istilah yang digunakan tidak hanya di pemerintahan dalam negeri, tetapi juga digunakan di lingkungan akademik khususnya dalam ilmu-ilmu sosial.

Konsep pemikiran mengenai pemerintahan daerah di dalam Sidang BPUPKI berkembang secara dinamis. Beberapa ide yang muncul antara lain dari Muh. Yamin, Supomo, dan Hatta. Dari sidang-sidang dihasilkan beberapa hasil antara lain: (i) Negara Indonesia akan berbentuk Republik, (ii) Wilayah Negara akan meliputi Hindia-Belanda ditambah Malaya, Borneo Utara, Papua (Inggris), Timor Portugis dan pulau sekelilingnya, (iii) Negara Indonesia akan berbentuk Kesatuan, (iv) Negara Indonesia akan dibagi menjadi daerah besar dan daerah kecil, yang mana di daerah besar dan kecil itu akan diadakan dewan permusyawaratan daerah, (v) Zelfbestuur/Kooti (daerah swapraja) akan berkedudukan sebagai daerah otonom khusus bukan lagi sebagai negara, dan (vi) Susunan asli pemerintahan zelfbestuurende landschappen dan volksgemeinschaften akan dihormati dan diperhatikan.

Dalam sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) Soepomo kembali menjelaskan susunan dan kedudukan daerah. Pemerintahan daerah akan disusun dalam Undang-Undang. Dalam pemerintahan daerah akan bersifat permusyawaratan dengan adanya Dewan Perwakilan Daerah. Zelfbestuurende Landschappen (Kooti, Sultanaat) akan berkedudukan sebagai daerah istimewa (daerah yang mempunyai sifat istimewa, mempunyai susunan asli) bukan sebagai negara karena hanya ada satu negara. Daerah istimewa itu akan menjadi bagian dari Staat Indonesia

Page 108: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

97Perspektif, Konseptualisasi dan Konteks Yuridis

dan akan dihormati susunan asli pemerintahannya. Zelfstandige gemeenschappen atau Inheemsche Rechtsgemeenschappen seperti desa, nagari, marga dan sebagainya akan dihormati susunan aslinya. Suasana sidang pembahasan Pemerintahan Daerah di Indonesia berlangsung dengan hangat dan berkembang secara dinamis.

B. DINAMIKA LEGISLASI

1. Ketentuan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945

a. Sistem Pemerintahan Daerah

Pada periode ini belum terdapat sebuah undang-undang yang mengatur Pemerintahan Daerah secara khusus. Aturan yang digunakan adalah aturan yang ditetapkan oleh PPKI. Selain itu digunakan pula aturan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945 yang mengatur mengenai penyelenggaraan pemerintahan sehari-hari oleh Komite Nasional Daerah. Sidang PPKI pada 19 Agustus 1945 menetapkan pembagian daerah dan pelaksanaan pemerintahan secara umum dengan melanjutkan pelaksanaan yang sudah ada.

Dalam konteks ini, PPKI hanya menetapkan adanya Komite Nasional di Daerah untuk membantu pekerjaan kepala daerah seperti yang dilakukan di pusat dengan adanya KNI Pusat. Oleh PPKI, secara umum, wilayah Indonesia dibagi menjadi provinsi-provinsi. Tiap-tiap provinsi dibagi lagi menjadi karesidenan-karesidenan. Masing-masing provinsi dikepalai oleh Gubernur. Sedangkan karesidenan dikepalai oleh Residen. Gubernur dan Residen dalam melaksanakan pemerintahan dibantu oleh Komite Nasional Daerah. Selebihnya susunan dan bentuk pemerintahan daerah dilanjutkan menurut kondisi yang sudah ada. Dengan

Page 109: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

98 HUKUM PEMERINTAHAN DESA

demikian provinsi dan karesidenan hanya sebagai daerah administratif dan belum mendapat otonomi.

Selain itu PPKI juga memutuskan disamping adanya provinsi terdapat pula Kooti (Zelfbestuurende Landschappen/Daerah Swapraja) dan Kota (Gemeente/Haminte) yang kedudukan dan pemerintahan lokalnya tetap diteruskan sampai diatur lebih lanjut. Wilayah-wilayah Provinsi yang ada tersebut tidak mencakup wilayah-wilayah kooti (Zelfbestuurende Landschappen/Daerah Swapraja). Wilayah-wilayah kooti berada di bawah pemerintahan pusat baik secara langsung maupun melalui perwakilan yang disebut dengan Komisaris. Tingkatan selengkapnya yang ada pada masa itu adalah:

(a) Provinsi (warisan Hindia Belanda, tidak digunakan oleh Jepang);

(b) Karesidenan (disebut Syu oleh Jepang);(c) Kabupaten/Kota (disebut Ken/Syi/Tokubetsu Syi oleh Jepang,

pada saat Hindia Belanda disebut Regentschap/Gemeente/Stadsgemeente);

(d) Kawedanan (disebut Gun oleh Jepang); (e) Kecamatan (disebut Son oleh Jepang); dan(f ) Desa (disebut Ku oleh Jepang).

Dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945 tersebut Otonomi bagi daerah baru dirintis. Ketentuan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945 menyebutkan setidaknya ada 3 (tiga) jenis daerah yang memiliki otonomi yaitu: Karesidenan, Kota otonom, dan Kabupaten serta lain-lain daerah yang dianggap perlu (kecuali daerah Surakarta dan Yogyakarta). Pemberian otonomi itu dilakukan dengan membentuk Komite Nasional Daerah sebagai Badan

Page 110: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

99Perspektif, Konseptualisasi dan Konteks Yuridis

Perwakilan Rakyat Daerah. Sebagai penyelenggara pemerintahan daerah adalah Komite Nasional Daerah bersama-sama dengan dan dipimpin oleh Kepala Daerah. Untuk pemerintahan sehari-hari dibentuk Badan Eksekutif dari dan oleh Komite Nasional Daerah dan dipimpin oleh Kepala Daerah.

Mengingat situasi dan kondisi pada masa itu tidak semua daerah dapat membentuk dan melaksanakan pemerintahan daerah. Daerah-daerah Maluku (termasuk didalamnya Papua), Nusa Tenggara, Sulawesi, dan Kalimantan bahkan harus dihapuskan dari wilayah Indonesia sesuai isi Perjanjian Linggajati (1947). Begitu pula dengan daerah-daerah Sumatera Timur, Riau, Bangka, Belitung, Sumatera Selatan bagian timur, Jawa Barat, Jawa Tengah bagian barat, Jawa Timur bagian timur, dan Madura juga harus dilepaskan dengan Perjanjian Renville (1948).

b. Pengaturan Desa

Pada bab IV Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945 yang mengatur masalah Pemerintahan Daerah, disebutkan bahwa:

“Pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil, dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang, dengan memandang dan mengingati dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara, dan hak-hak asal-usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa”.

Dalam bagian penjelasan dinyatakan bahwa:

”Dalam territoir Indonesia terdapat lebih kurang 250 Zelfbesturende landschappen dan Volksgemeenschappen, seperti Desa di Jawa dan Bali, negeri di Minangkabau, dusun dan marga di Palembang dan sebagainya. Daerah-daerah itu

Page 111: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

100 HUKUM PEMERINTAHAN DESA

mempunyai susunan asli, dan oleh karenanya dapat dianggap sebagai daerah yang bersifat istimewa”. Selanjutnya dinyatakan juga: ”Negara Republik Indonesia menghormati kedudukan daerah-daerah istimewa tersebut dan segala peraturan negara yang mengenai daerah-daerah itu akan mengingati hak-hak asal-usul daerah tersebut”.

Untuk Volksgemeenschappen Penjelasan Pasal 18 UUD 1945 tidak menyebutkan jumlah tertentu, akan tetapi menyebutkan contoh yaitu Desa di Jawa dan Bali, Nagari di Minangkabau, dusun dan marga di Palembang dan sebagainya. Meski dalam Undang-Undang Dasar 1945 Zelfbesturende Landschappen dan Volksgemeenschappen diberlakukan sama namun antara keduanya ada perbedaan mendasar. Tidak ada Landschappen atau swapraja yang berada dalam wilayah Volksgemeeschappen. Secara hirarkhis kedudukan Zelfbesturende Landschappen berada di atas Volksgemeenschappen. Meski desa-desa di Jawa hanya merupakan salah satu bentuk Volksgemeenschappen seperti yang disebut dalam penjelasan pasal 18 UUD 1945, namun istilah “Desa” digunakan sebagai istilah yang menggantikan istilah Volksgemeenschappen. Mencermati substansi Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945 dan Penjelasan seperti dikutip dan dikemukakan di muka, maka dijumpai bahwa, ketentuan Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945 tidak secara tegas memuat atau menyebut istilah “Desa”, akan tetapi ada anak kalimat “pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan daerah kecil.” Hal ini berbeda degan rumusan angka Romawi II dalam Penjelasan Undang-Undang Dasar 1945, yang tegas menyebutkan adanya “Desa”, satu nafas dengan identifikasi Soepomo (tetapi tidak menyebutkan sumber dengan jelas, dan pembaca sama sekali tidak mengetahui maknanya, apakah sebagai sebuah ilustratif, ataukah penegasan berdasarkan kondisi empiris)

Page 112: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

101Perspektif, Konseptualisasi dan Konteks Yuridis

adanya tidak kurang dari 250 Zelfbesturendelandschappen dan Volksgemenschappen.

Ketentuan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945 belum mengatur secara meyakinkan mengenai bagaimanakah kedudukan desa dalam kontur kenegaraan. Nampaknya pembentuk undang-undang, yang memperoleh pengaruh kuat dari Prof. Soepomo (Menteri Kehakiman), memandang perlu untuk mengabaikan fokus perhatian kepada desa, dan bahkan tidak mau menyinggung soal bagaimanakah kedudukan desa dan substansi kewenangannya berkaitan dengan susunan pemerintahan daerah. Klausula bahwa sasaran desentralisasi juga mencakup “daerah-daerah lain yang dipandang perlu oleh menteri dalam negeri” sebagaimana tercantum dalam Penjelasan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945, menjadi titik awal permasalahan tersebut. Dinyatakan di sana, bahwa salah satu prinsip pelaksanaan desentralisasi adalah mempunyai “harta benda dan penghasilan sendiri” (eigen middlen). Untuk daerah di bawah kabupaten, termasuk desa, maka sulit sekali diberikan otonomi dengan prinsip eigen middlen tersebut. Jika kepada desa dijadikan juga sasaran desentralisasi, maka desa dapat memungut pajak kendaraan dan rooiver gunningen, maka kabupaten tidak akan memungut lagi pajak-pajak itu dari obyek yang sama. Alasan lain yang dikemukakan adalah menilik pandangan Menteri Kehakiman Prof. Soepomo, yang berkeberatan jika otonomi akan menjangkau desa, karena akan merusak “bangunan-bangunan” (adatinstituten), maksudnya adalah sifat susunan kemasyarakatan yang berdasarkan hukum adat, sehingga membuka potensi untuk munculnya kekalutan dalam masyarakat. Pembentuk undang-undang juga berkeyakinan bahwa otonomi desa menurut undang-undang tersebut tidak sama dengan adatrechtelijke autonomie, otonomi pada masyarakat hukum adat.

Page 113: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

102 HUKUM PEMERINTAHAN DESA

Dari uraian tersebut kiranya dapat dipahami bahwa desa dalam pelaksanaannya dianggap sebagai salah satu bentuk Daerah Otonom di samping Karisidenan, Kabupaten, dan Kota Otonom. Desa sebagai kesatuan masyarakat yang berhak mengatur rumah tangga pemerintahannya sendiri selama tidak bertentangan dengan peraturan pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Menurut Moh. Mahfud M.D., lahirnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945 disebabkan oleh 3 (tiga) faktor politik yaitu:130

(a) Secara umum untuk menertibkan Komite Nasional Indonesia Daerah;

(b) Membuka jalan bagi pemerintah pusat untuk melakukan pengawasan terhadap Komite Nasional Indonesia Daerah; dan

(c) Untuk menjamin keserasian dalam pelaksanaan kegiatan antara pusat dan daerah.

Karena isinya terlalu sederhana, Undang-undang Nomor 1 Tahun 1945 ini dianggap kurang memuaskan. Maka dirasa perlu membuat undang-undang baru yang lebh sesuai dengan Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945. Pada saat itu pemerintah menunjuk R.P. Suroso sebagai ketua panitia. Setelah melalui berbagai perundingan, rancangan undang-undang ini akirnya disetujui Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat, yang pada tanggal 10 Juli 1948 lahir Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 Tentang Pemerintahan Daerah.

130Moh. Mahfud M.D., 2006, Politik Hukum di Indonesia, Jakarta, Penerbit LP3ES, hlm. 104.

Page 114: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

103Perspektif, Konseptualisasi dan Konteks Yuridis

2. Ketentuan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948

a. Sistem Pemerintahan Daerah

Ketentuan Bab 2 pasal 3 angka 1 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 menegaskan bahwa daerah yang dapat mengatur rumah tangganya sendiri dapat dibedakan dalam dua jenis, yaitu daerah otonomi biasa dan daerah otonomi istimewa. Daerah-daerah ini dibagi atas tiga tingkatan, yaitu Propinsi Kabupaten/kota besar, serta Desa/kota kecil. Sebuah skema tentang pembagian daerah-daerah dalam 3 (tiga) tingkatan itu menjadi lampiran undang-undang. Daerah istimewa adalah daerah yang mempunyai hak asal-usul yang di zaman sebelum Republik Indonesia I mempunyai pemerintahan yang bersifat istimewa.

Menurut Soehino, meskipun Undang-Undang tersebut dianggap sebagai pelaksanaan Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945, akan tetapi ia mengkritik substansi undang-undang tersebut karena mengandung minimal 3 (tiga) hal sebagai berikut.131

(1) Berdasarkan ketentuan Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945 beserta penjelasannya, tegas menghendaki dilaksankannya asas desentralisasi yaitu dibentuknya daerah-daerah otonom (daerah yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri) dan dilaksanakan asas dekonsentrasi, yaitu dibentuknya daerah-daerah administratif. Tetapi dari bunyi konsideran Undang-Undang tersebut132 berikut pasal-pasalnya, hanya mengatur daerah otonom saja. Hanya

131Soehino, op.cit., hlm. 26-28.132Konsideran Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948, bagian menimbang berbunyi,

“Bahwa perlu ditetapkan Undang-Undang berdasarkan Pasal 18 Undang-Undang Dasar, yang menetapkan pokok-pokok pemerintahan sendiri di daerah-daerah yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri (kursif dari saya, Isharyanto).

Page 115: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

104 HUKUM PEMERINTAHAN DESA

saja, keberadaan daerah administratif ditentukan statusnya menurut Pasal 46 ayat (2) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 yang menyatakan daerah-daerah administratif yang ada pada waktu berlaunya undang-undang ini, terus berdiri sampai dihapuskan.

(2) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 juga bercita-cita menghapuskan pemerintahan pamong projo, yang di masa Hindia Belanda disebut “pangreh praja”, supaya di daerah tidak terdapat adanya dualisme pemerintahan. Sebab pada waktu itu di samping Pemerintah Daerah yang berdasarkan perwailan rakyat (Dewan Perwakilan Daerah dan Badan Eksekutifnya), terdapat juga pemerintahan yang dijalankan oleh Kepala Daerah sendiri.133

(3) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 dibentuk berdasarkan dan untuk melaksanakan Pasal 18 Undang-Undang dasar 1945, dengan demikian sistem pemerintahan di daerah menurut undang-undang tersebut harus menyesuaikan diri dengan sistem pemerintahan pusat menurut Undang-Undang Dasar 1945. Tetapi oleh karena Undang-Undang itu disusun setelah berlakunya Maklumat Pemerintah tanggal 14 November 1948, maka lebih menyesuaikan diri dengan sistem pemerintahan menurut maklumat tersebut.

Saya sendiri tidak sependapat dengan uraian Soehino di atas. Menurut saya, menilik setting sosial pada waktu penyusunan Penjelasan Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945 dan membandingkan dengan risalah yang berkembang saat pembahasan Pasal 18 dalam sidang BPUPKI, maka substansi undang-undang tersebut merupakan yang benar-benar sesuai dengan kerangka

133Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 angka II butir 10.

Page 116: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

105Perspektif, Konseptualisasi dan Konteks Yuridis

yang digariskan konstitusi. Kerangka tersebut adalah bahwa untuk pelaksanaan pemerintahan daerah menurut batas dan asas yang ditetapkan oleh Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945. Selanjutnya, untuk keberatan yang ketiga, harus diberikan catatan bahwa amat tergesa-gesa untuk menetapkan bahwa sistem pemerintahan di daerah haruslah mengikuti sistem pemerintahan di tingkat pusat. Istilah “pemerintahan di daerah” sebagai local government mencakup makna yang luas yang meliputi: (i) organ pemerintahan; (ii) pelaksanaan fungsi pemerintahan; dan (iii) daerah otonom. Dalam konteks ini, “pemerintahan daerah” menurut garis politik Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 merupakan “daerah otonom”, bukan sebagai entitas subsistem pemerintahan di tingkat pusat.

Adapun pemerintahan daerah itu lahir dan dibentuk untuk melaksanakan urusan-urusan pemerintahan yang diserahkan oleh pemerintah pusat untuk menjadi urusan rumah tangga menurut kebutuhan dan prakarsa daerah yang bersangkutan. Oleh sebab itu, pembentukan pemerintahan daerah umumnya diatur dalam undang-undang, sebagai jabaran the directive of principles di dalam konstitusi. Ketika mengatakan bahwa Undang-Undang itu disusun setelah berlakunya Maklumat Pemerintah tanggal 14 November 1948, maka lebih menyesuaikan diri dengan sistem pemerintahan menurut maklumat tersebut, Soehino tidak menyebutkan secara jelas bagian-bagian mana dari ketentuan undang-undang itu yang tidak sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945, juga sebaliknya, tidak memberikan keterangan apapun bagian mana dari undang-undang yang sesuai dengan Maklumat 14 November 1945 tersebut.

Pada sisi lain, memang benar Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 ingin menghapuskan dualisme pemerintahan daerah. Namun yang perlu digarisbawahi adalah dualisme itu muncul karena penerapan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945 yang terlihat

Page 117: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

106 HUKUM PEMERINTAHAN DESA

dalam 3 (tiga) dimensi yaitu jenis pemerintahan, penyelenggaraan pemerintahan, dan peraturan perundang-undangan.134

(i) Jenis PemerintahanBerdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945

ada 2 (dua) jenis pemerintahan di daerah yaitu pemerintahan yang memiliki Komite Nasional Indonesia Daerah dan pemerintahan lainnya yang tidak memiliki Komite Nasional Indonesia Daerah. Untuk kategori pertama merupakan pemerintahan daerah otonom yang berhak mengatur urusan rumah tangga sendiri, yaitu karisidenan, kota, kabupaten, atau daerah lain yang mendapatkan persetujuan menteri dalam negeri (Pasal 1). Sedangkan provinsi (kecuali di Sumatera), kawedanan, dan kecamatan tidak mempunyai Komite Nasional Indonesia Daerah dan diperlakukan sebagai daerah administratif.

(ii) Penyelenggaraan PemerintahanPeyelenggaraan pemerintahan daerah menurut Undang-

Undang Nomor 1 Tahun 1945 terbelah karena ada 2 (dua) jenis penyelenggaraan. Pertama, pemerintahan yang dilakukan bersama-sama oleh Komite Nasional Indonesia Daerah, badan eksekutif, dan kepala daerah. Kedua, penyelenggaraan urusan pemerintahan lainnya dilakukan oleh kepala daerah dan lepas dari Komite Nasional Indonesia Daerah.

(iii) Peraturan Perundang-undangan.Di samping Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945,

juga berlaku peraturan perundang-undangan peninggalan zaman Belanda, yang disebutkan dengan tegas dalam

134Bagir Manan, Hubungan Pusat dan Daerah..., op.cit., hlm. 187-193.

Page 118: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

107Perspektif, Konseptualisasi dan Konteks Yuridis

Penjelasan Undang-Undang. Peraturan peninggalan Belanda itu selalu dualistik, karena membedakan sasaran pengaturan untuk Jawa dan Madura, serta luar Jawa dan Madura.

b. Pengaturan Desa

Ketentuan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 menentukan satu macam pemerintahan di daerah yaitu satuan pemerintahan daerah otonom. Ketentuan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang ini menetapkan bahwa daerah tersusun dalam tingkatan yaitu provinsi, kabupaten (kota besar), dan desa (kota kecil). Sedangkan dalam angka 2 disebutkan daerah otonom lain yaitu “daerah istimewa”, ialah daerah mempunyai hak-hak asal usul sejak zaman sebelum proklamasi kemerdekaan.

Ketentuan mengenai bentuk dan susunan pemerintahan daerah menurut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 menampakkan hal-hal sebagai berikut.

(i) Tidak menganut dualisme pemerintahan secara luas karena hanya ada satu macam satuan pemerintahan daerah yaitu pemerintahan daerah otonom.

(ii) Desa merupakan salah satu tingkatan daerah otonom sebagai satuan pemerintahan daerah.

(iii) Desa, yang di masa Hindia Belanda dikenal inlandshe gemeente atau volksgemenschappen ditegaskan berbeda dengan daerah istimewa lainnya yaitu daerah mempunyai hak-hak asal usul sejak zaman sebelum proklamasi kemerdekaan, yang similiar dengan daerah swapraja (zelfbestuurende landschappen).

Jadi, undang-undang menetapkan desa sebagai daerah otonom dari bentuk dan susunan pemerintahan daerah. Hal ini

Page 119: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

108 HUKUM PEMERINTAHAN DESA

menunjukkan bobot perhatian yang besar dari pembentuk undang-undang mengenai desa. Selanjutnya, karakteristik pengaturan desa menurut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 adalah sebagai berikut.135

(i) Dengan desa dimaksudkan daerah terdiri dari suatu atau lebih dari satu desa (di Sumatra : negeri, marga, dan sebagainya) yang digabungkan, hingga merupakan suatu daerah yang mempunyai syarat-syarat cukup untuk dapat berdiri menjadi daerah otonom, yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri.

(ii) Desa-desa yang sekarang (maksudnya saat undang-undang itu ditetapkan) merupakan satu kecamatan di Jawa, atau beberapa desa besar dapat digabungkan dan dibentuk sebagai desa otonom.

(iii) Sementara di Sumatra mengingat luasnya daerah negeri, marga, desa dansebagainya akan diselidiki lebih lanjut tentang kemungkinannya dibentuk sebagai daerah desa otonom.

(iv) Pembentukan desa otonom akan dijalankan berangsurangsur, jadi tidak serentak, oleh karena memperlukan penyelidikan keadaan di daerah yang seksama.

(v) Kota kecil dapat pula dibentuk sebagai daerah otonom terbawah. Dalam pembentukan jika perlu dapat pula daerahnya diperluas dengan beberapa daerah desa biasa.

(vi) Dalam lingkungan desa atau kota kecil yang berotonomi dengan sendirinya sudah tidak terdapat lagi desa biasa yang mempunyai pemerintahan sendiri, sebab desa atau kota kecil itu adalah pemerintahan daerah yang terbawah.

135Penjelasan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948.

Page 120: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

109Perspektif, Konseptualisasi dan Konteks Yuridis

(vii) Desa-desa dalam lingkungan daerah kabupaten yang belum digabungkan menjadi desa otonom dan yang hak “otonominya” ditetapkan dalam Desa Ordonantie S.1906 No.83 di Jawa, Madura dan di Sumatra dalam beberapa ordonnantie akan diatur kedudukannya dalam Undang-undang.

Apabila diperhatikan, maka penetapan desa atau dengan nama lain sebagai bagian dari bentuk dan susunan pemerintahan daerah menurut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 masih ambigu. Hal ini disebabkan oleh 4 (empat) alasan. Pertama, “desa” atau nama lain, yang merupakan inlandshe gemeente atau volksgemenschappen mempunyai sebutan lain yaitu kota kecil, jadi bukanlah “desa” dalam pengertian Hindia Belanda dulu. Kedua, “desa” dalam undang-undang merupakan “kota kecil” karena harus merupakan gabungan dari desa atau nama lain hingga merupakan suatu daerah yang mempunyai syarat-syarat cukup untuk dapat berdiri menjadi daerah otonom, yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Ketiga, “desa” yang ada tidak otomatis menjadi desa otonom, karena di samping harus merupakan gabungan suatu daerah sehingga membentuk kota kecil, juga pembentukannya akan dilaksanakan bertahap, melalui penyelidikan yang mendalam, dan dilakukan secara berangsur-angsur. Keempat, “desa otonom” sebagai peninggalan tata pemerintahan Hindia Belanda menurut IGO, tidak diakui sebagai desa otonom sebagai bagian dari bentuk dan susunan pemerintahan daerah karena masih akan ditetapkan lebih lanjut dengan undang-undang.

Page 121: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi
Page 122: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

111

BAB VI

PENGATURAN DESA DALAM KURUN WAKTU KONSTITUSI REPUBLIK

INDONESIA SERIKAT 1949

A. PEMBENTUKAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA SERIKAT

Setelah proklamasi kemerdekaan, republik memperoleh ujian berat yaitu dengan upaya Belanda untuk menjajah kembali Indonesia. Hanya saja Belanda menyadari bahwa untuk keperluan itu, format Hindia Belanda tidaklah lagi dapat dipertahankan. Untuk itu dilakukan pemecahbelahan melalui pembentukan negara federasi.

Upaya-upaya untuk menyusun federasi sebenarnya sudah dilakukan sejak penyerahan wewenang dari Sekutu kepada Belanda wilayah-wilayah Kalimantan, Indonesia Timur, dan daerah-daerah lain di luar Jawa dan Madura, melalui Konferensi Malino (Sulawesi Selatan) yang diprakarsai oleh van Mook (Juli 1946). Dalam konferensi itu, Belanda mengusulkan suatu struktur yang bertingkat-tingkat. Kerajaan Belanda, akan terdiri Nederland, Federasi Indonesia, Suriname, dan Curacao. Federasi Indonesia akan terdiri atas: (i) Negara Republik Indonesia (Jawa); (ii) Negara Sumatera; (iii) Negara Kalimantan (Kalimantan Timur, Kalimantan

Page 123: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

112 HUKUM PEMERINTAHAN DESA

Selatan, dan Kalimantan Tengah); dan (iv) Negara Indonesia Timur (Sulawesi/Maluku Utara, Nieuw Guinea/Maluku Selatan, dan Kepulauan Sunda Kecil).

Konferensi itu dilanjutkan dengan Konferensi Pangkal Pinang (Bangka) untuk golongan minoritas Eropa, Indo, Cina, dan Arab, yang menyetujui resolusi Malino dan kemudian diadakan konferensi lagi Denpasar, Bali, yang sekaligus mendeklarasikan Negara Indonesia Timur (1946). Selanjutnya, dengan tekanan Belanda, berturut-turut dibentuk Negara Sumatera Timur (1947) dan Negara Madura (1948), Negara Pasundan, Negara Sumatera Selatan dan Negara Jawa Timur (1948). Pada Maret 1948, semua negara ini akan membentuk Bijeenkomst voor Federale Overleg (BFO).

Sebelum pembentukan daerah-daerah itu berlangsung, pada tanggal 15 November 1946 Belanda bersedia membuat persetujuan dengan pemerintah Republik Indonesia di Linggajati, yakni bahwa mereka secara de facto mengakui keberadaan republik di Jawa dan Sumatera. Kecuali itu, di dalam persetujuan itu disebutkan juga bahwa daerah-daerah yang diduduki Belanda secara berangsur-angsur paling lambat 1 Januari 1949 akan dimasukkan ke wilayah republik, hanya saja disebutkan bahwa Belanda dan Republik Indonesia akan membentuk negara federal bernama Indonesia Serikat yang akan merupakan bagian dari Uni Indonesia-Belanda di bawah mahkota Kerajaan Belanda.

Parlemen Belanda (Staten Generaal) baru meratifikasi perjanjian itu pada 20 Desember 1946, dengan serangkaian tafsir dan syarat tambahan, sedangkan Komite Nasional Indonesia Pusat baru meratifikasi pada awal Maret 1947. Tetapi Perjanjian Linggajati itu tidak efektif, karena Belanda kemudian melakukan agresi militer pada Juli 1947, yang memancing Dewan Keamanan Perserikatan

Page 124: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

113Perspektif, Konseptualisasi dan Konteks Yuridis

Bangsa-Bangsa bereaksi keras, sehingga mempertemukan Belanda dan Republik Indonesia pada 17 dan 19 Januari 1948 di atas kapal Renville milik Amerika Serikat di Jakarta. Kedua pihak mencapai kesepakatan, populer disebut Perjanjian Renville, yang antara lain mengisyaratkan bahwa seluruh Jawa Barat, kecuali Banten, di bawah kekuasaan Belanda, dengan catatan dalam jangka waktu enam hingga duabelas bulan akan diadakan plebisit (pemungutan suara) untuk menentukan apakah daerah itu bergabung dengan republik atau menjadi bagian Indonesia Serikat. Perjanjian Renville itu sendiri mengurangi kekuasaan Republik Indonesia atas teritorial negara, karena pada 27 Mei 1947 Perdan Menteri Sjahrir dan Perdana Menteri Amir Sjarifuddin pada 3 Juli 1948 telah memberi konsesi kepada Belanda dengan menghapus secara formal provinsi-provinsi republik di Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan Nusa Tenggara. Akibat perjanjian itu, maka Jawa Barat juga harus diserahkan kepada Belanda, yang memperkokoh kekuasaan Belanda untuk mendorong pembentukan Negara Pasundan.

Tetapi, setelah peristiwa pemberontakan Partai Komunis Indonesia di Madiun dapat ditumpas oleh tentara dibawah supervisi Kabinet Hatta, Belanda melakukan agresi militer pada 19 Desember 1948 dan berhasil menduduki ibukota negara di Jogjakarta, serta menawan Presiden, Wakil Presiden, dan sejumlah menteri. Karena simpati negara seperti India dan Australia, ditambah tekanan Amerika Serikat kepada Belanda, maka disusunlah berbagai kesepakatan yang berpuncak kepada pelaksanaan Konferensi Meja Bundar di Den Haag, Belanda, dari 23 Agustus 1949 hingga 2 November 1949. Kemudian, pada 27 Desember 1949, Kerajaan Belanda resmi mengakui kedaulatan republik dalam bentuk Republik Indonesia Serikat. Pengakuan

Page 125: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

114 HUKUM PEMERINTAHAN DESA

kedaulatan itu juga menjadi penanda berlakunya Konstitusi Republik Indonesia Serikat 1949.

B. SISTEM PEMERINTAHAN DAERAH DAN PENGATURAN DESA

Dalam Konstitusi Republik Indonesia Serikat 1949 tentang pembagian penyelenggaraan pemerintahan antara Republik Indonesia Serikat dengan Daerah-Daerah Bagian diatur dalam Pasal 51 ayat (1) yang menentukan bahwa penyelenggaraan pemerintahan tentang pokok-pokok yang terdaftar dalam lampiran Konstitusi ini dibebankan semata-mata kepada Republik Indonesia Serikat. Jadi, menurut pengaturan tersebut, urusan-urusan yang menjadi wewenang negara Republik Indonesia Serikat dimuat dalam suatu lampiran mengenai ketentuan pembagian urusan itu, yaitu pada Pasal 51. Dalam lampiran itu ternyata tidak ada penyebutan mengenai pemerintahan di daerah. Juga pengaturan mengenai daerah-daerah swapraja menjadi wewenang negara bagian, sebagaimana diatur dalam Pasal 64 dan Pasal 65 Konstitusi Republik Indonesia Serikat 1949. Sesuai dengan ketentuan Pasal 64, Daerah-daerah swapraja yang sudah ada diakui. Untuk lebih jelasnya, di bawah ini dikutipkan ketentuan Pasal 65 sebagai berikut.

Mengatur kedudukan daerah-daerah swapraja masuk dalam tugas dan kekuasaan daerah-daerah bagian yang bersangkutan dengan pengertian bahwa mengatur itu dilakukan dengan kontrak yang diadakan antara daerah bagian dan daerah-daerah swapraja bersangkutan dan bahwa dalam kontrak itu kedudukan istimewa swapraja akan diperhatikan dan bahwa tiada suatupun dari daerah-daerah swapraja yang sudah ada, dapat dihapus atau

Page 126: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

115Perspektif, Konseptualisasi dan Konteks Yuridis

diperkecil bertentangan dengan kehendaknya, kecuali untuk kepentingan umum dan sesudah undang-undang federal yang menyatakan bahwa kepentingan umum menuntut penghapusan atau pengecilan itu, memberi kuasa untuk itu kepada pemerintah daerah-daerah yang bersangkutan.

Menurut Soehino, hingga berakhirnya Negara Republik Indonesia Serikat, ketentuan Pasal 64 dan Pasal 65 itu tidak pernah dilaksanakan dalam praktik.136 Walaupun secara tersurat tidak ada pengaturan mengenai pemerintahan daerah, tetapi Pasal 47 Konstitusi Republik Indonesia Serikat mencakup juga hal pemerintahan di daerah meskipun hanya dalam garis besarnya. Pasal 47 menetapkan bahwa:

Peraturan-peraturan ketetanegaraan negara-negara haruslah menjamin hak atas kehidupan rakyat sendiri kepada pelbagai persekutuan rakyat di dalam lingkungan daerah mereka itu dan harus pula mengadakan kemungkinan untuk mewujudkan hal itu secara kenegaraan dengan aturan-aturan tentang penyusunan persekutuan itu secara demokrasi dalam daerah-daerah otonom.

Lebih lanjut, Konstitusi Republik Indonesia Serikat juga tidak menyinggung sama sekali masalah Desa. Menurut Aan Eko Widiyanto dan Rachmat Syafaat, hal itu disebabkan karena: (i) secara politik Indonesia mendapatkan tekanan internasional dengan piagam persetujuaannya; dan (ii) secara geografis perbedaan antara lokasi desa satu dengan lokasi desa lain cukup signifikan dan ditunjang oleh belum berkembangnya alat komunikasi dan trasnportasi seperti sekarang.137 Hal ini diperkuat dalam ketentuan

136Soehino, op.cit., hlm. 137Aan Eko Widiyanto dan Rachmat Syafaat, 2006, Rekonstruksi Politik Hukum

Pemerintahan Desa dari Desa Terkooptasi dan Marginal Menuju Desa Otonom dan Demokratis,

Page 127: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

116 HUKUM PEMERINTAHAN DESA

Pasal 2 yang menyatakan bahwa daerah Republik Indonesia Serikat mencakup: (i) Negara Republik Indonesia dengan daerah-daerah menurut status quo seperti tersebut dalam Persetujuan Renville tanggal 17 Januari 1948; (ii) satuan-satuan kenegaraan yang tegak sendiri; dan (iii) Daerah-daerah Indonesia selebihnya yang bukan daerah-daerah bagian.

Malang, Penerbit Sekretariat Penguatan Otonomi Desa Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya, hlm. 51.

Page 128: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

117

BAB VII

PENGATURAN DESA PADA MASA BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG DASAR SEMENTARA 1950

A. TERBENTUKNYA KEMBALI NEGARA KESATUAN

Dalam negara Republik Indonesia Serikat, Republik Indonesia yang sesungguhnya tidak lebih dari satu diantara 32 negara bagian yang ada, pada dasarnya masih tetap otonom. Kondisi itu terlihat karena secara administrasi Republik Indonesia (di Jogjakarta) tidak bergantung kepada Republik Indonesia Serikat. Fenomena itu merupakan manifestasi politik pada masa sebelumnya. Pembentukan negara-negara bagian di berbagai wilayah Indonesia oleh Belanda, pada dasarnya eksistensinya tidakpernah diakui oleh pemerintah Republik Indonesia (di Jogjakarta). Tindakan yang kemudian diambil oleh Pemerintah Republik Indonesia (di Jogjakarta) adalah mendirikan pemerintahan bayangan di negara-negara bagian, mulai dari desa sampai ke tingkat yang lebih tinggi lagi.

Untuk menunjukkan eksistensi republik di daerah yang kemudian dikenal sebagai Bijenkomst voor Federaal Overleg (BFO), dikirim uang ORI (Oeang Republik Indonesia). Dengan tindakan itu, maka secara ekonomis dan politis, republik masih

Page 129: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

118 HUKUM PEMERINTAHAN DESA

eksis di wilayah BFO.138 Faktor lainnya adalah prestise Republik Indonesia yang tinggi karena dianggapsebagai pemenang perang dan perjuangan kemerdekaan. Prestise itu semakin meningkat dengan terjaminnya law and order di wilayah Republik Indonesia (di Jogjakarta), kelancaran administrasi pemerintahan, dan korupsi yang relatif tidak ada dibandingkan dengan negara-negara bagian lainnya.

Pada sisi yang lainnya terdapat ambisi politik yang kuat dan terus dipelihara dalam tubuh Pemerintahan dan Negara Republik Indonesia (di Jogjakarta) untuk mengembalikan bentuk negara kesatuan di Indonesia. Hal itudapat diketahui dengan ditempatkannya usaha untuk meneruskan perjuangan mencapai negara kesatuan yang meliputi seluruh Kepulauan Indonesia dalam program kabinet Dr. A. Halim, Perdana Menteri Republik Indonesia (di Jogjakarta).

Dorongan semangat yang lebih besar datang muncul karena dua kejadian.139 Pertama, ditariknya kekuatan militer Belanda di negara bagian yang tergabung dalam BFO. Kedua, berkaitan dengan yang pertama, kondisi tersebut menyebabkan dibebaskannyaribuan tahanan politik yang sangat pro-republiken dari berbagai penjara. Semua kondisi itu menyebabkan kekuatan gerakan persatuan menjadi lebih besar. Gerakan yang menentangnyahanya muncul di tempat-tempat di mana sejumlah kesatuan pasukan kolonial dan Koninklijk Nederlandsch Indisch Leger (KNIL) belum didemobilisasi.

138Meutia Farida Swasono, 1980, Bung Hatta, Pribadinya dalam Kenangan, Jakarta, Penerbit Sinar Harapan, hlm. 184-187.

139George Mc Turnan Kahin, 1995, Nasionalisme dan Revolusi di Indonesia, Jakarta, Penerbit Pustaka Sinar Harapan kerja sama dengan Sebelas Maret University Press, , hlm. 572.

Page 130: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

119Perspektif, Konseptualisasi dan Konteks Yuridis

Kuatnya gerakan persatuan itu kemudian semakin bertambah kuat karena mayoritas masyarakat negara bagian juga tidak mendukung pembentukan negara-negara bagian tersebut. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa pembentukan negara-negara bagian sangat tidakmemiliki dukungan yang kuat, kecuali dari Belanda. Oleh karena itu, ketika Belanda mulai melepaskan kontrolnya atas negara-negara bagian maka rakyat negara bagian itu bergerak menuntut untuk kembali kepada Republik Indonesia (di Jogjakarta). Dengan kondisi itu, maka kejatuhan negara-negara bagian tinggal menunggu waktu saja. Oleh karena itu wajar apabila di berbagai negara bagian muncul gerakan yang menuntut pembubaran pemerintah daerahnya atau negara bagiannya. Gerakan semacam itu kemudian menuntut agar daerahnya digabungkan kepada Republik Indonesia Serikat.

Negara bagian pertama yang secara resmi bergabung kembali dengan Republik Indonesia adalah Negara Bagian Sumatera Selatan. Kemudian berdasarkan ketentuan Pasal 44 Konstitusi Republik Indonesia Serikat 1949, ditetapkan Undang-Undang Darurat Nomor 11 Tahun 1950 tentang Tata Cara Perubahan Susunan Kenegaraan dari Wilayah Republik Indonesia Serikat pada 9 Maret 1950. Selanjutnya, diadakan pemungutan suara bagi persetujuan penggabungan Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Madura ke dalam Republik Indonesia. Setelah itu, berbagai daerah dan negara bagian mengajukan permohonan untuk menggabungkan diri ke dalam Republik Indonesia (di Jogjakarta). Sehingga pada akhir Maret 1950 tinggal 4 (empat) negara bagian yang masih berdiri, yaitu Kalimantan Barat, Negara Sumatera Timur, Negara Indonesia Timur dan Republik Indonesia (di Jogjakarta) yang wilayahnya menjadi lebih luas. Setelah Kalimantan Barat digabungkan ke dalam Republik Indonesia (di Jogjakarta)

Page 131: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

120 HUKUM PEMERINTAHAN DESA

melalui sidang Majelis Permusyawaratan pada tanggal 22 April 1950, maka hingga 19 Mei 1950 tinggal 3 (tiga) negara bagian dalam Republik Indonesia Serikat, yaitu Republik Indonesia (di Jogjakarta), Negara Sumatera Timur, dan Negara Indonesia Timur. Terhadap daerah-daerah yang telah menggabungkan diri tadi, yang kemudian dikenal sebagai “Daerah Pulihan”, diberlakukan ketentuan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948. Pemberlakuan itu didasarkan kepada Peraturan Pemerintah sebagai Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1950 tentang Peraturan Daerah Pulihan, berlaku mulai 13 Maret 1950.

Setelah penggabungan tadi, maka Pemerintah Republik Indonesia (di Jogjakarta) membentuk provinsi-provinsi otonom sebagai pelaksanaan ketentuan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948, yaitu: (i) Jawa Timur, dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1950; (ii) Daerah Istimewa Jogjakarta, yang setingkat dengan provinsi, dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950; (iii) Jawa Tengah, dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1950; (iv) Jawa Barat, dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1950; (v) Sumatera Selatan, dengan Peraturan Pemerintah sebagai Pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950; (vi) Sumatera Tengah, dengan Peraturan Pemerintah sebagai Pengganti Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1950; dan (vii) Sumatera Timur, dibentuk dengan Peraturan Pemerintah sebagai Pengganti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1950. Di samping sejumlah daerah otonom itu, maka ditetapkan pembentukan daerah otonom Kota Jakarta Raya dengan Undang-Undang Darurat Nomor 20 Tahun 1950.

Semua perkembangan politik di Indonesia itu memaksa para elit yang ada di Negara Indonesia Timur dan Negara Sumatera Timur untuk berunding dengan Pemerintah Republik Indonesia Serikat. Oleh karena itu, dari tanggal 3 sampai 5 Mei

Page 132: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

121Perspektif, Konseptualisasi dan Konteks Yuridis

1950 diadakan perundingan antara Perdana Menteri Republik Indonesia Serikat M. Hatta, Presiden Negara Indonesia Timur Sukawati, dan Perdana Menteri Negara Sumatera Timur Dr. Mansyur. Hasilnya adalah disetujuinya pembentukan suatu negara kesatuan. Akan tetapi, pada tanggal 13 Mei 1950 Dewan Sumatera Timur menentang keputusan itu. Meskipun demikian, Dewan Sumatera Timur masih bersedia menerima pembubaran Republik Indonesia Serikat dengan syarat Negara Sumatera Timur dileburkan ke dalam Republik Indonesia Serikat, bukan ke dalam Republik Indonesia (di Jogjakarta).

Walaupun ada dukungan kuat dari sebagian besar penduduk Sumatera Timur, tetapi Perdana Menteri Hatta mendukung Dewan Negara Sumatera Timur. Keputusan Hatta itu didasari situasi di Sumatera Timur yang masih rapuh untuk bergabung dengan Republik Indonesia. Hatta berpikir bahwa apabila diambil jalan penggabungan Negara Sumatera Timur langsung ke dalam Republik Indonesia (di Jogjakarta), mungkin dapat mendorong para bekas KNIL yang saat itu masih menjadi anggota batalyon keamanan Negara Sumatera Timur untuk memberontak sebagaimana tindakan yang diambil teman-temannya di Ambon. Sehubungan dengan hasil konferensi antara Hatta, Mansyur dan Sukawati, maka sebagai tindak lanjut diadakan perundingan antara Perdana Menteri Republik Indonesia Serikat Hatta yang mewakili Negara Indonesia Timur beserta dengan Negara Sumatera Timur di satu pihak dan Perdana Menteri Republik Indonesia A. Halim pada pihak lainnya. Hasilnya adalah tercapainya Piagam Persetujuan pada tanggal 19 Mei 1950 diantara kedua belah pihak untuk membentuk negara kesatuan.

Menurut Soehino, isi pokok piagam persetujuan tersebut adalah disetujui dalam waktu sesingkat-singkatnya bersama-sama

Page 133: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

122 HUKUM PEMERINTAHAN DESA

melaksanakan negara kesatuan, sebagai jelmaan daripada Republik Indonesia berdasarkan Proklamasi 17 Agustus 1945. Dengan persetujuan tersebut, dimaksudkan hendak mengadakan perubahan “dalam negeri” saja, yaitu merubah sifat susunan negara federal ke kesatuan dengan cara mengubah Konstitusi Republik Indonesia Serikat 1949 menjadi bentuk kesatuan.140

Perubahan tersebut dilaksanakan menurut Pasal 190, Pasal 127 huruf a, dan Pasal 191 ayat (2) yang dilakukan dengan Undang-Undang Federal Nomor 7 Tahun 1950 yaitu Undang-Undang tentang Perubahan Konstitusi Sementara Republik Indonesia Serikat menjadi Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia (Lembaran Negara Tahun 1950 Nomor 56). Naskah perubahan itu seluruhnya dimuat dalam Pasal I Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1950, sedangkan Pasal II ayat (1) menyatakan Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia ini mulai berlaku pada hari tanggal 17 Agustus 1950.

B. SISTEM PEMERINTAHAN DAERAH

Dalam Undang-Undang Dasar Sementara 1950, mengenai pemerintahan daerah dan daerah swapraja ketentuannya dimuat dalam Pasal 131, Pasal 132, dan Pasal 133. Untuk lebih jelasnya di bawah ini dikutipkan ketentuan pasal-pasal tersebut.

Pasal 131ayat (1) Pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan

kecil yang berhak mengurus rumah tangganya sendiri (autonom) dengan bentuk susunan pemerintahannya

140Soehino, op.cit., hlm. 43.

Page 134: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

123Perspektif, Konseptualisasi dan Konteks Yuridis

ditetapkan dengan undang-undang, dengan memandang dan mengingati dasar permusyawaratan dan dasar perwakilan dalam sistem pemerintahan negara.

ayat (2) Kepada daerah-daerah diberikan autonomi seluas-luasnya untuk mengurus rumah tangga sendiri.

ayat (3) Dengan undang-undang dapat diserahkan penyelenggaraan tugas-tugas kepada daerah-daerah yang tidak termasuk dalam urusan rumah tangganya.

Pasal 132ayat (1) Kedudukan daerah-daerah swapraja diatur dengan

undang-undang dengan ketentuan bahwa dalam bentuk susunan pemerintahannya harus diingat pula ketentuan dalam Pasal 131, dasar-dasar permusyawaratan dan perwakilan dalam sistem pemerintahan negara.

ayat (2) Daerah-daerah Swapraja yang ada tidak dapat dihapuskan atau diperkecil bertentangan dengan kehendaknya, kecuali untuk kepentingan umum dan sesudah undang-undang yang menyatakan bahwa kepentingan umum menuntut penghapusan atau pengecilan itu, memberi kuasa untuk itu kepada Pemerintah.

ayat (3) Perselisihan-perselisihan hukum tentang peraturan-peraturan yang dimaksud dalam ayat (1) dan tentang menjalakannya diadili oleh badan pengadilan yang dimaksud dalam Pasal 108.

Page 135: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

124 HUKUM PEMERINTAHAN DESA

Pasal 133Sambil menunggu ketentuan-ketentuan sebagaima dimaksud dalam Pasal 132 maka peraturan-peraturan yang ada tetap berlaku, dengan pengertian bahwa penjabat-penjabat daerah bagian dahulu yang tersebut dalam peraturan-peraturan itu diganti dengan penjabat-penjabat yang demikian pada Republik Indonesia.

Pada bulan Juni 1956 sebuah rancangan undang-undang tentang pemerintahan daerah sebagai pelaksanaan ketentuan Pasal 131 dan Pasal 132 Undang-Undang Dasar Sementara 1950 di atas, diajukan Menteri Dalam Negeri ketika itu, Prof. Sunaryo, kepada Dewan Perwakilan Rakyat hasil Pemilu 1955. Setelah melalui perdebatan dan perundingan Pemerintah dan Fraksi-fraksi dalam Dewan Perwakilan Rakyat waktu itu, rancangan undang-undang tersebut diterima dan disetujuai secara aklamasi. Pada tanggal 19 Januari 1957 rancangan itu diundangkan menjadi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah.

Terkait dengan sistem pemerintahan daerah, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 ini berisikan mengenai pengaturan tentang, antara lain, jumlah tingkatan daerah sebanyak-banyaknya tiga tingkatan, kedudukan kepala daerah dan tentang pengawasan yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat. Khusus terkait dengan susunan pemerintahan daerah, maka undang-undang mengatur bahwa wilayah Indonesia dibagi dalam daerah besar dan daerah kecil yang berhak mengurus rumah tangganya sendiri dan sebanyak-banyaknya ada 3 (tiga) tingkat yang derajatnya dari atas ke bawah adalah:

Page 136: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

125Perspektif, Konseptualisasi dan Konteks Yuridis

(i) Daerah Tingkat I, termasuk Kotapraja Jakarta Raya;(ii) Daerah Tingkat II, termasuk kotapraja;(iii) Daerah Tingkat III.

Dalam Pasal 131 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1950 terdapat kalimat berbunyi “daerah besar dan kecil yang berhak mengurus rumah tangganya sendiri (autonoom)”, yang mana kata-kata tersebut dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 digunakan istilah teknis “Daerah Swatantra” yang mempunyai arti sama dengan istilah “Daerah Otonom.” Pemerintahannya disebut dengan “Pemerintah Daerah Swatantra.” Di samping itu, dikenal juga “Daerah Istimewa” untuk menyebut Daerah Swapraja yang ditetapkan sebagai Daerah Istimewa, dan ada Kotapraja untuk menyebut daerah kota yang mengurus rumah tangga sendiri. Daerah swapraja dapat ditetapkan menjadi Daerah Istimewa Tingkat I, Tingkat II, atau Tingkat III atau Daerah Swatantra Tingkat I, Tingkat II, atau Tingkat III yang berhak mengurus rumah tangganya sendiri (Pasal 2).

C. PENGATURAN DESA

Ketentuan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 tidak ada penyebutan secara eksplisit bahwa yang dimaksudkan sebagai Daerah Tingkat III adalah desa, sesuatu yang berlainan dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948. Namun dengan mencermati ketentuan yang ada dalam bagian Penjelasan, maka dapat disimpulan 2 (dua) hal pokok yang berkaitan dengan eksistensi desa:

Page 137: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

126 HUKUM PEMERINTAHAN DESA

1. Tidak semua desa ada kemungkinan dijadikan Daerah Tingkat III; dan

2. Dibuka kemungkinan bahwa misalnya daerah kecamatan menjadi Daerah Tingkat III.

Untuk lebih jelasnya di bawah ini dikutipkan bunyi Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 yang berhubungan dengan eksistensi desa dan tata cara pembentukan Daerah Tingkat III tersebut. Mengenai eksistensi desa atau nama lain, sebagai kesatuan masyarakat hukum dengan bersendikan hukum adat, Undang-Undang menegaskan:

Kesatuan-kesatuan masyarakat hukum ini bentuknya bermacam-macam di seluruh Indonesia ini. Di Jawa namanya Desa dan Desa itu adalah satu macam kesatuan masyarakat hukum yang tidak lagi terbagi dalam kesatuan-kesatua ,n masyarakat hukum bawahan dan tidak pula Desa itu merupakan bagian dari lain kesatuan masyarakat hukum menurut adat, sehingga Desa itu berdiri tinggal, mempunyai daerah sendiri, rakyat sendiri, penguasa sendiri dan mungkin pula harta benda sendiri, sedangkan hukum adat yang berlaku didalamnya adalah sesungguhnya “homogeen”.

Lain coraknya umpamanya di Tapanuli, dimana kesatuan masyarakat hukum-adat itu mempunyai bentuk yang bertingkat, unpamanya Kuria sebagai kesatuan masyarakat hukum-adat yang tertinggi dan merupakan satu daerah, mempunyai didalamnya sejumlah kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat bawahannya, yang dinamakannya Huta, yang masing-masing mempunyai sekumpulan rakyat sendiri, satu penguasa sendiri dan mungkin pula mempunyai daerah sendiri sebagai bahagian dalam daerah Kuria itu, sehingga adapula huta-huta

Page 138: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

127Perspektif, Konseptualisasi dan Konteks Yuridis

yang tidak mempunyai lingkungan daerah itu dalam daerah Kurianya sendiri. Meskipun demikian juga dalam setiap kesatuan Kuria itu berlaku hukum adat yang “homogeen”.

Contoh yang lain ialah Minangkabau, dimana didapati kesatuan masyarakat hukum tertinggi yakni Nagari, yang masing-masing mempunyai daerah sendiri sedangkan dalam daerah itu dijumpai sejumlah suku asal, yang masing-masing suku merupakan pula satu kesatuan masyarakt hukum adat yang terbawah. Juga kesatuan masyarakat hukum yang bernama Suku itu mungkin mempunyai daerah sendiri atau tidak dalam lingkungan Nagari.

Sebagai akibat bermacam-macamnya sistem pengaturan menurut hukum adat di dalam desa atau nama lain tersebut, maka tidak memungkinkan terhadap kesatuan masyarakat hukum itu diberikan status sebagai daerah otonom, karena:

Syarat belakangan ini, mempunyai daerah sendiri adalah syarat mutlak dalam sistem otonomi, yang memberikan kekuasaan kepada sekumpulan rakyat yang berdiam dalam suatu lingkungan yang nyata. Dengan demikian nyatalah bahwa bagi tempat-tempat yang serupa ini sulit kita untuk menciptakan satu kesatuan otonomi dalam pengertian tingkat yang ketiga (III), sehingga tindakan baru kemungkinannya atau hanya memberikan otonomi itu secara tindakan baru kepada Kabupaten dibawah Propinsi, atau menciptakan dengan cara bikin-bikinan wilayah administratif dalam Kabupaten itu untuk kemudian dijadikan kesatuan yang berotonomi. Dalam prinsipnya sangatlah tidak bijaksana mengadakan kesatuan otonomi secara bikin-bikinan saja dengan tidak berdasarkan kesatuan-kesatuan masyarakat hukum yang ada.

Page 139: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

128 HUKUM PEMERINTAHAN DESA

Pembentuk undang-undang mempunyai pandangan, bahwa suatu daerah otonom akan dibentuk secara nyata jika sungguh-sungguh di dalamnya terdapat perekat yang mempersatuan daerah itu sebagai sebuah teritorial. Selengkapnya sebagai berikut:

Prinsip yang kedua ialah bahwa sesuatu daerah yang akan kita berikan otonomi itu hendaklah sebanyak mungkin merupakan suatu masyarakat yang sungguh mempunyai faktor-faktor pengikat kasatuannya. Sebab itulah maka handaknya di mana menurut keadaan masyarakat belum dapat diadakan (3) tingkat, untuk sementara waktu dibentuk dua tingkat dahulu.

Berhubung dengan adanya hal-hal adanya atau tidak adanya kesatuan-kesatuan masyarakat hukum-adat sebagai dasar bekerja untuk menyusun tingkat otonomi tidak “congruent” dengan urusan hukum adat, sehingga manakala sesuatu kesatuan masyarakat hukum-adat dijadikan menjadi satu daerah otonomi atau dimasukkan ke dalam daerah otonomi, maka hal itu tidaklah berarti, bahwa tugas-tugas kepala-kepala adat dengan sendirinya telah terhapus. Yang mungkin terhapus hanya segi-segi hukum-adat yang bercorak ketatanegaraan, manakala hanya satu kesatuan masyarakat hukum-adat itu dijadikan daerah otonomi, yang sekedar corak yang dimaksud bersepadanan dengan kekuasaan ketatanegaraan yang tersimpul dalam pengertian otonomi itu. Kesanggupan melihat perbedaan itu, yaitu perbedaan antara otonomi dan kekuasaan adat adalah suatu syarat penting untuk menjamin hidupnya otonomi itu secara yang memuaskan, keseluruhan rakyat yang mau tak mau masih terkungkung dalam sistem hukum adat itu.

Page 140: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

129Perspektif, Konseptualisasi dan Konteks Yuridis

Dari uraian di atas, nampak bahwa pembentuk undang-undang mensyaratkan bahwa untuk menjadi daerah otonom dibutuhkan 2 (dua) prinsip, yaitu satu kesatuan hukum dan masyarakat yang sungguh mempunyai faktor-faktor pengikat kesatuannya. Dalam pandangan Sutoro Eko, sebagaimana dikutip oleh Sadu Wasistiono, pada sisi lain Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 penuh keraguan dalam memandang dan menempatkan posisi desa.141 Mengenai kemungkinan Desa menjadi Daerah Swatantra Tingkat III juga sudah tertutup, karena seperti yang dikatakan oleh Soehino, sebenarnya selama berlakunya undang-undang tersebut belum pernah terbentuk Daerah Swatantra Tingkat III.142 Lagipula, secara konstitusional ketentuan Undang-Undang Dasar 1950 lebih banyak mengatur tentang daerah-daerah yang diberikan otonomi untuk mengurus rumah tangganya sendiri, dan sama sekali tidak mengatur mengenai Desa.

141Sadu Wasistiono, 2006, Prospek Pengembangan Desa, Bandung, Penerbit Fokus Media, hlm. 20.

142Soehino, op.cit., hlm. 51.

Page 141: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi
Page 142: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

131

BAB VIII

PENGATURAN DESA PADA KURUN WAKTU KEDUA BERLAKUNYA

UNDANG-UNDANG DASAR 1945

A. DEKRIT PRESIDEN 5 JULI 1959

Kenyataan menunjukkan bahwa dalam sejarah konstitusi Indonesia, Sukarno adalah figur pelopor yang menekankan pentingnya sebuah konstitusi oleh badan-badan yang sah yang terdiri atas wakil-wakil rakyat. Di hadapan sidang BPUPKI pada tahun 1945 ia mengatakan:143

[U]ndang-Undang Dasar yang dibuat sekarang ini adalah undang-undang dasar sementara. Kalau boleh saya memakai perkataan: ini adalah undang-undang dasar kilat. Nanti kalau kita telah bernegara di dalam suasana yang lebih tenteram, kita tentu akan mengumpulkan kembali Majelis Permusyawaratan Rakyat yang dapat membuat undang-undang dasar yang lebih lengkap dan lebih sempurna.

143Lihat dalam Adnan Buyung Nasution, 2009, Aspirasi Pemerintahan Konstitusional di Indonesia: Studi Sosio Legal atas Konstituante 1956-1959, Cetakan Ketiga, Jakarta, Penerbit Pustaka Utama Grafiti bekerjasama dengan Eka Tjipta Foundation, hlm. 28-29.

Page 143: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

132 HUKUM PEMERINTAHAN DESA

Dalam manifesto politik yang dikeluarkan pada tanggal 1 November 1945 sebagai tindaklanjut Maklumat Nomor X, maka pemilihan umum bagi pemerintahan konstitusional secara eksplisit dijelaskan sebagai berikut:144

Sedikit hari lagi kita akan mengadakan pemilihan umum sebagai bukti bahwa bagi kita, cita-cita dan dasar kerakyatan itu benar-benar dasar dan pedoman penghidupan masyarakat dan negara kita. Mungkin sebagai akibat pemilihan itu pemerintah akan berganti dan undang-undang dasar kita akan disempurnakan menurut kehendak rakyat kita yang terbanyak.

Pemilihan Umum ditetapkan dengan pengumuman pemerintah tanggal 3 November 1946 dan pada mulanya direncanakan akan diselenggarakan pada bulan Januari 1946 oleh Kabinet Sjahrir Pertama, tetapi terpaksa ditunda berulang kali karena kekacauan akibat revolusi fisik. Dalam periode sesudah Desember 1949, pemilihan umum menjadi bagian penting dari program kerja setiap kabinet. Setelah berhasil ditetapkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1953 tentang Pemilihan Umum pada tanggal 1 April 1953, maka diselenggarakanlah pemilihan umum untuk pertama kali dalam sejarah republik guna memilih Dewan Perwakilan Rakyat dan Konstituante, masing-masing pada tanggal 29 September 1955 dan 15 Desember 1955. Dengan telah dibentuknya Konstituante, maka dimulailah proses penyusunan undang-undang dasar yang akan menggantikan Undang-Undang Dasar Sementara 1950.

Hal tersebut sesuai dengan ketentuan Pasal 134 Undang-Undang Dasar Sementara 1950 yang menyatakan bahwa Konstituante (Sidang Pembuat Undang-Undang Dasar) bersama-

144Ibid., hlm. 29.

Page 144: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

133Perspektif, Konseptualisasi dan Konteks Yuridis

sama dengan pemerintah selekas-lekasnya menetapkan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia yang akan menggantikan Undang-Undang Dasar Sementara ini. Konstituante sendiri melangsung persidangan dalam kurun waktu 10 November 1956 hingga 2 Juni 1959.

Namun dalam kurun waktu persidangan itu Konstituante belum juga dapat menghasilkan Undang-Undang Dasar sebagaimana diharapkan karena adanya perbedaan pendapat yang sangat jauh di dalam tubuh Konstituante sendiri. Pada sisi lain terdapat persoalan krisis ekonomi yang mengguncang stabilitas negara. Krisis itu sendiri disebabkan oleh 2 (dua) hal yaitu pertama, konflik dengan negara Belanda mengenai Irian Baat yang berakibat antara lain dirampasnya perusahaan-perusahaan Belanda, disusul dengan pengusiran warga Belanda. Kedua, perang saudara yang disebabkan oleh pemberontakan di Sumatera dan Indonesia Timur.145 Di samping krisis ekonomi, terjadi ancaman perpecahan nasional yang mempertajam krisis legitimasi politik karena: (i) pertentangan antara daerah Jawa dan luar Jawa; (ii) pertentangan politik dan ideologis diantara partai-partai nasionalis, komunis dan Islam; (iii) mundurnya Hatta dari jabatan Wakil Presiden; (iv) pertentangan dalam tubuh Angkatan Darat; dan (v) intervensi asing.146

Di tengah-tengah krisis tersebut, pada 21 Februari 1957, Presiden Soekarno mengumumkan Konsepsi Presiden. Konsepsi tersebut dikenal sebagai “Demokrasi Terpimpin” yang pada garis besarnya berisi 2 (dua) hal, yaitu, pertama, pembentukan sistem pemerintahan baru, yaitu Kabinet Gotong Royong yang akan memasukkan semua partai yang diwakili dalam Dewan Perwakilan Rakyat. Kedua, pembentukan Dewan Nasional, yang

145Adnan Buyung Nasution, Aspirasi Pemerintahan...., op.cit., hlm. 263.146Ibid., hlm. 266.

Page 145: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

134 HUKUM PEMERINTAHAN DESA

terdiri dari “wakil-wakil golongan fungsional” dan dipimpin oleh Presiden Soekarno. Dampak konsep presiden ini sangat merugikan karena diumumkan tanpa memberitahukan kabinet sebelumnya, dan pada saat yang sama, kabinet sedang dilanda krisis karena tindakan Masyumi yang menarik menterinya dari kabinet. Pada 14 Maret 1957, Perdana Menteri Ali Sastroadmidjojo mengajukan permohonan untuk meletakkan jabatan kepada Presiden, dan pada hari yang sama, Presiden mengumukan berlakunya hukum darurat perang.147 Selanjutnya, Soekarno menunjuk dirinya sendiri sebagai formatur kabinet dan membentuk Kabinet Karya di mana Djuanda menjadi Perdana Menteri.

Dengan hukum darurat perang itu, maka tentara, khususnya Angkatan Darat segera melakukan intervensi yang meluas dalam kehidupan politik dan ekonomi negara, bahkan mengendalikan birokrasi pemerintahan. Dampak hukum darurat perang juga menimpa partai politik, di mana kegiatan partai dibatasi, rapat-rapat politik diawasi, dan demonstrasi dihalang-halangi. Pada posisi tersebut, tentara juga memberikan pendapat kepada Presiden Soekarno untuk memberlakukan kembali Undang-Undang Dasar 1945. Menurut Daniel S. Lev, sebagaimana dikutip oleh Adnan Buyung Nasution, ada 5 (lima) alasan untuk menjadi latar belakang pemberlakuan kembali Undang-Undang Dasar 1945 waktu itu.148 Pertama, Pasal 2 Undang-Undang Dasar 1945 dapat ditafsirkan sebagai pasal yang menentukan perwakilan golongan fungsional. Kedua, Pasal 2 juga memberikan jaminan perwakilan daerah dan karena itu dapat memuaskan daerah. Ketiga, Undang-Undang Dasar tersebut akan menjamin negara kesatuan guna melawan aspirasi yang berkembang di Konstituante untuk membentuk

147Feith, dalam Ibid., hlm. 290.148Ibid., hlm. 299.

Page 146: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

135Perspektif, Konseptualisasi dan Konteks Yuridis

federasi. Keempat, pemberlakuan kembali Undang-Undang Dasar 1945 akan menjamin kembalinya pelaku pemberontakan daerah ke pangkuan negara. Kelima, akan mengakhiri sidang-sidang Konstituante dan menyelesaikan pertentangan Islam-Pancasila.

Pada tanggal 19 Februari 1959, Kabinet memutuskan “akan melaksanakan Demokrasi Terpimpin dalam rangka kembali ke Undang-Undang Dasar 1945.” Selanjutnya, pada 2 Maret 1959, Perdana Menteri Djuanda melaporkan keputusan pemerintah kepada Presiden untuk kembali ke Undang-Undang Dasar 1945. Presiden Soekarno kemudian menyampaikan amanat di hadapan Konstituante pada tanggal 22 April 1959, yang lebih merupakan seruan emosional yang mendesak supaya Konstituante menerima Undang-Undang Dasar 1945 tanpa amandemen sebagai konstitusi negara. Bagaimanapun, Konstituante kemudian tidak pernah bisa menghasilkan suara mayoritas untuk menanggapi anjuran Presiden Soekarno guna kembali ke Undang-Undang Dasar 1945 itu.

Pada tanggal 5 Juli 1959, Kabinet mengadakan sidang di Istana Bogor dengan dihadiri oleh Ketua Mahkamah Agung. Di sanalah tercapai kesepakatan supaya Undang-Undang Dasar 1945 dinyatakan kembali melalui dekrit, dengan “keadaan darurat nasional” sebagai pijakan legal. Pada siang hari itu, Presiden Soekarno, atas nama rakyat Indonesia, menetapkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959, yang berisi: (i) Pembubaran Kosntituante; (ii) Memberlakukan kembali Undang-Undang Dasar 1945; (iii) Penarikan kembali Undang-Undang Dasar Sementara 1950; dan (iv) usaha-usaha sesingkat-singkatnya untuk membentuk kelembagaan negara sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945.

Page 147: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

136 HUKUM PEMERINTAHAN DESA

B. SISTEM PEMERINTAHAN DAERAH

Untuk menyesuaikannya dengan prinsip-prinsip demokrasi terpimpin dan kegotong-royongan, maka pada tanggal 9 September 1959 Presiden mengeluarkan Penetapan Presiden149 Nomor 6 Tahun 1959 tentang Pemerintah Daerah yang kemudian disempurnakan melalui Penetapan Presiden Nomor 5 Tahun 1960. Bagir Manan menguraikan latar belakang pembentukan produk hukum itu sebagai berikut:150

Penggantian undang-undang akibat Dekrit Presiden 5 Juli 1959 bukan saja dipergunakan untuk menyesuaikan susunan pemerintahan di daerah dengan susunan menurut Undang-Undang Dasar 1945, tetapi sekaligus juga melakukan “penyempurnaan” terhadap Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957. Penyempurnaan itu setidak-tidaknya menyangkut 2 (dua) hal yaitu:

1. Menghilangkan dualisme pemerintahan di daerah antara aparatur dan fungsi otonomi dan fungsi kepamongprajaan; dan

2. Memperbesar pengendalian pusat terhadap Daerah.

Kedua Penetapan Presiden tersebut secara formal merupakan penyempurnaan terhadap Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 dalam rangka penyesuaian dengan Undang-Undang Dasar 1945. Akan tetapi secara substansial justru merupakan awal dari sistem pemerintahan yang cenderung sentralistik. Berbagai gagasan besar dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 tetap dipertahankan,

149Penetapan Presiden merupakan salah satu bentuk produk legislatif yang disejajarkan dengan undang-undang, tetapi ditetapkan secara eksklusif oleh Presiden tanpa persetujuan bersama dengan Dewan Perwakilan Rakyat. Hal itu merupakan pandangan Presiden Soekarno sebagaimana Surat Presiden Nomor 2262/HK/1959 tanggal 20 Agustus 1959.

150Bagir Manan, Hubungan antara Pusat dan Daerah...., op.cit., hlm. 219-220.

Page 148: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

137Perspektif, Konseptualisasi dan Konteks Yuridis

seperti pemberian otonomi yang seluas-luasnya kepada daerah dan sistem rumah tangga nyata, maupun susunan Daerah Otonom tetap diteruskan. Perubahan yang mendasar antara lain:151

a. Kecenderungan memperkokoh unsur desentralisasi yang digariskan sejak tahun 1948 berganti arah yang lebih menekankan pada unsur sentralistik. Misalnya pengangkatan kepala daerah lebih ditentukan oleh kehendak pemerintah pusat daripada oleh pemerintah daerah. Presiden diberi wewenang mengangkat kepala daerah di luar calon-calon yang diajukan oleh Daerah.

b. Kepala Daerah tidak lagi semata-mata sebagai alat Daerah tetapi juga sebagai alat Pusat yang mengawasi pemerintahan daerah. Bahkan secara berangsur-angsur Kepala Daerah lebih tampak sebagai wakil Pusat di Daerah daripada pemimpin Daerah.

c. Dihapuskannya dualisme pemerintahan di daerah yang memang terasa mengganggu kelancaran penyelenggaraan pemerintahan di daerah.

Pada perkembangan selanjutnya, Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara juga terbentuk atas Penetapan Presiden Nomor 12 Tahun 1959, yang antara lain menetapkan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor III/MPRS/1960 tentang Garis-Garis Besar Pola Pembangunan Semesta Berencana Tahapan Pertama 1961-1969, yang dalam beberapa bagiannya memuat ketentuan-ketentuan tentang Pemerintah Daerah. Masing-masing adalah: (a) Paragraf 392 mengenai pembagian Daerah dan jumlah tingkatan; (b) Paragraf 393 mengenai desentralisasi; (c) Paragraf

151Bagir Manan, 1993, Perjalanan Historis Pasal 18 UUD 1945 (Perumusan dan Undang-Undang Pelaksanaannya), Karawang, Penerbit Unsika, hlm. 32.

Page 149: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

138 HUKUM PEMERINTAHAN DESA

395 mengenai pemerintahan daerah; (d) Paragraf 396 mengenai pemerintahan Desa.

Dalam setiap paragraf antara lain termuat amanat agar dilakukan pembentukan daerah Tingkat II sebagaimana dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957; dan menyusun Rancangan Undang-Undang Pokok-Pokok Pemerintahan Desa, yang dinyatakan berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri, sebagai pengganti segala peraturan dari masa kolonial dan nasional yang dianggap belum sempurna, yang mengatur tentang kedudukan Desa dalam rangka ketatanegaraan: bentuk dan susunan pemerintahan Desa; tugas dan kewajiban, hak dan kewenangan pemerintah Desa; keuangan pemerintah Desa: serta kemungkinan-kemungkinan badan-badan kesatuan pemerintahan Desa yang sekarang ini menjadi satu pemerintahan yang otonom.

Karena tuntutan itu, pemerintah membentuk Panitia Negara Urusan Desentralisasi dan Otonomi Daerah yang diketuai oleh R.P. Soeroso, atas dasar Keputusan Presiden Nomor 514 Tahun 1960. Tugas-tugas yang harus diselesaikan oleh panitia adalah:

a. Menyusun Rencana Undang-undang Organik tentang Pemerintahan Daerah Otonom sesuai dengan cita-cita Demokrasi Terpimpin dalam rangka Negara Kesatuan Republik Indonesia yang mencakup segala pokok-pokok (unsur-unsur) Progresif dari UU No. 22/1948,UU No.1/1957, Perpres No.6/1959 (disempurnakan), Perpres No.5/1960 (disempurnakan),dan Perpres No.2/1961.

b. Menyusun Rencana Undang-undang tentang Pokok-pokok Pemerintahan Desa, yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri, sebagai pengganti segala peraturan perundangan dari masa kolonial mengenai pemerintahan

Page 150: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

139Perspektif, Konseptualisasi dan Konteks Yuridis

Desa sehingga dewasa ini masih berlaku; rencana akan mengatur hal-hal pokok tentang:

(1) Kedudukan Desa dalam rangka ketatanegaraan ; (2) Bentuk dan susunan pemerintahan Desa; (3) Tugas kewajiban,hak dan kewenangan pemerintahan

Desa; (4) Keuangan pemerintahan Desa;(5) Pengawasan pemerintahan Desa; (6) Kemungkinan pembangunan badan-badan kesatuan

pemerintah Desa yang ada sekarang ini menjadi satu pemerintahan Desa yang otonom;

(7) Dan lain-lain.

c. Mengajukan usul usul penjelasan mengenai:

(1) Penyerahan urusan-urusan pemerintahan pusat yang menurut sifatnya dan sesuai dengan kemampuan dan kesanggupan daerah dapat diserahkan kepada daerah, yang dahulu menurut penjelasan UU No. 1/1957 diharapkan akan dijadikan tugas suatu Dewan Otonomi dan Desentralisasi.

(2) Tuntutan-tuntutan tentang pembagian daerah (pemecahan, pemisahan, penghapusan dan pembentukan baru), perluasan batas-batas wilayah kotapraja, pemindahan ibu kota daerah.

(3) Penertiban organisasi-organisasi masyarakat rukun kampung dan rukun tetangga.

Setelah bekerja selama dua tahun Panitia Suroso berhasil menyelesaikan 2 rancangan undang-undang: Rancangan

Page 151: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

140 HUKUM PEMERINTAHAN DESA

Undang-Undang tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah dan Rancangan Undang-undang tentang Desa Praja. Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah saat itu, Ipik Gandamana, pada tahun 1963, menyampaikan kedua rancangan undang-undang itu kepada Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong. Sebelumnya pada bulan Januari 1963 kedua rancangan itu dibuat dalam sebuah konferensi yang diikuti oleh seluruh gubernur. Pembahasan kedua rancangan undang-undang itu di Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong cukup lama dan alot. Setelah mengalami berbagai penyesuaian sesuai aspirasi dari banyak pihak, pada tanggal 1 September 1965, Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong menetapkannya sebagai undang-undang. Masing-masing menjadi Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965 Tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah dan UU No. 19 Tahun 1965 Tentang Desapraja sebagai Bentuk Peralihan Untuk Mempercepat Terbentuknya Daerah Tingkat III di Seluruh Wilayah Indonesia atau dapat disingkat Desapraja.

Ketentuan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965 hanya mengatur pemerintahan di daerah yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri (otonomi daerah) atau hanya menganut asas desentralisasi. Hal ini nampak dalam ketentuan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965 yang menyebutkan:

Wilayah Negara Republik Indonesia terbagi habis ke dalam Daerah-Daerah yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri dan tersusun dalam tiga tingkatan sebagai berikut:

a. Provinsi dan/atau kotaraya sebagai Daerah TingkatI;

Page 152: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

141Perspektif, Konseptualisasi dan Konteks Yuridis

b. Kabupaten dan/atau kotamadya sebagai Daerah Tingkat II; dan

c. Kecamatan dan/atau kotapraja sebagai Daerah Tingkat III.

Dengan demikian, meskipun mendasarkan kepada Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945 akan tetapi pengaturan lebih lanjut hanya terbatas peruntukkannya bagi daerah otonom. Hal ini dipertegas menurut Pasal 1 ayat (1) bahwa “Istilah-istilah provinsi, kabupaten, dan kecamatan, sebagaimana halnya istilah-istilah Kotaraya, Kotamadya, adalah istilah-istilah umum untuk nama jenis Daerah dan bukan merupakan penunjukkan suatu wilayah adminstratif.”

C. PENGATURAN DESA

Menurut Pasal 1 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1965, yang dimaksud dengan Desapraja adalah kesatuan masyarakat hukum yang tertentu batas-batas daerahnya, berhak mengurus rumah tangganya sendiri, memilih penguasanya, dan mempunyai harta bendanya sendiri. Dalam penjelasan dinyatakan bahwa kesatuan-kesatuan yang tercakup dalam Penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 18, Volksgemeenschappen seperti Desa di Jawa dan Bali, Nagari di Minangkabau, Dusun dan marga di Palembang dan sebagainya, yang bukan bekas swapraja adalah Desapraja menurut undang-undang ini. Dengan demikian, persekutuan-persekutuan masyarakat hukum yang berada dalam (bekas) daerah swapraja tidak berhak atas status sebagai Desapraja.

Dengan memggunakan nama Desapraja, Undang-Undang 19 Tahun 1965 memberikan istilah baru dengan satu nama seragam untuk menyebut keseluruhan kesatuan masyarakat hukum yang

Page 153: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

142 HUKUM PEMERINTAHAN DESA

termasuk dalam penjelasan UUD 1945 pasal 18, padahal kesatuan masyarakat hukum di berbagai wilayah Indonesia mempunyai nama asli yang beragam. Ketentuan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1965 juga memberikan dasar dan isi Desapraja secara hukum yang berarti kesatuan masyarakat hukum yang tertentu batas-batas daerahnya dan berhak mengurus rumahtangganya sendiri, memilih penguasanya, dan memiliki harta benda sendiri.

Dalam penjelasan umum tentang Desapraja itu terdapat keterangan yang menyatakan bahwa Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1965 tidak membentuk baru Desapraja, melainkan mengakui kesatuan-kesatuan masyarakat hukum yang telah ada di seluruh Indonesia dengan berbagai macam nama menjadi Desapraja. Kesatuan-kesatuan masyarakat hukum lain yang tidak bersifat teritorial dan belum mengenal otonomi seperti yang terdapat di berbagai wilayah daerah administratif tidak dijadikan Desapraja, melainkan dapat langsung dijadikan sebagai unit administratif dari daerah tingkat III. Penjelasan juga menyatakan bahwa Desapraja bukan merupakan satu tujuan tersendiri, melainkan hanya sebagai bentuk peralihan untuk mempercepat terwujudnya daerah tingkat III dalam rangka UU No.18/1965 tentang Pokok-pokok Pemerintahan daerah. Suatu saat bila tiba waktunya semua Desapraja harus ditingkatkan menjadi Daerah Tingkat III dengan atau tanpa penggabungan lebih dahulu mengingat besar kecilnya Desapraja yang bersangkutan.

Alat-alat perlengkapan Desapraja menurut Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1965 adalah: (a) Kepala Desapraja, (b) badan musyawarah Desapraja, (c) Pamong Desapraja, (d) Panitera Desapraja, (e) Petugas Desapraja, (f ) Badan Pertimbangan Desapraja.

Page 154: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

143Perspektif, Konseptualisasi dan Konteks Yuridis

Tugas masing-masing alat perlengkapan Desapraja adalah:

(a) Kepala Desapraja adalah penyelenggara utama urusan rumah tangga Desapraja dan sebagai alat pemerintah pusat. Kepala Desapraja mengambil tindakan-tindakan dan keputusan-keputusan penting setelah memperoleh persetujuan Badan Musyawarah Desapraja (Pasal 8). Kepala Desapraja dipilih langsung oleh penduduk Desapraja, menurut peraturan yang ditetapkan oleh Kepala Daerah Tingkat I (Pasal 9);

(b) Badan Musyawarah Desapraja adalah sebagai perwakilan dari masyarakat Desapraja. Cara pemilihan dan pengangkatan anggotanya ditetapkan oleh Pemerintah Daerah Tingkat I (Pasal 17);

(c) Pamong Desapraja adalah pembantu Kepala Desapraja yang mengepalai seusatu dukuh dalam lingkungan Desapraja. Cara pemilihan dan pengangkatan para Pamong Desapraja ditetapkan oleh Pemerintah Daerah Tingkat I (Pasal 25);

(d) Panitera Desapraja adalah pegawai Desapraja yang memimpin penyelenggaraan tata usaha Desapraja dan tata usaha Kepala Desapraja di bawah pimpinan langsung Kepala Desapraja. Panitera Desapraja diangkat dan diberhentikan oleh Kepala Desapraja dengan persetujuan Badan Musyawarah Desapraja. Apabila diperlukan Kepala Desapraja dapat mengangkat pembantu Panitera Desapraja (Pasal 28);

(e) Petugas Desapraja adalah pembantu-pembantu Kepala Desapraja dan Pamong Desapraja dalam penyelenggaraan urusan rumah tangga Desapraja, para petugas Desapraja melakukan sesuatu tugas tertentu dalam hal-hal yang bersangkutan dengan urusan agama, keamanan, pengairan, atau lain-lain hak yang menurut adat kebiasaan setempat.

Page 155: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

144 HUKUM PEMERINTAHAN DESA

Petugas Desapraja seperti Penghulu, Khotib, Modin, Jogoboyo, Kebayan, Ulu-ulu, dan pejabat-pejabat/petugas-petugas lainnya menurut adat kebiasaan setempat diadakan menurut keperluannya. Para petugas Desapraja diangkat dan diberhentikan oleh Kepala Desapraja dengan persetujuan Badan Musyawarah Desapraja (Pasal 30).

(f ) Di setiap Desapraja dapat diadakan Badan Pertimbangan Desapraja. Tugasnya adalah memberikan nasehat baik diminta maupun tidak oleh Kepala Desapraja (Pasal 32 dan Pasal 33).

Dengan keluarnya Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1965 dicabut semua peraturan perundang-undangan mengenai kedesaan yang berlaku sebelumnya yaitu (Diktum Kesatu):

(a) Inlandsche Gemeente Ordonnantie van Java en Madoera (S.1906 Nomor 83) dengan segala perubahan dan tambahannya;

(b) Inlandsche Gemeente Ordonanntie Buitengewesten (S.1938 Nomor 490 jo. S. 1938 Nomor 681);

(c) Reglement op de verkiezing, de schorcing en het ontslag van de hoofden def Inlandsche Gemeente on Java en Madoera (S.1907 Nomo 212) dengan segala perubahan dan tambahannya;

(d) Nieuwe regelen omtrent de splitsing en samenvoeging van Desaa’s op Java en Madoera met uitzindering van de Vorstlanden (Bijblad Nomo 9308);

(e) Hoogere Indlansche Verbanden Ordonnatie Buitengewesten (S. 1931 Nomor 507) dengan segala perubahan dan tambahannya;

Page 156: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

145Perspektif, Konseptualisasi dan Konteks Yuridis

(f ) Osamu Seirei Nomor 7 Tahun 2604 (1944) dan lain-lain peraturan perundang-undangan tentang kedesaan selaa pemerintahan pendudukan Jepang;

(g) Semua peraturan perundangan dan lain-lain peraturan tentang kedesaan yang termuat dalam berbagai Rijksbladen dari bekas-bekas Swapraja-swapraja dan Daerah Istimewa, dari bekas-bekas Negara-negara bagian dan Daerah-daerah bagian semasa Republik Indonesia Serikat;

(h) Semua peraturan perundangan dan peraturan –peraturan lainnya tentang kedesaan, baik dari pemerintah pusat maupun dari sesuatu pemerintah daerah yang bertentangan dengan undang-undang ini.

D. KONFIGURASI KENEGARAAN ORDE BARU

1. CATATAN AWAL

Karena peristiwa G. 30 S/PKI, yang menimbulkan ekses di berbagai bidang, maka kedua undang-undang itu mengalami kesulitan, bahkan tidak mungkin untuk dilaksanakan. Sehubungan dengan hal tersebut, maka Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dengan Ketetapan Nomor XXI/MPRS/1966 tentang Pemberian Otonomi yang seluas-luasnya kepada Daerah, menugaskan kepada Pemerintah bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong untuk dalam waktu yang sesingkat-singkatnya memberikan otonomi seluas-luasnya kepada Daerah-daerah, sesuai dengan jiwa dan isi Undang-Undang Dasar 1945, tanpa mengurangi tanggung jawab Pemerintah Pusat di bidang perencanaan, koordinasi, dan pengawasan terhadap Daerah-daerah (Pasal 1). Dalam rangka pelaksanaan pemberian otonomi yang seluas-luasnya kepada Daerah-daerah tersebut maka semua

Page 157: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

146 HUKUM PEMERINTAHAN DESA

urusan diserahkan kepada Daerah, berikut semua aparatur dan keuangannya, kecuali hal-hal yang bersifat nasional yang akan diatur dan ditentukan dengan Undang-Undang (Pasal 2).

Selanjutnya, kepada Pemerintah bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong juga diberi tugas untuk segera meninjau kembali Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1965, dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Nomor II/MPRS/1960 pararaf 392 Nomor 1 angka 4, dan menyesuaiakannya dengan perkembangan baru dalam rangka kembali kepada Undang-Undang Dasar 1945 secara murni dan konsekuen.

Hasil dari pelaksanaan tugas-tugas tersebut antara lain dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1969 tentang Pernyataan Tidak Berlakunya Berbagai Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang. Undang-Undang ini mulai berlaku saat diundangkan yaitu tanggal 5 Juli 1969.

Menurut ketentuan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1969 jo. Lampiran III, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965 dan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1965 dinyatakan tidak berlaku dengan ketentuan pernyataan tidak berlakunya itu ditetapkan pada saat undang-undang yang menggantikannya mulai berlaku. Hal ini dikarenakan baik materi maupun masalah-masalahnya perlu ditampung dalam Undang-Undang yang baru, sedangkan pembentukan Undang-Undang yang baru itu membutuhkan waktu.

Page 158: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

147Perspektif, Konseptualisasi dan Konteks Yuridis

Menurut Soehino, persoalan akibat dicabutnya Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965 dan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1965 tidaklah sesederhana itu karena:152

[D]alam praktik menimbulkan akibat hukum yang berbeda. Sebab kalau Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965 sebelum dinyatakan tidak berlaku sudah pernah dilaksanakan, bahkan memberikan dasar hukum kepada daerah-daerah otonom yang dibentuk sejak tahun 1950, sedangkan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1965 sudah dinyatakan tidak berlaku sebelum undang-undang itu sendiri dilaksanakan. Sebagai akibat lebih lanjut timbullah kesulitan dalam praktik penyelenggaraan pemerintahan daerah, oleh karena kedua undang-undang tersebut tidak segera dibuatkan undang-undang yang akan menggantikannya. Maka dalam praktik penyelenggaraan pemerintahan daerah lalu praktis masih berdasarkan atau berpedoman pada peraturan perundangan lam ayang ada sebelum dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965, meskipun secara yuridis formal peraturan perundangan tersebut sudah tidak berlaku lagi karena telah dicabut oleh Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965 itu sendiri.

Sementara itu, untuk pengaturan desa, dengan ditetapkannya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1969 tersebut, dalam praktik penyelenggaraan pemerintahan desa masih tetap berpedoman kepada peraturan perundang-undangan yang sudah ada sebelum diundangkannya Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1965. Peraturan perundang-undangan lama tersebut seperti Inlansche Gemeente Ordonnantie Java en Madoera (S.1906-83) dengan segala perubahan dan penambahan yang berlaku untuk Jawa dan Madura, serta Indlandsche Gemeente Ordonnantie Buitengewesten (S.1938-

152Soehino, Perkembangan Pemerintahan di Daerah..., op.cit., hlm. 105-106.

Page 159: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

148 HUKUM PEMERINTAHAN DESA

480 jo S.1938-681). Padahal secara yuridis berbagai peraturan itu sudah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku melalui Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965.

Jika menyimak Pasal 2 jo Lampiran III Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1969, maka sebelum diundangkannya undang-undang yang akan menggantikan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1965, secara yuridis Undang-Undang ini masih berlaku, tetapi secara materiil sudah tidak lagi dapat dilaksanakan karena telah dinyatakan tidak berlaku.153 Bahkan, sekalipun secara yuridis masih dianggap berlaku, telah ditetapkan Instruksi Menteri Dalam Negeri tanggal 15 Oktober 1966 Nomor 29 Tahun 1966 tentang Penundaan Realisasi Pembentukan Desapraja. Timbul pertanyaan, apakah sebuah instruksi menteri dapat menunda keberlakuan undang-undang?

Sebagai tindaklanjut Instruksi Menteri Dalam Negeri tersebut dan sambil menunggu diundangkannya undang-undang yang menggantikan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1965, maka dikeluarkanlah Instruksi Menteri Dalam Negeri tanggal 12 Februari 1968 Nomor 1 Tahun 1968 tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan, Pemberhentian Sementara, dan Pemberhentian Kepala Desa di Jawa dan Madura. Dengan perkembangan keadaan yang menyulitkan praktik pelaksanaan pemerintahan di tingkat desa, maka dipandang perlu untuk mengatur juga materi yang sama bagi seluruh desa di Indonesia, ayng kemudian dituangkan dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 1978 tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan, Pemberhentian Sementara, dan Pemberhentian Kepala Desa, yang mulai berlaku tanggal 25 Maret 1978.

153Soehino, op.cit., hlm. 169.

Page 160: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

149Perspektif, Konseptualisasi dan Konteks Yuridis

Sesudah pemerintahan Orde Baru berhasil mengkonsolidasikan kekuasaan politik melalui Pemilu 3 Juli 1971, maka Majelis Permusyawaratan Rakyat kemudian menyelenggarakan Sidang Umum pada tahun 1973, yang salah satunya adalah menetapkan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor IV/MPR/1973 tentang Garis-garis Besar Halauan Negara mengenai kebijaksanaan yang akan ditempuh tentang Pemerintahan di Daerah. Dalam ketetapan tersebut antara lain digariskan bahwa:

Dalam rangka melancarkan pelaksanaan pembangunan yang tersebar di seluruh pelosok negara, dan dalam membina kestabilan politik serta kesatuan bangsa, maka hubungan yang serasi antara Pemerintah Pusat dan Daerah atas dasar keutuhan Negara Kesatuan, diarahkan kepada pelaksanaan Otonomi Daerah yang nyata dan bertanggung jawab yang dapat menjamin perkembangan dan pembangunan Daerah, dan dilaksanakan bersama-sama dengan dekonsentrasi.

Untuk melaksanakan garis kebijaksanaan penyelenggaraan pemerintah di daerah sebagaimana amanat Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat tersebut, maka baru pada tahun 1974 Pemeritnah dapat mengajukan 2 buah rancangan undang-undang, yaitu Rancangan Undang-Undang tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah dan Rancangan Undang-Undang tentang Pemerintahan Desa. Pada akhirnya baru Rancangan Undang-Undang tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah yang dapat ditetapkan yaitu menjadi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah.

Ketentuan Pasal 88 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 mengamanatkan agar pengaturan tentang pemerintahan desa ditetapkan dengan undang-undang. Kemudian, dapat diundangkan

Page 161: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

150 HUKUM PEMERINTAHAN DESA

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa dan berlaku sejak 1 Desember 1979. Dengan ditetapkannya Undang-Undang ini, maka dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi: (i) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1965 tentang Desapraja dan (ii) Segala ketentuan yang bertentangan dan atau tidak sesuai dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979.

2. SISTEM PEMERINTAHAN DAERAH

Ketentuan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 mulai berlaku pada tanggal 23 Juli 1974. Dalam Penjelasan Umum angka 1 butir ke-4, dikatakan bahwa undang-undang tersebut mengatur tentang pokok-pokok penyelenggaraan pemerintahan daerah otonom dan pokok-pokok penyelenggaraan pemerintahan yang menjadi tugas Pemerintah Pusat di Daerah. Menurut undang-undang ini secara umum Indonesia dibagi menjadi satu macam Daerah Otonom sebagai pelaksanaan asas desentralisasi dan Wilayah Administratif sebagai pelaksanaan asas dekonsentrasi. Berbeda dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965 yang hanya mengatur mengenai daerah otonom, ketentuan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 mengatur juga wilayah-wilayah administratif. Begitu juga mengenai susunan atau tingkatan Daerah Otonom yang hanya mengatur dua tingkat yaitu Daerah Tingkat I dan daerah Tingkat II.

Nama dan batas Daerah Tingkat I adalah sama dengan nama dan batas Wilayah Provinsi atau Ibukota Negara. Ibukota Daerah Tingkat I adalah ibukota Wilayah Provinsi. Nama dan batas Daerah Tingkat II adalah sama dengan nama dan batas Wilayah Kabupaten atau Kotamadya. Ibukota Daerah Tingkat II adalah

Page 162: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

151Perspektif, Konseptualisasi dan Konteks Yuridis

ibukota Wilayah Kabupaten. Penyebutan Wilayah Administratif dan Daerah Otonom disatukan.

Untuk Wilayah Administratif Provinsi dan Daerah Otonom Tingkat I disebut Provinsi Daerah Tingkat I. Sebagai contoh adalah Provinsi Daerah Tingkat I Riau. Untuk Wilayah Administratif Ibukota Negara dan Daerah Otonomi Khusus Ibukota Jakarta disebut Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Untuk Wilayah Administratif Provinsi dan Daerah Otonomi Istimewa disebut Provinsi Daerah Istimewa. Untuk Aceh disebut Provinsi Daerah Istimewa Aceh. Untuk Yogyakarta disebut Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.

Untuk Wilayah Administratif Kabupaten dan Daerah Otonom Tingkat II disebut Kabupaten Daerah Tingkat II. Sebagai contoh adalah Kabupaten Daerah Tingkat II Sleman. Untuk Wilayah Administratif Kotamadya dan Daerah Otonom Tingkat II disebut Kotamadya Daerah Tingkat II. Sebagai contoh adalah Kotamadya Daerah Tingkat II Yogyakarta.

Daerah berhak, berwenang, dan berkewajiban mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Titik berat Otonomi Daerah diletakkan pada Daerah Tingkat II. Dalam menyelenggarakan pemerintahan daerah dibentuk Sekretariat Daerah dan Dinas-dinas Daerah. adalah Pejabat Negara. Kepala Daerah diangkat untuk masa jabatan 5 (lima) tahun terhitung mulai tanggal pelantikannya dan dapat diangkat kembali, untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya. Kepala Daerah Tingkat I dicalonkan dan dipilih oleh DPRD Tingkat I dengan persetujuan Menteri Dalam Negeri dan selanjutnya diangkat oleh Presiden. Kepala Daerah Tingkat II dicalonkan dan dipilih oleh DPRD Tingkat II dengan persetujuan

Page 163: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

152 HUKUM PEMERINTAHAN DESA

Gubernur/Kepala Daerah Tingkat I dan selanjutnya diangkat oleh Menteri Dalam Negeri.

Wakil Kepala Daerah adalah Pejabat Negara. Wakil Kepala Daerah Tingkat I diangkat oleh Presiden dari Pegawai Negeri yang memenuhi persyaratan. Wakil Kepala Daerah Tingkat II diangkat oleh Menteri Dalam Negeri atas nama Presiden dari Pegawai Negeri yang memenuhi persyaratan. Apabila dipandang perlu, Menteri Dalam Negeri dapat menunjuk Pembantu Gubernur, Pembantu Bupati atau Pembantu Walikotamadya yang mempunyai wilayah kerja tertentu dalam rangka dekonsentrasi.

Kepala Daerah Tingkat I karena jabatannya adalah Kepala Wilayah Provinsi atau Ibukota Negara. Wakil Kepala Daerah Tingkat I karena jabatannya adalah Wakil Kepala Wilayah Provinsi atau Ibukota Negara dan disebut Wakil Gubernur. Kepala Daerah Tingkat II karena jabatannya adalah Kepala Wilayah Kabupaten atau Kotamadya. Wakil Kepala Daerah Tingkat II karena jabatannya adalah Wakil Kepala Wilayah Kabupaten atau Kotamadya, dan disebut Wakil Bupati atau Wakil Walikotamadya.

Jika ditinjau dari sistem otonomi, maka sistem yang diterapkan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 mengandung unsur-unsur sistem formil dan materiil. Sistem otonomi materiil nampak pada saat pembentukan suatu Daerah dibarengi dengan penyerahan urusan-urusan pangkal. Sedangkan sistem otonomi formil dapat dilihat dari adanya kebebasan Daerah untuk berprakarsa dan berinisiatif mengatur dan mengurus suatu urusan rumah tangga Daerah yang dianggap penting, walaupun belum diserahkan, sepanjang masih memperhatikan pembatasan-pembatasan yang berlaku. Dalam rentang waktu tertentu suatu urusan pemerintahan dapat diketagorikan ke dalam urusan

Page 164: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

153Perspektif, Konseptualisasi dan Konteks Yuridis

pemerintahan pusat, sementara dalam rentang waktu yang lain mungkin menjadi urusan rumah tangga daerah.

3. PENGATURAN DESA

Pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa yang betul-betul paralel dengan semangat sentralisasi dan regimentasi dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974, serta paralel dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1969 tentang Kepartaian, yang melancarkan kebijakan massa mengambang di Desa. Ketentuan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 membuat format pemerintahan Desa secara seragam di seluruh Indonesia.

Menurut C.S.T. Kansil, sebenarnya sebelum perumusan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979, pemerintah telah menyadari bahwa untuk menyebut “desa”, sebagai nama kesatuan masyarakat, di Indonesia dalam berbagai wilayah dan tempat menggunakan istilah yang bermacam-macam. Berikut ini adalah tabel yang berisi penyebutan nama “desa” untuk sejumlah wilayah dan tempat di Indonesia.

Tabel 1 Penyebutan “Desa” sebagai Organisasi Pemerintahan yang Berada Langsung di Bawah Kecamatan

No Provinsi/DaerahNama Kesatuan

Masyarakat menurut bahasa setempat

Nama Jabatan Kepala Kesatuan Masyarakat

menurut Bahasa Setempat

1. Aceh Kampung Kepala Kampung, keucik

2. Sumatera Utara (Daerah Sumatera Timur)

Kampung Kepala Kampung

Page 165: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

154 HUKUM PEMERINTAHAN DESA

3. Sumatera Utara (Tapanuli)

Huta, Negeri Kepala Huta, Kepala Negeri

4. Riau Kampung Kepala Kampung

5. Sumatera Selatan Marga/dusun Pasirah/Kepala Marga

6. Sumatera Barat Nagari Wali Nagari

7. Jambi Sda Sda

8. Bengkulu Sda Sda

9. Lampung Sda Sda

10. DKI Jakarta Kelurahan Lurah

11. Jawa Barat Desa Kepala Desa

12. Jawa Tengah Sda Lurah

13. D.I. Jogjakarta Sda Sda

14. Jawa Timur Sda Sda

15. Kalimantan Barat Kampung Kepala Kampung

16. Kalimantan Tengah Kampung Kepala Kampung

17. Kalimantan Selatan Kampung/Kampong Kepala Kampung

18. Kalimantan Timur Kampung Kepala Kampung

19. Sulawesi Utara Desa/Kampung Kepala Desa

20. Sulawesi Tengah Kampung Kepala Kampung

21. Sulawesi Tenggara Desa Kepala Desa

22. Sulawesi Selatan Gabungan Kampung Desa Gaya Baru

Kepala Desa Gaya Baru

23. Bali Desa/Perbekel Kepala Desa/Perbekel

24. Nusa Tenggara Barat Desa Kepala Desa

25. Nusa Tenggara Timur Desa Gaya Baru Kepala Desa Gaya Baru

26. Maluku Negeri Pemerintah Negeri

27. Irian Barat Kampung Kepala Kampung

Sumber: Bayu Surianingrat, 1980, Desa dan Kelurahan Menurut UU No.5/1979, Jakarta, hlm. 47.

Page 166: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

155Perspektif, Konseptualisasi dan Konteks Yuridis

Keberagaman juga pada istilah pimpinan yang berwenang dalam pemerintahan desa. Kepala Desa atau dengan istilah adat dengan sebutan Lurah, Kuwu, Bekel, Petinggi (Jawa Tengah); Mandor, Lembur, Kekolot (Jawa Barat, Banten), Kejuron, Pengulu Suku, Keucik, Pentua (Gayo, Alas, Aceh); Pengulu Andiko (Sumatera Barat); Penyimpang, Kepala Marga (Sumatera Selatan); Orang Kaya Kepala Desa (Hitu, Ambon); Raja Penusunan (sekitar Danau Toba); Kesair Pengulu (Karo Batak); Parek, Klian (Bali); Marsaoleh (Gorontalo); Komelaho (Bolang Mangondow, Kalimantan Selatan).154

Ketentuan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 menegaskan bahwa “Desa” adalah wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk sebagai persatuan masyarakat, termasuk di dalamnya kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai organisasi pemerintahan terendah langsung di bawah camat dan berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri” (Pasal 1 angka 1).

Ketika Undang-Undang ini masih berstatus rancangan undang-undang, pemerintah berpendapat “bahwa Desa dimaksudkan sebagaimana dimaksudkan dalam rancangan undang-undang ini, bukanlah merupakan salah bentuk daripada Pembagian Daerah Indonesia Atas Daerah besar dan kecil sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 18 UUD 1945. Masalah pembagian daerah Indonesia atas Daerah besar dan kecil itu kiranya sudah cukup diatur dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974. Pengertian daerah besar adalah wilayah Propinsi Daerah Tingkat I dan seterusnya, karena itu sulit untuk dimaknai, bahwa daerah

154Lihat juga Sumber Saparin, 1979, Tata Pemerintahan dan Administrasi Pemerintahan Daerah, Jakarta, Penerbit Ghalia Indonesia, hlm. 28-29.

Page 167: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

156 HUKUM PEMERINTAHAN DESA

yang lebih kecil itu juga mencakup Desa sebagaimana dimaksud dalam rancangan undang-undang ini.” 155

Dari ketentuan awal, termasuk pengertian Desa yang seragam itu, banyak pihak menilai bahwa UU No. 5/1979 merupakan bentuk Jawanisasi atau menerapkan model Desa Jawa untuk kesatuan masyarakat adat di Luar Jawa. Dengan sendirinya UU ini tidak mengakui lagi keberadaan nagari, huta, sosor, marga, negeri, binua, lembang, parangiu dan lain-lain yang umumnya berada di Luar Jawa. Pengaturan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 memaksa Desa dan kesatuan masyarakat hukum yang menjadi bagian darinya menjadi seragam. Persekutuan sosial Desa lain yang belum sesuai bentuknya dengan Desa dipaksa menyesuaikan diri, melalui upaya misalnya regrouping Desa, sehingga tidak dapat disebut Desa lagi.

Bagi masyarakat terutama masyarakat adat di luar Jawa dan Madura implementasi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tersebut menimbulkan dampak negatif. Pemerintah daerah di Luar Jawa dipaksa berlawanan dengan masyarakat adat karena harus menghilangkan kesatuan masyarakat hukum (Rechtsgemeenschap) yang dianggap tidak menggunakan kata Desa seperti Nagari di Minangkabau, Dusun dan Marga di Palembang, Gampong di Aceh, Huta, Sosor dan lumban di Mandailing, Kuta di Karo, Binua di Kalimantan Barat, Negeri di Sulawesi Utara dan Maluku, Kampung di Kalimantan, Sulawesi Tengah, dan Sulawesi Selatan, yo di Sentani Irian Jaya, dan lain-lain.

Kesatuan masyarakat hukum yang telah dijadikan Desa itu harus memiliki pemerintahan yang akan melaksanakan kewenangan, hak dan kewajiban Desa serta menyelenggaraan

155E.B. Sitorus, op.cit., et.al., hlm. 52.

Page 168: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

157Perspektif, Konseptualisasi dan Konteks Yuridis

pemerintahan Desa, seperti ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979. Kesatuan masyarakat hukum tidak hanya secara formal dan nomenklatur berganti nama menjadi Desa, tetapi harus secara operasional segera memenuhi segala syarat yang ditentukan oleh undang-undang. Dengan pergantian dari nagari, dusun, marga, gampong, huta, sosor, lumban, binua, lembang, kampung, paraingu, temukung dan yo menjadi Desa berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 maka Desa-Desa hanya berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri, dan tidak dinyatakan dapat “mengurus dan mengatur rumahtangganya sendiri”. Dengan kata lain, Desa tidak lagi otonom.

Karena ia tidak lagi otonom, Desa kemudian tidak lebih dari sekedar ranting patah yang dipaksakan tumbuh pada ladang pembangunan yang direncanakan rezim Orde Baru. Secara substantif Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 menempatkan Kepala Desa bukanlah pemimpin masyarakat Desa, melainkan sebagai kepanjangan tangan pemerintah supra Desa, yang digunakan untuk mengendalikan penduduk dan tanah Desa.

Ketentuan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 menegaskan bahwa kepala Desa dipilih oleh rakyat melalui demokrasi langsung. Ketentuan pemilihan kepala Desa secara langsung itu merupakan sebuah sisi demokrasi (elektoral) di aras Desa. Di saat presiden, gubernur dan bupati ditentukan secara oligarkis oleh parlemen, kepala Desa justru dipilih secara langsung oleh rakyat. Karena itu keistimewaan di aras Desa ini sering disebut sebagai benteng demokrasi di level akar-rumput. Tetapi secara empirik praktik pemilihan kepala Desa tidak sepenuhnya mencerminkan kehendak rakyat. Pemilihan kepala desa selalu sarat dengan rekayasa dan kontrol pemerintah supraDesa melalui persyaratan yang dirumuskan secara politis dan administratif.

Page 169: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

158 HUKUM PEMERINTAHAN DESA

Dalam studinya di Desa-Desa di Pati, Franz Husken (2001)156 menunjukkan bahwa pemilihan kepala desa selalu diwarnai dengan intimidasi terhadap rakyat, manipulasi terhadap hasil, dan dikendalikan secara ketat oleh negara. Bagi Husken, pilkades yang paling menonjol adalah sebuah proses politik untuk penyelesaian hubungan kekuasaan lokal, ketimbang sebagai arena kedaulatan rakyat. Kekurangsempurnaan demokrasi Desa tidak hanya terlihat dari sisi pilkades, tetapi juga pada posisi kepala Desa. Ketentuan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 menobatkan kepala Desa sebagai “penguasa tunggal” di Desa. Kepala Desa sebagai kepanjangan tangan birokrasi negara, akibatnya dia harus mengetahui apa saja yang terjadi di Desa, termasuk ”selembar daun yang jatuh dari pohon di wilayah yurisdiksinya”. Akibat selanjutnya, Kepala Desa dalam menjalankan ”perintah” untuk mengendalikan wilayah dan penduduk Desa terkadang mengendalikan seluruh hajat hidup orang banyak.

Ketentuan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 sebenarnya juga mengenal pembagian kekuasaan di Desa, yakni ada Kepala Desa dan Lembaga Musyawarah Desa. Pasal 3 menegaskan, Pemerintah Desa terdiri dari Kepala Desa dan Lembaga Musyawarah Desa. Lembaga Musyawarah Desa adalah lembaga permusyawaratan atau pemufakatan yang keanggotaannya terdiri atas Kepala-kepala Dusun, Pimpinan Lembaga-lembaga Kemasyarakatan, dan pemuka-pemuka masyarakat di desa yang bersangkutan (Pasal 17). Meski ada pembagian kekuasaan, tetapi Lembaga Musyawarah Desa tidak mempunyai kekuasaan legislatif yang berarti. Lembaga Musyawarah Desa bukanlah wadah representasi dan arena check and balances terhadap kepala Desa.

156Dikutip oleh E.B. Sitrous, et.al., op.cit., hlm. 54.

Page 170: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

159Perspektif, Konseptualisasi dan Konteks Yuridis

Bahkan juga ditegaskan bahwa kepala Desa karena jabatannya (ex officio) menjadi ketua Lembaga Musyawarah Desa (Pasal 17 ayat 2).

Jika di Desa kepala Desa menjadi penguasa tunggal, tetapi kalau dihadapan supraDesa, kepala Desa hanya sekadar kepanjangan tangan yang harus tunduk dan bertanggungjawab kepada supraDesa. Menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979, Kepala Desa diangkat dan diberhentikan oleh Bupati /Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II atas nama Gubernur Kepala Daerah Tingkat I (pasal 6 dan 9), untuk masa jabatan selama 8 tahun, dan dapat dipilih kembali untuk satu masa jabatan berikutnya (pasal 7).

Kepala Desa menjalankan hak, wewenang, dan kewajiban pimpinan pemerintahan Desa yaitu menyelenggarakan rumah tangganya sendiri dan merupakan penyelenggara dan penanggung jawab utama dibidang pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan dalam rangka penyelenggaraan urusan pemerintah Desa, urusan pemerintahan umum termasuk pembinaan ketentraman dan ketertiban sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan menumbuhkan serta mengembangkan jiwa gotong royong masyarakat sebagai sendi utama pelaksanaan pemerintahan Desa.

Dalam menjalankan hak, wewenang, dan kewajiban pimpinan pemerintah Desa, Kepala Desa bertanggung jawab kepada pejabat yang berwenang mengangkat melalui Camat; dan memberikan keterangan pertanggungjawaban tersebut kepada Lembaga Musyawarah Desa.

Page 171: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

160 HUKUM PEMERINTAHAN DESA

Dalam UU Nomor 5 Tahun 1979 juga diatur mengenai Kelurahan. Kelurahan adalah adalah suatu wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk yang mempunyai organisasi pemerintahan terendah langsung di bawah Camat dan tidak berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri. Pemerintah Kelurahan terdiri atas Kepala Kelurahan dan Perangkat Kelurahan yang meliputi Sekretaris Kelurahan, Kepala-kepala Lingkungan, dan Kepala-kepala Urusan.

Page 172: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

161

BAB IX

PENGATURAN DESA PADA MASA REFORMASI (TAHUN 1999-2004)

A. SISTEM PEMERINTAHAN DAERAH

Pada periode ini berlaku Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Undang-Undang ini menggantikan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979. Menurut Undang-Undang ini Indonesia dibagi menjadi satu macam daerah otonom dengan mengakui kekhususan yang ada pada tiga daerah yaitu Aceh, Jakarta, dan Yogyakarta dan satu tingkat wilayah administratif. Tiga jenis daerah otonom adalah Daerah Provinsi, Daerah Kabupaten, dan Daerah Kota. Ketiga jenis daerah tersebut berkedudukan setara dalam artian tidak ada hirarki daerah otonom. Daerah Provinsi berkedudukan juga sebagai wilayah administratif.

Undang-Undang menentukan bahwa pemerintahan lokal menggunakan nomenklatur “Pemerintahan Daerah”. Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Otonom oleh Pemerintah Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah menurut asas Desentralisasi. Daerah Otonom (disebut Daerah Provinsi/Kabupaten/Kota) adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas daerah tertentu, berwenang mengatur dan

Page 173: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

162 HUKUM PEMERINTAHAN DESA

mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Keberadaan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah merupakan Badan Legislatif Daerah berkedudukan sejajar dan menjadi mitra dari Pemerintah Daerah. Kedudukan, susunan, tugas, wewenang, hak, keanggotaan, pimpinan, dan alat kelengkapan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah diatur dengan Undang-Undang tersendiri. Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah mempunyai masa jabatan lima tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk sekali masa jabatan. Pengisian jabatan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah melalui pemilihan secara bersamaan. Kepala Daerah dilantik oleh Presiden atau pejabat lain yang ditunjuk untuk bertindak atas nama Presiden.

Kepala Daerah Provinsi disebut Gubernur, yang karena jabatannya adalah juga sebagai wakil Pemerintah. Dalam menjalankan tugas dan kewenangan sebagai Kepala Daerah, Gubernur bertanggung jawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi. Kepala Daerah Kabupaten disebut Bupati. Kepala Daerah Kota disebut Walikota. Dalam menjalankan tugas dan kewenangan selaku Kepala Daerah, Bupati/Walikota bertanggungiawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota.

B. PENGATURAN DESA

1. PengertiandanSubstansiOtonomiDesa

Desa dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 pengaturannya terdapat dalam Bab XI DESA, yang meliputi Pasal

Page 174: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

163Perspektif, Konseptualisasi dan Konteks Yuridis

93 sampai dengan Pasal 111. Ketentuan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 mendefinisikan Desa sebagai berikut:

Desa atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut Desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dalam sistem pemerintahan nasional dan berada di Daerah Kabupaten. (Pasal 1 huruf o).

Selanjutnya, Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 angka 9 Pemerintahan Desa, undang-undang menguraikan hal-hal normatif yang terkait dengan pengaturan desa sebagai berikut:

(a) Desa berdasarkan Undang-undang ini adalah Desa atau yang disebut dengan nama lain sebagai suatu kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai susunan asli berdasarkan hak asal-usul yang bersifat istimewa, sebagaimana dimaksud dalam penjelasan Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945. Landasan pemikiran dalam pengaturan mengenai Pemerintahan Desa adalah keanekaragaman, partisipasi, otonom asli, demokratisasi, dan pemberdayaan masyarakat.

(b) Penyelenggaraan Pemerintahan Desa merupakan subsistem dari sistem penyelenggaraan pemerintahan sehingga Desa memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakatnya. Kepala Desa bertanggung jawab pada Badan Perwakilan Desa dan menyampaikan laporan pelaksanaan tugas tersebut kepada Bupati.

(c) Desa dapat melakukan perbuatan hukum, baik hukum publik maupun hukum perdata, memiliki kekayaan, harta

Page 175: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

164 HUKUM PEMERINTAHAN DESA

benda, dan bangunan serta dapat dituntut dan menuntut di pengadilan. Untuk itu, Kepala Desa dengan persetujuan Badan Perwakilan Desa mempunyai wewenang untuk melakukan perbuatan hukum dan mengadakan perjanjian yang saling menguntungkan.

(d) Sebagai perwujudan demokrasi, di Desa dibentuk Badan Perwakilan Desa atau sebutan lain yang sesuai dengan budaya yang berkembang di Desa yang bersangkutan, yang berfungsi sebagai lembaga legislasi dan pengawasan dalam hal pelaksanaan Peraturan Desa, Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa, dan Keputusan Kepala Desa.

(e) Di Desa dibentuk lembaga kemasyarakatan Desa lainnya sesuai dengan kebutuhan Desa. Lembaga dimaksud merupakan mitra Pemerintah Desa dalam rangka pemberdayaan masyarakat Desa.

(f ) Desa memiliki sumber pembiayaan berupa pendapatan Desa, bantuan Pemerintah dan Pemerintah Daerah, pendapatan lain-lain yang sah, sumbangan pihak ketiga dan pinjaman Desa.

(g) Berdasarkan hak asal-usul Desa yang bersangkutan, Kepala Desa mempunyai wewenang untuk mendamaikan perkara/sengketa dari para warganya.

(h) Dalam upaya meningkatkan dan mempercepat pelayanan kepada masyarakat yang bercirikan perkotaan dibentuk Kelurahan sebagai unit Pemerintah Kelurahan yang berada di dalam Daerah Kabupaten dan/atau Daerah Kota.

Jika dicermati, ketentuan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 memang tidak mengenal desentralisasi Desa, hanya saja nampak bahwa semangat dasar undang-undang tersebut adalah

Page 176: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

165Perspektif, Konseptualisasi dan Konteks Yuridis

memberikan pengakuan terhadap keragaman dan keunikan Desa (atau dengan nama lain) sebagai self-governing community, yang tentu saja merupakan manifestasi terhadap makna “istimewa” dalam Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945.

Dengan pemahaman bahwa Desa memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakatnya sesuai kondisi dan sosial budaya setempat, maka posisi Desa yang memiliki otonomi asli sangat strategis sehingga memerlukan perhatian seimbang terhadap penyelenggaraan otonomi daerah, karena dengan otonomi desa yang kuat akan mempengaruhi secara signifikan perwujudan otonomi daerah.

Di samping pengakuan otonomi tersebut, undang-undang memungkinkan untuk memberikan tugas pembantuan kepada desa (Pasal 63 dan Pasal 100 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999). Negara Republik Indonesia sebagai Negara Kesatuan dalam penyelenggaraan pemerintahannya menggunakan asas desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas pembantuan. Penyelenggaraan asas tugas pembantuan adalah cerminan dari sistem dan prosedur penugasan Pemerintah kepada Desa serta penugasan dari Provinsi atau Kabupaten kepada Desa untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan dan pembangunan yang disertai dengan Pembiayaan, sarana dan prasarana, serta sumber daya manusia dengan kewajiban melaporkan pelaksanaannya dan mempertanggungjawabkannya kepada yang memberi tugas. Tugas ini diselenggarakan karena tidak semua wewenang dan tugas pemerintahan dapat dilakukan dengan menggunakan asas desentralisasi dan asas dekonsentrasi.

Pemberian Tugas Pembantuan dimaksudkan untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan, pengelolaan pembangunan, dan pelayanan umum. Tujuan pemberian Tugas Pembantuan adalah memperlancar

Page 177: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

166 HUKUM PEMERINTAHAN DESA

pelaksanaan tugas dan penyelesaian permasalahan serta membantu pengembangan pembangunan bagi Desa.

Secara umum, cakupan dan ruang lingkup Tugas Pembantuan meliputi sebagian tugas bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiscal, agama dan kewenangan bidang lain yakni kebijakan tentang perencanaan nasional dan pengendalian pembangunan secara makro, dana perimbangan keuangan, sistem administrasi negara dan lembaga perekonomian negara, pembinaan dan pemberdayaan sumber daya manusia, pendayagunaan sumber daya alam serta teknologi tinggi yang strategis, konservasi, dan standardisasi nasional. Tugas Pembantuan yang diberikan oleh Provinsi sebagai Daerah Otonom kepada Desa meliputi sebagian tugas dalam bidang pemerintahan yang bersifat lintas Kabupaten dan Kota, serta sebagian tugas pemerintahan dalam bidang tertentu lainnya, termasuk juga sebagian tugas pemerintahan yang tidak atau belum dapat dilaksanakan oleh Daerah Kabupaten dan Kota, sedangkan sebagai wilayah administrasi mencakup sebagian tugas dalam bidang pemerintahan yang dilimpahkan kepada Gubernur sebagai wakil Pemerintah. Tugas Pembantuan yang diberikan oleh Kabupaten kepada Desa mencakup sebagian tugas bidang pemerintahan yang menjadi wewenang Kabupaten termasuk sebagian tugas yang wajib dilaksanakan oleh Kabupaten meliputi pekerjaan umum, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan, pertanian, perhubungan, industri dan perdagangan, penanaman modal, lingkungan hidup, pertanahan, Koperasi, dan tenaga kerja.

Sebagai pedoman untuk pelaksanaan tugas pembantuan itu telah dapat ditetapkan Peraturan Pemerintah Nomor 52 Tahun 2001 tentang Penyelenggaraan Tugas Pembantuan. Bagi Desa yang menyatakan keberatan terhadap pemberian Tugas Pembantuan

Page 178: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

167Perspektif, Konseptualisasi dan Konteks Yuridis

dari Pemerintah dan atau Provinsi, menyampaikan secara tertulis melalui Bupati masing-masing. Sedangkan bagi Desa yang menyatakan keberatan terhadap pemberian Tugas Pembantuan dari Kabupaten menyampaikan secara tertulis kepada Bupati. Penilaian layak tidaknya diukur dari maksud dan tujuan pemberian tugas, dukungan sarana, prasarana, dan biaya serta jangka waktunya. Penghentian Tugas Pembantuan dapat dilakukan apabila:

(a) dalam pelaksanaannya terdapat perubahan kebijaksanaan baru dari Pemerintah, Provinsi dan Kabupaten;

(b) berdasarkan hasil penilaian, evaluasi, dan pembinaan dari Pemberi Tugas Pembantuan bahwa Penerima Tugas Pembantuan tidak mampu menyelenggarakan Tugas Pembantuan;

(c) penyelenggaraannya tidak sesuai dengan rencana/program yang ditetapkan oleh Pemberi Tugas Pembantuan; dan

(d) pelaksanaan Tugas Pembantuan telah selesai.

Selanjutnya dalam Undang-undang tersebut ditindaklanjuti dengan pembentukan Peraturan Pemerintah Nomor 76 Tahun 2001 tentang Pedoman Umum Pengaturan Mengenai Desa. Pada bagian Penjelasan Umum, berisi ketentuan menegaskan bahwa landasan pemikiran pengaturan Pemerintahan Desa adalah:

(a) Keanekaragaman, memiliki makna bahwa istilah Desa dapat disesuaikan dengan asal -usul dan kondisi sosial budaya masyarakat setempat, seperti Nagari, Negri, Kampung, Pekon, Lembang, Pamusungan, Huta, Bori, atau Marga. Hal ini berarti pola penyelenggaraan Pemerintahan Desa akan menghormati sistem nilai yang berlaku dalam adat

Page 179: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

168 HUKUM PEMERINTAHAN DESA

istiadat dan budaya masyarakat setempat, namun harus tetap mengindahkan sistem nilai bersama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara (Pasal 93 ayat (1) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999);

(b) Partisipasi, memiliki makna bahwa penyelenggaraan Pemerintahan Desa harus mampu mewujudkan peran aktif masyarakat agar masyarakat merasa memiliki dan turut bertanggung jawab terhadap perkembangan kehidupan bersama sebagai sesama warga Desa;

(c) Otonomi Asli, memiliki makna bahwa kewenangan Pemerintahan Desa dalam mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat didasarkan pada hak asal usul dan nilai-nilai sosial budaya yang ada pada masyarakat setempat, namun harus diselenggarakan dalam perspektif administrasi pemerintahan modern;

(d) Demokratisasi , memiliki makna bahwa penyelenggaraan Pemerintahan Desa harus mengakomodasi aspirasi masyarakat yang diartikulasi dan diagregasi melalui Badan Perwakilan Desa dan Lembaga Kemasyarakatan sebagai mitra Pemerintah Desa; dan

(e) Pemberdayaan Masyarakat, memiliki makna bahwa penyelenggaraan Pemerintahan Desa diabdikan untuk meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat melalui penetapan kebijakan, program, dan kegiatan yang sesuai dengan esensi masalah dan prioritas kebutuhan masyarakat.

Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 mengatur hal -hal mendasar mengenai pembentukan, penghapusan dan atau penggabungan desa, susunan organisasi pemerintahan

Page 180: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

169Perspektif, Konseptualisasi dan Konteks Yuridis

desa, Badan Perwakilan Desa, lembaga lain, keuangan desa, dankerjasama antar desa.

Dalam rangka perwujudan demokrasi di tingkat Desa diadakan Badan Perwakilan Desa yang berfungsi menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat dan melakukan pengawasan dalam hal penetapan dan pelaksanaan Peraturan Desa, Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa dan kebijakan yang ditetapkan oleh Kepala Desa (Pasal 104 ayat (1)). Keanggotaan Badan Perwakilan Desa direkrut melalui pemilihan oleh penduduk Desa setempat dari calon-calon yang memenuhi persyaratan (Pasal 104 ayat (2)). Pimpinan Badan Perwakilan Desa dipilih dari anggota dalam musyawarah Badan Perwakilan Desa (Pasal 104 ayat (3)). Kepala Desa dalam kedudukan sebagai kepala pemerintahan bertanggung jawab kepada rakyat melalui Badan Perwakilan Desa dan menyampaikan laporan pelaksanaan tugas kepada Bupati (Pasal 102).

Dengan dipertegasnya Desa memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan sosial budaya masyarakat setempat, berarti terbuka peluang untuk tumbuh dan berkembangnya lembaga-lembaga kemasyarakatan sesuai kebutuhan dan kondisi sosial budaya setempat (Pasal 106). Lembaga-lembaga kemasyarakatan dimaksud merupakan mitra dari Pemerintahan Desa dalam rangka pemberdayaan masyarakat.

Sumber Pendapatan asli Desa merupakan sumber keuangan Desa yang digali dari dalam wilayah Desa yang bersangkutan yang terdiri dari hasil usaha Desa, hasil kekayaan Desa, hasil swadaya dan partisipasi, hasil gotong royong, dan lain-lain Pendapatan Asli Desa yang sah (Pasal 107 ayat (1)). Pendapatan Asli Desa dipungut berdasarkan Peraturan Desa sesuai dengan peraturan perundang-

Page 181: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

170 HUKUM PEMERINTAHAN DESA

undangan yang berlaku (Pasal 107 ayat (5)). Ketentuan ini, menurutu Penjelasan Pasal 107 ayat (1) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 mempunyai batasan-batasan sebagai berikut:

(a) Sumber pendapatan yang telah dimiliki dan dikelola oleh Desa tidak dibernarkan diambilalih oleh pemerintah pusat atau pemerintah daerah;

(b) Sumber pendapatan yang berada di Desa, baik pajak maupun retribusi yang sudah dipungut oleh Daerah Kabupaten, tidak dibenarkan adanya pungutan tambahan oleh pemerintah desa;

(c) Pendapatan Daerah dari sumber yang berada di Desa harus diberikan kepada Desa yang bersangkutan dengan pembagian secara proporsional dan adil, guna menghilangkan beban biaya ekonomi tinggi dan dampak lainnya.

Penyelenggaraan Pemerintahan Desa diharapkan dapat menumbuhkan prakarsa dan kreativitas masyarakat serta mendorong peningkatan partisipasi masyarakat dalam pembangunan dengan memanfaa tkan sumber daya dan potensi yang tersedia, selain Desa mampu mengembangkan dan memberdayakan potensi Desa dalam meningkatkan pendapatan Desa pada gilirannya menghasilkan masyarakat Desa yang berkemampuan untuk mandiri. Berkenaan dengan itu, Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 telah membuka peluang kepada Pemerintahan Desa untuk menggali sumber -sumber pendapatan yang cukup potensial dengan berdasarkan ketentuan yang ada, antara lain dengan pendirian Badan Usaha Milik Desa (Pasal 108), melakukan kerjasama dengan pihak ketiga (Pasal 110) dan kewenangan melakukan pinjaman (Pasal 107 ayat 1 huruf e).

Page 182: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

171Perspektif, Konseptualisasi dan Konteks Yuridis

Cukup menarik mengenai kewenangan Desa untuk membentuk badan usaha. Dalam ketentuan Pasal 108 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tidak disebut apakah yang menjadi bentuk hukum dari badan usaha, kecuali bahwa “desa dapat memiliki badan usaha sesuai dengan peraturan perundang-undangan.” Ini merupakan contoh perumusan norma deklaratif yang tidak ada implikasi hukumnya. Sebenarnya jika dicermati ketentuan-ketentuan sebelumnya yang dipahami memberikan kewenangan desa untuk “mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri” dan dikaitkan dengan kewenangan desa untuk menetapkan sumber pendapatan desa, hal itu sudah sendiri termasuk melakukan kegiatan, antara lain mendirikan badan usaha. Dalam percakapan sehari-hari, badan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 108 itu disimiliarisasi dengan Badan Usaha Milik Desa. Kemudian “peraturan perundang-undangan” apakah yang dipedomani dalam membentuk badan usaha tersebut? Dalam tata hukum, dikenal Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara. Walaupun demikian, tentunya undang-undang ini tidak dapat sebagai rujukan, karena materi muatannya memang tidak berhubungan dengan penyelenggaraan pemerintahan desa, dan tentu saja bukanlah pemahaman (begrip) yang tepat, untuk menyamakan Badan Usaha Milik Negara dengan badan usaha yang dapat dibentuk oleh desa.

Jika seandainya diterima penafsiran hukum yang memberi nama badan usaha yang dapat dibentuk menurut kewenangan desa itu adalah Badan Usaha Milik Desa, dan penafsirannya tidak sama dengan pemahaman (begrip) Badan Usaha Milik Negara, ketentuan dalam Pasal 108 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tersebut belum memberikan kepastian hukum mengenai:

Page 183: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

172 HUKUM PEMERINTAHAN DESA

(a) Siapakah yang dapat mendirikan sekaligus memiliki badan usaha tersebut, yaitu: (i) apakah hanya satu Desa; (ii) beberapa desa dalam satu kecamatan; ataukah (iii) beberapa desa yang tidak berada dalam satu kecamatan?;

(b) Jika menyangkut pembentukan badan usaha yang berarti ada penyertaan modal dari kekayaan desa, maka sesuai dengan ketentuan Pasal 104, harus diputuskan bersama dengan Badan Perwakilan Desa, sehingga harus berbentuk Peraturan Desa. Apabila dibentuk hanya oleh sebuah desa tentu tidak masalah, bagaimanakah jika memang badan usaha itu memungkinkan dibentuk oleh gabungan beberapa desa dalam satu kecamatan atau gabungan beberapa desa yang berlainan kecamatan, bentuk hukum apakah yang tepat? Apakah dengan menggunakan penafsiran sistematis, keadaan itu merupakan salah satu bentuk kerja sama antardesa sebagaimana diatur dalam Pasal 109, sehingga legalisasinya dituangkan dengan Keputusan Bersama dan diberitahukan kepada Camat? Bagaimanakah dengan persetujuan Badan Perwakilan Desa masing-masing atas pengelolaan kekayaan desa menyangkut masalah ini?

(c) Jenis usaha apakah yang dapat ditampung di dalam badan usaha yang dapat dibentuk oleh Desa menurut kewenangan nya tersebut?

(d) Darimanakah sumber-sumber pendanaan untuk pembentukan badan usaha tersebut? Apakah hanya dari kekayaan desa, ataukah dimungkinkan memperoleh dukungan pendanaan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Provinsi, dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Kabupaten? Jika untuk yang terakhir ini dimungkinkan, bagaimanakah status pengelolaan sumber

Page 184: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

173Perspektif, Konseptualisasi dan Konteks Yuridis

dana tersebut, apakah merupakan penyertaan modal ataukah bantuan ataukah pinjaman?

(e) Bagaimanakah dengan mekanisme pengelolaan dan pertanggungjawaban, pengelolaan aset, dan bagi hasil usaha atas badan usaha yang dibentuk desa tersebut?

Hal-hal di atas tidak memperoleh jawaban dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999. Oleh karena itu, mestinya harus dituangkan dalam Peraturan Pemerintah dan Peraturan Daerah sebagai pengaturan lebih lanjut mengenai Desa sesuai ketentuan Pasa 111.

Menurut Soehino, konstruksi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 yang mengatur desa hanya dari segi pemerintahannya saja harus dapat dipahami, karena undang-undang tersebut tetap mengakui adanya kesatuan masyarakat termasuk di dalamnya kesatuan masyarakat hukum, adat istiadat, dan kebiasaan-kebiasaan yang masih hidup sepanjang menunjang kelansungan pembangunan ketahanan nasional.157 Lagipula, menurut Soehino, pengaturan desa “satu paket” dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah karena menunjukkan adanya kaitan yang erat antara pemerintahan daerah dengan pemerintahan desa, selain menunjukkan penting dan luasnya pemerintahan desa itu sehingga perlu diatur dalam undang-undang tersendiri.158 Hal yang berbeda ditemui dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 yang mengatur desa “satu paket” dengan undang-undang yang mengatur mengenai pemerintahan daerah.

157Soehino, 2002, Hukum Tata Negara: Pemerintah Daerah Berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, Jogjakarta, BPFE Yogyakarta, hlm. 70.

158Ibid.

Page 185: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

174 HUKUM PEMERINTAHAN DESA

Menurut kami, legal policy atau politik hukum Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 didasarkan kepada pemikiran bahwa bentuk dan susunan daerah otonom hanya pada 2 (dua) tingkat saja, yaitu Daerah Tingkat I dan Daerah Tingkat II, artinya tidak ada maksud pembentuk undang-undang untuk menjadikan desa sebagai daerah otonom atau daerah yang didorong menjadi daerah otonom, walaupun secara normatif, laiknya undang-undang yang berlaku sebelum itu, yaitu Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957, dan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965.

Dalam konteks Orde Baru, desa dimaknai bukan dalam konteks “pembagian negara ke dalam daerah besar dan daerah kecil” menurut versi Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945, karena yang demikian adalah sudah final dan sudah selesai dilakukan oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974. Desa, dalam konteks ini juga tidak dipahami sebagai entitas teritorial yang harus diakui keberadaannya karena mempunyai “hak asal usul yang bersifat istimewa” atau karena “berhak mengatur rumah tangganya sendiri, melainkan sebagai daerah, dalam arti “kumpulan orang yang secara kesatuan memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus dirinya sendiri” atau dalam literatur dikenal sebagai komunitas (community).

Karena tekanannya adalah pada frasa “yang mempunyai organisasi pemerintahan terendah langsung di bawah Camat” maka frasa sebelumnya yaitu “kesatuan masyarakat” menjadi kabur maknanya karena mengingkari suatu fenomena kemestian bahwa suatu kesatuan masyarakat tertentu memiliki kompleksitas yang unik pula sehingga berbeda dengan kesatuan masyarakat yang lain. Faktanya: kebijakan Undang-Undang Nomor 5

Page 186: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

175Perspektif, Konseptualisasi dan Konteks Yuridis

Tahun 1979 menyeragamkan susunan organisasi pemerintahan desa untuk seluruh wilayah republik. Jadi, di sinilah ambiguitas legal policy Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979: pada satu sisi mengakui desa, termasuk kesatuan masyarakat hukum (yang mestinya bermacam-macam dan majemuk), tetapi di sisi lain divonis untuk serupa satu sama lain, yaitu dengan status “organisasi pemerintahan terendah langsung di bawah camat.” Jadi, berlainan dengan pendapat Soehino, kehendak mengatur desa dalam “satu paket” Undang-Undang Pemerintahan Daerah atau tidak, amat tergentung pemaknaan eksistensi desa itu apakah sekedar sebagai “wilayah berpenduduk” dan “mempunyai organisasi pemerintahan” atau bagian dari wilayah negara yang memberikan sumbangan bagi desentralisasi teritorial, suatu isu yang amat penting dalam pemencaran kekuasaan versi negara kesatuan laiknya Republik Indonesia.

Secara normatif Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 menempatkan Desa tidak lagi sebagai bentuk pemerintahan terendah di bawah camat, melainkan sebagai kesatuan masyarakat hukum yang berhak mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan hak asal-usul Desa. Implikasinya adalah, Desa berhak membuat regulasi Desa sendiri untuk mengelola barang-barang publik dan kehidupan Desa, sejauh belum diatur oleh kabupaten. Dalam Pasal 105, misalnya, ditegaskan: “Badan Perwakilan Desa bersama dengan Kepala Desa menetapkan Peraturan Desa”. Ini artinya, bahwa Desa mempunyai kewenangan devolutif (membuat peraturan Desa) sekaligus mempunyai kekuasaan legislatif untuk membuat peraturan Desa itu. Di samping itu juga dapat dibentuk Peraturan Kepala Desa dan Keputusan Kepala Desa. Sesuai dengan prinsip desentralisasi dan otonomi daerah, Desa atau sebutan lain diberi kewenangan untuk mengatur dan

Page 187: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

176 HUKUM PEMERINTAHAN DESA

mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal usul dan adat istiadat setempat yang diakui. Dalam rangka pengaturan kepentingan masyarakat, Badan Perwakilan Desa bersama Pemerintah Desa menyusun Peraturan Desa dan Kepala Desa menyusun peraturan pelaksanaannya, yaitu Peraturan Kepala Desa dan Keputusan Kepala Desa. Peraturan Desa, Peraturan Kepala Desa dan Keputusan Kepala Desa harus disusun secara benar sesuai dengan kaidah-kaidah hukum dan teknik penyusunannya. Untuk itu perlu adanya pedoman penyusunan dan standarisasi bentuk Peraturan Desa, Peraturan Kepala Desa dan Keputusan Kepala Desa. Pada waktu itu telah berhasil ditetapkan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 48 Tahun 2002 tentang Teknik Pcnyusunan Peraturan Desa dan Keputusan Kepala Desa.

Kelahiran Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 memperoleh apresiasi yang luar biasa, sekaligus membangkitkan wacana, inisiatif dan eksperimentasi otonomi Desa. Sumatera Barat telah kembali nagari sejak 2000/2001, Kabupaten Tana Toraja telah mengukuhkan kembali ke Lembang, dan di beberapa kabupaten di Kalimantan Barat tengah berjuang untuk kembali ke pemerintahan binua. Sumatera Barat merupakan daerah yang sangat unik dan eksotik dalam hal desentralisasi dan demokrasi lokal karena mereka mempunyai sejarah “otonomi asli” yang berbasis pada nagari. Sampai 2002 pembentukan kembali (recreating) nagari di wilayah kabupaten telah usai dilakukan. Prinsipnya adalah membentuk “nagari baru” yang menggabungkan antara self-governing community (otonomi asli yang berbasis adat) dan local-self government (desentralisasi dari pemerintah). Pola penggabungan ini adalah format baru nagari yang memungkinkan terjadinya “rekonsiliasi” antara “Desa adat” dengan “Desa dinas”.

Page 188: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

177Perspektif, Konseptualisasi dan Konteks Yuridis

2. Badan Perwakilan Desa

Di luar skema otonomi Desa di atas, lompatan lain yang tampak dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 adalah pelembagaan demokrasi Desa dengan lahirnya Badan Perwakilan Desa sebagai pengganti Lembaga Musyawarah Desa. Pasal 94 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 menegaskan: “Di Desa dibentuk Pemerintah Desa dan Badan Perwakilan Desa, yang merupakan Pemerintahan Desa”. Sedangkan Pasal 104 menegaskan: Badan Perwakilan Desa atau yang disebut dengan nama lain berfungsi mengayomi adat istiadat, membuat Peraturan Desa, menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat, serta melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan Pemerintahan Desa. Ketentuan lebih lanjut mengenai Badan Perwakilan Desa diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 76 Tahun 2001 Pasal 30-38.

Badan Perwakilan Desa menjadi arena baru bagi kekuasaan, representasi dan demokrasi Desa. Badan Perwakilan Desa dilahirkan sebagai bentuk kritik terhadap Lembaga Masyarakat Desa. Pembentukan Badan Perwakilan Desa melibatkan secara terbatas partisipasi masyarakat. Ia menjadi sebuah arena demokrasi perwakilan yang lebih baik ketimbang Lembaga Masyarakat Desa. Berbeda dengan Lembaga Masyarakat Desa masa lalu yang ditunjuk oleh lurah, Badan Perwakilan Desa dipilih dengan melibatkan masyarakat. Jika dulu Lembaga Masyarakat Desa merupakan lembaga korporatis yang diketuai secara ex officio dan didominasi oleh kepala Desa, sekarang kepala Desa ditempatkan sebagai eksekutif sementara Badan Perwakilan Desa sebagai badan legislatif yang terpisah dari Kepala Desa.

Dengan kalimat lain, lahirnya Badan Pengawasan Desa telah membawa pergeseran kekuasaan yang lebih jelas antara kepala Desa sebagai pemegang kekuasaan eksekutif dan Badan Perwakilan Desa

Page 189: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

178 HUKUM PEMERINTAHAN DESA

sebagai pemangku lembaga legislatif. Paling tidak ada tiga domain kekuasaan kepala Desa yang telah dibagi ke Badan Perwakilan Desa: (1) pembuatan Peraturan Desa yang dikerjakan bersama-sama Kepala Desa dan Badan Perwakilan Desa; (2) pengelolaan keuangan yang melibatkan Badan Perwakilan Desa seperti anggaran desa dan pelelangan tanah kas Desa; (3) rekrutmen perangkat Desa yang dulu dikendalikan oleh Kepala Desa dan kecamatan maupun kabupaten sekarang dikendalikan oleh Badan Perwakilan Desa. Bahkan kontrol Badan Perwakilan Desa terhadap kepala Desa sudah dijalankan meski kontrol itu masih terbatas pada laporan pertanggungjawaban lurah dan ia belum terinstitusionalisasi kepada masyarakat.

Di samping itu, dapat dibentuk kelembagaan desa yang lain seperti lembaga adat dan lembaga kemasyarakatan desa, yang secara rinci telah diatur dengan Peraturan Pemerintah Nomor 76 Tahun 2001 Pasal 41 sampai dengan Pasal 43. Pemerintah Daerah harus mengakui dan menghormati adat istiadat dan lembaga adat di wilayahnya sebagaimana dimaksud oleh Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Azasi Manusia. Pemerintah Daerah dapat menetapkan berbagai kebijaksanaan dalam upaya pemberdayaan, pelestarian dan pengembangan adat istiadat dan lembaga adat di wilayahnya. Pengaturan lebih lanjut mengenai pemberdayaan, pelestarian dan pengembangan adat istiadat dan lembaga adat ditetapkan dalam Peraturan Daerah Kabupaten. Peraturan Daerah Kabupaten tersebut, memuat materi antara lain :

(a) mekanisme pemberdayaan, pelestarian dan pengembangan; (b) kedudukan, tugas dan fungsi lembaga adat; (c) hak, wewenang dan kewajiban lembaga adat termasuk

kewenangan dalam penyelesaian perselisihan sengketa adat;

Page 190: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

179Perspektif, Konseptualisasi dan Konteks Yuridis

(d) susunan organisasi; dan (e) hubungan dengan organisasi pemerintahan, baik Pemerintah

Desa maupun Pemerintah Kabupaten.

Dalam upaya memberdayakan masyarakat di Desa dapat dibentuk lembaga kemasyarakatan sesuai kebutuhan. Lembaga kemasyarakatan tersebut , ditetapkan dengan Peraturan Desa.Lembaga kemasyarakatan berperan sebagai mitra Pemerintah Desa dalam penyelenggaraan pembangunan yang bertumpu pada masyarakat. Pengaturan lebih lanjut mengenai Pedoman Pembentukan Lembaga Kemasyarakatan di Desa ditetapkan dalam Peraturan Daerah Kabupaten. Peraturan Daerah Kabupaten tersebut memuat materi antara lain mengenai :

(a) nama lembaga kemasyarakatan; (b) susunan organisasi; (c) tata kerja; (d) kedudukan dan tugas; (e) kewenangan, hak dan kewajiban; (f ) hubungan antar lembaga kemasyarakatan di Desa yang ber-

sangkutan, antar Desa dan antara lembaga kemasyarakatan dengan Pemerintah Desa dan Badan Perwakilan Desa.

3. Cakupan dan Problem Desentralisasi Desa

Meski menciptakan lompatan yang luar bisa, tetapi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tetap memiliki sejumlah keterbatasan, terutama kalau dilihat dari sisi Desain desentralisasi. Undang-Undang ini menyerahkan sepenuhnya persoalan Desa kepada kabupaten/kota, sehingga membuat rumusan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 memberikan “cek kosong”

Page 191: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

180 HUKUM PEMERINTAHAN DESA

pengaturan Desa kepada kabupaten/kota (Pasal 111). Ketentuan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 hanya memberikan diktum yang sifatnya makro dan abstrak dalam hal desentralisasi kewenangan kepada Desa.

Di satu sisi ini adalah gagasan subsidiarity yang baik, tetapi nampaknya pembentuk undang-undang tidak mempunyai konsepsi yang memadai untuk merumuskan disain desentralisasi dan otonomi Desa. Sebagaimana ditunjukkan oleh Selo Sumardjan (1992)159, pemerintah sebenarnya mengalami kesulitan dalam mengatur otonomi Desa, sejak awal kemerdekan, khususnya sejak 1965. Jika dilihat dari sisi hukumketetanegaraan, pemberian cek kosong kepada kabupaten sangat tidak tepat, sebab yang melakukan desentralisasi adalah negara, bukan kabupaten/kota. Ketentuan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 membuat kabur (tidak jelas) posisi Desa karena mencampuradukkan antara prinsip self-governing community (otonomi asli) dan local-self government (desentralisasi) tanpa batas-batas perbedaan yang jelas.

Pengakuan Desa sebagai self-governing community (otonomi asli) lebih bersifat simbolik dan nostalgia, ketimbang substantif. Setelah Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 dijalankan dijalankan, tidak serta-merta diikuti dengan pemulihan otonomi asli Desa, terutama otonomi dalam mengelola hak ulayat Desa adat.

Menurut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, kewenangan Desa menurut Pasal 99 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) mencakup: (1) kewenangan yang sudah ada berdasarkan hak asal-usul Desa; (2) kewenangan yang oleh peraturan perundang-perundangan yang berlaku belum dilaksanakan oleh Daerah

159Lihat dalam E.B. Sitrous, op.cit.

Page 192: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

181Perspektif, Konseptualisasi dan Konteks Yuridis

dan Pemerintah; dan (3) Tugas Pembantuan dari Pemerintah, Pemerintah Propinsi, dan/atau Pemerintah Kabupaten.

Kewenangan yang sudah ada berdasarkan hak asal usul Desa sebagaimana Pasal 99 ayat (1) tersebut menunjukkan bahwa Desa memiliki kewenangan asli yang tidak boleh diintervensi oleh pemerintah supraDesa. Namun hal ini dalam kenyataannya tidak jelas kewenangan yang dimaksud, sehingga Desa tetap saja tidak mempunyai kewenangan yang benar-benar berarti (signifikan) yang dapat dilaksanakan secara mandiri (otonom). Kewenangan yang selama ini benar-benar dapat dilaksanakan di Desa hanyalah kewenangan yang tidak mempunyai kontribusi yang signifikan terhadap kehidupan masyarakat Desa itu sendiri. Kewenangan asli tersebut sebenarnya yang menjadi pertanda bagi Desa sebagai kesatuan masyarakat hukum atau Desa sebagai subyek hukum yang otonom.

Titik krusial lain adalah perubahan dari kewenangan mengatur dan mengurus “rumah tangga sendiri” menjadi kewenangan mengatur dan mengurus “kepentingan masyarakat setempat” sebagaimana terumuskan dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999. Kalau hanya sekadar kewenangan mengelola “kepentingan masyarakat setempat”, kenapa harus diformalkan dalam undang-undang, sebab selama ini masyarakat sudah mengelola kepentingan hidup sehari-hari mereka secara mandiri. Tanpa pemerintah dan UU sekalipun masyarakat akan mengelola kepentingan mereka sendiri.

Jenis kewenangan yang oleh peraturan perundang-perundangan yang berlaku belum dilaksanakan oleh Daerah dan Pemerintah sebagaimana diatur dalam Pasal 99 ayat (2) menunjukkan betapa Desa hanya akan memperoleh kewenangan sisa dari kewenangan pemerintah supraDesa (otonomi residu).

Page 193: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

182 HUKUM PEMERINTAHAN DESA

Sementara pada Pasal 99 ayat (3) sebenarnya bukanlah termasuk kategori kewenangan Desa karena tugas pembantuan hanyalah sekedar melaksanakan tugas tertentu yang disertai pembiayaan, sarana dan prasarana serta sumber daya manusia dengan kewajiban melaporkan pelaksanaannya dan mempertanggungjawabkan kepada yang menugaskan. Hal tersebut dipertegas pada ketentuan Pasal 100. Penjelasan pasal tersebut menyatakan bahwa Pemerintah Desa berhak menolak pelaksanaan Tugas Pembantuan yang tidak disertai dengan pembiayaan, sarana dan prasarana, serta sumber daya manusia. Dengan demikian makna Tugas Pembantuan bukanlah merupakan kewenangan Desa tetapi sekedar sebagai pelaksana dari sebuah kegiatan yang berasal dari pemerintah supraDesa. Walaupun sesungguhnya secara normatif, meletakkan Desa sebagai pihak atau institusi yang menerima Tugas Pembantuan dari satuan pemerintahan daerah pada tingkat lebih atas merupakan hal yang baru. Hal ini karena sasaran Tugas Pembantuan menurut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 meliputi Daerah (Provinsi dan Kabupaten/Kota) serta Desa. Sementara, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974, pihak yang dapat menerima Tugas Pembantuan hanya Pemerintah Daerah Tingkat I dan Pemerintah Daerah Tingkat II. Demikian juga, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 mengatur lebih terbatas terkait dengan fasilitas yang menyertai Tugas Pembantuan itu hanya mencakup pembiayaan saja dan tidak ada hak untuk menolak Tugas Pembantuan itu. Sementara Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 menuntut supaya Tugas Pembantuan itu disertai pembiayaan, sarana dan prasarana, serta sumber daya manusia, dan memberikan peluang bagi Daerah dan Desa untuk menolak pelaksanaan Tugas Pembantuan jika tidak disertai dengan pembiayaan, sarana dan prasarana, serta sumber daya manusia.

Page 194: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

183Perspektif, Konseptualisasi dan Konteks Yuridis

Argumen bahwa Tugas Pembantuan bukanlah merupakan kewenangan Desa tetapi sekedar sebagai pelaksana dari sebuah kegiatan yang berasal dari pemerintah secara teoritis memang dapat diterima. Hal ini berkesuaian dengan pendapat Sadu Wasistiono, yang mengatakan bahwa Tugas Pembantuan mempunyai unsur-unsur sebagai berikut:160

(a) Tugas Pembantuan adalah tugas membantu menjalankan urusan pemerintahan dalam tahap implementasi kebijakan yang bersifat operasional;

(b) Urusan pemerintah yang dapat ditugaspembantukan adalah yang menjadi kewenangan dari institusi yang menugaskannya;

(c) Kewenangan yang dapat ditugaspembantuankan adalah kewenangan yang bersifat atributif, sedangkan kewenangan yang bersifat delegatif tidak dapat ditugaspembantuankan;

(d) Urusan pemerintah yang ditugaspembantuankan tetap menjadi kewenangan dari institusi yang menugaskannya;

(e) Kebijakan, strategi, pembiayaan, sarana, dan prasarana serta sumber daya manusia, disediakan oleh institusi yang menugaskannya;

(f ) Kegiatan operasional diserakan sepenuhnya kepada institusi yang diberi penugasan, sesuai dengan situasi, kondisi, serta kemampuannya; dan

(g) Institusi yang menerima penugasan diwajibkan melaporkan dan mempertanggungjawabkan mengenai urusan pemerintahan yang dikerjakannya kepada institusi yang menugaskan.

160Sadu Wasistiono, 2003, Kapita Selekta Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, Bandung, Penerbit Fokus Media, hlm. 70.

Page 195: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

184 HUKUM PEMERINTAHAN DESA

Ketentuan mengenai tugas pembantuan itu ditindaklanjuti dengan Peraturan Pemerintah Nomor 52 Tahun 2001 tentang Penyelenggaraan Tugas Pembantuan. Peraturan Pemerintah ini menegaskan bahwa maksud pemberian Tugas Pembantuan adalah untuk meningkatkan efisiensi dan efektifitas penyelenggaraan pemerintahan, pengelolaan pembangunan, serta pelayanan umum. Sedangkan tujuan Tugas Pembantuan adalah untuk memperlancar pelaksanaan tugas dan penyelesaian permasalahan serta membantu pengembangan pembangunan bagi Daerah dan Desa.

Di atas sudah disebutkan bahwa salah satu unsur pengertian Tugas Pembantuan adalah urusan yang ditugaspembantuankan hanyalah yang berdasarkan kewenangan atributif, yaitu kewenangan yang melekat pada satuan pemerintahan atas dasar peraturan perundang-undangan yang membentuknya.161 Oleh karena itu, dalam sistem Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, obyek Tugas Pembantuan yang diserahkan kepada Desa, haruslah terlebih dahulu dipilah-pilah sebagai berikut: (i) Jika Tugas Pembantuan itu berasal dari Pemerintah Pusat, maka harus dilacak kewenangan atributif apa yang melekat pada pemerintah pusat menurut peraturan perundang-undangan; (ii) Jika Tugas Pembantuan itu berasal dari Provinsi, maka harus dilacak kewenangan atributif apa yang melekat pada Provinsi menurut peraturan perundang-undangan; dan (iii) Jika Tugas Pembantuan itu berasal dari Kabupaten/Kota, maka dilacak kewenangan atributif apa yang melekat pada Kabupaten/Kota menurut peraturan perundang-undangan. Dengan demikian, harus berpedoman kepada peraturan perundang-undangan yang mengatur pembagian urusan kewenangan antara Pemerintah,

161Ibid., hlm. 74.

Page 196: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

185Perspektif, Konseptualisasi dan Konteks Yuridis

Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota. Oleh sebab itu, sebelum melaksanakan Tugas Pembantuan kepada Desa, terutama kepada Provinsi dan Kabupaten/Kota, harus melakukan inventarisasi kewenangan sebagai Daerah Otonom.

Page 197: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi
Page 198: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

187

BAB X

PENGATURAN DESA SETELAH PERUBAHAN UNDANG-UNDANG

DASAR 1945 (TAHUN 2004-2013)

A. PERUBAHAN UNDANG-UNDANG DASAR

Seiring dengan reformasi ketatanegaraan yang ditandai dengan berhentinya Presiden Soeharto dari tampuk kekuasaan sebagai Presiden pada 21 Mei 1998 dan telah dilaksanakan pemilihan umum tahun 1999, maka Majelis Permusyawaratan Rakyat dengan menggunakan kewenangan berdasarkan Pasal 37 Undang-Undang Dasar 1945, melalukan perubahan terhadap Undang-Undang Dasar 1945. Perubahan itu dilakukan dalam Perubahan Pertama (1999), Perubahan Kedua (2000), Perubahan Ketiga (2001), dan Perubahan Keempat (2002). Perubahan itu meliputi materi yang sangat banyak, sehingga mencakup lebih dari 3 kali lipat muatan asli Undang-Undang Dasar 1945. Jika naskah asli Undang-Undang Dasar 1945 berisi 71 butir ketentuan, setelah 4 kali perubahan, kini jumlah materi muatan Undang-Undang Dasar 1945 seluruhnya mencakup 199 butir ketentuan. Menurut Denny Indrayana, perubahan terhadap Undang-Undang Dasar

Page 199: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

188 HUKUM PEMERINTAHAN DESA

1945 itu mempunyai makna yang penting karena 2 (dua) hal.162 Pertama, sepanjang sejarahnya, Indonesia belum pernah berhasil melakukan reformasi konstitusi. Keempat usaha yang dilakukan pada tahun 1945, 1949, 1950, dan 1956-1959, gagal menciptakan sebuah konstitusi yang demokratis, terutama yang tidak bersifat sementara. Kedua, usaha reformasi konstitusi yang kelima pada kurun waktu 1999-2002 sangat krusial untuk mengantarkan transisi Indonesia dari kekuasaan otoriter Soeharto ke sebuah tatanana kelembagaan yang demokratis.

Dalam kerangka perubahan terhadap Undang-Undang Dasar 1945 tersebut, salah satu hal yang dihasilkan adalah amandemen terhadap ketentuan Pasal 18 (mengenai pemerintahan daerah) yang ditetapkan dalam Perubahan Kedua (2000). Secara struktur, Pasal 18 sama sekali diganti baru. Yang semula hanya satu pasal menjadi 3 (tiga) pasal yaitu Pasal 18, Pasal 18A, dan Pasal 18B. Penggantian secara menyeluruh, berakibat juga bagi Penjelasan.163 Penjelasan yang selama ini menjadi acuan dalam mengatur pemerintahan daerah tidak berlaku lagi.

Berikut ini dikutipkan bunyi selengkapnya ketentuan Pasal 18, Pasal 18A, dan Pasal 18B tersebut.

162Denny Indrayana, 2007, Amandemen UUD 1945 Antara Mitos dan Pembongkaran, Bandung, Penerbit Mizan, hlm. 47.

163Penjelasan Undang-Undang Dasar 1945, sama sekali bukan karya BPUPKI dan PPKI, tetapi karya pribadi Prof. Soepomo yang kemudian dimuat dalam Berita Republik Indonesia Nomor II Tahun 1946. Setelah Dekrit Presiden Soekarno 5 Juli 1959, naskah Undang-Undang Dasar 1945 ditetapkan meliputi Pembukaan, Batang Tubuh, dan Penjelasan. Demikian seterusnya, terutama era Orde Baru, yang mensosialisasikannya melalui Penataran Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P-4) dari 1978-1998.

Page 200: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

189Perspektif, Konseptualisasi dan Konteks Yuridis

Pasal 18 Ayat (1) Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-undang.

Ayat (2) Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan.

Ayat (3) Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota memiliki Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang anggota-anggotanya dipilih melalui pemilihan umum.

Ayat (4) Gubernur, Bupati, dan Walikota, masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis.

Ayat (5) Pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat.

Ayat (6) Pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan.

Page 201: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

190 HUKUM PEMERINTAHAN DESA

Ayat (7) Susunan dan tata cara penyelenggaraan pemerintahand aerah diatur dalam undang-undang.

Pasal 18A Ayat (1) Hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah provinsi, kabupaten, dan kota, atau antara provinsi dan kabupaten dan kota, diatur dengan undang-undang dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah.

Ayat (2) Hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah diatur dan dlaksanakan secara adil dan selaras berdaasarkan undang-undang.

Pasal 18B Ayat (1) Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang.

Ayat (2) Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang.

Menurut Bagir Manan, pasal-pasal pemerintahan daerah dalam Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 memuat berbagai paradigma baru dan arah politik pemerintahan daerah yang baru

Page 202: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

191Perspektif, Konseptualisasi dan Konteks Yuridis

pula.164 Hal-hal tersebut nampak dari prinsip-prinsip dan ketentuan berikut:

Pertama, prinsip daerah mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan (Pasal 18 ayat (2)). Ketentuan ini menegaskan bahwa pemerintah daerah adalah suatu pemerintahan otonom dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.165

Kedua, prinsip menjalankan otonomi seluas-luasnya (Pasal 18 ayat (5)). Maknanya adalah Daerah berhak mengatur dan mengurus segala urusan atau fungsi pemerintahan yang oleh undang-undang tidak ditentukan sebagai yang diselenggarakan oleh pemerintah pusat.166

Ketiga, prinsip kekhususan dan keragaman daerah (Pasal 18A ayat (1)). Prinsip ini mengandung makna bahwa bentuk dan isi otonomi daerah tidak harus seragam (uniformitas). Bentuk dan sisi otonomi daerah dientukan oleh berbagai keadaan khusus dan keragama setiap daerah. Inilah aspek penting sistem otonomi riil, yaitu otonomi yang beragam.167

Keempat, prisip mengakui dan menghormati kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya (Pasal 18B ayat (2)). Kesatuan-kesatuan masyarakat ini tidak hanya diakui tetapi dihormati, artinya mempunyai hak hidup yang sederajat dan sama pentingnya dengan kesatuan peemrintahan lain seperti kabupaten dan kota.168

164Bagir Manan, Menyongsong Fajar...., op.cit., hlm. 7.165Ibid., hlm. 8.166Ibid., hlm. 12.167Ibid., hlm. 12-13.168Ibid., hlm. 13-14.

Page 203: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

192 HUKUM PEMERINTAHAN DESA

Kelima, prinsip mengakui dan menghormati pemerintahan daerah yang bersifat khusus dan istimewa (Pasal 18B ayat (1)). Perkataan “khusus” akan mencakup pengertian yang lebih luas karena dimungkinkan membentuk pemerintahan daerah dengan otonomi khusus.169

Keenam, prinsip badan perwakilan dipilih langsung dalam suatu pemilihan umum (Pasal 18 ayat (3)). Ketujuh, prinsip hubungan pusat dan daerah harus dilaksanakan secara selaras dan adil.

Salah satu hal yang perlu mendapatkan sorotan adalah berkaitan dengan pengaturan desa. Ketentuan Pasal 18B ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan bahwa Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang, walaupun sering ditafsirkan membahas “kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia”, termasuk Desa, tetapi sesungguhnya tidaklah menetapkan kedudukan dan kewenangan Desa.

Menurut Bagir Manan, makna “masyarakat hukum adat” adalah masyarakat hukum (rechtgemeenschap) yang berdasarkan hukum adat atau adat istiadat, seperti Desa, Marga, Nagari, Gampong, dan lain-lain. Selanjutnya diuraikan bahwa:170

Kesatuan-kesatuan masyarakat hukum ini tidak hanya diakui tetapi dihormati, artinya mempunyai hak hidup yang sederajat

169Ibid., hlm. 16.170Loc.cit., hlm. 13.

Page 204: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

193Perspektif, Konseptualisasi dan Konteks Yuridis

dan sama pentingnya dengan kesatuan pemerintahan lain seperti kabupaten dan kota. Kesederajatan ini mengandung makna bahwa kesatuan masyarakat yang berdasarkan hukum adat berhak atas segala perlakuan dan diberi kesempatan berkembang sebagai subsistem negara kesatuan Republik Indonesia, yang maju, modern, dan sejahtera...Pengakuan dan perhormatan [tersebut] justru mengandung tuntutan pembararuan kesatuan masyarakat hukum adat sesuai dengan perannya sebagai subsistem negara kesatuan Republik Indonesia yang maju dan modern.

Selanjutnya, mengenai “hak-hak tradisional”, Bagir Manan menyatakan bahwa:171

Hak-hak tradisional ini meliputi hak ulayat, hak-hak memperoleh manfaat atau kenikmatan dari tanah dan air, atau hasil hutan, dan lain-lain di sekitarnya. Pengakuan dan penghormatan tersebut tidak berarti menjadi hak yang tidak dapat disentuh atau diatur. Negara atau pemerintah berwenang mengatur berbagai hak tradisional tersebut untuk sebesar-besarnya kemakmuran bersama, tanpa merugikan kepentingan masyarakat yang mempunyai hubungan dengan hak tradisional tersebut.

Menurut saya, apa yang dikatakan oleh Bagir Manan tersebut masih terbawa oleh “suasana” penjelasan Undang-Undang Dasar 1945. Hal itu nampak dari pengindentikan “masyarakat hukum adat” dengan Desa atau nama lain, yang oleh Prof. Soepomo dulu ditemukenali sebagai “mempunyai hak asal usul yang bersifat istimewa.” Lagipula Bagir Manan juga tidak menunjukkan secara meyakinkan bahwa “kesatuan-kesatuan masyarakat hukum ini tidak hanya diakui tetapi dihormati, artinya mempunyai hak hidup

171Ibid., hlm. 14.

Page 205: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

194 HUKUM PEMERINTAHAN DESA

yang sederajat dan sama pentingnya dengan kesatuan pemerintahan lain seperti kabupaten dan kota”, apakah kesatuan masyarakat hukum adat merupakan subsistem pemerintahan daerah ataukah merupakan entitas kehidupan yang bersifat komunal, lalu bagaimanakah hal itu dikaitkan dengan kedudukannya dalam konteks ketatanegaraan Indonesia pada umumnya dan sistem pemerintahan daerah pada khususnya? Juga, dengan kedudukan masyarakat hukum adat “yang sederajat dan sama pentingnya dengan kesatuan pemerintahan lain seperti kabupaten dan kota”, apakah artinya otonomi yang dimilikinya sama dengan kabupaten dan kota ataukah menjadi bagian dari susunan pemerintahan daerah?

Dengan adanya Perubahan Undang-Undang Dasar 1945, khususnya menyangkut substansi pemerintahan daerah, maka menjadi salah satu faktor pendorong untuk melakukan peninjauan kembali terhadap Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, yang ditetapkan sebelum reformasi konstitusi.

B. SISTEM PEMERINTAHAN DAERAH

Pada tanggal 15 Oktober 2004 telah disahkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Menurut undang-undang ini Indonesia dibagi menjadi satu jenis daerah otonom dengan perincian Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas daerah kabupaten dan daerah kota. Selain itu Negara mengakui kekhususan dan/atau keistimewaan yang ada pada empat daerah yaitu Aceh, Jakarta, Papua, dan Yogyakarta. Negara juga mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat (Desa

Page 206: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

195Perspektif, Konseptualisasi dan Konteks Yuridis

atau nama lain) beserta hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan. menentukan bahwa pemerintahan lokal menggunakan nomenklatur “Pemerintah Daerah”.

Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945. yang terdiri atas Pemerintah Daerah Provinsi dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi. Untuk Provinsi Aceh disebut Pemerintah Aceh (Pemda Aceh) dan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPR Aceh). Khusus Aceh terdapat Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) yang menjadi mitra DPR Aceh dan Pemda Aceh. Untuk Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat disebut Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPR Papua). Khusus Papua dan Papua Barat terdapat Majelis Rakyat Papua (MRP) sebagai representasi kultural orang asli Papua.

Pemerintahan daerah Kabupaten/Kota terdiri atas Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota. Untuk Kabupaten/Kota di lingkungan Provinsi Aceh disebut Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten/Kota. Khusus Kabupaten/Kota di lingkungan Provinsi Aceh terdapat Majelis Permusyawaratan Ulama Kabupaten/Kota (MPU) yang menjadi mitra DPR Kabupaten/Kota dan Pemda Kabupaten/Kota di dalam lingkungan Provinsi Aceh.

Lembaga Dewan Perwakilan Rakyat Daerah merupakan lembaga perwakilan rakyat daerah dan berkedudukan sebagai unsur penyelenggaraan pemerintahan daerah. Dalam hal ini, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah memiliki fungsi legislasi, anggaran,

Page 207: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

196 HUKUM PEMERINTAHAN DESA

dan pengawasan. Ketentuan tentang Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sepanjang tidak diatur secara khusus berlaku ketentuan Undang-Undang yang mengatur Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.172 Khusus untuk DPR Aceh, DPR Papua, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi DKI Jakarta dapat memiliki anggota sebanyak 125% dari jumlah yang ditentukan dalam undang-undang yang mengatur mengenai Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

Kepala daerah untuk provinsi disebut Gubernur, untuk kabupaten disebut Bupati, dan untuk kota disebut Walikota. Wakil kepala daerah untuk provinsi disebut Wakil Gubernur, untuk kabupaten disebut Wakil Bupati dan untuk kota disebut Wakil Walikota. Gubernur yang karena jabatannya berkedudukan juga sebagai wakil Pemerintah di wilayah provinsi yang bersangkutan dan bertanggung jawab kepada Presiden. Kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih dalam satu pasangan calon yang dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.

Perangkat daerah provinsi secara umum terdiri atas sekretariat daerah, sekretariat DPRD, dinas daerah, dan lembaga teknis daerah. Perangkat daerah kabupaten/kota secara umum terdiri atas sekretariat daerah, sekretariat DPRD, dinas daerah, lembaga teknis daerah, kecamatan, dan kelurahan.

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 disusun berdasarkan Perubahan Undang-Undang Dasar, khususnya pasal 18, 18A, dan 18B. Dalam perjalanannya UU ini telah diubah sebanyak dua kali dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang

172Dewasa ini adalah Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009.

Page 208: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

197Perspektif, Konseptualisasi dan Konteks Yuridis

Nomor 3 Tahun 2005 (ditetapkan menjadi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2005) dan dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008. Selanjutnya daerah Aceh dan Jakarta kembali diatur dengan UU tersendiri. Aceh diatur secara penuh dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Sedangkan Jakarta diatur kembali dengan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia. Provinsi Papua tetap diatur dengan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua. Provinsi Papua Barat sebagai pemekaran dari Provinsi Papua juga mendapatkan otonomi khusus sebagaimana provinsi induknya dengan Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2008 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua (ditetapkan menjadi Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2008).

C. PENGATURAN DESA

Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 ini pengaturan mengenai Desa terdapat dalam Bab XI yaitu dari Pasal 200 – Pasal 216. Sedangkan penjabaran lebih lanjut dari ketentuan di atas adalah dalam Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa yang telah disahkan pada tanggal 30 Desember 2005. Keluarnya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dan Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 masih menyisakan beberapa persoalan dari sisi substansi dan regulasi. Ada beberapa isu krusial yang muncul dalam kerangka substansi dan regulasi itu.

Page 209: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

198 HUKUM PEMERINTAHAN DESA

1. Kedudukan, Format dan Kewenangan Desa

Sesuai dengan konstitusi, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 melakukan pembagian teritori (desentralisasi teritorial) negara menjadi provinsi dan kabupaten/kota. Pasal 2 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 menegaskan: “Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota yang masing-masing mempunyai pemerintahan daerah”. Desa, karena itu, tidak termasuk dalam skema desentralisasi teritorial. Ketentuan Undang-Undang Nomor32 Tahun 2004 tidak mengenal otonomi Desa, melainkan hanya mengenal otonomi daerah.

Pasal 200 ayat (1), menyatakan “Dalam pemerintahan daerah kabupaten/kota dibentuk pemerintahan Desa yang terdiri dari pemerintah Desa dan badan permusyawaratan Desa.” Penggunaan istilah “dibentuk” ini menegaskan bahwa pemerintah Desa merupakan sub sistem atau bagian dari pemerintah kabupaten/kota, karenanya ia menjalankan sebagian kewenangan pemerintah kabupaten/kota. Dalam undang-undang ini Desa merupakan satuan pemerintah yang ada dalam pemerintah kabupaten/kota.

Ini berbeda dengan istilah yang digunakan dalam Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan “Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota.......”. Pemakaian istilah “dibagi atas daerah-daerah” menunjukkan selain menghormati daerah otonom juga menegaskan adanya hubungan pemerintah pusat dan daerah bersifat hirarkhis dan vertikal. Dengan demikian ada perbedaan model hubungan pusat dan daerah berdasarkan Pasal 18 UUD 1945 dengan model hubungan

Page 210: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

199Perspektif, Konseptualisasi dan Konteks Yuridis

Kabupaten/kota dengan Desa berdasar Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004.

Pengakuan negara pada keberadaan Desa dituangkan dalam bentuk pengertian Desa: “Desa atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut Desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia”. Klausul ini berupaya melokalisir Desa sebagai subyek hukum yang mengelola kepentingan masyarakat setempat, bukan urusan atau kewenangan pemerintahan, seperti halnya daerah. Desa sudah lama mengurus sendiri kepentingan masyarakat, untuk apa fungsi ini harus diakui oleh undang-undang. Tanpa diakui oleh undang-undang sekalipun, Desa sudah mengurus kepentingan masyarakat setempat. Klausul itu juga menegaskan bahwa negara hanya “mengakui” keberadaan Desa, tetapi tidak “membagi” kekuasaan pemerintahan kepada Desa. Desa hanya diakui sebagai kesatuan masyarakat hukum berdasarkan asal-usul dan adat-istiadat (self governing community), bukan disiapkan sebagai entitas otonom sebagai local self government. Ketentuan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 memberikan definisi secara standar mengenai wewenang untuk mengelola “urusan” pemerintahan Desa. Kewenangan direduksi menjadi urusan.

Menurut Pasal 206 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 ada empat urusan pemerintahan Desa: (a) urusan yang sudah ada berdasarkan hak asal-usul Desa; (b) urusan yang menjadi kewenangan kabupaten/kota yang diserahkan pengaturannya kepada Desa; (c) tugas pembantuan dari Pemerintah, provinsi,

Page 211: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

200 HUKUM PEMERINTAHAN DESA

dan/atau pemerintah kabupaten/kota; dan (d) urusan lainnya yang oleh peraturan perundang-perundangan diserahkan kepada Desa.

Kewenangan asal-usul memang sebagai bentuk pengakuan (rekognisi) terhadap Desa, tetapi hal ini hanya berhenti di atas kertas. Kewenangan asal-usul tidak dijabarkan dan tidak dilembagakan, apalagi kalau sudah sampai di level kabupaten. Meski Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 mengandung keragaman sebagai sebuah prinsip dasar penyelenggaraan pemerintahan Desa, tetapi kita tidak menemukan makna dan disain kembagaan keragaman. Ini hanya terlihat dari sisi nomenklatur, misalnya Desa atau nama lain, kepala Desa dengan nama lain atau Badan Permusyawaratan Desa dengan nama lain. Secara substantif Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 menganut pendekatan Desa baku (default village) yang diterapkan secara nasional ke seluruh Indonesia. Karena itu Undang-Undang ini tidak mengenal konsep optional village untuk mengakomodasi dan melembagakan keragaman Desa, misalnya opsi tentang Desa adat yang ada di banyak daerah.

Sisi lain yang menjadi pertanyaan adalah “urusan yang menjadi kewenangan kabupaten/kota yang diserahkan pengaturannya kepada Desa”. Ini artinya undang-undang memberi amanat kepada kabupaten untuk melakukan “desentralisasi” kewenangan kepada Desa. Menurut teori desentralisasi dan hukum tatanegara, skema ini sama sekali tidak dibenarkan, karena menimbulkan kekacauan logika dan hukum. Dapat diajukan pertanyaan azas apa yang digunakan pemerintah untuk merumuskan klausul “urusan yang menjadi kewenangan kabupaten/kota yang diserahkan pengaturannya kepada Desa”. Dari klausul ini pun kita sudah bisa mengatakan bahwa posisi Desa tidak jelas. Ketentuan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 juga menegaskan “tugas pembantuan dari

Page 212: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

201Perspektif, Konseptualisasi dan Konteks Yuridis

Pemerintah, provinsi, dan/atau pemerintah kabupaten/kota” sebagai salah satu bentuk kewenangan Desa.

Teori apa yang digunakan untuk mengatakan bahwa tugas pembantuan sebagai salah satu kewenangan/urusan Desa? Kewenangan, secara teoretis, adalah hak yang melekat dan diserahkan sepenuhnya kepada Desa, dan pengambilan keputusan serta akuntabilitas terletak pada Desa. Sementara tugas pembantuan adalah bentuk delegasi dari pemerintah kepada Desa. Keputusan dan akuntabilitas tugas pembantuan berada pada yang memberi pembantuan, bukan pada yang menerimanya. Sebenarnya tugas pembantuan bukan kewenangan Desa untuk “mengatur” melainkan beban untuk mengurus, dan lebih celaka lagi kalau tugas pembantuan itu tidak disertai dengan finansial dan sumberdaya. Bahkan jika tugas pembantuan terlalu banyak masuk Desa sama saja dengan menjadikan Desa sebagai pesuruh atau obyek bagi pemerintah. Secara teoretis, tugas pembantuan bukanlah sebuah kewenangan melainkan sebuah asas dalam penyelenggaraan tata pemerintahan dan otonomi Desa.

Selanjutnya pertanyaan juga pantas diajukan kepada bentuk kewenangan keempat: “urusan lainnya yang oleh peraturan perundang-perundangan diserahkan kepada Desa”. Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa ternyata tidak menjabarkan lebih lanjut klausul kewenangan keempat ini, dan tampaknya kewenangan butir 2 dan butir 4 ini dijabarkan dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 30/2006 tentang Tatacara Penyerahan Urusan Pemerintahan Kabupaten/Kota kepada Desa. Peraturan Menteri Dalam Negeri ini menyajikan 31 bidang/sektor urusan yang dibagi lagi secara ditail menjadi long list urusan yang dapat diserahkan oleh pemerintah kabupaten/kota kepada Desa. Karena konsepsi dasar yang dianut adalah “urusan”, maka

Page 213: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

202 HUKUM PEMERINTAHAN DESA

daftar panjang itu lebih mengandung tugas pembantuan urusan, bukan desentralisasi kewenangan. Jika semua daftar itu benar-benar diserahkan kabupaten kepada Desa, maka akan semakin banyak beban-tugas yang harus diurus oleh Desa. Desa akan semakin banyak “mengurus”, tetapi tidak berwenang “mengatur”. Contoh yang cukup banyak adalah “rekomendasi izin” dan juga “pembinaan”. Desa tentu hanya “mengurus” dalam bentuk mengeluarkan rekomendasi izin, tetapi keputusan strategisnya bukan terletak pada Desa, melainkan pada level pemerintah yang lebih tinggi. Desa juga memperoleh beban baru yang lebih banyak, yakni melakukan pembinaan, mulai dari pembinaan Perkumpulan Petani Pemakai Air hingga pembinaan pemancar radio Desa.

2. Demokrasi dan Tata Pemerintahan Desa

Ketentuan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 mengganti sistem perwakilan (representasi) dalam bentuk Badan Perwakilan Desa dengan sistem permusyawaratan dalam bentuk Badan Permusyawatan Desa. Pasal 210 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 menegaskan: “Anggota Badan Permusyawaratan Desa adalah wakil dari penduduk Desa bersangkutan yang ditetapkan dengan cara musyawarah dan mufakat”. Pada Penjelasan Pasal 210 tersebut ditetapkan bahwa “Yang dimaksud dengan “ wakil ” dalam ketentuan ini adalah penduduk Desa yang memangku jabatan seperti ketua rukun warga, pemangku adat, dan tokoh masyarakat lainnya”. Klausul “wakil” dan “musyawarah” itu harus dicermati secara kritis. Keduanya menegaskan bahwa Badan Permusyawaratan Desa mewadahi para pemuka masyarakat Desa tanpa harus dipilih melalui sistem keterwakilan, seperti keberadaan Lembaga Masyarakat Desa yang lalu.

Page 214: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

203Perspektif, Konseptualisasi dan Konteks Yuridis

Di Desa sering muncul distorsi dalam musyawarah untuk menentukan siapa pemuka masyarakat yang dilibatkan dalam Bamusdes. Distorisnya adalah “penunjukan” secara elitis terhadap pemuka masyarakat yang dianggap “dekat” kepala Desa. Akibatnya adalah ketiadaan akses rakyat biasa (ordinary people) untuk berpartisipasi sebagai anggota Bamusdes. Fungsi Bamusdes juga dikebiri, yaitu hanya menetapkan perdes bersama kepala Desa, menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat. Fungsi kontrol dihilangkan, sehingga memperlemah check and balances dalam pemerintahan Desa.

Sisi yang lain adalah akuntabilitas kepala Desa. Pertanggungjawaban kepala Desa ditemukan di dalam Penjelasan Umum:

Kepala Desa pada dasarnya bertanggung jawab kepada rakyat Desa yang dalam tata cara dan prosedur pertanggung jawabannya disampaikan kepada Bupati atau Walikota melalui Camat. Kepada Badan Permusyawaratan Desa, Kepala Desa wajib memberikan keterangan laporan pertanggungjawabannya dan kepada rakyat menyampaikan informasi pokok-pokok pertanggung jawabannya..-...

Klausul itu menegaskan bahwa akuntabilitas kepala Desa bukan kepada rakyat (sebagai konstituen), tetapi kepada bupati/walikota melalui camat sebagai pemerintah “atasan”. Pemindahan akuntabilitas ke bawah menjadi ke atas itulah yang berpotensi menampakkan wajah resentralisasi, serta mereduksi prinsip subsidiatity dan proses demokrasi lokal.

Subsidiarity mengajarkan bahwa pengambilan keputusan, penggunaan kewenangan, akuntabilitas, maupun penyelesaian masalah sebaiknya dilakukan di level lokal. Sedangkan demokrasi

Page 215: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

204 HUKUM PEMERINTAHAN DESA

lokal mengajarkan bahwa akuntabilitas pejabat politik seharusnya disampaikan kepada konstituen pemilihnya, bukan ditarik ke atas. Dalam konteks struktur-kultur politik yang masih birokratis dan klientelistik, akuntabilitas vertikal ke atas justru akan membuat kepala Desa kurang akuntabel dan responsif kepada masyarakat, melainkan akan lebih loyal (tunduk) pada kekuasaan di atasnya. Dalam praktik bisa jadi kepala daerah akan menghindar dari Desakan rakyat dan akuntabilitas publik, sebab dia sudah merasa cukup menyampaikan pertanggungjawaban ke atas. Akuntabilitas ke atas jelas mengurangi makna desentralisasi, otonomi dan eksistensi Desa, dan mereduksi proses pembelajaran demokrasi di level Desa. Di sisi lain lembaga-lembaga kemasyarakatan juga menjadi bagian penting dari demokrasi Desa. Ketentuan lebih lanjut mengenai lembaga kemasyaratan itu diatur dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 5 Tahun 2007 tentang Pedoman Penataan Lembaga Kemasyaratan Desa. Peraturan Menteri ini dibentuk untuk melaksanakan ketentuan Pasal 98 ayat (1) dan Pasal 99 huruf a Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa, yang mewajibkan kepada pembinaan dan pengawasan lembaga kemasyarakatan kepada: (i) Pemerintah dan Pemerintah Provinsi; dan (ii) Kabupaten/Kota dan Camat. Merujuk kepada ketentuan Pasal 1 angka 9 Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 jo Pasal 1 angka 1 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 5 Tahun 2007, lembaga kemasyarakatan atau yang disebut dengan nama lain adalah lembaga yang dibentuk oleh masyarakat sesuai dengan kebutuhan dan merupakan mitra Pemerintah Desa dan lurah dalam memberdayakan masyarakat. Merujuk kepada Pasal 7 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 5 Tahun 2007, jenis lembaga kemasyarakatan meliputi:

Page 216: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

205Perspektif, Konseptualisasi dan Konteks Yuridis

(a) Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Desa atau Kelurahan (LPMD/LPMK)/Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa atau Kelurahan (LKMD/LKMK) atau sebutan nama lain;

(b) Lembaga Adat;(c) Tim Penggerak PKK Desa/Kelurahan;(d) RT/RW;Karang Taruna; dan (e) Lembaga Kemasyarakatan lainnya

Di atas kertas, peraturan perundang-undangan memberikan kekuasaan yang besar terhadap apa yang disebut sebagai lumbaga kemasyarakatan, dan ini sepertinya akan memberikan ruang bagi masyarakat sipil di Desa untuk berpartisipasi dalam pengelolaan pemerintahan dan pembangunan. Namun demikian, ada beberapa resiko yang mungkin muncul dengan keluarnya Peraturan Pemerintah dan Peraturan Daerah yang menindaklanjuti. Lembaga ini bisa diartikan sebagai lembaga baru dan satu-satunya lumbaga yang menjadi mitra pemerintah Desa di dalam merumuskan, melaksanakan dan mengevaluasi pembangunan. Jika penafsiran seperti itu, maka akan muncul lumbaga korporatis yang dibentuk oleh pemerintahan Desa dan menjadi kepanjangan tangan Desa.

3. Perangkat Desa

Perangkat Desa yang diatur berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 sangat berbeda dengan pengaturan dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999. Perangkat Desa berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 terdiri dari sekretaris Desa dan perangkat Desa lainnya. Ketentuan Pasal 202 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 mengamanatkan Sekretaris Desa diisi dari pegawai negeri sipil yang memenuhi persyaratan. Dalam penjelasan pasal tersebut juga ditegaskan:

Page 217: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

206 HUKUM PEMERINTAHAN DESA

“Sekretaris Desa yang ada selama ini yang bukan Pegawai Negeri Sipil secara bertahap diangkat menjadi pegawai negeri sipil sesuai peraturan perundang-undangan”. Dengan demikian, ada dua kemungkinan: “Men-Sekdes-kan PNS, atau Mem-PNS-kan Sekdes”. Hal itu ditindaklanjuti dengan penyusunan Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2007 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pengangkatan Sekretaris Desa Menjadi Pegawai Negeri Sipil, yang diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 50 Tahun 2007 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2007 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pengangkatan Sekretaris Desa Menjadi Pegawai Negeri Sipil.

Ketentuan baru tersebut memang dilematis. Keberadaan Sekretaris Desa yang berstatus Pegawai Negeri Sipil memungkinkan pelayanan (baca: penjagaan) di kantor Desa lebih terjamin. Tetapi ketentuan ini adalah bentuk birokratisasi yang mempunyai risiko buruk bagi pemerintahan Desa. Sesuai dengan konteks lokal, Sekretaris Desa beserta perangkatnya adalah pamong Desa, yang tidak hanya menjalankan fungsi-fungsi administratif secara ketat, tetapi juga menjalankan fungsi sosial yang harus siap selama 24 jam sehari. Selama ini Sekretaris Desa direkrut secara lokal, serta bertanggungjawab secara tunggal kepada kepala Desa. Kalau Sekretaris Desa berstatus sebagai Pegawai Negeri Sipil, maka dia mempunyai tanggungjawab dan loyalitas ganda, yakni kepada kepala Desa dan kepada birokrasi pembina PNS di atas Desa, dalam hal ini Bupati melalui Sekretaris Daerah.

Birokratisasi ini bisa membawa pamong Desa kearah birokrasi yang lebih kompleks dan menjauhkan pamong Desa dari rakyatnya serta mengubah orientasi pengabdian Sekretaris Desa. Di sisi lain, Sekretaris Desa yang berstatus Pegawai Negeri Sipil ini juga akan membuat kecemburuan sosial di kalangan perangkat Desa

Page 218: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

207Perspektif, Konseptualisasi dan Konteks Yuridis

yang lain, bahkan bagi kepala Desa sendiri. Kalau kecemburuan sosial ini terjadi, maka efektivitas pelayanan administratif (sebuah argumen yang dikedepankan oleh perumusnya) akan terdistorsi secara serius.

Di sisil lain, sebagai konsekuensi dalam menjalankan tugas dan fungsi sehari-hari Kepala Desa beserta perangkatnya mendapatkan penghasilan sebagai penghargaan (remunerasi). Hal tersebut diatur dalam Pasal 27 dari Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005, yang berbunyi: (1) Kepala Desa dan Perangkat Desa diberikan penghasilan tetap setiap bulan dan/atau tunjangan lainnya sesuai dengan kemampuan keuangan Desa; (2) Penghasilan tetap dan/atau tunjangan lainnya yang diterima kepala Desa dan Perangkat Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan setiap tahun dalam APBDesa: (3) Penghasilan tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling sedikit sama dengan Upah Minimum Regional Kabupaten/Kota.

Ketentuan Pasal 27 tersebut memberikan peluang pada masing-masing Desa untuk memberikan penghargaan dalam bentuk penghasilan sesuai dengan kondisi dan kemampuan keuangan Desa. Namun yang akan menjadi kendala dalam implementasinya adalah pada ayat (3). Kendala ini akan muncul bagi Desa-Desa yang memiliki APBDesa yang minim. Mungkinkah mereka akan dapat memberikan penghasilan kepada kepala Desa beserta perangkatnya senilai penghasilan upah minimum regional kalau untuk membiayai pembangunan dan kemasyarakatannya saja masih kurang.

Status kepala Desa beserta perangkatnya ini bukan Pegawai Negeri Sipil walaupun fungsi dan tugas yang dijalankan dalam pemerintahan sehari-hari mereka seperti pejabat negara bahkan simbol yang dipakainya menunjukan bahwa mereka adalah pejabat

Page 219: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

208 HUKUM PEMERINTAHAN DESA

negara namun meraka tidak diatur dengan sistem penghargaan seperti layaknya Pegawai Negeri Sipil. Sedangkan kalau mereka akan diatur oleh undang-undang yang mengatur perlindungan karyawan khusus untuk pegawai swasta tentu tidak tepat karena mereka tidak menjalankan fungsi dan tugas suatu perusahaan.

4. Perencanaan dan Keuangan Desa

Menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dan Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005, Desa tidak mempunyai “kewenangan” menyusun perencanaan pembangunan, melainkan diberikan “tugas” (tanggungjawab) menyusun perencanaan. Persoalan antara kewenangan dan tugas ini jelas betul, mengingat Pasal 63 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 menegaskan: “Dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan Desa disusun perencanaan pembangungan Desa sebagai satu kesatuan dalam sistem perencanaan pembangunan daerah kabupaten/Kota”. Klausul ini menegaskan bahwa posisi Desa berada dalam subsistem pemerintahan kabupaten/kota, bukan berdiri sendiri sebagai subsistem yang otonom dan menjadi bagian dari negara. Karena posisi itu juga, Desa tidak diberikan otoritas untuk menyusun perencanaan sendiri (village self planning) atau decentralized planning di atas Desa sesuai dengan batas-batas kewenangan Desa.

Skema itu sebenarnya tidak membawa perubahan yang signifikan, melainkan hanya meneguhkan model perencanaan dari bawah mulai dari Musyawarah Perencanaan Pembangunan Desa yang selama ini sudah berjalan. Tetapi skema musyawarah ini mengandung kelemahan dan distorsi, bukan saja terletak pada miskinnya partisipasi masyarakat di aras Desa, tetapi yang lebih

Page 220: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

209Perspektif, Konseptualisasi dan Konteks Yuridis

penting, bahwa Desa tidak berdaya dan tidak mempunyai otoritas yang memadai dalam sistem perencanaan. Desa hanya mengusulkan, akan tetapi pemerintah kabupaten yang menentukan.

Akar masalah dari semua ini adalah ketidakjelasan pembagian kewenangan kabupaten dan Desa, sekaligus Desa belum ditempatkan sebagai entitas yang mengelola sendiri perencanaan pembangunan. Dengan kalimat lain, sejauh ini kita baru mengenal perencanaan daerah, tetapi belum mengenal perencanaan Desa yang berhenti di level Desa.

Ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tampak sekali belum menyentuh aspek-aspek desentralisasi perencanaan, melainkan hanya menegaskan aspek partisipasi masyarakat dalam perencanaan yang bersifat lokalistik di aras Desa. Menurut ketentuan Pasal 63 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005, diatur bahwa “Dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan desa disusun perencanaan pembangungan desa sebagai satu kesatuan dalam sistem perencanaan pembangunan daerah kabupaten/Kota.” Selanjutnya diatur dalam Pasal 63 ayat (2) bahwa “Perencanaan pembangunan Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun secara partisipatif oleh pemerintahan Desa sesuai dengan kewenangannya”. Lalu, Pasal 63 ayat (3) mengatur bahwa “ Dalam menyusun perencanaan pembangunan Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib melibatkan lembaga kemasyarakatan Desa”.

Kemudian jenis perencanaan Desa menurut Pasal 64 Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 meliputi: (a) Rencana pembangunan jangka menengah Desa yang selanjutnya disebut RPJMD untuk jangka waktu 5 (lima) tahun; (b) Rencana kerja pembangunan Desa, selanjutnya disebut RKP-Desa, merupakan penjabaran dari RPJMD untuk jangka waktu 1 (satu) tahun.

Page 221: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

210 HUKUM PEMERINTAHAN DESA

Skema itu pada dasarnya memberikan beban dan tanggungjawab kepada Desa, bukan memberikan kekuasaan dan pemberdayaan. Menyusun RPJMD tentu sangat ideal, tetapi itu juga menjadi beban berat, jika Desa tidak memperoleh hak-hak dan kekuasaan yang memadai. Apalagi, dalam Pasal 65 Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 juga ditegaskan bahwa perencanaan pembangunan Desa sebagaimana dimaksud pada Pasal 64 ayat (1) didasarkan pada data dan informasi yang akurat dan dapat dipertanggungjawabkan. Hal ini berarti Desa dipaksa harus berbenah diri dalam hal pendataan dan administrasi Desa.

Pada sisi lain ada beberapa kelemahan yang terkandung dalam Peraturan Pemerintah. Ketentuan dalam Peraturan Pemerintah tidak menegaskan keharusan pemerintah Desa melibatkan Badan Permusyawaratan Desa dalam proses penyusunan perencanaan pembangunan Desa. Akibatnya peraturan itu memperkuat kontrol Kepala Desa dalam mengatur tentang Desa. Idealnya Badan Permusyawaratan Desa diberi hak inisiatif untuk mengajukan RPJMD, sehingga RPJMD lebih menyuarakan kepentingan masyarakat. Selain itu dipertegas bahwa proses penyusunan perencanaan pembangunan Desa melibatkan tiga kelompok yaitu pemerintah Desa yang sekaligus sebagai fasilitator kegiatan penyusunan, BPD dan warga.

5. Keuangan dan Pendapatan Desa

Setelah perencanaan maka diikuti dengan keuangan. Formula Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dan Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 memperkenalkan Alokasi Dana Desa (ADD), yang prinsip dasarnya Desa mempunyai hak untuk memperoleh alokasi keuangan negara. Kebijakan mengenai

Page 222: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

211Perspektif, Konseptualisasi dan Konteks Yuridis

Alokasi Dana Desa (ADD) sebenarnya telah diterapkan pada ketentuan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, khususnya pasal 107 ayat (1) huruf b. Akan tetapi pada pasal ini, penekanan pelaksanaan ADD masih bersifat “himbauan” karena disebutkan sebagai bantuan dari pemerintah kabupaten.

Pada Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dan ditindak-lanjuti dalam Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005, tekanan pelaksanaan kebijakan mengenai ADD mendapatkan perhatian lebih serius. Kata “bantuan” yang tertulis di dalam pasal 107 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 dihapus. Artinya, Desa mempunyai sumber pendapatan yang berasal (antara lain) dari bagian dari dana perimbangan keuangan pusat dan daerah yang diterima oleh pemerintah daerah, dan bagi hasil pajak dan retribusi daerah.

Kebijakan ADD yang tertuang di dalam PP No.72/2005 pada dasarnya mengadopsi kebijakan Depdagri sebagaimana tertuang dalam Surat Edaran Menteri Dalam Negeri No.140/640/SJ tanggal 22 Maret 2005. Surat Edaran Menteri Dalam Negeri ini lahir karena pada beberapa kabupaten, kebijakan mengenai ADD telah diterapkan dan mampu memberikan manfaat yang baik bagi perkembangan perekonomian dan pembangunan masyarakat Desa. Oleh karena itu, pada Penjelasan Umum atas PP No.72/2005 lebih tegas dinyatakan bahwa:

Dalam rangka melaksanakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Desa dan untuk peningkatan pelayanan serta pemberdayaan masyarakat, Desa mempunyai sumber pendapatan yang terdiri atas pendapatan asli Desa, bagi hasil pajak daerah dan retribusi daerah kabupaten/kota, bagian dari dana perimbangan keuangan pusat dan daerah yang diterima oleh kabupaten/kota, bantuan dari Pemerintah dan Pemerintah Daerah serta hibah dan

Page 223: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

212 HUKUM PEMERINTAHAN DESA

sumbangan dari pihak ketiga. Sumber pendapatan yang berasal dari bagi hasil pajak daerah dan retribusi daerah diberikan kepada Desa paling sedikit 10% (sepuluh per seratus) diluar upah pungut, dan bagian dari dana perimbangan keuangan pusat dan daerah yang diterima oleh kabupaten/kota diberikan kepada Desa paling sedikit 10% (sepuluh per seratus), sedangkan bantuan Pemerintah Provinsi kepada Desa diberikan sesuai dengan kemampuan dan perkembangan keuangan provinsi bersangkutan. Bantuan tersebut lebih diarahkan untuk percepatan atau akselerasi pembangunan Desa. Sumber pendapatan lain yang dapat diusahakan oleh Desa berasal dari Badan Usaha Milik Desa, pengelolaan pasar Desa, pengelolaan kawasan wisata skala Desa, pengeloaan galian C dengan tidak menggunakan alat berat dan sumber lainnya.

Lebih jauh mengenai Alokasi Dana Desa (ADD), Pasal 68 ayat (1) huruf b berikut Penjelasannya menyatakan bahwa “bagi hasil pajak daerah Kabupaten/Kota paling sedikit 10% (sepuluh per seratus) untuk Desa dan dari retribusi Kabupaten/Kota sebagian diperuntukkan bagi Desa yang dijelaskan bahwa dari bagi hasil pajak daerah Kabupaten/Kota paling sedikit 10% (sepuluh per seratus) diberikan langsung kepada Desa. Sedangkan dari retribusi Kabupaten/Kota sebagian diperuntukkan bagi Desa yang dialokasikan secara proporsional. Sedangkan Pasal 68 ayat (1.c) ditetapkan bahwa bagian dari dana perimbangan keuangan pusat dan daerah yang diterima oleh Kabupaten/Kota untuk Desa paling sedikit 10% (sepuluh per seratus), yang pembagiannya untuk setiap Desa secara proporsional yang merupakan alokasi dana Desa. Kemudian Penjelasan ketentuan ini menyatakan bahwa yang dimaksud dengan dana perimbangan keuangan pusat dan daerah adalah terdiri dari dana bagi hasil pajak dan sumberdaya alam ditambah dana alokasi umum setelah dikurang belanja pegawai. Dana dari Kabupaten/Kota diberikan langsung

Page 224: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

213Perspektif, Konseptualisasi dan Konteks Yuridis

kepada Desa untuk dikelola oleh Pemerintah Desa, dengan ketentuan 30% (tiga puluh per seratus) digunakan untuk biaya operasional pemerintah Desa dan Badan Permusyawaratan Desa dan 70% (tujuh puluh per seratus) digunakan untuk kegiatan pemberdayaan masyarakat.

Pasal 70 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 mengamanatkan kepada pemerintah daerah untuk menyusun peraturan daerah mengenai bagian Desa dari perolehan pajak dan retribusi daerah. Tetapi menurut Pasal 72 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 mengenai penerimaan keuangan Desa yang berasal dari dana perimbangan keuangan pusat dan daerah yang diterima pemerintah daerah tidak diamanatkan untuk ditindaklanjuti dengan peraturan daerah, melainkan disatukan dengan peraturan daerah mengenai Sumber-sumber Pendapatan Desa. Pengaturan ini “aneh” karena pada kenyataannya nominal jumlah dana yang dikumpulkan oleh pemerintah daerah dari usaha memungut pajak dan retribusi daerah jauh lebih kecil dari pada jumlah dana perimbangan keuangan pusat dan daerah yang diterima pemerintah daerah.

Pada dasarnya, ADD hanyalah salah satu sumber pendapatan Desa. Sumber-sumber pendapatan Desa yang lain adalah pendapatan asli Desa seperti hasil usaha Desa, hasil kekayaan Desa, hasil swadaya dan partisipasi, dan lain-lain, juga bantuan keuangan dai Pemerintah, Pemerintah Propinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota, serta dari hibah dari pihak ketiga yang tidak mengikat (Pasal 68).

Mencermati kembali Undang-Undang 32/2004, tentang Pemerintahan Daerah, khususnya pada bagian kelima atau tepatnya pada Pasal 212, yang menjelaskan tentang Keuangan Desa. Demikian pula dengan pasal 213 yang menjelaskan tentang

Page 225: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

214 HUKUM PEMERINTAHAN DESA

kelembagaan ekonomi desa yang disebut dengan Badan Usaha Milik Desa (BUMDesa). Dua pasal ini tampak berpasangan, pasal 212 menegaskan tentang input “modal” pembangunan sosial dan ekonomi desa, sedangkan pasal berikutnya menegaskan tentang institusi ekonomi desa yang dapat digunakan untuk “sarana” peningkatan ekonomi desa.

Sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 212, bahwa Keuangan desa adalah semua hak dan kewajiban desa yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun barang yang dapat dijadikan milik desa berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban (ayat 1). Hak dan kewajiban tersebut menimbulkan pendapatan, belanja dan pengelolaan keuangan desa (ayat 2). Ini menjelaskan kepada kita, bahwa institusi ini mengarahkan kepada “penerima manfaat” bagaimana “memandirikan” desa, minimal secara ekonomi.

Sementara itu, Pasal 212 ayat (3) menyatakan bahwa sumber pendapatan desa tersebut, terdiri atas: (a) pendapatan asli desa; (b) bagi hasil pajak daerah dan retribusi daerah kabupaten/ kota; (c) bagian dari dana perimbangan keuangan pusat dan daerah yang diterima oleh kabupaten/kota; (d) bantuan dari Pemerintah, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota;dan (e) hibah dan sumbangan dari pihak ketiga.

Dinyatakan pula bahwa belanja desa digunakan untuk mendanai penyelenggaraan pemerintahan desa dan pemberdayaan masyarakat desa (Pasal 212 ayat (4)), sedangkan pengelolaan keuangan desa dilakukan oleh kepala desa yang dituangkan dalam peraturan desa tentang anggaran pendapatan dan belanja desa (Pasal 212 ayat (5)). Pedoman pengelolaan keuangan desa tersebut ditetapkan oleh Bupati/Walikota dengan berpedoman pada peraturan perudang-undangan (Pasal 212 ayat (6)).

Page 226: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

215Perspektif, Konseptualisasi dan Konteks Yuridis

Pasal 213 menegaskan tentang Badan Usaha Milik Desa (BUMDes). Pada Pasal 213 ayat (1) dijelaskan bahwa Desa dapat mendirikan badan usaha milik desa sesuai dengan kebutuhan dan potensi desa. Badan usaha tersebut berpedoman pada peraturan perundang-undangan (ayat 2), dapat melakukan pinjaman sesuai peraturan perundang undangan (ayat 3). Kelembagaan ini sebenarnya telah diamanatkan pendirinnya sejak Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 diberlakukan 1 Januari 2001, cukup potensial dijadikan sebagai media untuk meningkatkan ekonomi desa.

Masih terkait dengan keuangan desa, Pasal 201 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 menyatakan bahwa pendanaan sebagai akibat perubahan status desa menjadi kelurahan dibebankan pada APBD kahupaten/kota (ayat 1). Dalam hal desa berubah statusnya menjadi kelurahan, maka kekayaannya menjadi kekayaan daerah dan dikelola oleh kelurahan yang bersangkutan (ayat 2).

Demikian pula dalam Pasal 207 disebutkan bahwa tugas pembantuan dari Pemerintah, pemerintah provinsi, dan/atau pemerintah, kabupaten/kota kepada desa (sebagai bagian dari urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan desa, Pasal 206 huruf c) disertai dengan pembiayaan, sarana dan prasarana, serta sumberdaya manusia. Untuk hal ini perlu ditransparankan regulasinya hingga tingkat desa, mengingat bahwa tugas pembantuan tersebut sesungguhnya dapat ditolak oleh pemerintah desa sepanjang tidak disertai pembiayaan, sarana dan prasarana, ataupun sumberdaya manusia.

Penegasan tentang Keuangan Desa dalam Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tampak penyusunannya cukup terstruktur dan memiliki cakupan cukup luas. Bab VII

Page 227: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

216 HUKUM PEMERINTAHAN DESA

Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 memuat 15 pasal yang dikelompokkan ke dalam lima bagian.

Bagian pertama menjelaskan tentang hal-hal bersifat umum (Pasal 67), bagian kedua memuat tentang Sumber Pendapatan (Pasal 68-72), bagian ketiga tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (Pasal 73-74), bagian keempat tentang Pengelolaan (Pasal 75-77), dan bagian kelima tentang Badan Usaha Milik Desa (Pasal 78-81). Tampak bahwa secara berurutan bab VII ini memberikan pemahaman yang bersifat sistemik, yaitu diawali dengan paparan tentang sumber pendapatan yang dikemas dalam anggaran pendapatan dan belanja desa hingga pengelolaannya, dan bermuara pada kelembagaan ekonomi desa (Badan Usaha Milik Desa).

Seperti dijelaskan dalam Pasal 67 Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005, bahwa penyelenggaraan urusan pemerintahan desa yang menjadi kewenangan desa, didanai dari anggaran pendapatan dan belanja desa, bantuan pemerintah dan bantuan pemerintah daerah. Dalam hal ini, penyelenggaraan urusan pemerintah daerah yang diselenggarakan oleh pemerintah desa didanai dari anggaran pendapatan dan belanja daerah, sedangkan urusan pemerintah yang diselenggarakan oleh pemerintah desa didanai dari anggaran pendapatan dan belanja negara.

Dalam hal sumber pendapatan desa, Pasal 68 menyatakan bahwa sumber pendapatan desa, meliputi: (a) pendapatan asli desa, terdiri dari hasil usaha desa, hasil kekayaan desa, hasil swadaya dan partisipasi, hasil gotong royong, dan lain-lain pendapatan asli desa yang sah; (b) bagi hasil pajak daerah Kabupaten/Kota paling sedikit 10% (sepuluh per seratus) untuk desa dan dari retribusi Kabupaten/Kota sebagian diperuntukkan bagi desa. Sumber pendapatan dari bagi hasil pajak daerah Kabupaten/Kota ini diberikan langsung kepada Desa, sedangkan dari retribusi

Page 228: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

217Perspektif, Konseptualisasi dan Konteks Yuridis

Kabupaten/Kota dialokasikan secara proporsional; dan (c) bagian dari dana perimbangan keuangan pusat dan daerah yang diterima oleh Kabupaten/Kota untuk Desa paling sedikit 10% (sepuluh per seratus), yang pembagiannya untuk setiap desa secara proporsional yang merupakan alokasi dana desa. Nilai bagian dari dana perimbangan keuangan pusat dan daerah tersebut, terdiri dari dana bagi hasil pajak dan sumberdaya alam ditambah dana alokasi umum setelah dikurangi belanja pegawai. Dana dari Kabupaten/Kota ini diberikan langsung kepada Desa untuk dikelola oleh Pemerintah Desa, dengan ketentuan 30% untuk biaya operasional pemerintah desa dan BPD, dan 70% lainya untuk kegiatan pemberdayaan masyarakat.

Selain itu, sumber pendapatan yang dimaksud berasal dari bantuan keuangan Pemerintah, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota dalam pelaksanaan urusan pemerintahan dan hibah dari sumbangan pihak ketiga yang tidak mengikat. Bantuan Pemerintah diutamakan untuk tunjangan penghasilan Kepala Desa dan Perangkat Desa. Bantuan dari Propinsi dan kabupaten/kota digunakan untuk percepatan atau akselerasi pembangunan Desa. Sedangkan yang dimaksud dengan “sumbangan dari pihak ketiga” dapat berbentuk hadiah, donasi, wakaf, dan atau lain-lain. Pemberian sumbangan tersebut tidak mengurangi kewajiban pihak penyumbang. Demikian pula yang dimaksud dengan “wakaf” dalam ketentuan ini adalah perbuatan hukum wakaf untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya, guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syariah.

Dalam hal bantuan keuangan dari Pemerintah, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota disalurkan melalui kas

Page 229: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

218 HUKUM PEMERINTAHAN DESA

desa. Sedangkan sumber pendapatan desa yang telah dimiliki dan dikelola oleh desa, tidak dibenarkan diambil alih pemerintah atau pemerintah daerah.

Dinyatakan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 Pasal 69 bahwa kekayaan Desa terdiri atas: tanah kas desa, pasar desa, pasar hewan, tambatan perahu, bangunan desa, pelelangan ikan yang dikelola oleh desa, dan lain-lain kekayaan milik desa. Sumber pendapatan daerah yang berada di desa (Pasal 70), baik pajak maupun retribusi yang sudah dipungut oleh Provinsi atau Kabupaten/Kota, tidak dibenarkan adanya pungutan tambahan oleh Pemerintah Desa.

Pungutan retribusi dan pajak lainnya yang telah dipungut oleh Desa tidak dibenarkan dipungut atau diambil alih oleh Pemerintah Provinsi atau Pemerintah Kabupaten/Kota. Bagian desa dari perolehan bagian pajak dan retribusi daerah ditetapkan dengan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota, dan pengalokasiannya ditetapkan dengan Peraturan Bupati/Walikota. Pemberian hibah dan sumbangan di atas tidak mengurangi kewajiban-kewajiban pihak penyumbang kepada desa (pasal 71). Sumbangan yang berbentuk barang, baik barang bergerak maupun barang tidak bergerak dicatat sebagai barang inventaris kekayaan milik desa sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Sedangkan sumbangan yang berbentuk uang dicantumkan di dalam APBDesa. Ketentuan lebih lanjut mengenai sumber pendapatan desa diatur dengan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

Selanjutnya, Pasal 72 Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 menyatakan bahwa ketentuan mengenai sumber pendapatan desa diatur dengan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota, Ketentuan tersebut sekurang-kurangnya memuat tentang: sumber pendapatan, jenis pendapatan, rincian bagi hasil pajak dan retribusi daerah,

Page 230: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

219Perspektif, Konseptualisasi dan Konteks Yuridis

bagian dana perimbangan, persentase dana alokasi desa, hibah, sumbangan, dan kekayaan.

Bagian Ketiga Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 adalah tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (Pasal 73-74). Dinyatakan bahwa Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (selanjutnya ditulis anggaran desa) terdiri atas bagian pendapatan Desa, belanja Desa dan pembiayaan. Rancangan anggaran desa dibahas dalam musyawarah perencanaan pembangunan desa, dan selanjutnya, Kepala Desa bersama Badan Permusyawaratan Desa menetapkan anggaran desa setiap tahun dengan Peraturan Desa. Dalam hal Pedoman penyusunan anggaran desa, perubahan anggaran desa, perhitungan anggaran desa, dan pertanggungjawaban pelaksanaan anggaran desa, Pasal 74 menyatakan ditetapkan dengan Peraturan Bupati/Walikota.

Bagian Keempat Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 adalah tentang Pengelolaan (Pasal 75-77). Dinyatakan dalam bagian ini bahwa Kepala Desa adalah pemegang kekuasaan pengelolaan keuangan desa. Maksudnya bahwa semua hak dan kewajiban desa yang dapat dinilai dengan uang dan segala sesuatu berupa uang dan barang yang dapat dijadikan milik desa yang berhubungan dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut. Dalam melaksanakan kekuasaannya, Kepala Desa dapat melimpahkan sebagian atau seluruh kekuasaannya yang berupa perencanaan, pelaksanaan, penata-usahaan, pelaporan kepada perangkat desa, di mana ketentuan lebih lanjut mengenai pengelolaan keuangan desa diatur dengan peraturan desa. Sedangkan pedoman penyusunan anggaran desa, perubahan annggaran desa, perhitungan anggaran desa, pengelolaan keuangan dan pertanggungjawaban pelaksanaan anggaran desa, ditetapkan dengan Peraturan Bupati/Walikota.

Page 231: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

220 HUKUM PEMERINTAHAN DESA

Sebagai rangkaian akhir dari hal di atas menyatakan bahwa dalam meningkatkan pendapatan masyarakat dan Desa, Pemerintah Desa dapat mendirikan Badan Usaha Milik Desa. Ini tertuang dalam empat pasal (78-81) bagian akhir (kelima) Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005. Dinyatakan bahwa Badan Usaha Milik Desa adalah usaha desa yang dikelola oleh Pemerintah Desa, sedangkan kepengurusan badan usaha ini terdiri dari Pemerintah Desa dan masyarakat. Badan Usaha Milik Desa harus berbadan hukum. Yang tergolong “badan hukum” dapat berupa lembaga bisnis, yaitu unit usaha yang kepemilikan sahamnya berasal dari Pemerintah Desa dan masyarakat, seperti usaha mikro kecil dan menengah, lembaga keuangan mikro perdesaan (usaha ekonomi desa simpan pinjam, badan kredit desa, lembaga simpan pinjam berbasis masyarakat, lembaga perkreditan desa, lumbung pitih nagari dan sebagainya).

Permodalan badan usaha ini dapat berasal dari: Pemerintah Desa, tabungan masyarakat, bantuan Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota, pinjaman, dan/atau penyertaan modal pihak lain atau kerja sama bagi hasil atas dasar saling menguntungkan. Pembentukan Badan Usaha Milik Desa ditetapkan dengan Peraturan Desa berpedoman pada peraturan perundang-undangan. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara Pembentukan dan Pengelolaan Badan Usaha Milik Desa diatur dengan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. Peraturan Daerah tersebut, sekurang-kurangnya memuat tentang: bentuk badan hukum, kepengurusan, hak dan kewajiban, permodalan, bagi hasil usaha, kerjasama dengan pihak ketiga, dan mekanisme pengelolaan dan pertanggungjawaban.

Untuk melaksanakan ketentuan dalam Pasal 212 pada Ayat (6) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, telah ditetapkan

Page 232: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

221Perspektif, Konseptualisasi dan Konteks Yuridis

Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 37 Tahun 2007 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Desa. Di dalam Pasal 3 ayat (1) Peraturan Menteri Dalam Negeri ditetapkan bahwa Kepala Desa sebagai Kepala Pemerintah Desa adalah Pemegang Kekuasaan Pengelolaan Keuangan Desa dan mewakili Pemerintah Desa dalam kepemilikan kekayaan desa yang dipisahkan. Kemudian, pada ayat (2) ditegaskan bahwa sehubungan dengan kedudukan kepala desa tersebut, maka kepala desa mempunyai kewenangan untuk: (i) menetapkan kebijakan tentang pelaksanaan anggaran desa; (ii) menetapkan kebijakan pengelolaan barang desa; (iii) menetapkan bendahara desa; (iv) menetapkan petugas yang melakukan pemungutan terhadap penerimaan desa; dan (v) menetapkan petugas yang melakukan pengelolaan barang milik desa.

Memperhatikan hal di atas, maka jelas bahwa untuk suatu pemerintahan desa yang baik diperlukan sistem pengelolaan keuangan desa yang baik, transparan, akuntabel, dan berkeadilan. Pengelolaan keuangan desa yang baik tersebut antara lain dimaksudkan untuk mewujudkan ekonomi desa yang kuat dan mandiri, serta sinergi dengan pembangunan desa dalam arti luas.

6. Peraturan Desa

Sebagai konsekuensi atas penetapan kewenangan yang melekat pada Desa, maka Desa mempunyai kewenangan (mengatur, mengurus dan bertanggungjawab) untuk menyusun Peraturan Desa (Pasal 62 Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005). Jabaran dari ketentuan tersebut, telah ditetapkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 29 Tahun 2006 tentang Pedoman Pembentukan dan Mekanisme Penyusunan Peraturan Desa. Perlu diketahui bahwa Peraturan Menteri Dalam Negeri itu menetapkan

Page 233: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

222 HUKUM PEMERINTAHAN DESA

bahwa peraturan perundang-undangan di tingkat desa meliputi Peraturan Kepala Desa dan Keputusan Kepala Desa (Pasal 3). Dalam Pasal 4 ayat (1) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 29 Tahun 2006 diatur bahwa Materi muatan Peraturan Desa adalah seluruh materi muatan dalam rangka penyelenggaraan Pemerintahan Desa, pembangunan desa, dan pemberdayaan masyarakat, serta penjabaran lebih lanjut dari ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.

Peraturan Desa disusun oleh Kepala Desa dan Badan Permusyawaratan Desa sebagai kerangka kebijakan dan hukum bagi penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan Desa. Penyusunan peraturan Desa merupakan penjabaran atas berbagai kewenangan yang dimiliki Desa, tentu berdasarkan kepada kebutuhan dan kondisi Desa setempat, serta mengacu pada peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Pasal 5 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 29 Tahun 2006 mengatakan bahwa Peraturan Desa tidak boleh bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.

Sebagai sebuah produk hukum, peraturan Desa tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi dan tidak boleh merugikan kepentingan umum. Sebagai sebuah produk politik, peraturan Desa disusun secara demokratis dan partisipatif, yakni proses penyusunannya melibatkan partisipasi masyarakat. Masyarakat mempunyai hak untuk mengusulkan atau memberi masukan kepada Badan Permusyawaratan Desa maupun Kepala Desa dalam proses penyusunan peraturan Desa.

Fasilitasi pemerintah kabupaten terhadap penyusunan peraturan Desa sangat diperlukan untuk mempermudah dan membangun kapasitas pemerintah Desa untuk menyusun perdes baik. Pengawasan (supervisi) kabupaten terhadap peraturan Desa

Page 234: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

223Perspektif, Konseptualisasi dan Konteks Yuridis

sangat diperlukan agar Peraturan Desa tetap berjalan sesuai dengan norma-norma hukum, yakni tidak menyimpang dari peraturan di atasnya dan tidak merugikan kepentingan umum. Pengawasan bisa berbentuk preventif (proses konsultasi sebelum raperdes disahkan menjadi Peraturan Desa) dan berbentuk represif (membatalkan perdes yang bertentangan). Menurut Pasal 19 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 29 Tahun 2006 ketentuan lebih lanjut mengenai pembentukan dan mekanisme penyusunan Peraturan Desa diatur dengan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

Setelah peraturan Desa ditetapkan secara formal oleh kepala Desa dan Badan Permusyawaratan Desa, maka tahap berikutnya adalah pelaksanaan Peraturan Desa yang menjadi tanggungjawab Kepala Desa. Dalam hal ini, Badan Permusyawaratan Desa mempunyai hak melakukan pengawasan dan evaluasi terhadap pelaksanaan peraturan Desa. Masyarakat juga mempunyai hak untuk melakukan monitoring dan evaluasi secara partisipatif terhadap pelaksanaan Peraturan Desa (Pasal 7 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 29 Tahun 2006).

7. Kerjasama Desa

Ketentuan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 maupun Pasal 82-87 Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 menyebutkan bahwa Desa dapat mengadakan kerjasama untuk kepentingan Desa yang diatur dengan keputusan bersama dan dilaporakan kepada Bupati/ Walikota melalui Camat. Selanjutnya, dalam pasal 214 ayat (4) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, pelaksanaan kerjasama antar Desa ataupun Desa dengan pihak ketiga dapat dilakukan dengan membentuk badan kerjasama. Jabaran lebih lanjut mengenai hal tersebut diatur

Page 235: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

224 HUKUM PEMERINTAHAN DESA

dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 38 Tahun 2007 tentang Kerjasama Desa.

Dalam Desain kedua regulasi nasional itu, Desa juga dimungkinkan melakukan kerjasama Desa dengan pihak ketiga. Ruang kerja sama antara Desa dengan pihak ketiga itu dapat meliputi bidang: peningkatan perekonomian masyarakat Desa; peningkatan pelayanan pendidikan; kesehatan; sosial budaya; ketentraman dan ketertiban; dan/ataupemanfaatan sumber daya alam dan teknologi tepat guna dengan memperhatikan kelestarian lingkungan. Lebih lanjut dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 38 Tahun 2007 tentang Kerjasama Desa Pasal 4 ayat (3) diatur bahwa ruang lingkup kerjasama desa mencakup: (i) peningkatan perekonomian masyarakat; (ii) peningkatan pelayanan pendidikan; (iii) kesehatan; (iv) sosial budaya; (v) ketenteraman dan ketertiban; (vi) pemanfaatan sumber daya alam dan teknologi tepat guna dengan memperhatikan kelestarian lingkungan; (vii) tenaga kerja; (viii) pekerjaan umum; (ix) batas desa; dan (x) lain-lain kerjasama yang menjadi kewenangan Desa.

Selain memberi peluang bagi adanya kerjasama antar Desa maupun antara Desa dengan pihak ketiga, dalam Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 juga mengatur soal penyelesaian perselihan antar Desa. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 disebutkan siapa yang seharusnya mengambil peran dalam proses penyelesaiaan konflik antar Desa. Misalnya, perselisihan kerja sama antar Desa dalam satu kecamatan, difasilitasi dan diselesaikan oleh Camat. Perselisihan kerja sama antar Desa pada kecamatan yang berbeda dalam satu Kabupaten/Kota difasilitasi dan diselesaikan oleh Bupati/Walikota secara arbritase.

Penyelesaian perselisihan sebagaimana dilakukan secara adil dan tidak memihak. Penyelesaian perselisihan bersifat final.

Page 236: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

225Perspektif, Konseptualisasi dan Konteks Yuridis

Perselisihan kerja sama Desa dengan pihak ketiga dalam satu kecamatan, difasilitasi dan diselesaikan oleh Camat Perselisihan kerja sama Desa dengan pihak ketiga pada kecamatan yang berbeda dalam satu Kabupaten/Kota difasilitasi dan diselesaikan oleh Bupati/Walikota. Apabila pihak ketiga tidak menerima penyelesaian perselisihan dapat mengajukan penyelesaian ke pengadilan.

Walaupun Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 maupun Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 sudah mengatur kerjasama antar Desa maupun kerjasama Desa dengan pihak ketiga, namun ada beberapa poin-poin kritis yang perlu didiskusikan bersama.

Pertama, apa yang bisa menjadi basis kerjasama antar Desa. Hal ini penting untuk dibicarakan karena baik Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 maupun Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tidak menyebutkan secara jelas urusan pemerintahan apa saja yang bisa diselenggarakan melalui kerjasama antar Desa. Ketentuan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004hanya menyebutkan basis kerjasama adalah kepentingan Desa masing-masing. Sedangkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 dikatakan kerjasama dilakukan sesuai dengan kewenangannya. Dengan demikian, pengaturan mengenai basis kerjasama masih kabur karena tidak mengatur apa saja urusan pemerintahan yang bisa dijalankan melalui kerjasama antar Desa.

Kedua, format kerjasama yang diatur dalam Undang-undang maupun Peraturan Pemerintah masih bersifat horisontal, dalam arti hanya mengatur kerjasama antar Desa. Bagaimana dengan kemungkinan kerjasama antar Desa dengan pemerintah kabupaten? Desain kearah kerjasama dengan pemerintah kabupaten menjadi penting untuk diperbincangkan karena dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 juga dikenal dengan urusan pemerintahan

Page 237: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

226 HUKUM PEMERINTAHAN DESA

yang bersifat concurrent. Urusan yang bersifat concurrent artinya urusan pemerintahan yang penanganannya dalam bagian atau bidang tertentu dapat dilakukan bersama antara pemerintah dengan pemerintah daerah. Pertanyaannya mengapa urusan concurrent tidak diberlakukan dalam konteks hubungan Desa dengan kabupaten.

Ketiga, apa yang menjadi prinsip dasar dalam membangun kerjasama antar Desa? Undang-undang maupun PP seharusnya mengatur prinsip yang bisa dipakai oleh Desa dalam membangun kerjasama, misalnya: prinsip eksternalitas (bahwa kerjasama seharusnya memperhatikkan dampak/akibat yang ditimbulkan dalam kerjasama tersebut); prinsip akuntabilitas (dimana kerjasama itu menjamin berjalankan akuntabilitas); prinsip efisiensi (dimana kerjasama dilakukan dengan memperhatijkan sumberdaya untuk mendapatkan ketepatan, kepastian dan kecepatan hasil dan terakhir); prinsip keserasian (kerjasama diselenggarakan dengan prinsip saling berhubungan dan saling mendukung).

Keempat, menyangkut format kelembagaan kerjasama antar Desa. Pertanyaan kunci yang muncul adalah apakah format kerjasama antar Desa dilakukan melalui pembentukkan Badan kerjasama antar Desa. Secara politik pilihan untukmengedepankan Badan kerjasama antar Desa hanya memayungi kepentingan Desa yang bersifat horisontal. Namun, Desain ini tidak memiliki ruang dan kapasitas politik untuk membangun akses vertikal. Hal ini berbeda dengan model Asosiasi yang pernah dikenalkan oleh Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999.

Kelima, besarnya ruang intervensi kabupaten dalam pengaturan tentang kerjasama antar Desa. Hal ini sangat terkait dengan keharusan setiap kerjasama dilaporkan pada Bupati/ Walikota melalui Camat. Lebih-lebih, pengaturan lanjutan

Page 238: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

227Perspektif, Konseptualisasi dan Konteks Yuridis

kerjasama antar Desa atau kerjasama Desa dengan pihak ketiga dimanatkan oleh UU harus melalui Peraturan Daerah. Dalam realitasnya, pemberian ruang yang besar bagi kabupaten disatu sisi justru membuat ruang inisiatif dan kreativitas dari Desa menjadi terbatas.

Keenam, menyangkut model penyelesaian (resolusi) konflik antar Desa. Ketentuan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dan Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 menempatkan peran Camat dan Bupati dalam memfasilitasi penyelesaian konflik antar Desa. Pertanyaannya adalah bagaimana dengan model penyelsaian konflik yang berbasiskan budaya atau adat yang sudah berkembang antar Desa. Apakah hal terakhir ini merupakan hal yang sifatnya sekunder ataukah sudah tidak diakui lagi eksistensinya?

8. Hubungan dengan Kecamatan

Seiring dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, pemerintah kecamatan mengalami perubahan status, dari “perangkat wilayah’ dalam asas dekonsentrasi menjadi “perangkat daerah” dalam asas desentralisasi.

Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 120 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, perangkat daerah kabupaten/kota terdiri atas sekretariat daerah, sekretariat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Dinas Daerah, Lembaga Teknis Daerah, Kecamatan, dan Kelurahan. Hal ini ditegaskan kembali dalam Pasal 1 angka 4 Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 yang menyatakan bahwa kecamatan adalah wilayah kerja camat sebagai perangkat daerah kabupaten dan daerah kota. Sebagai konsekuensi dari

Page 239: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

228 HUKUM PEMERINTAHAN DESA

perubahan status tersebut adalah Camat bukan lagi sebagai kepala wilayah. Camat bukan lagi menjadi kepala wilayah yang memiliki kekuasaan terhadap wilayah administrasi pemerintahan yang dipimpinnya. Di wilayah Kecamatan, Camat hanyalah sebagai perangkat daerah yang memiliki kedudukan yang sama dengan perangkat daerah lainnya yang ada di kecamatan seperti Kepala Cabang Dinas, Kepala Unit Pengelola Teknis Daerah, dan sebagainya. Dengan demikian, camat tidak dengan serta merta memegang kewenangan penuh untuk menjalankan urusan-urusan pemerintahan umum yang meliputi pengawasan, koordinasi serta kewenangan residu lainnya.

Status wilayah kecamatan pun berubah dari wilayah administrasi menjadi wilayah kerja Camat sebagai perangkat daerah kabupaten/kota. Kini wilayah kecamatan hanya menjadi wilayah kerja dari kantor kecamatan yang merupakan salah satu perangkat daerah unsur lini. Daerah kecamatan bukan lagi menjadi wilayah kekuasaan Camat sebagai kepala atau penguasa wilayah. Daerah kecamatan hanyalah batas spasial bagi operasionalisasi Camat sebagai perangkat daerah.

Sebagaimana diatur dalam Pasal 126 ayat (2) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, kewenangan yang dimiliki oleh kecamatan merupakan hasil pelimpahan sebagian wewenang bupati atau walikota untuk menangani sebagian urusan otonomi daerah. Selain itu, sebagaimana diatur dalam dalam ayat (3), kecamatan juga bertugas menyelenggarakan tugas umum pemerintahan yang meliputi:

(a) mengkoordinasikan kegiatan pemberdayaan masyarakat; (b) mengkoordinasikan upaya penyelenggaraan ketentraman dan

ketertiban umum;

Page 240: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

229Perspektif, Konseptualisasi dan Konteks Yuridis

(c) mengkoordinasikan penerapan dan penegakan peraturan perundang-undangan;

(d) mengkoordinasikan pemeliharaan prasarana dan fasilitas pelayanan umum;

(e) mengkoordinasikan penyelenggaraan kegiatan pemerintahan di tingkat kecamatan;

(f ) membina penyelenggaraan pemerintahan Desa dan/atau kelurahan;

(g) melaksanakan pelayanan masyarakat yang menjadi ruang lingkup tugasnya dan/atau yang belum dapat dilaksanakan pemerintahan Desa atau kelurahan.

Sementara dalam Pasal 127 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 disebutkan bahwa kelurahan dibentuk di wilayah kecamatan dengan Peraturan Daerah berpedoman pada Peraturan Pemerintah. Disampaikan pula dalam Pasal 127 ayat (4) bahwa Lurah diangkat oleh Bupati/ Walikota atas usul Camat dan dalam ayat (5) ditegaskan dalam melaksanakan tugasnya, Lurah bertanggungjawab kepada Bupati/ Walikota melalui Camat. Ketentuan lebih lanjut mengenai kelurahan diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 2005. Dalam melaksanakan tugas dan fungsinya, Lurah melakukan koordinasi dengan Camat dan instansi vertikal yang berada di wilayah kerjanya (Pasal 7 Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 2005). Dalam Pasal 23 Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 2005 disebutkan Pembinaan teknis dan pengawasan penyelenggaraan pemerintahan kelurahan dan lembaga kemasyarakatan dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota dan Camat.

Page 241: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

230 HUKUM PEMERINTAHAN DESA

Pembinaan teknis dan pengawasan Camat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2) meliputi :

(a) memfasilitasi administrasi tata pemerintahan kelurahan; (b) memfasilitasi pengelolaan keuangan kelurahan dan

pendayagunaan aset daerah yang dikelola oleh kelurahan; (c) memfasilitasi penerapan dan penegakan peraturan perundang-

undangan; (d) memfasilitasi pelaksanaan tugas lurah dan perangkat

kelurahan; (e) memfasilitasi upaya penyelenggaraan ketentraman dan

ketertiban umum; (f ) memfasilitasi pengembangan lembaga kemasyarakatan; (g) memfasilitasi pembangunan partisipatif; (h) memfasilitasi kerjasama kelurahan dengan pihak ketiga; dan (i) memfasilitasi pelaksanaan pemberdayaan masyarakat

kelurahan.

Berbeda dengan posisi Camat yang relatif kuat dalam relasi dengan kelurahan, maka posisi kecamatan dalam kaitannya dengan Desa ditekankan pada dua: pertama, intermediary agency (kalau tidak mau dikatakan sebagai “tukang pos”. Hal ini terlihat jelas dalam Pasal 15 ayat (3), Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 disebutkan bahwa laporan penyelenggaraan pemerintahan Desa disampaikan kepada Bupati/Walikota melalui Camat 1 (satu) kali dalam satu tahun dan Laporan akhir masa jabatan Kepala Desa disampaikan kepada Bupati/Walikota melalui Camat dan kepada Badan Permusyawaratan Desa.

Page 242: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

231Perspektif, Konseptualisasi dan Konteks Yuridis

Posisi kedua adalah posisi fasilitator. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 98 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 yang menyebutkan Pemerintah Kabupaten/Kota dan Camat wajib membina dan mengawasi penyelenggaraan pemerintahan Desa dan lembaga kemasyarakatan. Pembinaan dan pengawasan Camat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98, meliputi:

(a) memfasilitasi penyusunan peraturan Desa dan peraturan kepala Desa;

(b) memfasilitasi administrasi tata pemerintahan Desa; (c) memfasilitasi pengelolaan keuangan Desa dan pendayagunaan

aset Desa; (d) memfasilitasi pelaksanaan urusan otonomi daerah Kabupaten/

Kota yang diserahkan kepada Desa; (e) memfasilitasi penerapan dan penegakan peraturan perundang-

undangan; (f ) memfasilitasi pelaksanaan tugas kepala Desa dan perangkat

Desa; (g) memfasilitasi upaya penyelenggaraan ketentraman dan

ketertiban umum; (h) memfasilitasi pelaksanaan tugas, fungsi, dan kewajiban

lembaga kemasyarakatan; (i) memfasilitasi penyusunan perencanaan pembangunan

partisipatif; (j) memfasilitasi kerjasama antar Desa dan kerjasama Desa

dengan pihak ketiga; (k) memfasilitasi pelaksanaan pemberdayaan masyarakat Desa.;

Page 243: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

232 HUKUM PEMERINTAHAN DESA

(l) memfasilitasi kerjasama antar lembaga kemasyarakatan dan kerjasama lembaga kemasyarakatan dengan pihak ketiga;

(m) memfasilitasi bantuan teknis dan pendampingan kepada lembaga kemasyarakatan; dan

(n) memfasilitasi koordinasi unit kerja pemerintahan dalam pengembangan lembaga kemasyarakatan.

Page 244: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

233

BAB XI

PENGATURAN DESA PADA MASA BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG NOMOR

6 TAHUN 2014 TENTANG DESA

A. PENGATURAN DESA

1. Kedudukan Desa

Prinsip utama dalam negara kesatuan adalah negara yang mempunyai kemerdekaan dan kedaulatan atas seluruh wilayah atau daerah yang dipegang sepenuhnya oleh satu pemerintah pusat. Kedaulatan sepenuhnya dari pemerintah pusat disebabkan karena di dalam negara kesatuan tidak terdapat negara-negara yang berdaulat. Meskipun di dalam negara-negara kesatuan wilayah-wilayah negara dibagi dalam bagian-bagian negara tersebut tidak mempunyai kekuatan asli seperti halnya dengan negara-negara bagian dalam bentuk negara federasi.173 Hal ini dalam konteks Negara Republik Indonesia terlihat dalam Pasal 1 ayat (1) dan 18 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

173Rusdianto Sesung, Hukum Otonomi Daerah: Negara Kesatuan, Daerah Istimewa, dan Daerah Otonomi Khusus, PT Refika Aditama, Bandung, 2013. hlm. 11.

Page 245: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

234 HUKUM PEMERINTAHAN DESA

Kedudukan desa sendiri dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak secara eksplisit diatur dalam peraturan perundang-undangan, termasuk di dalamnya adalah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Berdasarkan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa menyatakan bahwa Desa adalah desa dan desa adat atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut Desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Namun demikian, bila telusuri lebih lanjut yaitu Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berbunyi Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, kota itu mempunyai pemerintah daerah yang diatur dengan undang-undang. Undang-undang yang dimaksud di sini adalah undang-undang tentang pemerintahan daerah dan yang saat ini berlaku adalah Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sebagai pengganti dari Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

Dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah tampak jelas kedudukan desa bahwa (1) Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas daerah kabupaten dan kota (2) Daerah kabupaten/kota dibagi atas kecamatan dan kecamatan dibagi atas kelurahan dan/atau desa. Hal ini ditegaskan oleh ketentuan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa bahwa Desa berkedudukan di wilayah kabupaten/kota. Berdasarkan

Page 246: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

235Perspektif, Konseptualisasi dan Konteks Yuridis

ketentuan Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 beserta Pasal 2 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah tampak jelas kedudukan desa dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yaitu menjadi satuan pemerintahan di bawah kabupaten/kota sebagai daerah otonom dan kecamatan yang notabene merupakan wilayah kerja administratif camat.

Walaupun, telah jelas dalam konteks adminsitrasi pemerintahan, desa masuk dalam Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 lalu lebih jelas lagi Pasal 2 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Namun demikian untuk Pasal 18B ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang selama ini juga dianggap beberapa pihak sebagai landasan konstitusional desa, hal ini ternyata masih menjadi perdebatan di kalangan ahli. Perdebatan itu puncaknya adalah dengan adanya tafsir Pasal 18B oleh putusan Mahkamah Konstitusi

Untuk melihat penerapan Pasal 18B ayat (2) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 di Mahkamah Konstitusi, dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi telah ditentukan bahwa salah satu bentuk pengakuan terhadap masyarakat hukum adat sebagai subyek hukum adalah ditentukannya masyarakat hukum sebagai pihak yang dapat mengajukan permohonan pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dalam Pasal 51 ayat (1) huruf b ditegaskan, pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu Kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan

Page 247: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

236 HUKUM PEMERINTAHAN DESA

perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang.174

Menarik untuk diketahui bagaimana implementasi ketentuan Pasal 51 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi dalam beberapa putusan mahkamah antara lain:

a. Putusan Mahkamah Konstitusi Putusan Nomor 010/PUU-I/2003 perihal Pengujian Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2003 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 53 Tahun 1999 tentang Pembentukan Kabupaten Pelalawan, Kabupaten Rokan Hulu, Kabupaten Rokan Hilir, Kabupaten Siak, Kabupaten Karimun, Kabupaten Natuna, Kabupaten Kuantan Singingi dan Kota Batam.175

“…Ketentuan Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 tidaklah dimaksudkan untuk dijadikan dasar pembagian wilayah negara melainkan merupakan penegasan bahwa negara berkewajiban untuk mengakui dan menghormati kesatuan masyarakat hukum adat dan hak-hak tradisionalnya yang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip NKRI, yang diatur dalam undang-undang”.176

b. Mahkamah Konstitusi dalam pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 31/PUU-V/2007 perihal Pengujian Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2007 tentang Pembentukan Kota Tual di Provinsi Maluku,177 telah menentukan tolok ukur adanya kesatuan masyarakat hukum

174Ni’matul Huda, Hukum Pemerintahan Desa: Dalam Konstitusi Indonesia Sejak Kemerdekaan Hingga Era Reformasi, Setara Press, Malang, 2015, hlm. 28.

175Lihat Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.176Ni’matul Huda, “Hukum Pemerintahan Desa…”, Op.Cit., hlm. 29.177Lihat Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.

Page 248: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

237Perspektif, Konseptualisasi dan Konteks Yuridis

adat beserta hak-hak tradisionalnya sebagaimana dimaksud Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 bahwa:

“Suatu kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya yang bersangkutan secara de facto masih ada dan/atau hidup (actual-existence), apabila setidak-tidaknya mengandung unsur-unsur (i) ada masyarakat yang warganya memiliki perasaan kelompok (in-group feeling); (ii) ada pranata pemerintahan adat; (iii) ada harta kekayaan dan/atau benda-benda adat; (iv)ada perangkat norma hukum adat, dan khusus bagi kesatuan masyarakat hukum adat yang bersifat teritorial juga terdapat unsur wilayah hukum adat tertentu.

Selain itu, suatu kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya dimaksud sesuai dengan perkembangan masyarakat apabila keberadaannya diakui berdasarkan undang-undang yang berlaku sebagai pencerminan nilai-nilai yang dianggap ideal dalam masyarakat dewasa ini, baik undang-undang yang bersifat umum maupun bersifat sektoral, seperti bidang agraria, kehutanan, perikanan, dan lain-lain, maupun dalam peraturan daerah dan substansi hak-hak tradisionalnya diakui dan dihormati oleh warga kesatuan masyarakat hukum adat yang bersangkutan maupun masyarakat luas, serta tidak bertentangan dengan hak asasi manusia.

Suatu kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya dianggap sesuai dengan prinsip NKRI apabila tidak mengganggu eksistensi NKRI sebagai satu kesatuan politik dan kesatuan hukum, yaitu: (i) keberadaannya tidak mengancam kedaulatan dan integritas NKRI; dan (ii) substansi norma hukum adatnya sesuai dan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan”.

Page 249: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

238 HUKUM PEMERINTAHAN DESA

c. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 6/PUU-VI/2008 perihal Pengujian Undang-Undang Nomor 51 Tahun 1999 tentang Pembentukan Kabupaten Buol, Kabupaten Morowali, dan Kabupaten Banggai Kepulauan.178 Dalam pertimbangan hukumnya Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa:

“UUD 1945 memang mengakui dan menghormati kesatuan masyarakat adat beserta hak-hak tradisionalnya, namun harus memenuhi empat syarat, yaitu: (i) sepanjang masih hidup, (ii) sesuai dengan perkembangan masyarakat, (iii)sesuai dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan (iv) diatur dalam undang-undang”.179

Bilamana melihat substasi dari ketiga putusan Mahkamah Konstitusi tersebut sangat sulit untuk menggenaralisasi berlakunya Pasal 18B ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai dasar hukum eksistensi desa, oleh karena tidak semua desa yang ada di Negara Republik Indonesia memenuhi kualifikasi kesatuan masyarakat hukum adat yang telah diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi. Adapun beberapa kesatuan masyarakat hukum adat yang masuk dalam kualifikasi Pasal 18B ayat (2) sehingga secara yuridis formal dapat dikatakan sebagai desa/desa adat, yaitu huta/nagori di Sumatra Utara, gampong di Aceh, nagari di Minangkabau, marga di Sumatra bagian selatan, tiuh atau pekon di Lampung, desa pakraman/desa adat di Bali, lembang di Toraja, banua dan wanua di Kalimantan, dan negeri di Maluku.180

178Lihat Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.179Ni’matul Huda, “Hukum Pemerintahan Desa..”, Op.Cit., hlm. 30.180Lihat Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 6 tahun 2014 tentang Desa.

Page 250: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

239Perspektif, Konseptualisasi dan Konteks Yuridis

Sehingga berdasarkan paparan ini dapat ditemukan bahwa kedudukan desa dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebagai entitas kesatuan masyarakat hukum/hukum adat yang memiliki kewenangan berdasarkan hak asal usul, kewenangan lokal berskala desa, dan pelaksanaan tugas pembantuan untuk menyelenggarakan pemerintahan, pembangunan, pembinaan kemasyarakatan, dan pemberdayaan masyarakat desa. Atau secara umum kedudukan desa dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai satuan pemerintah lokal di bawah daerah kabupaten/kota yang menyelenggarakan pelayanan langsung kepada masyarakat desa melalui pemerintah desa.

2. Pemerintahan Desa

a. PengertianPemerintahanDesa

Berdasarkan Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa dinyatakan bahwa Pemerintahan Desa adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Sedangkan yang dimaksud dengan Pemerintah Desa dalam Pasal 1 angka 3 adalah kepala desa atau yang disebut dengan nama lain dibantu perangkat desa sebagai unsur penyelenggara pemerintahan desa. Lalu yang dimaksud dengan Badan Permusyawaratan Desa (BPD) atau yang disebut dengan nama lain dalam Pasal 1 angka 4 adalah lembaga yang melaksanakan fungsi pemerintahan yang anggotanya merupakan wakil dari penduduk desa berdasarkan keterwakilan wilayah dan ditetapkan secara demokratis. Ramlan Surbakti terkait dengan perbedaan konsep antara pemerintah dan pemerintahan menyatakan bahwa antara pemerintah dan

Page 251: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

240 HUKUM PEMERINTAHAN DESA

pemerintahan itu berbeda artinya, pemerintahan menyangkut tugas dan kewenangan, sedangkan pemerintah merupakan aparat yang menyelenggarakan tugas dan kewenangan negara.181

b. Kelembagaan Desa

Sebagaimana termaktub dalam penjelasan umum Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, di dalam undang-undang ini diatur mengenai kelembagaan desa/desa adat, yaitu lembaga pemerintahan desa/desa adat yang terdiri atas Pemerintah Desa/Desa Adat dan Badan Permusyawaratan Desa/Desa Adat, Lembaga Kemasyarakatan Desa, dan Lembaga Adat.

Kepala Desa/Desa Adat atau yang disebut dengan nama lain mempunyai peran penting dalam kedudukannya sebagai kepanjang tangan negara yang dekat dengan masyarakat dan sebagai pemimpin masyarakat. Dengan posisi yang demikian itu, prinsip pengaturan tentang Kepala Desa/Desa Adat adalah:

a. sebutan Kepala Desa/Desa Adat disesuaikan dengan sebutan lokal;

b. Kepala Desa/Desa Adat berkedudukan sebagai kepala pemerintahan desa/desa adat dan sebagai pemimpin masyarakat;

c. Kepala Desa dipilih secara demokratis dan langsung oleh masyarakat setempat, kecuali bagi desa adat dapat menggunakan mekanisme lokal; dan

181Didik Sukriono, 2008, “Pemerintah Desa dalam Politik Hukum”, Jurnal Law Enforcement, Vol. 2, No. 1, hlm. 4.

Page 252: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

241Perspektif, Konseptualisasi dan Konteks Yuridis

d. pencalonan Kepala Desa dalam pemilihan langsung tidak menggunakan basis partai politik sehingga Kepala Desa dilarang sebagai pengurus partai politik.

Mengingat kedudukan, kewenangan, dan keuangan desa yang semakin kuat, penyelenggaraan pemerintahan desa diharapkan lebih akuntabel yang didukung dengan sistem pengawasan dan keseimbangan antara pemerintah desa dan lembaga desa. Lembaga desa khususnya Badan Permusyawaratan Desa (BPD) yang kedudukannya mempunyai fungsi penting dalam menyiapakan kebijakan pemerintahan desa bersama Kepala Desa, harus mempunyai visi dan misi yang sama dengan Kepala Desa sehingga Badan Permusyawaratan Desa (BPD) tidak dapat menjatuhkan Kepala Desa yang dipilih secara demokratis oleh masyarakat desa.

Badan Permusyawaratan Desa (BPD) merupakan badan permusyawaratan di tingkat desa yang turut membahas dan menyepakati berbagai kebijakan dalam penyelenggaraan pemerintahan desa. Dalam upaya meningkatkan kinerja kelembagaan di tingkat desa, memperkuat kebersamaan, serta meningkatkan partisipasi dan pemberdayaan masyarakat, pemerintah desa dan/atau Badan Permusyawaratan Desa (BPD) memfasilitasi penyelenggaraan Musyawarah Desa. Musyawarah Desa atau yang disebut dengan nama lain adalah forum musyawarah antara Badan Permusyawaratan Desa (BPD), pemerintah desa, dan unsur masyarakat yang diselenggarakan oleh Badan Permusyawaratan Desa (BPD) untuk memusyawarahkan dan menyepakati hal yang bersifat strategis dalam penyelenggaraan pemerintahan desa. Hasil Musyawarah Desa dalam bentuk kesepakatan yang dituangkan dalam keputusan hasil musyawarah

Page 253: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

242 HUKUM PEMERINTAHAN DESA

dijadikan dasar oleh Badan Permusyawaratan Desa (BPD) dalam menetapkan kebijakan pemerintahan desa.

Selain pemerintah desa dan Badan Permusyawaratan Desa (BPD) juga terdapat Lembaga Kemasyarakatan Desa. Lembaga Kemasyarakatan Desa meliputi rukun tetangga, rukun warga, pembinaan kesejahteraan keluarga, karang taruna, dan lembaga pemberdayaan masyarakat atau yang disebut dengan nama lain. Lembaga Kemasyarakatan Desa bertugas membantu pemerintah desa dan merupakan mitra dalam memberdayakan masyarakat desa. Lembaga Kemasyarakatan Desa berfungsi sebagai wadah partisipasi masyarakat desa dalam pembangunan, pemerintahan, kemasyarakatan, dan pemberdayaan yang mengarah terwujudnya demokratisasi dan transparansi di tingkat masyarakat serta menciptakan akses agar masyarakat lebih berperan aktif dalam kegiatan pembangunan.182

Terakhir, yaitu Lembaga Adat Desa. Kesatuan masyarakat hukum adat yang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan pusat kehidupan masyarakat yang bersifat mandiri. Dalam kesatuan masyarakat hukum adat tersebut dikenal adanya lembaga adat yang telah tumbuh dan berkembang di dalam kehidupan masyarakatnya. Dalam eksistensinya, masyarakat hukum adat memiliki wilayah hukum adat dan hak atas harta kekayaan di dalam wilayah hukum adat tersebut serta berhak dan berwenang untuk mengatur, mengurus, dan menyelesaikan berbagai permasalahan kehidupan masyarakat desa berkaitan dengan adat istiadat dan hukum adat yang berlaku. Lembaga Adat

182Jimly Asshiddiqie, 2012, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, Jakarta, Sinar Grafika.

Page 254: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

243Perspektif, Konseptualisasi dan Konteks Yuridis

Desa merupakan mitra pemerintah desa dan lembaga desa lainnya dalam memberdayakan masyarakat desa.

3. Kewenangan Pemerintahan Desa

Secara umum dapat dikatakan bahwa, hadirnya satuan pemerintahan teritorial lebih kecil dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yaitu Pemerintahan Daerah, yang di dalamnya mempunyai kewenangan untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya, dapat dijelaskan dengan beberapa alasan sebagai berikut :183

1. Sebagai perwujudan fungsi dan peran negara modern yang lebih menekankan pada upaya memajukan kesejahteraan umum (welfarestate). Peran tersebut membawa konsekuensi pada semakin luasnya campur tangan negara dalam mengatur dan mengurus aktvitas warga negara demi pencapaian tujuan negara. Fakta kemajemukan (heterogenis) masyarakat Indonesia, baik dari segi teritorial, suku, golongan, agama, membawa konsekuensi kepada kompleksnya persoalan-persoalan kemasyarakatan yang harus dipecahkan oleh negara. Kenyataan ini mendorong negara untuk membuka jalur partisipasi masyarakat untuk ikut memikirkan dan menyelesaikan persoalan-persoalan tersebut, salah satunya yaitu dengan memberikan kesempatan kepada satuan pemerintah teritorial terdekat dengan rakyat, yaitu pemerintah daerah (local government) untuk terlihat dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan.

183Lukman Hakim, 2012, Filosofi Kewenangan Organ dan Lembaga Daerah: Perspektif Teori Otonomi & Desentralisasi dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara Hukum dan Kesatuan, Malang, Setara Press, hlm. 33.

Page 255: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

244 HUKUM PEMERINTAHAN DESA

Pemerintah daerah diberikan kewenangan-kewenangan tertentu untuk mengatur dan mengurus aktivitas pemerintahan dan pembangunan di wilayahnya.

2. Hadirnya otonomi daerah dapat pula didekati dari perspektif politik. Negara sebagai organisasi kekuasaan, yang didalamnya terdapat lingkungan-lingkungan kekuasaan, baik pada tingkat suprastruktur maupun infrastruktur, cenderung menyalahgunakan kekuasaan. Untuk menghindari hal ini, diperlukan pemencaran kekuasaan (dispersed of power). Pemencaran kekuasaan negara dalam rangka penyelenggaraan pemerintah dilakukan dengan membentuk satuan-satuan teritorial yang lebih kecil dan dekat dengan rakyat. Satuan teritorial tersebut dikenal dengan sebutan daerah-daerah besar dan kecil (sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945).

Dari perspektif manajemen pemerintah negara modern, adanya kewenangan yang diberikan kepada daerah yaitu berupa keleluasaan dan kemandirian untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahannya, merupakan perwujudan dari adanya tuntutan efisiensi dan efektivitas pelayanan kepada masyarakat demi mewujudkan kesejahteraan umum.

Penerapan keleluasaan dan kemandirian untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahannya melalui desentralisasi bilamana ditarik dalam tata hubungan desa dengan pemerintah supradesa (pemerintah di atasnya), maka akan tercermin dalam beberapa hal. Pertama, adanya pelimpahan kewenangan wewenang mengenai pengaturan pemerintahan desa dari pemerintah pusat kepada pemerintah kabupaten/kota. Dengan demikian pengaturan desa ditetapkan dalam peraturan daerah kabupaten/kota dengan

Page 256: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

245Perspektif, Konseptualisasi dan Konteks Yuridis

memperhatikan pengakuan dan penghormatan terhadap hak asal-usul dan adat istiadat desa. Pengaturan ini merubah konstelasi dalam keseluruhan arena-arena politik, karena akan terjadi pergeseran arena pergulatan politik dari tingkat nasional ke daerah kabupaten/kota.184 Pergeseran arena pergulatan politik tersebut hendaknya diimbangi dengan kesiapan pemerintah daerah dalam menata sistem pemerintahannya agar tercipta penyelenggaraan pemerintahan yang ideal.185

Pelimpahan kewenangan wewenang mengenai pengaturan pemerintahan desa dari pemerintah pusat kepada pemerintah kabupaten/kota tercermin dalam Pasal 14 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa yaitu “Pembentukan, penghapusan, penggabungan, dan/atau perubahan status desa menjadi kelurahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, dan Pasal 11 atau kelurahan menjadi desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ditetapkan dalam peraturan daerah”. Ketentuan ini telah memberikan gambaran adanya kewenangan besar dari kabupaten/kota terhadap pengaturan desa sebagai pengejawantahan desentralisasi. Hal ini diperkuat oleh Pasal 12 ayat (2) huruf g Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah bahwa “Urusan pemerintahan wajib yang tidak berkaitan dengan pelayanan dasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) meliputi: g. pemberdayaan masyarakat dan desa”. Urusan pemerintahan wajib merupakan bagian dari urusan pemerintahan konkruen. Sedangkan, urusan pemerintahan konkruen sendiri berdasarkan Pasal 9 ayat (4) Undang-Undang Nomor 23 Tahun

184Moch Solekhan, 2014, Penyelenggaraan Pemerintahan Desa Berbasis Partisipasi Masyarakat, Malang, Setara Press, hlm. 37.

185Earlita Korompis, 2013, “Kinerja Badan Permusyawaratan Desa dalam Menjalankan Fungsi Pengawasan Pemerintahan”, Jurnal Eksekutif, Vol. 2, No. 1, hlm. 5.

Page 257: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

246 HUKUM PEMERINTAHAN DESA

2014 tentang Pemerintahan Daerah merupakan dasar pelaksanaan otonomi daerah. Sehingga sangat relevan dan berdasarkan hukum yang kuat kewenangan mengatur desa berada pada kabupaten/kota.

Kedua, memungkinkan munculnya variasi-variasi di tiap-tiap daerah mengenai model-model pemerintahan di tingkat desa akibat perubahan kebijakan dari yang bersifat sentralistik mengedepankan uniformitas menuju kebijakan yang desentralistik dan memperhatikan heterogenitas budaya dan politik lokal.186

Kebijakan yang desentralistik dan memperhatikan heterogenitas budaya dan politik lokal tersebut tercermin dalam Pasal 19 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Ketentuan ini merupakan pengejawantahan penyempurnaan kewenangan yang dimiliki desa sebagaimana diatur dalam Pasal 7 Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa yang merupakan peraturan turunan dari Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang hanya mengatur mengenai kewenangan desa di bidang pemerintahan. Sedangkan berdasarkan Pasal 18 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa mengatur bahwa “Kewenangan Desa meliputi kewenangan di bidang penyelenggaraan Pemerintahan Desa, pelaksanaan Pembangunan Desa, pembinaan kemasyarakatan Desa, dan pemberdayaan masyarakat Desa berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan adat istiadat Desa”.

186Moch Solekhan, Op.Cit., hlm. 37.

Page 258: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

247Perspektif, Konseptualisasi dan Konteks Yuridis

Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa

Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa

Pasal 7urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan desa mencakup:a. Urusan pemerintahan yang sudah

ada berdasarkan hak asal usul desa;

b. U r u s a n p e m e r i n t a h a n yang menjadi kewenangan kabupaten/kota yang diserahkan pengaturannya kepada desa;

c. Tu g a s p e m b a n t u a n d a r i Pemerintah, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota; dan

d. Urusan pemerintahan lainnya yang oleh peraturan perundang-undangan diserahkan kepada desa.

Pasal 19Kewenangan Desa meliputi:a. kewenangan berdasarkan hak asal-

usul;b. kewenangan lokal berskala Desa;c. kewenangan yang ditugaskan

oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, atau Pemerintah Kabupaten/Kota; dan

d. kewenangan lain yang ditugaskan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, Provinsi, atau Pemerintah Kabupaten/Kota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Perbandingan Kewenangan Desa antara Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa dan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.

Dari keempat kewenangan yang terdapat dalam Pasal 19 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa tersebut yang mencerminkan kebijakan desentralistik adalah kewenangan berdasarkan hak asal-usul dan kewenangan lokal berskala desa. Sedangkan dua kewenangan lainnya yaitu kewenangan yang ditugaskan oleh pemerintah, pemerintah daerah provinsi, atau pemerintah kabupaten/kota dan kewenangan lain yang ditugaskan oleh pemerintah, pemerintah daerah, provinsi, atau pemerintah

Page 259: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

248 HUKUM PEMERINTAHAN DESA

kabupaten/kota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan merupakan bentuk dari tugas pembantuan. Secara terperinci kewenangan berdasarkan hak asal-usul dan kewenangan lokal berskala desa diatur dalam Pasal 34 Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.

Pasal 34

(1) Kewenangan Desa berdasarkan hak asal-usul sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 huruf a paling sedikit terdiri atas:a. sistem organisasi masyarakat adat;b. pembinaan kelembagaan masyarakat;c. pembinaan lembaga dan hukum adat;d. pengelolaan tanah kas Desa; dane. pengembangan peran masyarakat Desa.

(2) Kewenangan lokal berskala Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 huruf b paling sedikit terdiri atas kewenangan:a. pengelolaan tambatan perahu;b. pengelolaan pasar Desa;c. pengelolaan tempat pemandian umum;d. pengelolaan jaringan irigasi;e. pengelolaan lingkungan permukiman masyarakat Desa;f. pembinaan kesehatan masyarakat dan pengelolaan pos

pelayanan terpadu;g. pengembangan dan pembinaan sanggar seni dan belajar;h. pengelolaan perpustakaan Desa dan taman bacaan;i. pengeloaan embung Desa;

Page 260: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

249Perspektif, Konseptualisasi dan Konteks Yuridis

j. pengelolaan air minum berskala Desa; dank. pembuatan jalan Desa antarpermukiman ke wilayah

pertanian.(3) Selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan

ayat (2), menteri dapat menetapkan jenis kewenangan Desa sesuai dengan situasi, kondisi, dan kebutuhan lokal.

Ketentuan Pasal 34 Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa ini secara teknis diperjelas dengan Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pedoman Kewenangan Berdasarkan Hak Asal Usul dan Kewenangan Lokal Berskala Desa. Dalam Pasal 1 angka 3 menyatakan bahwa kewenangan berdasarkan hak asal-usul adalah hak yang merupakan warisan yang masih hidup dan prakarsa desa atau prakarsa masyarakat desa sesuai dengan perkembangan kehidupan masyarakat. Selanjutnya, Pasal 1 angka 4 menyatakan bahwa kewenangan lokal berskala desa adalah kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat desa yang telah dijalankan oleh desa atau mampu dan efektif dijalankan oleh desa atau yang muncul karena perkembangan desa dan prakarsa masyarakat desa.

Adapun kewenangan berdasarkan hak asal usul dan kewenangan lokal berskala desa secara teknis dan terperinci juga diatur dalam Pasal 2, Pasal 5, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13, dan Pasal 14 Peraturan Menteri Desa,Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pedoman Kewenangan Berdasarkan Hak Asal Usul dan Kewenangan Lokal Berskala Desa.

Page 261: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

250 HUKUM PEMERINTAHAN DESA

Pasal 2

Ruang lingkup kewenangan berdasarkan hak asal-usul Desa meliputi:

a. sistem organisasi perangkat desa;b. sistem organisasi masyarakat adat;c. pembinaan kelembagaan masyarakat;d. pembinaan lembaga dan hukum asat;e. pengelolaan tanah kas Desa;f. pengelolaan tanah desa atau tanah hak milik Desa yang

menggunakan sebutan setempat;g. pengelolaan tanag bengkok;h. pengelolaan tanah pecatu;i. pengelolaan tanah titisara; danj. pengembangan peran masyarakat Desa.

Pasal 5

Kriteria kewenangan lokal berskala Desa meliputi:a. kewenangan yang mengutamakan kegiatan pelayanan

dan pemberdayaan masyarakat;b. kewenangan yang mempunyai ruang lingkup pengaturan

dan kegiatan hanya di dalam wilayah dan masyarakat Desa yang mempunyai dampak internal Desa;

c. kewenangan yang berkaitan dengan kebutuhan dan kepentingan sehari-hari masyarakat Desa;

d. kegiatan yang telah dijalankan oleh Desa atas dasar prakarsa Desa;

Page 262: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

251Perspektif, Konseptualisasi dan Konteks Yuridis

e. program kegiatan pemerintah, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota dan pihak ketiga yang telah diserahkan dan dikelola oleh Desa; dan

f. kewenangan lokal berskala Desa yang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan tentang pembagian kewenangan pemerintah, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota.

Pasal 7

Kewenangan lokal berskala Desa meliputi:a. bidang pemerintahan Desa;b. pembangunan Desa;c. kemasyarakatan Desa; dand. pemberdayaan masyarakat Desa.

Pasal 8

Kewenangan lokal berskala Desa di bidang pemerintahan Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf a antara lain meliputi:

a. penetapan dan penegasan batas Desa;b. pengembangan sistem administrasi dan informasi Desa;c. pengembangan tata ruang dan peta sosial Desa;d. pendataan dan pengklasifikasian tenaga kerja Desa;e. pendataan penduduk yang bekerja pada sektor pertanian

dan non sektor pertanian;f. pendataan penduduk menurut jumlah penduduk

usia kerja, angkatan kerja, pencari kerja, dan tingkat partisipasi angakatan kerja;

Page 263: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

252 HUKUM PEMERINTAHAN DESA

g. pendataan penduduk berumur 15 tahun ke atas yang bekerja menurut lapangan pekerjaan jenis pekerjaan dan status pekerjaan;

h. pendataan penduduk yang bekerja di luar negeri;i. penetapan organisasi pemerintah Desa;j. pembentukan Badan Permusyawaratan Desa;k. penetapan perangkat Desa;l. penetapan BUM Desa;m. penetapan APB Desa;n. penetapan peraturan Desa;o. penetapan kerja sama antar-Desa;p. pemberian izin penggunaan gedung pertemuan atau

balai Desa;q. pendataan potensi Desa;r. pemberian izin hak pengelolaan atas tanah Desa;s. penetapan Desa dalam keadaan darurat seperti kejadian

bencana, konflik, rawan pangan, wabah penyakit, gangguan keamanan, dan kejadian luar biasa lainnya dalam skala Desa;

t. pengelolaan arsip Desa; danu. penetapan pos keamanan dan pos kesiapsiagaan lainnya

sesuai dengan kebutuhan dan kondisi sosial masyarakat Desa.

Pasal 9

Kewenangan lokal berskala Desa di bidang pembangunan Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf b meliputi:

Page 264: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

253Perspektif, Konseptualisasi dan Konteks Yuridis

a. pelayanan dasar Desa;b. sarana dan prasarana Desa;c. pengembangan ekonomi lokal Desa; dand. pemanfaatan sumberdaya alam dan lingkungan Desa.

Pasal 10

Kewenangan lokal berskala Desa di bidang pelayanan dasar sebagimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf a antara lain meliputi:

a. pengembangan pos kesehatan Desa dan Polindes;b. pengembangan tenaga kesehatan Desa;c. pengelolaan dan pembinaan Posyandu melalui:

1) layanan gizi untuk balita;2) pemeriksaan ibu hamil;3) pemberian makanan tambahan;4) penyuluhan kesehatan;5) gerakan hidup bersih dan sehat;6) penimbangan bayi; dan7) gerakan sehat untuk lanjut usia.

d. pembinaan dan pengawasan upaya kesehatan tradisional;e. pemantauan dan pencegahan penyalahgunaan narkotika

dan zat adiktif di Desa;f. pembinaan dan pengelolaan pendidikan anak usia dini;g. pengadaan dan pengelolaan sanggar belajar, sanggar seni

budaya, dan perpustakaan Desa; danh. fasilitasi dan motivasi terhadap kelompok-kelompok

belajar di Desa.

Page 265: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

254 HUKUM PEMERINTAHAN DESA

Pasal 11

Kewenangan lokal berskala Desa di bidang sarana dan prasarana Desa sebagimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf b antara lain meliputi:

a. pembangunan dan pemeliharaan kantor dan balai Desa;b. pembangunan dan pemeliharaan jalan Desa;c. pembangunan dan pemeliharaan jalan usaha tani;d. pembangunan dan pemeliharaan embung Desa;e. pembangunan energi baru dan terbarukan;f. pembangunan dan pemeliharaan rumah ibadah;g. pengelolaan pemakaman Desa dan petilasan;h. pembangunan dan pemeliharaan sanitasi lingkungan;i. pembangunan dan pengelolaan air bersih berskala Desa;j. pemabangunan dan pemeliharaan irigasi tersier;k. pembangunan dan pemeliharaan lapangan Desa;l. pembangunan dan pemeliharaan taman Desa;m. pembangunan dan pemeliharaan serta pengelolaan

saluran untuk budidaya perikanan; dann. pengembangan sarana dan prasarana produksi di Desa.

Pasal 12

Kewenangan lokal berskala Desa di bidang pengembangan ekonomi lokal Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf c anatara lain meliputi:

a. pembangunan dan pengelolaan pasar Desa dan kios Desa;

b. pembangunan dan pengelolaan tempat pelelangan ikan mulik Desa;

Page 266: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

255Perspektif, Konseptualisasi dan Konteks Yuridis

c. pengembangan usaha mikro berbasis Desa;d. pendayagunaan keuangan mikro berbasis Desa;e. pembangunan dan pengelolaan keramba jaring apung

dan bagan ikan;f. pembangunan dan pengelolaan lumbung pangan dan

pentapan cadangan pangan Desa;g. penetapan komoditas unggulan pertanian dan perikanan

Desa;h. pengaturanpengaturan pelaksanaan penanggulangan

haman dan penyakit pertanian dan perikanan secara terpadu;

i. penetapan jenis pupuk dan pakan organik untuk pertanian dan perikanan;

j. pengembangan benih lokal;k. pengembangan ternak secara kolektif;l. pembangunan dan pengelolaan energi mandiri;m. pendirian dan pengelolaan BUM desa;n. pembangunan dan pengelolaan tambatan perahu;o. pengelolaan padang gembala;p. pengembangan wisata Desa di luar rencana induk

pengembangan pariwisata kabupaten/kota;q. pengelolaan balai benih ikan;r. pengelolaan teknologi tepat guna, pengelolaan hasil

pertanian dan perikanan; dans. pengembangan sisitem usaha produksi pertanian yang

bertumpu pada sumberdaya, kelembagaan dan budaya lokal.

Page 267: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

256 HUKUM PEMERINTAHAN DESA

Pasal 13

Kewenangan lokal berskala Desa di bidang kemasyarakatan Desa sebagiamana dimaksud dalam Pasal 7 huruf c meliputi:

a. membina keamanan, ketertiban dan ketentraman wilayah dan masyarakat Desa;

b. membina kerukunan warga masyarakat Desa;c. memelihara perdamaian, menangani konflik dan

melakukan mediasi di Desa; dand. melestarikan dan mengembangkan gotong royong

masyarakat Desa.

Pasal 14

Kewenangan lokal berskala Desa di bidang pemberdayaan masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf D antara lain:

a. pengembangan seni budaya lokal;b. pengorganisasian melalui pembentukan dan fasilitasi

lembaga kemasyarakatan dan lembaga adat;c. fasilitasi kelompok-kelompok masyarakat melalui:

1) kelompok tani;2) kelompok nelayan;3) kelompok seni budaya; dan4) kelompok masyarakat lain di Desa.

d. pemberian santunan sosial kepada keluarga fakir miskin;e. fasilitasi terhadap kelompok-kelompok rentan,

kelompok-kelompok masyarakat miskin, perempuan, masyarakat adat, dan difabel;

Page 268: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

257Perspektif, Konseptualisasi dan Konteks Yuridis

f. pengorganisasian melalui pembentukan dan fasilitasi paralegal untuk memberikan bantuan hukum kepada warga masyarakat Desa;

g. analisis kemiskinan secara partisipatif di Desa;h. penyelenggaraan promosi kesehatan dan gerakan hidup

bersih dan sehat;i. pengorganisasian melalui pembentukan dan fasilitasi

kader pembangunan dan pemberdayaan masyarakat;j. peningkatan kapasitas melalui pelatihan usaha ekonomi

Desa;k. pendayagunaan teknologi tepat guna; danl. peningkatan kapasitas masyarakat melalui:

1) kader pemberdayaan masyarakat Desa;2) kelompok usaha ekonomi produktif;3) kelompok perempuan;4) kelompok tani;5) kelompok masyarakat miskin;6) kelompok nelayan;7) kelompok pengrajin;8) kelompok pemerhati dan perlindungan anak;9) kelompok pemuda; dan10) kelompok lain sesuai kondisi Desa.

Kewenangan berdasarkan hak asal-usul dan kewenangan lokal berskala desa merupakan bentuk pengakuan terhadap desa atau disebut dengan nama lain, sebagai entitas politik, kultur, dan hukum. Pengakuan terhadap desa sebagai sebuah entitas politik, budaya, dan hukum merupakan sebuah kemajuan dan pergeseran politik yang sangat signifikan terhadap model penyelenggaraan

Page 269: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

258 HUKUM PEMERINTAHAN DESA

pemerintahan daerah pada orde baru yang cenderung sentralistik serta melakukan politik penyeragaman melalui Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa, tanpa mengindahkan keberagaman kultur masyarakat adat dan bentuk pemerintahan asli lokal.

Ketiga, intervensi pemerintahan supradesa dalam pemilihan kepala desa dihilangkan dengan dihapuskannya kewenangan panitia litsus yang dibentuk pemerintah kabupaten/kota untuk menentukan persyaratan kelulusan kelulusan dalam rekruitmen kepala desa. Dengan demikian, pemilihan kepala desa menjadi domain masyarakat desa. Dalam praktiknya kepala desa dilantik oleh bupati, merupakan pejabat publik yang harus mempertanggungjawabkan jabatannya kepada rakyat melalui Badan Permusyawaratan Desa (BPD). Hanya saja yang menjadi domain kabupaten/kota adalah pada penyusunan peraturan daerah yang berhubungan dengan tata cara pemilihan kepala desa, teknis dan pelaksanannya diserahkan kembali kepada masyarakat desa melalui suatu panitia.187

Dengan tidak adanya intervensi dari pemerintahan supradesa ini telah menggabarkan praktik kebijakan yang desentralistik dan memperhatikan heterogenitas budaya dan politik lokal yang ada di desa.

Keempat, bantuan pemerintahan supradesa untuk desa masih dimungkinkan, tetapi harus disertani dengan pembiayaan, sebagai bentuk dari pelaksanaan tugas pembantuan.188 Hal ini sejalan dengan Pasal 19 huruf c dan d yaitu adanya kewenangan yang ditugaskan oleh pemerintah, pemerintah daerah drovinsi, atau pemerintah kabupaten/kota dan kewenangan lain yang ditugaskan

187Ibid., hlm. 38.188Ibid.

Page 270: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

259Perspektif, Konseptualisasi dan Konteks Yuridis

oleh pemerintah, pemerintah daerah, provinsi, atau pemerintah kabupaten/kota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Kelima, adanya peluang diversifikasi penggalian dan pengelolaan sumber-sumber keuangan desa. Artinya, desa mempunyai kewenangan yang lebih luas menggali dan mengelola keuangan desa. Selain memperoleh sumber kekayaan desa maupun dana perimbangan dari supradesa, desa juga bisa memiliki badan usaha sendiri.189 Hal ini dilakukan sebagai modal utama dalam mempersiapkan diri bagi desa dan elemen di dalamnya untuk menghadapi tantangan di era globalisasi yang harus memiliki daya saing yang tinggi.190

4. Keuangan Desa

Dalam Pasal 71 ayat (1) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa bahwa keuangan desa adalah semua hak dan kewajiban desa yang dapat dinilai dengan uang serta segala sesuatu berupa uang dan barang yang berhubungan dengan pelaksanaan hak dan kewajiban desa.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, desa mempunyai sumber pendapatan berupa pendapatan asli desa, bagi hasil pajak daerah dan retribusi daerah kabupaten/kota, bagian dari dana perimbangan keuangan pusat dan daerah yang diterima oleh kabupaten/kota, alokasi anggaran dari Anggaran Pendapatn dan Belanja Negara, bantuan keuangan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah provinsi dan Anggaran Pendapatan

189Ibid., hlm. 39.190Wahyuni Refi dan Ziyad Falahi, 2014, Desa Cosmopolitan: Globalisasi dan Masa

Depan Kekayaan Indonesia, Jakarta, Change Publication, hlm. viii.

Page 271: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

260 HUKUM PEMERINTAHAN DESA

dan Belanja Daerah kabupaten/kota, serta hibah dan sumbangan yang tidak mengikat dari pihak ketiga. Sumber pendapatan desa tersebut secara keseluruhan digunakan untuk mendanai seluruh kewenangan yang menjadi tanggung jawab desa. Dana tersebut digunakan untuk mendanai penyelenggaraan kewenangan desa yang mencakup penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan, pemberdayaan masyarakat, dan kemasyarakatan.191

Hal yang menarik dan baru dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa berkaitan dengan keuangan desa adalah adanya dana desa. Sebagaimana termaktub dalam Pasal 1 angka 2 Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2014 tentang Dana Desa yang Bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara bahwa dana desa adalah dana yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang diperuntukan bagi desa yang ditransfer melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah kabupaten/kota dan digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan, pelaksanaan pembangunan, pembinaan kemasyarakatan, dan pemberdayaan masyarakat.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, desa diberikan kewenangan untuk mengatur dan mengurus kewenangannya sesuai dengan kebutuhan dan prioritas desa. Hal itu berarti dana desa akan digunakan untuk mendanai keseluruhan kewenangan desa sesuai dengan kebutuhan dan prioritas dana desa tersebut. Namun, mengingat dana desa bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, untuk mengoptimalkan penggunaan dana desa, pemerintah diberikan kewenangan untuk menetapkan prioritas penggunaan dana desa untuk emndukung program pembangunan desa dan pemberdayaan masyarakat desa.

191Lihat Penjelasan Umum Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2014 tentang Dana Desa yang Bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.

Page 272: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

261Perspektif, Konseptualisasi dan Konteks Yuridis

Penetapan prioritas penggunaan dana tersebut tetap sejalan dengan kewenangan yang menjadi tanggung jawab desa.192

Alokasi anggaran untuk dana desa ditetapkan sebesar 10 persen dari total dana transfer ke daerah dan akan dipenuhi secara bertahap sesuai dengan kemampuan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Dalam masa transisi, sebelum dana desa mencapai 10 persen, anggaran dana desa dipenuhi melalui realokasi dari belanja pusat dari program yang berbasis desa. Dalam hal dana desa telah dipenuhi sebesar 10 persen dari total dana transfer daerah, penganggaran sepenuhnya mengikuti mekanisme penganggaran dana bendahara umum negara yang diatur sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.193

Dalam rangka mewujudkan pengelolaan dana desa yang tertib, transparan, akuntabel, dan berkualitas, pemerintah dan kabupaten/kota diberi kewenangan untuk dapat memberikan sanksi berupa penundaan penyaluran dana desa dalam hal laporan penggunaan dan desa tidak/terlambat disampaikan. Di samping itu, pemerintah dan kabupaten/kota juga dapat memberikan sanksi berupa pengurangan dana desa apabila penggunaan dana tersebut tidak sesuai dengan prioritas penggunaan dana desa, pedoman umum, pedoman teknis kegiatan, atau terjadi penyimpangan uang dalam bentuk deposito lebih dari 2 bulan.194

Pada dasarnya semua kegiatan pemerintah selalu membutuhkan pembiayaan dan ini didukung oleh penerimaan pemerintah baik yang berasal dari penerimaan rutin maupun penerimaan pembangunan. Demikian pula kegiatan pemerintah

192Ibid.193Ibid.194Ibid.

Page 273: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

262 HUKUM PEMERINTAHAN DESA

dibedakan menjadi kegiatan rutin dan kegiatan pembangunan.195 Sebagaimana diatur dalam Pasal 2 huruf d Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara bahwa pengeluaran negara merupakan salah satu ruang lingkup dari keuangan negara. Salah satu bentuk pengeluaran negara adalah adanya dana desa. Pengeluaran sebagaimana dimaksud adalah pengeluaran negara untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan desa, pembangunan, serta pemberdayaan masyarakat desa.

Desentralisasi merupakan permasalahan penting di Negara Republik Indonesia, oleh karena luasnya wilayah yang tidak memungkinkan dilakukan secara sentralistis. Oleh karena kompleksitas permasalahan antar daerah tidaklah sama, sehingga cara-cara yang digunakan untuk menanganinya juga berbeda, memerlukan sentuhan-sentuhan khusus sesuai dengan daerahnya.196 Salah satu bentu desentralisasi dalah desentralisasi fiskal. Dana desa merupakan salah satu bentuk desentralisasi fiskal di Negara Republik Indonesia yang diharapkan membawa implikasi positif pada peningkatan kesejahteraan segenap masyarakat Indonesia yang hidup di pelosok desa.197 Oleh karena berdasarkan penelitian Institut Pertanian Bogor melalui lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat Institut Pertanian Bogor pada tahun 2011 bahwa 63,41 persen masyarakat Indonesia tinggal di desa.198 Dari jumlah tersebut tersebar di 74.754 desa di seluruh

195M Suparmoko, 2013, Keuangan Negara: Dalam Teori dan Praktik, BPFE, Yogyakarta, hlm. 99.

196Wahyudi Kumorotomo, 2008, Desentralisasi Fiskal: Politik dan Perubahan Kebijakan 1974-2004, Kencana Prenada Grup, Jakarta, 2008, hlm. 14.

197Azwardi Sukanto, 2014, “Efektifitas Alokasi Dana Desa dan Kemiskinan di Provinsi Sumatra Selatan”, Jurnal Ekonomi Pembangunan, Vol. 12, No. 1, hlm. 34.

198Aida Vitayala Hubeis dkk, 2011, Menuju Desa 2030, Bogor, Crestpent Press, hlm. 9.

Page 274: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

263Perspektif, Konseptualisasi dan Konteks Yuridis

pelosok Negara Republik Indonesia.199 Luasnya wilayah dan banyaknya jumlah penduduk juga berimplikasi pada besarnya dana desa sebagaimana dipaparkan di awal tadi untuk tahun 2015 sebesar 20,7 triyun dan untuk tahun 2016 sebesar 47 triliyun hal ini akan terus meningkat seiring kemampuan keuangan pemerintah pusat untuk menggulirkan dana desa.

Pengelolaan dana desa pada dasarnya sama seperti dengan pengelolaan keuangan negara, yang memiliki ruang lingkup pegelolaan yang meliputi: perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan pertanggungjawaban keuangan, Sehingga dalam praktiknya pihak terkait juga harus taat asas-asas hukum yang mendasarinya. Adapun asas-asas pengelolaan keuangan negara yang dimaksud adalah:200

a. asas kesatuan, menghendaki agar semua pendapatan dan belanja negara disajikan dalam satu dokumen anggaran;

b. asas universalitas, mengharuskan agar setiap transaksi keuangan ditampilkan secara utuh dalam dokumentasi anggaran;

c. asas tahunan, membatasi masa berlakunya anggaran untuk suatu tahun tertentu; dan

d. asas spesialitas, mewajibkan agar kredit anggaran yang disediakan terinci secara jelas peruntukannya.

199Lihat Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 56 Tahun 2015 tentang Kode dan Data Wilayah Administrasi Pemerintahan.

200Muhammad Djafar Saidi, 2014, Hukum Keuangan Negara, Jakarta, PT RajaGrafindo, hlm. 22.

Page 275: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

264 HUKUM PEMERINTAHAN DESA

Selain asas-asas tersebut juga terdapat asas-asas bersifat baru pasca berlakunya Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Adapun asas-asas tersebut adalah:201

a. asas akuntabilitas berorientasi pada hasil adalah asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir dari kegiatan pengelolaan keuangan negara harus dapat dipertanggungjawabakan kepada rakyat;

b. asas profesionalitas adalah asas yang mengutamakan keseimbangan antara hak dan kewajiban pengelola keuangan negara;

c. asas proporsionalitas adalah asas yang mengutamakan keahlian berdasarkan kode etik dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;

d. asas keterbukaan dan pengelolaan keuangan negara adalah asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif tentang pengelolaan keuangan negara dengan tetap memperhatikan perlindungan atas hak asasi pribadi, golongan, dan rahasia negara; dan

e. asas pemeriksaan keuangan oleh badan pemeriksa yang bebas dan mandiri adalah asas yang memberikan kebebasan bagai Badan Pemeriksa Keuangan untuk melakukan pemeriksaan keuangan negara dengan tidak boleh dipengaruhi oleh siapapun.

Dengan posisi bahwa dana desa merupakan bagian dari rezim keuangan negara sehingga pemerintah desa wajib mengelola keuangan desa secara transparan, akuntabel, partisipatif serta

201Ibid., hlm. 23.

Page 276: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

265Perspektif, Konseptualisasi dan Konteks Yuridis

dilakukan dengan terti dan disiplin. Transparan artinya dikelola secara terbuka, akuntabel artinya dipertanggungjawabakan secara legal, dan partisipatif artinya melibatkan masyarakat dalam penyusunannya. Di samping itu, keuangan desa harus dibukukan dalam sistem pembukuan yang benar sesuai dengan kaidah sistem akuntansi keuangan pemerintahan. Sistem pengelolaan keuangan desa mengikuti sistem anggaran nasional dan daerah, yaitu mulai 1 Januari sampai dengan 31 Desember.202

Secara yuridis ketentuan mengenai penyerapan dana desa yang notabene merupakan salah satu komponen pendukung sumber pendapatan desa sebagaimana termaktub dalam Pasal 72 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa diatur dalam Pasal 74 bahwa belanja desa diprioritaskan untuk memenuhi kebutuhan pembangunan yang disepakati dalam musyawarah desa dan sesuai dengan prioritas pemerintah daerah kabupaten/kota, pemerintah daerah provinsi, dan pemerintah.203 Lalu secara teknis operasional ketentuan ini ditindaklanjuti oleh Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2014 tentang Dana Desa yang Bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, bahwa berdasarkan Pasal 21 Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2014 tentang Dana Desa yang Bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara menyatakan bahwa menteri yang menangani desa menetapkan prioritas penggunaan dana desa paling lambat 2 bulan sebelum dimulainya tahun anggaran. Untuk merespon amanat peraturan pemerintah ini Menteri Dalam Negeri mengeluarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 114 Tahun 2014 tentang Pedoman Pembangunan Desa pada tanggal 31 Desember 2014,

202Hanif Nurcholis, 2011, Pertumbuhan & Penyelenggaraan Pemerintahan Desa,Jakarta, Penerbit Erlangga, hlm. 82.

203Ni’matul Huda, “Hukum Pemerintahan Desa...”, Op.Cit., hlm. 233.

Page 277: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

266 HUKUM PEMERINTAHAN DESA

lalu pada tanggal 13 Februari 2015 Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi mengeluarkan Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Nomor 5 Tahun 2015 tentang Penetapan Prioritas Penggunaan Dana Desa Tahun 2015. Munculnya dua peraturan menteri ini ternyata berimplikasi pada kebingungan pada pihak pemerintah desa berkaitan aturan mana yang harus dianut. Selain itu juga adanya prasyarat dilampirkannya Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa dan Rencana Pembangunan Tahunan Desa atau Rencana Kerja Pemerintah Desa untuk mencairkan dana desa semakin membuat pemerintah desa kebingungan yang berujung ketika dana desa sudah cair, dana desa tersebut tidak diambil. Sehingga hal tersebut berandil besar pada lambatnya pembangunan di desa oleh karena terdapat salah satu sumber pendapatan desa yang tidak diambil yang jumlahnya cukup besar.

Untuk menyikapi kondisi yang tidak pasti tersebut, akhirnya pemerintah merevisi sebagaian substansi Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2014 tentang Dana Desa yang Bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara menjadi Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2015 tentang Perubahan Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2014 tentang Dana Desa yang Bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang disahkan pada tanggal 29 April 2015 yang dalam salah satu ketentuan pasalnya yaitu Pasal 21 ayat (1) menyatakan bahwa Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi menetapkan prioritas penggunaan dana desa paling lambat 3 bulan sebelum dimulainya tahun anggaran. Dengan demikian, tampak adanya kepastian hukum berkaitan dengan peraturan menteri yang dipakai sebagai pedoman prioritas penggunaan dana desa. Kepastian hukum yang dimaksud adalah tidak terjadi keberlakuan

Page 278: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

267Perspektif, Konseptualisasi dan Konteks Yuridis

secara bersamaan dua peraturan menteri terhadap satu hal yang sama, sehingga menyebabkan kebingungan bagi subyek hukum yang bersinggungan dengan peraturan terkait.

Selain itu, dalam rangka mengoptimalkan penyerapan dana desa pemerintah melalui Menteri Dalam Negeri, Menteri Keuangan, dan Meteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi pada tanggal 15 September 2015 menetapkan Keputusan Bersama Menteri Dalam Negeri, Menteri Keuangan, dan Meteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Nomor: 900/5356/SJ, Nomor: 959/KMK.07/2015, Nomor: 49 Tahun 2015 tentang Percepatan Penyaluran, Pengelolaan dan Penggunaan Dana Desa 2015 yang pada intinya berisi untuk mencairkan dana desa tidak perlu melampirkan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa dan Rencana Pembangunan Tahunan Desa atau Rencana Kerja Pemerintah, namun demikian penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa dan Rencana Pembangunan Tahunan Desa atau Rencana Kerja Pemerintah tetap diupayakan melalui supervisi pendampingan oleh camat sebagai bagian perangkat administrasi kewilayahan kabupaten/kota, pencairan dana desa dapat dilakukan dengan melengkapi formulir yang telah ditentukan hanya sejumlah 3 lembar saja. Lalu berkaitan dengan prioritas pembangunan ditegaskan yang berlaku adalah Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Nomor 5 Tahun 2015 tentang Penetapan Prioritas Penggunaan Dana Desa, yang meliputi:

a. pembangunan sarana prasarana desa, seperti jalan desa, jembatan sederhana, saluran air, embung desa, talut, irigasi tersier dan pengelolaan air bersih skala desa;

Page 279: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

268 HUKUM PEMERINTAHAN DESA

b. pemenuhan kebutuhan dasar, seperti pengembangan posyandu, pengembangan pos kesehatan desa dan polindes, dan pengembangan kegiatan Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD); dan

c. pengembangan ekonomi lokal, seperti pasar desa, kios desa, pelelangan ikan milik desa dan penyaluran pinjaman bergulir untuk usaha pada kelompok masyarakat melalui pembentukan dan pengembangan Badan Usaha Milik Desa (BUMDesa).

5. Peraturan Desa

a. Kedudukan Peraturan Desa dalam Hierarki Peraturan Perundang-Undangan

Pada prinsipnya implikasi utama Negara Indonesia adalah Negara Hukum sebagaimana termaktub dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah segala aspek kehidupan berbangsa dan bernegara diatur oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku.204 Salah satunya adalah berkaitan dengan pengaturan tentang desa melalui Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Dalam Pasal 69 ayat (1) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa menyatakan bahwa Jenis peraturan di desa terdiri atas peraturan desa, peraturan bersama kepala desa, dan peraturan kepala desa. Dari ketiga jenis peraturan tersebut yang memiliki karakterstik unik adalah peraturan desa yang harus melalui proses politik antara Badan Permusyawaratan Desa dan Kepala Desa layaknya undang-undang antara Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden.

204Slamet Suhartono, 2008, “Norma Samar (Vage Norm) Sebagai Dasar Hukum Pengambilan Keputusan Tata Usaha Negara”, Jurnal Yustisia, Edisi 79, hlm. 94.

Page 280: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

269Perspektif, Konseptualisasi dan Konteks Yuridis

Sebelumnya, melalui Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan mengatur jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan sebagai berikut: a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; c. Peraturan Pemerintah; d. Peraturan Presiden; e. Peraturan Daerah. Di dalam ayat (2) ditegaskan, peraturan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e meliputi: a. Peraturan Daerah Provinsi dibuat oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi bersama Gubernur; b. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota, dibuat oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota bersama Bupati/Walikota; c. Peraturan Desa/peraturan yang setingkat, dibuat oleh Badan Perwakilan Desa atau nama lainnya bersama Kepala Desa atau nama lainnya. Dan ayat (3) menyatakan, “Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembuatan peraturan desa/peraturan yang setingkat diatur dengan peraturan daerah kabupaten/kota yang bersangkutan”.205

Dalam perjalanannya ternyata ketentuan ini tidak sinkron dengan Pasal 1 angka 10 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang menyatakan bahwa peraturan daerah yang selanjutnya disebut perda adalah peraturan daerah provinsi dan/atau peraturan daerah kabupaten/kota. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang lahir setelah lahirnya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan seharusnya menguatkan peraturan desa, namun demikian malah

205Ni’matul Huda, “Hukum Pemerintahan Desa..”, Op.Cit., hlm. 261.

Page 281: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

270 HUKUM PEMERINTAHAN DESA

menghilangkan peraturan desa sebagai bagian dari peraturan daerah.206

Terkait dengan permasalahan ini Jimly Asshiddiqie berpendapat mengenai pengertian peraturan desa yang timbul permasalahan serius di lapangan:207

“Sebagai bentuk peraturan di tingkat desa, seharusnya perdes dikeluarkan dari pengertian perda yang tercantum resmi sebagai bentuk peraturan perundang-undangan yang berada dalam posisi hierarki kelima dalam susunan peraturan perundang-undangan yang dimaksud oleh Pasal 7 ayat (2) UU No. 10 Tahun 2004 tersebut. Unit pemerintahan desa, sudah seharusnya dibedakan dari unit pemerintahan daerah pada umumnya. Kehidupan masyarakat desa merupakan bentuk komunitas yang dapat mengurus dirinya sendiri. Oleh karena itu, masyarakat desa juga bisa sebagai self governing communities (zelfbestuur gemeinschap) yang merupakan unit-unit kegiatan masyarakat di luar pengertian formal daya jangkau organisasi negara. Oleh karena itu, perdes tidak perlu dimasukkan ke dalam kategori peraturan perundang-undangan negara”.

Seiring berjalannya waktu, lahir Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Prundang-Undangan yang menggantikan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan menegaskan jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia sebagai suatu peraturan perundang-undangan, yang

206Ibid.207Ibid., hlm. 262.

Page 282: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

271Perspektif, Konseptualisasi dan Konteks Yuridis

terdiri atas: a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat, c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, d. Peraturan Pemerintah, e. Peraturan Presiden, f. Peraturan Daerah Provinsi, dan g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. Selanjutnya, pada ayat (2) menegaskan kekuatan hukum peraturan perundang-undangan sesuai hierarki sebagaimana dimaksud pada ayat (1).208

Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan tidak mengatur lagi perihal peraturan desa dan kedudukannya dalam hierarki peraturan perundang-undangan. Perubahan ini menimbulkan dilema bagi pemerintahan desa, di satu sisi untuk menyelenggarakan roda pemerintahan pemerintah desa harus memiliki dasar hukum yakni peraturan desa, tetapi di sisi yang lain peraturan desa tidak lagi tercantum dalam hierarki peraturan perundang-undangan.209 Dalam permasalahan ini Moh Mahfud MD berpendapat bahwa:210

“Untuk pemerintahan desa yang pertama-tama muncul adalah terbukanya peluang bagi berlakunya hukum adat yang telah hidup dan diterima sebagai norma di desa yang bersangkutan, sebab di dalam Pasal 104 disebutkan bahwa Parlemen Desa berfungsi mengayomi adat istiadat. Istilah mengayomi adat istiadat ini dalam impelementasinya bisa saja berupa penuangan adat istiadat ke dalam peraturan desa sehingga adat istiadat bisa muncul dalam hukum tingkat desa.

208Ibid.209Ibid., hlm. 263.210Ibid.

Page 283: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

272 HUKUM PEMERINTAHAN DESA

Jika peraturan peraturan hukum itu nanti berujung ke pengadilan karena timbulnya satu sengketa atau perkara akan timbul persoalan karena di dalam memutuskan perkara hukum materiil yang pada uumnya harus dipedomani oleh hakim adalah hukum yang tertuang dalam UU. Ini merupakan konsekuensi dari sistem hukum kita yang lebih cenderung menganut paham legisme yang mengatakan bahwa hukum itu adalah UU yang dibuat oleh lembaga legislatif. Pengadilan tidak akan kesulitan jika mengahadapi perkara yang pihak-pihaknya datang dari desa yang perdes-perdesnya berbeda itu”.

Lebih lanjut Moh Mahfud MD menyampaikan beberapa hal yang perlu dipertimbangkan dalam kaitan ini yaitu: Pertama, peraturan desa tidak boleh memuat materi hukum pidana dalam arti masalah hukum pidana haruslah tetap diletakkan pada politik hukum unifikasi. Peraturan desa hanya boleh memuat hukum administrasi desa yang mengikat penyelenggara desa dan rakyat di desa yang bersangkutan. Kedua, adanya politik hukum nasional yang mengatur batas-batas apa yang harus diunifikasi dan materi apa yang dapat dibiarkan dualistis atau bahkan pluralistis sesuai dengan kesadaran hukum masing-masing masyarakat adat dan masing-masing desa.211

Walaupun Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan tidak mencantumkan peraturan desa sebagaimana pernah dimuat dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Namun demikian, dalam Pasal 8 ayat (2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan menyatakan

211Ibid., hlm. 264.

Page 284: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

273Perspektif, Konseptualisasi dan Konteks Yuridis

bahwa peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan. Kemudian dalam Penjelasan Pasal 8 ayat (2) ditegaskan yang dimaksud dengan “berdasarkan kewenangan” adalah penyelenggaraan urusan tertentu pemerintahan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.212

Bilamana persoalan status hukum peraturan desa ingin dikaji dari perspektif Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, maka dapat digunakan asas lex specialis derogat legi generalis.213 Dalam arti, keberadaan peraturan desa diatur secara tegas dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yang saat digantikan oleh Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dan khusus desa diatur dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (lex specialis), sedangkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (lex generalis). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa status hukum peraturan desa mengikat secara yiridis karena mendapatkan atribusi kewenangan dari Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan meskipun tidak lagi mencantumkan peraturan desa ke dalam jenjang hierarki peraturan perundang-undangan, tetapi tetap mengakui keberadaan peraturan desa sebagaimana ditentukan dalam Pasal 8 ayat (2) Undang-

212Ibid., hlm. 266.213Ibid., hlm. 267.

Page 285: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

274 HUKUM PEMERINTAHAN DESA

Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

Lebih lanjut Jimly Asshiddiqie menyatakan bahwa bentuk peraturan desa itu sebenarnya tidak perlu dikategorikan sebagai peraturan perundang-undangan yang berada di bawah undang-undang, sehingga memenuhi kualifikasi sebagai bentuk peraturan yang dapat diuji oleh Mahkamah Agung. Jika peraturan desa dikategorikan sebagai bentuk peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24A ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, maka berarti peraturan desa dapat dijadikan obyek pengujian oleh Mahkamah Agung. Hal demikian tentulah dapat dianggap tidak realistis dan justru tidak sesuai dengan maksud perumusan Pasal 24A ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 itu sendiri, karena akan membebani Mahkamah Agung dengan tugas-tugas yang sangat tidak realistis. Meskipun desa merupakan kaki-kaki yang kokoh bagi organisasi negara dalam arti yang umum, tetapi daya jangkau organ-organ negara memang tidak seharusnya menjangkau sampai ke tingkat desa. Oleh karena itu, peraturan desa tidak perlu disamakan ke dalam kategori peraturan perundang-undangan negara.214

Meskipun peraturan desa sudah tidak muncul di dalam hierarki peraturan perundang-undangan setelah lahirnya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, namun keberadaannya diatur secara tegas dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Dengan demikian, status hukum atau dibentuk berdasarkan kewenangan peraturan desa tetap mengikat secara yuridis karena

214Ibid., hlm. 269-270.

Page 286: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

275Perspektif, Konseptualisasi dan Konteks Yuridis

mendapatkan atribusi kewenangan dari Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Selain itu, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan tetap mengakui keberadaan peraturan desa sebagai peraturan perundang-undangan sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 8 ayat (2), yang menyatakan peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan.215

Dalam konteks Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, hierarki peraturan perundang-undangan tidak lagi semata-mata didasarkan pada hierarki struktural tetapi juga dianut hierarki fungsional, sehingga secara fungsional peraturan desa bukan produk hukum yang dilarang atau menjadi barang haram, tetapi tetap diakui keberadaannya dan memiliki daya ikat hukum. Selain itu, dihapuskannya peraturan desa dari hierarki peraturan perundang-undangan tidak menimbulkan implikasi terhadap penyelenggaraan pemerintahan desa, karena Badan Permusyawaratan Desa bersama Kepala tetap dapat membentuk peraturan desa atas dasar perintah Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.216

b. Mekanisme Pembentukan Peraturan Desa

Sesuai dengan Pasal 18 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa bahwa desa mempunyai kewenangan meliputi kewenangan di bidang penyelenggaraan pemerintahan desa,

215Ibid., hlm. 270.216Ibid.

Page 287: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

276 HUKUM PEMERINTAHAN DESA

pelaksanaan pembangunan desa, pembinaan kemasyarakatan desa, dan pemberdayaan masyarakat desa berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan adat istiadat desa. Dalam rangka melaksanakan kewenangan tersebut, desa dapat membuat peraturan desa. Peraturan desa merupakan bentuk regulasi yang dikeluarkan pemerintah desa sebagaimana kabupaten membuat peraturan daerah.217

Peraturan desa ditetapkan oleh Kepala Desa bersama Badan Permusyawaratan Desa. Peraturan desa dibentuk dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan desa. Peraturan desa merupakan penjabaran lebih lanjut dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dengan memperhatikan kondisi sosial budaya masyarakat desa setempat. Isi peraturan desa tidak boleh bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, serta norma kesusilaan masyarakat. Peraturan desa dibentuk berdasarkan asas pembentukan peraturan perundang-undangan.218

Dalam penyusunan peraturan desa, rancangan peraturan desa dapat diprakarsai oleh pemerintah desa,219 selain itu Badan Permusyawaratan Desa juga dapat mengusulkan rancangan peraturan desa kepada pemerintah desa.220 Rancangan peraturan desa wajib dikonsultasikan kepada masyarakat desa untuk mendapatkan masukan.221 Masukan dari masyarakat ini merupakan

217Hanif Nurcholis, Op.Cit., hlm. 113.218Ibid.219Lihat Pasal 83 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 tentang

Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.220Lihat Pasal 83 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 tentang

Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.221Lihat Pasal 83 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 tentang

Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.

Page 288: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

277Perspektif, Konseptualisasi dan Konteks Yuridis

bentuk semangat partisipasi masyarakat dalam pemerintahan dan pembangunan di desanya.222 Secara teknis pembentukan peraturan desa ada 6 (enam) tahap, yaitu meliputi: perencanaan, penyusunan, pembahasan, penetapan, pengundangan, dan penyebarluasan. Berikut adalah penjelasannya:

Pertama, Perencanaan. Perencanaan penyusunan rancangan peraturan desa ditetapkan oleh Kepala Desa dan Badan Permusyawaratan Desa dalam rencana kerja pemerintah desa. Lembaga kemasyarakatan, lembaga adat dan lembaga desa lainnya di desa dapat memberikan masukan kepada pemerintah desa dan/atau Badan Permusyawaratan Desa untuk rencana penyusunan rancangan peraturan desa.223

Kedua, Penyusunan. Penyusunan peraturan desa dapat dibagi menjadi 2 (dua) cara yaitu: dilakukan oleh Kepala Desa dan dilakukan oleh Badan Permusyawaratan Desa. Penyusunan rancangan peraturan desa diprakarsai oleh pemerintah desa. Rancangan peraturan desa yang telah disusun, wajib dikonsultasikan kepada masyarakat desa dan dapat dikonsultasikan kepada Camat untuk mendapatkan masukan. Rancangan peraturan desa yang dikonsultasikan diutamakan kepada masyarakat atau kelompok masyarakat yang terkait langsung dengan substansi materi pengaturan. Masukan dari masyarakat desa dan Camat digunakan pemerintah desa untuk ditindaklanjuti proses penyusunan rancangan peraturan desa. Rancangan peraturan desa yang

222AAGN Ari Dwipayana dkk, 2003, Membangun Good Governance di Desa, Ire Press, Yogyakarta, hlm. ix.

223Lihat Pasal 5 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 111 Tahun 2014 tentang Pedoman Teknis Peraturan di Desa.

Page 289: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

278 HUKUM PEMERINTAHAN DESA

telah dikonsultasikan disampaikan Kepala Desa kepada Badan Permusyawaratan Desa untuk dibahas dan disepakati bersama.224

Selanjutnya, pengusulan rancangan peraturan desa oleh Badan Permusyawaratan Desa. Rancangan peraturan desa bisa diusulkan oleh Badan Permusyawaratan Desa, kecuali untuk rancangan peraturan desa tentang rencana pembangunan jangka menengah desa, rancangan peraturan desa tentang rencana kerja pemerintah desa, rancangan peraturan desa tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa dan rancangan peraturan desa tetang Laporan Pertanggungjawaban Realisasi Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa. Rancangan peraturan desa selain yang disebutkan tersebut dapat diusulakn oleh anggota Badan Permusyawaratan Desa untuk ditetapkan sebagai rancangan peraturan desa usulan Badan Permusyawaratan Desa.225

Ketiga, Pembahasan. Badan Permusyawaratan Desa mengundang Kepala Desa untuk membahas dan menyepakati rancangan peraturan desa. Dalam hal terdapat rancangan peraturan desa prakarsa pemerintah desa dan usulan Badan Permusyawaratan Desa mengenai hal yang sama untuk dibahas dalam waktu pembahasan yang sama, maka didahulukan rancangan peraturan desa usulan Badan Permusyawaratan Desa sendangkan rancangan peraturan desa usulan Kepala Desa digunakan sebagai bahan untuk dipersandingkan.226 Rancangan peraturan desa yang belum dibahas dapat ditarik kembali oleh pengusul. Rancangan peraturan desa yang telah dibahas tidak dapat ditarik kembali kecuali

224Lihat Pasal 6 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 111 Tahun 2014 tentang Pedoman Teknis Peraturan di Desa.

225Lihat Pasal 7 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 111 Tahun 2014 tentang Pedoman Teknis Peraturan di Desa.

226Lihat Pasal 8 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 111 Tahun 2014 tentang Pedoman Teknis Peraturan di Desa.

Page 290: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

279Perspektif, Konseptualisasi dan Konteks Yuridis

atas kesepakatan bersama antara Pemerintah Desa dan Badan Permusyawaratan Desa.227

Rancangan peraturan desa yang telah disepakati bersama disampaikan oleh pimpinan Badan Permusyawaratan Desa kepada Kepala Desa untuk ditetapkan menjadi peraturan desa paling lambat 7 (tujuh) hari terhitung sejak tanggal kesepakatan. Rancangan peraturan desa wajib ditetapkan Kepala Desa dengan membubuhkan tanda tangan paling lambat 15 (lima belas) hari terhitung sejak diterimanya rancangan peraturan desa dari pimpinan Badan Permusyawaratan Desa.228

Keempat, Penetapan. Rancangan peraturan desa yang telah dibubuhi tanda tangan disampaikan kepada Sekretaris Desa untuk diundangkan. Dalam hal Kepala Desa tidak menandatangani rancangan peraturan desa, rancangan peraturan desa tersebut wajib diundangkan dalam Lembaran Desa dan sah menjadi peraturan desa.229

Kelima, Pengundangan. Sekretaris Desa mengundangkan peraturan desa dalam lembaran desa. Peraturan desa dinyatakan mulai berlaku dan mempunyai kekuatan hukum yang mengikat sejak diundangkan.230

Keenam, Penyebarluasan. Penyebarluasan dilakukan oleh Pemerintah Desa dan Badan Permusyawaratan Desa sejak penetapan rencana penyusunan rancangan peraturan desa, penyusunan

227Lihat Pasal 9 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 111 Tahun 2014 tentang Pedoman Teknis Peraturan di Desa.

228Lihat Pasal 10 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 111 Tahun 2014 tentang Pedoman Teknis Peraturan di Desa.

229Lihat Pasal 11 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 111 Tahun 2014 tentang Pedoman Teknis Peraturan di Desa.

230Lihat Pasal 12 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 111 Tahun 2014 tentang Pedoman Teknis Peraturan di Desa.

Page 291: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

280 HUKUM PEMERINTAHAN DESA

rancangan peraturan desa, pembahasan rancangan peraturan desa, hingga pengundangan peraturan desa. Penyebarluasan dilakukan untuk memberikan informasi dan/atau memperoleh masukan masyarakat dan para pemangku kepentingan.231

Selain 6 (enam) tahap pembentukan peraturan desa tersebut terdapat 2 (dua) tahap lagi sebagai bentuk pengkajian dan penilaian rancangan peraturan desa atau peraturan desa untuk mencegah permasalahan yang timbul ketika peraturan desa tersebut efektif dilaksanakan, tahap ini adalah evaluasi dan klarifikasi. Evaluasi adalah pengkajian dan penilaian terhadap rancangan peraturan desa untuk mengetahui bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi,232 sedangkan klarifikasi adalah pengkajian dan penilaian terhadap peraturan di desa untuk mengetahui bertentangan dengan kepentingan umum, dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.233

Pertama, Evaluasi. Rancangan peraturan desa tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa, pungutan, tata ruang, dan organisasi Pemerintahan Desa yang telah dibahas dan disepakati oleh Kepala Desa dan Badan Permusyawaratan Desa, disampaikan oleh Kepala Desa kepada Bupati/Walikota melalui Camat atau sebutan lain paling lambat 3 (tiga) hari sejak disepakati untuk dievaluasi. Dalam hal Bupati/Walikota tidak memberikan hasil evaluasi dalam batas waktu, peraturan desa tersebut berlaku dengan

231Lihat Pasal 13 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 111 Tahun 2014 tentang Pedoman Teknis Peraturan di Desa.

232Lihat Pasal 1 angka 10 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 111 Tahun 2014 tentang Pedoman Teknis Peraturan di Desa.

233Lihat Pasal 1 angka 12 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 111 Tahun 2014 tentang Pedoman Teknis Peraturan di Desa.

Page 292: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

281Perspektif, Konseptualisasi dan Konteks Yuridis

sendirinya.234 Hasil evaluasi rancangan peraturan desa diserahkan oleh Bupati/Walikota paling lama 20 (dua puluh) hari kerja terhitung sejak diterimanya rancangan peraturan tersebut oleh Bupati/Walikota. Dalam hal Bupati/Walikota telah memberikan hasil evaluasi, Kepala Desa wajib memperbaikinya.235

Kepala Desa memperbaiki rancangan peraturan desa paling lama 20 (dua puluh) hari sejak diterimanya hasil evaluasi. Kepala Desa dapat mengundang Badan Permusyawaratan Desa untuk memperbaiki rancangan peraturan desa. Hasil koreksi dan tindaklanjut disampaikan Kepala Desa kepada Bupati/Walikota melalui Camat.236 Dalam hal Kepala Desa tidak menindaklanjuti hasil evaluasi dan tetap menetapkan peraturan desa, Bupati/Walikota membatalkan peraturan desa dengan Keputusan Bupati/Walikota.237 Bupati/Walikota dapat membentuk tim evaluasi rancangan peraturan desa. Tim evaluasi ditetapkan dengan keputusan Bupati/Walikota.238

Kedua, Klarifikasi. Peraturan desa yang telah diundangkan disampaikan oleh Kepala Desa kepada Bupati/Walikota paling lambat 7 (tujuh) hari sejak diundangkan untuk diklarifikasi. Bupati/Walikota melakukan klarifikasi peraturan desa dengan membentum

234Lihat Pasal 14 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 111 Tahun 2014 tentang Pedoman Teknis Peraturan di Desa.

235Lihat Pasal 15 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 111 Tahun 2014 tentang Pedoman Teknis Peraturan di Desa.

236Lihat Pasal 16 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 111 Tahun 2014 tentang Pedoman Teknis Peraturan di Desa.

237Lihat Pasal 17 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 111 Tahun 2014 tentang Pedoman Teknis Peraturan di Desa.

238Lihat Pasal 18 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 111 Tahun 2014 tentang Pedoman Teknis Peraturan di Desa.

Page 293: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

282 HUKUM PEMERINTAHAN DESA

tim klarifikasi paling lamabat 30 (tiga puluh) hari sejak diterima.239 Hasil klarifikasi dapat berupa: hasil klarifikasi yang sudah sesuai dengan kepentingan umum dan/atau ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, dan hasil klarifikasi yang bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Dalam hal hasil klarifikasi, peraturan desa tidak bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi Bupati/Walikota menerbitkan surat hasil klarifikasi yang berisi hasil klarifikasi yang telah sesuai. Dalam hal hasil klarifikasi bertentangan dengan dengan kepentingan umum dan/atau ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, Bupati/Walikota membatalkan peraturan desa tersebut dengan Keputusan Bupati/Walikota.240

B. Peran Peraturan Desa dalam Menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN

Sebagaimana kita ketahui bersama mulai tanggal 1 Januari tahun 2016, Negara Kesatuan Republik Indonesia telah memasuki era baru, yaitu Masyarakat Ekonomi ASEAN, sebuah kerja sama kawasan yang mengikis hambatan lalu lintas barang dan jasa di seluruh negara ASEAN. Komoditas barang dan jasa bisa keluar dari Negara Kesatuan Republik Indonesia untuk bersaing di luar negeri, sebaliknya komoditas barang dan jasa luar negeri dapat membanjiri

239Lihat Pasal 19 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 111 Tahun 2014 tentang Pedoman Teknis Peraturan di Desa.

240Pasal 20 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 111 Tahun 2014 tentang Pedoman Teknis Peraturan di Desa.

Page 294: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

283Perspektif, Konseptualisasi dan Konteks Yuridis

Negara Kesatian Republik indonesia.241 Dalam menyikapi era ini pemerintah baik pusat maupun daerah bahu-membahu dalam meningkatkan daya saing masyarakat, melalui pendampingan, pelatihan, permodalan, maupun upaya-upaya praktis peningkatan kualitas masyarakat sesuai dengan pekerjaan yang dimilikinya. Peningkatan daya saing ini tidak lain agar masyarakat dengan pekerjaan yang dimiliki dapat bersaing dengan masyarakat negara ASEAN lainnya, sehingga bukan hanya sebagai obyek namun demikian juga sebagai subyek perdagangan barang dan jasa di kawasan ASEAN tersebut.242

Dalam konteks konstelasi dan kontestasi Masyarakat Ekonomi ASEAN ini, desa dapat ikut mengambil bagian dalam meningkatkan daya saing, kapasitas dan kapabilitas masyarakat desa melalui optimalisasi potensi yang dimiliki desa. Upaya untuk meningkatkan kemandiran dan daya saing desa, pemerintah desa dapat melakukan pembangunan infrastruktur, pembangunan pertanian, industrialisasi, usaha non pertanian, pendidikan dan kesehatan, dan aspek sosial budaya. Yang mana keenam hal pembangunan ini supaya dapat dirasakan masyarakat harus diformulasikan dalam bentuk peraturan desa yang selanjutnya secara teknis diejawantahkan melalui kebijakan-kebijakan praktis. Kebijakan-kebijakan praktis taraf desa inilah yang menjadi wujud riil peranan peraturan desa dalam menghadapi tantangan Masyarakat Ekonomi ASEAN.

241Satriyo Wibowo, “Siapkah Kita Mengahadapi Tantangan MEA 2016?”, http://inet. detik.com/ read/ 2016/01/14/ 074608/ 3118080/398/ siapkah- kita- menghadapi-tantangan-mea-2016, diakses tanggal 15 Januari 2016 pukul 18.00 WIB.

242“Pemerintah Siapkan Masyarakat Hadapi MEA”, Tribun Jogja, Edisi Minggu 17 Januari 2016.

Page 295: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

284 HUKUM PEMERINTAHAN DESA

Pertama, Pembangunan Infrastruktur. Investasi untuk infrastruktur, kaitannya dengan jasa adalah bagian yang tidak terpisahkan dari pembangunan perdesaan. Pembangunan perekonomian perdesaan ditentukan oleh faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal contohnya ketersediaan infrastruktur sedangkan faktor eksternal contohnya keadaan perekonomian nasional. Ketersediaan infrastruktur yang memadahi merupakan salah satu syarat tercapainya tujuan pembangunan ekonomi. Infrastruktur yang baik menciptakan akses yang paling murah kepada masyarakat perdesaan baik berupa akses transportasi, komunikasi, maupun energi.243

Peran peraturan desa dalam konteks ini adalah terwujudnya formulasi Peraturan Desa tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa yang proyeksi penyerapan anggarannya ditujukan kepada pembangunan infrastruktur. Hal ini dimaksudkan agar segala aktivitas masyarakat desa dalam upaya meningkatkan daya saing, kapasitas, dan kapabilitas berjalan lancar tanpa adanya hambatan. Sehingga ketertinggalan-ketertinggalan ketika memasuki era Masyarakat Ekonomi ASEAN dapat dikejar dan pada akhirnya nanti masyarakat desa memiliki daya saing yang tinggi. Salah satu contohnya adalah, ketika akses jalan ke area pertanian lancar, maka produktivitas dan mobiltas hasil pertanian tinggi dan biaya transportasi dapat ditekan, sehingga harga komoditas pertanian bersangkutan dapat bersaing dengan negara-negara lain di kawasan ASEAN.

Kedua, Pembangunan Pertanian. Dominasi sektor pertanian merupakan karakteristik utama dari perekonomian di perdesaan. Pertanian adalah sektor yang paling banyak menghidupi masyarakat

243Lincolin Arsyad dkk, 2011, Strategi Pembangunan Perdesaan Berbasis Lokal, Unit Penerbit dan Percetakan STIM YKPN, Yogyakarta, hlm. 88.

Page 296: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

285Perspektif, Konseptualisasi dan Konteks Yuridis

yang sedang berkembang. Petani kecil di perdesaan merupakan segmen paling besar di negara sedang berkembang. Fungsi desa sebagai produsen output pertanian mengharuskan desa untuk menjadi basis produsen pangan nasional. Sebagai konsekuensinya, produktivitas pertanian sebuah desa menjadi salah satu ukuran keberhasilan pembangunan yang tidak dapat dihindari.244

Peran peraturan desa dalam konteks ini adalah lahirnya peraturan desa yang dapat mengakomodasi permasalahan-permasalahan pertanian di tingkat desa, mulai dari pembibitan hingga pengolahan pasca panen. Desa melalui peraturan desa harus mendorong petani desa meningkatkan produktivitas dan kualitas hasil pertaniannya serta memberikan kucuran dana melalui Peraturan Desa tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa kepada kelompok tani maupun gabungan kelompok tani dalam rangka meningkatkan daya saing di bidang pertanian. Selain itu, melalui peraturan desa, desa dapat membuat Peraturan Desa tentang Tata Ruang Desa dalam rangka menjaga eksistensi lahan pertanian melalui pencangan lahan lestari pada kawasan pertanian. Hal ini semua dilakukan untuk mendongkrak produktivitas dan kualitas pertanian agar dapat terwujud kedaulatan pangan dan surplusnya dapat diekspor ke negara ASEAN lainnya.

Ketiga, Pembangunan Industrialisasi. Keberadaan industri, khususnya industri kecil dan menengah, diperlukan oleh perdesaan sebagai alternatif kegiatan ekonomi produktif yang dimiliki masyarakat perdesaan selain pertanian. Industri yang diharapkan muncul adalah jenis-jenis industri yang mendukung dan memiliki keterkaitan dengan sektor pertanian sebagai basis utama perekonomian di desa.245

244Ibid., hlm. 90.245Ibid., hlm. 91.

Page 297: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

286 HUKUM PEMERINTAHAN DESA

Peran peraturan desa dalam konteks ini adalah terwujudnya peraturan desa yang menjamin keselarasan antara industri kecil dan menengah dengan sektor pertanian. Hal ini merupakan sebuah keniscayaan simbiosis mutualisme guna meningkatkan pendapatan masyarakat yang berdaya dukung serta meningkatkan daya saing dalam bidang pertanian. Oleh karena industri kecil dan menengah memiliki tujuan untuk meningkatkan nilai jual dari hasil pertanian bersangkutan. Sebagai gambaran, sebuah desa yang memiliki potensi ekonomi di bidang pertanian khususnya perikanan lele seperti yang ada di Desa Tegalrejo Kecamatan Sawit Boyolali, maka untuk mendukung aktivitas pertanian yang ada, maka industri yang dikembangkan adalah pengolahan lele sebagai produk makanan, misalnya kripik lele, dedeng lele, maupun abon lele. Yang notabene semua aktifitas tersebut merupakan upaya untuk meningkatkan nilai jual lele itu sendiri daripada dijual masih mentah. Selain membuka lapangan pekerjaan yang cukup signifikan, industri berskala desa ini tidak lain untuk mewujudkan program pemerintah one village one product. Hal ini merupakan salah satu upaya untuk mencanangkan produk unggulan desa guna menembus dan bersaing dalam tataran perdagangan antar kawasan ASEAN.

Keempat, Pembangunan Usaha Non Pertanian. Bisnis non pertanian di perdesaan memberikan dampak positif bagi pendapatan petani. Perkembangan bisnis non pertanian juga merupakan salah satu kunci dalam menstabilkan perpindahan penduduk. Potensi perdesaan yang masih dapat dikembangkan seperti wisata kuliner, wisata agro, dan jasa-jasa lainnya dapat menjadi alternatif sumber pendapatan masyarakat perdesaan.246

246Ibid.

Page 298: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

287Perspektif, Konseptualisasi dan Konteks Yuridis

Peran peraturan desa dalam koteks ini adalah mewujudkan usaha non pertanian dengan memanfaatkan potensi desa yang ada. Salah caranya adalah membuat Peraturan Desa tentang Badan Usaha Milik Desa. Badan Usaha Milik Desa merupakan suatu badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh desa melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan desa yang dipisahakan guna mengelola aset, jasa pelayanan, dan usaha lainnya untuk sebesar-besarnya kesejahteraan masyarakat desa.247 Desa dapat mendirikan Badan Usaha Milik Desa sesuai dengan kebutuhan dan potensi desa.248 Salah satu contoh dari pendirian Badan Usaha Milik Desa yaitu di Desa Ponggok Kecamatan Polanharjo Kabupaten Klaten melalui pendirian Badan Usaha Milik Desa Tirta Mandiri, yang notabene mengelola Umbul Ponggok sebagai destinasi wisata air, toko desa, dan gedung pertemuan. Melalui Badan Usaha Milik Desa ini Desa Ponggok termasuk menjadi pionir desa mandiri di Kabupaten Klaten. Implikasi postifnya adalah melalui pendapatan asli desa yang berasal dari Badan Usaha Milik Desa tersebut, pemerintah Desa Ponggok memberikan beasiswa kepada mahasiswa yang berasal dari kawasan tersebut, santunan untuk orang jompo, dan jaminan sosial untuk masyarakat pra sejahtera yang ada di desa tersebut. Dari contoh ini dapatlah ditarik benang merah bahwa melalui optimalisasi potensi yang dimiliki desa yang dikemudian diatur dalam peraturan desa, maka desa akan dapat berdaya saing dan ikut serta mewujudkan kesejahteraan masyarakat di tingkat desa. Sehingga dalam mengembangkan desanya tidak perlu membawa investor dari luar negeri untuk masuk dan mengelola potensi yang

247Moch Solekhan, Op.Cit., 72.248Siswanto Sunarno, 2012, Hukum Pemerintahan Desa di Indonesia, Penerbit Sinar

Grafika, Jakarta, hlm. 20.

Page 299: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

288 HUKUM PEMERINTAHAN DESA

dimiliki.249 Karena desa bersangkutan sudah mandiri dan berdaya saing tinggi serta siap untuk bersaing dengan desa-desa lain di kawasan Masyarakat Ekonomi ASEAN.

Kelima, Pembangunan Pendidikan dan Kesehatan. Sektor pendidikan dan kesehatan secara umum telah disepakati merupakan sektor kunci untuk mengurangi kemiskinan. Tingkat pendidikan dan kesehatan tidak hanya berpengaruh pada efektivitas program-program pembangunan jangka pendek, tetapi juga sangat berpengaruh dalam jangka panjang. Secara teoritis juga ditunjukkan bahwa pendidikan dan kesehatan adalah 2 (dua) faktor utama yang menentukan terciptanya human capital yang berkaitan langsung dengan faktor produksi tenaga kerja.250

Peran peraturan desa dalam konteks ini adalah lahirnya peraturan desa mengatur aspek pendidikan dan kesehatan yang belum ditangani oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah provinsi maupun pemerintah kabupaten/kota, yaitu dalam aspek pendidikan melalui optimalisasi lembaga-lembaga pelatihan di tingkat desa dalam rangka meningkatkan kualitas, kapasitas, dan kapabilitas angkatan kerja di desa yang berstandarisasi nasional dan internasional. Selain itu untuk aspek pendidikannya, peraturan desa bisa menjangkau masyarakat pra sejahtera yang belum tercover dalam jaminan sosial yang dicanangkan oleh pemerintah pusat, melalui penganggaran dalam Peraturan Desa tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa. Sehingga bilamana ini tercapai, maka visi reformasi desa yang mandiri dan berdaya saing tinggi dapat terwujud, serta terkait mulai berlakunya era Masyarakat

249Didik Sukriono, 2013, Hukum, Konstitusi dan Konsep Otonomi: Kajian Politik Hukum tentang Konstitusi, Otonomi Daerah dan Desa Pasca Perubahan Konstitusi, Setara Press, Malang, hlm. 183.

250Lincolin Arsyad dkk, Op.Cit., hlm. 92.

Page 300: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

289Perspektif, Konseptualisasi dan Konteks Yuridis

Ekonomi ASEAN termasuk tidak akan terdampak negatif, karena daya saingnya sudah tinggi.

Keenam, Pembangunan Sosial Budaya. Pembangunan perdesaan tidak hanya terkait dengan masalah-masalah pembangunan fisik seperti infrastruktur umum dan pertanian, kesehatan, pendidikan, ataupun kelembagaan. Pembangunan perdesaan juga sangat erat terkait dengan masalah sosial budaya seperti keragaman etnis, fasilitas budaya, dan kearifan lokal.251

Peran peraturan desa dalam konteks ini adalah sebagai penjamin eksistensi budaya yang dimiliki desa. Sehingga formulasi peraturan desa bersangkutan memuat hal-hal yang berhubungan dengan pelestarian khasanah budaya agar tidak tergerus oleh perkembangan jaman termasuk adanya Masyarakat Ekonomi ASEAN, karena budaya adalah jati diri bangsa yang merupakan proteksi yang melekat dalam samubari bangsa Indonesia. Selain itu, peraturan desa dalam konteks ini harus mengubah paradigma budaya bukan hanya dilestarikan. Namun demikian, budaya memiliki daya “jual” yang tinggi terhadap masyarakat negara lain bilamana dikelola dengan baik dan menarik.252 Bila ini dapat dilaksanakan maka Masyarakat Ekonomi ASEAN adalah pangsa pasar yang potensial untuk “menjual” potensi budaya yang dimiliki.

Akhirnya, berdasarkan paparan tersebut, peraturan desa memiliki posisi strategis dalam meningkatkan daya saing desa di kancah Masyarakat Ekonomi ASEAN. Melalui peraturan desa, pemerintah desa dapat mengembangkan potensi yang dimilikinya dan apabila hal ini dikelola secara baik dan konsisten akan mewujudkan suatu tatanan kehidupan masyarakat yang mandiri

251Ibid., hlm. 94.252M Solly Lubis, Politik Hukum dan Kebijakan Publik (Legal Policy and Public Policy),

Penerbit CV Mandar Maju, Bandung, 2014, hlm. 132.

Page 301: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

290 HUKUM PEMERINTAHAN DESA

dan berdaya saing tinggi di tengah era Masyarakat Ekonomi ASEAN yang penuh tantangan dan persaingan.

C. DUALISME KEMENTERIAN

Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa diundangkan dalam Lembaran Negara Nomor 7 Tahun 2014 pada tanggal 15 Januari 2014. Konsekuensi yuridis diundangkannya suatu peraturan perundang-undangan adalah berlaku hari itu juga ketika diundangkan. Demikian pula yang terjadi pada Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, sebagimana termaktub dalam Pasal 122 yang berbunyi “Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan”. Secara kelembagaan, ketika Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 mulai berlaku maka sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara, penyelenggaraan urusan pemerintahan sebagimana dimaksud dalam ketentuan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dilakukan oleh presiden melalui pembantunya, yaitu menteri negara yang membawahi kementerian negara, dalam hal ini khususnya pada urusan desa. Secara lebih teknis Pasal 66, Pasal 67, Pasal 68 dan Pasal 80 Peraturan Presiden Nomor 24 Tahun 2010 tentang Kedudukan, Tugas, dan Fungsi Kementerian Negara serta Susunan Organisasi, Tugas, dan Fungsi Eselon I Kementerian Negara menjelaskan desa sebagai domain kewenangan dari Kementerian Dalam Negeri.

Pasal 66

Kementer i an Da lam Neger i mempunya i tugas menyelenggarakan urusan di bidang pemerintahan dalam

Page 302: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

291Perspektif, Konseptualisasi dan Konteks Yuridis

negeri dalam pemerintahan untuk membantu Presiden dalam menyelenggarakan pemerintahan negara.

Pasal 67

Dalam melaksanakan tugas sebagimana dimaksud dalam Pasal 66, Kementerian Dalam Negeri menyelenggarakan fungsi:

a. Perumusan, penetapan, dan pelaksanaan kebijakan di bidang pemerintahan dalam negeri;

b. Pengelolaan barang milik/kekayaan negara yang menjadi tanggung jawab Kementerian Dalam Negeri;

c. Pengawasan atas pelaksanaan tugas di lingkungan Kementerian Dalam Negeri; dan

d. Pelaksanaan kegiatan teknis dari pusat sampai daerah.

Pasal 68

Susunan organisasi eselon I Kementerian Dalam Negeri terdiri atas:

a. Sekretariat Jenderal;b. Direktorat Jenderal Kesatuan Bangsa dan Politik;c. Direktorat Jenderal Pemerintahan Umum;d. Direktorat Jenderal Otonomi Daerah;e. Direktorat Jenderal Bina Pembangunan Daerah;f. Direktorat Jenderal Pemberdayaan Masyarakat dan

Desa;g. Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan

Sipil;h. Direktorat JenderalKeuangan Daerah;i. Inspektorat Jenderal;

Page 303: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

292 HUKUM PEMERINTAHAN DESA

j. Badan Penelitian dan Pengembangan;k. Badan Pendidikan dan Pelatihanl. Staf Ahli Bidang Hukum, Politik, dan Hubungan Antar

Lembaga;m. Staf Ahli Bidang Pemerintahan;n. Staf Ahli Bidang Pembangunan dan Kemasyarakatan;o. Staf Ahli Bidang Sumber Daya Manusia dan

Kependudukan; danp. Staf Ahli Bidang Ekonomi dan Keuangan.

Pasal 80

Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79, Direktorat Jenderal Pemberdayaan Masyarakat dan Desa menyelenggarakan fungsi:

a. Perumusan kebijakan di bidang pemberdayaan masyarakat dan desa;

b. Pelaksanaan kebijakan di bidang pemberdayaan masyarakat dan desa;

c. Penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria di bidang pemberdayaan masyarakat dan desa;

d. Pemberian bimbingan teknis dan evaluasi di bidang pemberdayaan masyarakat dan desa; dan

e. Pelaksanaan administrasi Direktorat Jenderal Pemberdayaan Masyarakat dan Desa.

Penyelenggaraan semua kewenangan di bidang desa berdasarkan beberapa ketentuan pasal di atas dilaksanakan oleh Direktorat Jenderal Masyarakat dan Desa Kementerian Dalam Negeri. Namun demikian, seiring suksesi kepemimpinan negara dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono kepada Presiden Joko

Page 304: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

293Perspektif, Konseptualisasi dan Konteks Yuridis

Widodo, maka terjadilah perubahan kementerian yang menangani kewenangan di bidang desa. Puncaknya ditandai oleh terbitnya Peraturan Presiden Nomor 165 Tahun 2014 tentang Penataan Tugas dan Fungsi Kabinet Kerja khususnya ketentuan yang termaktub dalam Pasal 6 dan Pasal 8.

Pasal 6

Dalam hal organinisasi dan tata kerja Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi sebagimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) angka 26 belum terbentuk maka Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi memimpin dan mengkoordinasikan:

a. Penyelenggaraan tugas dan fungsi di bidang desa yang meliputi kelembagaan dan pelatihan masyarakat desa, pemberdayaan masyarakat adat dan sosial budaya masyarakat desa, usaha ekonomi masyarakat desa, dan sumber daya alam dan teknologi tepat guna perdesaan yang dilaksanakan oleh Kementerian Dalam Negeri;

b. Penyelenggaraan urusan pemerintahan di bidang pembangunan daerah tertinggal yang dilaksanakan oleh Kemnterian Pembangunan Daerah Tertinggal; dan

c. Penyelenggaraan urusan pemerintahan di bidang transmigrasi yang dilaksanakan oleh Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 24 Tahun 2010 tentang Kedudukan, Tugas, dan Fungsi Kementerian Negara serta Susunan Organisasi, Tugas, dan Fungsi Eselon I Kementerian Negara sebagimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Presiden Nomor 135 Tahun 2014.

Page 305: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

294 HUKUM PEMERINTAHAN DESA

Pasal 8

Dalam hal organisasi dan tata kerja Kementerian Dalam Negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) angka 6 belum terbentuk maka Menteri Dalam Negeri memimpin dan menkoordinasikan penyelenggaraan seluruh urusan pemerintahan dalam negeri sebagaimana diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 24 Tahun 2010 tentang Kedudukan, Tugas, dan Fungsi Kementerian Negara serta Susunan Organisasi, Tugas, dan Fungsi Eselon I Kementerian Negara sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Presiden Nomor 135 Tahun 2014, kecuali tugas dan fungsi di bidang desa sebagimana dimaksud dalam Pasal 6.

Berdasarkan paparan Pasal 6 dan Pasal 8 Peraturan Presiden Nomor 165 Tahun 2014 tentang Penataan Tugas dan Fungsi Kabinet Kerja tampak sekali secara eksplisit bahwa beberapa kewenangan yang dimiliki oleh Kementerian Dalam Negeri berpindah menjadi Kewenangan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi. Sehingga hubungan daerah otonom yang mengemban desentralisasi beberapa kewenangan yang berkaitan dengan desa berpindah dari Kementerian Dalam Negeri ke Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi.

Lahirnya Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi bukanlah tanpa alasan, melainkan hal ini memang sudah dilakukan kajian dan perencanaan oleh Pasangan Jokowi-Jusuf Kalla ketika menyusun visi kampanye presiden dan wakil presiden yang diberi nama nawa cita. Nawa cita merupakan sembilan agenda prioritas kerja Pasangan Jokowi-Jusuf Kalla ketika terpilih menjadi presiden dan wakil presiden, salah satunya adalah

Page 306: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

295Perspektif, Konseptualisasi dan Konteks Yuridis

berkaitan dengan desa. Desa menjadi butir ketiga dalam nawa cita, yaitu membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan. Melalui Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi diharapkan desa memiliki peran strategis dalam pembangunan negara dan bersifat multidimensi.253

Namun demikian, ternyata dalam perjalanannya terdapat polemik bahwa Direktoral Jenderal Pemberdayaan Masyarakat dan Desa Kementerian Dalam Negeri menolak untuk pindah ke Kementerian Desa, Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi. Padahal Peraturan Presiden Nomor 165 Tahun 2014 tentang Penataan Tugas dan Fungsi Kabinet Kerja telah jelas mengatur perpindahan kewenangan tersebut.254 Untuk menyelesaikan polemik yang berkepanjangan ini akhirnya pada tanggal 21 Januari 2015 Presiden Joko Widodo mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 11 Tahun 2015 tentang Kementerian Dalam Negeri dan Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2015 tentang Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi. Kewenangan Kementerian Dalam Negeri secara eksplisit termaktub dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 21, dan Pasal 22 Peraturan Presiden Nomor 11 Tahun 2015 tentang Kementerian Dalam Negeri.

253Deytri Robekka Aritonang, “Jokowi-JK Andalkan Nawa Cita, Sembilan Agenda Prioritas Indonesia”, Kompas, 20 Mei 2014.

254“Dirjen PMD Ogah Gabung Kementerian Desa, Marwan: Kita Bikin Baru”, http://www. jpnn. com /read/ 2014/ 11/25/271979/Dirjen-PMD- Ogah-Gabung- Kementerian-Desa,-Marwan:-Kita- Bikin-Baru, diakses 14 Februari 2015 pukul 09.30 WIB

Page 307: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

296 HUKUM PEMERINTAHAN DESA

Pasal 2

Kementer i an Da lam Neger i mempunya i tugas menyelenggarakan urusan di bidang pemerintahan dalam negeri untuk membantu Presiden dalam menyelenggarakan pemerintahan negara.

Pasal 3

Dalam melaksanakan tugas sebagimana dimaksud dalam Pasal 2, Kementerian Dalam Negeri menyelenggarakan fungsi:

a. perumusan, pentapan, dan pelaksanaan kebijakan di bidang politik dan pemerintahan umum, otonomi daerah, pembinaan administrasi keweilayahan, pembinaan pemerintahan desa, pembinaan urusan pemerintahn dan pembangunan daerah, pembinaan keuangan daerah, serta kependudukan dan pencatatan sipil, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;

b. koordinasi pelaksanaan tugas, pembinaan, dan pemberian dukungan administrasi kepada seluruh unsur organisasi di lingkungan Kementerian Dalam Negeri;

c. pengelolaan barang milik/kekayaan negara yang menjadi tanggung jawab Kementerian Dalam Negeri;

d. pengawasan dan pelaksanaan tugas di lingkungan Kementerian Dalam Negeri;

e. pelaksanaan bimbingan teknis dan supervisi atas pelaksanaan urusan Kementerian Dalam Negeri;

f. pengoordinasian, pembinaan, dan pengawasan umum, fasilitasi, dan evaluasi atas penyelenggaraan

Page 308: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

297Perspektif, Konseptualisasi dan Konteks Yuridis

pemerintahan daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;

g. pelaksanaan penelitian dan pengembangan di bidang pemerintah dalam negeri;

h. pelaksanaan pengembangan sumber daya manusia di bidang pemerintahan dalam negeri;

i. pelaksanaan kegiatan teknis dari pusat sampai daerah; dan

j. pelaksanaan dukungan yang bersifat substantif kepada seluruh unsur organisasi di lingkungan Kementerian Dalam Negeri.

Pasal 4

Kementerian Dalam Negeri terdiri atas:a. Sekretariat Jenderal;b. Direktorat Jenderal Politik dan Pemerintahan Umum;c. Direktorat Jenderal Bina Administrasi Kewilayahan;d. Direktorat Jenderal Otonomi Daerah;e. Direktorat Jenderal Bina Pembangunan Daerah;f. Direktorat Jenderal Bina Pemerintahan Desa;g. Direktorat Jenderal Bina Keuangan Daerah;h. Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan

Sipil;i. Inspektorat Jenderal;j. Badan Penelitian dan Pengembangan;k. Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia;l. Staf Ahli Hukum dan Kesatuan Bangsa;m. Staf Ahli Bidang Pemerintahan;

Page 309: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

298 HUKUM PEMERINTAHAN DESA

n. Staf Ahli Bidang Kemasyarakatan dan Hubungan Antar Lembaga;

o. Staf Ahli Bidang Ekonomi dan Pembangunan; danp. Staf Ahli Bidang Aparatur dan Pelayanan Publik.

Pasal 21

Direktorat Jenderal Bina Pemerintahan Desa mempunyai tugas menyelenggarakan perumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang pembinaan pemerintahan desa sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 22

Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21, Direktorat dengan ketentuan peraturan perundang-undangan menyelenggarakan fungsi:

a. perumusan kebijakan di bidang fasilitasi penataan desa, penyelenggaraan adminstrasi pemerintahan desa, pengelolaa keuangan dan aset desa, produk hukum desa, pemilihan kepala desa, perangkat desa, pelaksanaan penugasan urusan pemerintahan, kelembagaan desa, kerja sama pemerintahan, serta evaluasi perkembangan desa;

b. pelaksanaan kebijakan di bidang fasilitasi penataan desa, penyelenggaraan administrasi pemerintahan desa, pengelolaan keuangan dana aset desa, produk hukum desa, pemilihan kepala desa, perangkat desa, pelaksanaan penugasan urusan pemerintahan, kelembagaan desa, kerja sama pemerintahan, serta evaluasi perkembangan desa;

Page 310: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

299Perspektif, Konseptualisasi dan Konteks Yuridis

c. pelaksanaan pembinaan umum dan koordinasi di bidang fasilitasi penataan desa, penyelenggaraan administrasi pemerintahan desa, pengelolaan keuangan dana aset desa, produk hukum desa, pemilihan kepala desa, perangkat desa, pelaksanaan penugasan urusan pemerintahan, kelembagaan desa, kerja sama pemerintahan, serta evaluasi perkembangan desa;

d. penyusunan norma, standar prosedur, dan kriteria di bidan penataan desa, penyelenggaraan administrasi pemerintahan desa, pengelolaan keuangan dan aset desa, kelembagaan desa, dan kerja sama desa;

e. pelaksanaan pemantauan, evaluasi, dan pelaporan di bidang fasilitasi penataan desa, penyelenggaraan administrasi pemerintahan desa, pengelolaan keuangan dana aset desa, produk hukum desa, pemilihan kepala desa, perangkat desa, pelaksanaan penugasan urusan pemerintahan, kelembagaan desa, kerja sama pemerintahan, serta evaluasi perkembangan desa;

f. pemberian bimbingan teknis dan supervisi di bidang fasilitasi penataan desa, penyelenggaraan administrasi pemerintahan desa, pengelolaan keuangan dana aset desa, produk hukum desa, pemilihan kepala desa, perangkat desa, pelaksanaan penugasan urusan pemerintahan, kelembagaan desa, kerja sama pemerintahan, serta evaluasi perkembangan desa;

g. pelaksanaan administrasi Direktorat Jenderal Bina Desa; dan

h. pelaksanaan fungsi lain yang diberikan oleh Menteri.

Page 311: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

300 HUKUM PEMERINTAHAN DESA

Kewenangan Kementerian Desa termaktub dalam Pasal 2, Pasal 3, dan Pasal 4, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 12, dan Pasal 13 Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2015 tentang Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi.

Pasal 2

Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi mempunyai tugas menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pembangunan desa dan kawasan perdesaan, pemberdayaan masyarakat desa, percepatan pembangunan daerah tertinggal, dan transmigrasi untuk membantu Presiden dalam menyelenggarakan pemerintahan negara.

Pasal 3

Dalam melaksanakan tugas sebagimana dimaksud dalam Pasal 2, Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi menyelenggarakan fungsi:

a. perumusan, penetapan, dan pelaksanaan kebijakan di bidang pembangunan desa dan kawasan perdesaan, pemberdayaan masyarakat desa, pengembangan daerah tertentu, pembangunan daerah tertinggal, penyiapan pembangunan permukiman, dan pengembangan kawasan transmigrasi;

b. koordinasi pelaksanaan tugas, pembinaan, dan pemberian dukungan administrasi kepada seluruh unsur organisasi di lingkungan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi;

Page 312: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

301Perspektif, Konseptualisasi dan Konteks Yuridis

c. pengelolaan barang milik/kekayaan negara yang menjadi tanggung jawabnya;

d. pengawasan atas pelaksanaan tugas di lingkungan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi;

e. pelaksanaan bimbingan teknis dan supervisi atas pelaksanaan urusan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi;

f. pelaksanaan penelitian dan pengembangan, pendidikan dan pelatihan, serta pengelolaan informasi di bidang pembangunan desa dan kawasan perdesaan, pemberdayaan masyarakat desa, pengembangan daerah tertentu, pembangunan daerah tertinggal, dan transmigrasi; dan

g. pelaksanaan dukungan yang bersifat substantif kepada seluruh organisasi di lingkungan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi.

Pasal 4

Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi terdiri atas:

a. Sekretariat Jenderal;b. Direktorat Jenderal Pembangunan dan Pemberdayaan

Masyarakat Desa;c. Direktorat Jenderal Pembangunan Kawasan Perdesaan;d. Direktorat Jenderal Pengembangan Daerah Tertentu;e. Direktorat Jenderal Pembangunan Daerah Tertinggal;f. Direktorat Jenderal Penyiapan Kawasan dan

Pembangunan Permukiman Transmigrasi;

Page 313: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

302 HUKUM PEMERINTAHAN DESA

g. Direktorat Jenderal Pengembangan Kawasan Transmigrasi;

h. Inspektorat Jenderal;i. Badan Penelitian dan Pengembangan, Pendidikan dan

Pelatihan, dan Informasi;j. Staf Ahli Bidang Pembangunan dan Kemasyarakatan;k. Staf Ahli Bidang Pengembangan Ekonomi Lokal;l. Staf Ahli Bidang Pengembangan Wilayah;m. Staf Ahli Bidang Hubungan Antar Lembaga; dann. Staf Ahli Bidang Hukum.

Pasal 9

Direktorat Jenderal Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa mempunyai tugas menyelenggarakan perumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang pembinaan pengelolaan pelayanan sosial dasar, pengembangan usaha ekonomi desa, pendayagunaan sumber daya alam dan teknologi tepat guna, pembangunan sarana dan prasarana desa, dan pemberdayaan masyarakat desa sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 10

Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9, Direktorat Jenderal Pembangunan dan Pemberdayaan Masayarakat Desa melenggarakan fungsi:

a. perumusan kebijakan di bidang pembinaan pengelolaan pelayanan sosial dasar, pengembangan usaha ekonomi desa, pendayagunaan sumber daya alam dan teknologi tepat guna, dan pembangunan sarana prasarana desa, serta pemberdayaan masyarakat desa;

Page 314: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

303Perspektif, Konseptualisasi dan Konteks Yuridis

b. pelaksaan kebijakan di bidang pembinaan pengelolaan pelayanan sosial dasar, pengembangan usaha ekonomi desa, pendayagunaan sumber daya alam dan teknologi tepat guna, dan pembangunan sarana prasarana desa, serta pemberdayaan masyarakat desa;

c. penyusunan norma, standar, prosedur dan kriteria di bidang pembinaan pengelolaan pelayanan sosial dasar, pengembangan usaha ekonomi desa, pendayagunaan sumber daya alam dan teknologi tepat guna, dan pembangunan sarana prasarana desa, serta pemberdayaan masyarakat desa;

d. pemberian bimbingan teknis dan supervisi di bidang pembinaan pengelolaan pelayanan sosial dasar, pengembangan usaha ekonomi desa, pendayagunaan sumber daya alam dan teknologi tepat guna, dan pembangunan sarana prasarana desa, serta pemberdayaan masyarakat desa;

e. pelaksanaan evaluasi dan pelaporan di bidang pembinaan pengelolaan pelayanan sosial dasar, pengembangan usaha ekonomi desa, pendayagunaan sumber daya alam dan teknologi tepat guna, dan pembangunan sarana prasarana desa, serta pemberdayaan masyarakat desa;

f. pelaksanaan administrasi Direktorat Jenderal Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa; dan

g. pelaksanaan fungsi lain yang diberikan oleh Menteri.

Page 315: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

304 HUKUM PEMERINTAHAN DESA

Pasal 12

Direktorat Jenderal Pembangunan Kawasan Perdesaan mempunyai tugas menyelenggarakan perumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang perencanaan pembangunan kawasan perdesaan, pembangunan sara/prasarana kawasan perdesaan, dan pembangunan ekonomi kawasan perdesaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 13

Dalam melaksanakan tugas sebagimana dimaksud dalam Pasal 12, Direktorat Jenderal Pembangunan Kawasan Perdesaan menyelenggarakan fungsi:

a. perumusan kebijakan di bidang perencanaan pembangunan kawasan perdesaan, pembangunan sarana/prasarana kawasan perdesaan, dan pembangunan ekonomi kawasan perdesaan;

b. pelaksanaan kebijakan di bidang perencanaan pembangunan kawasan perdesaan, pembangunan sarana/prasarana kawasan perdesaan, dan pembangunan ekonomi kawasan perdesaan;

c. penyusunan norma, standar, prosedur dan kriteria di bidang perencanaan pembangunan kawasan perdesaan, pembangunan sarana/prasarana kawasan perdesaan, dan pembangunan ekonomi kawasan perdesaan;

d. pemberian bimbinganteknis dan supervisi di bidang perencanaan pembangunan kawasan perdesaan, pembangunan sarana/prasarana kawasan perdesaan, dan pembangunan ekonomi kawasan perdesaan;

Page 316: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

305Perspektif, Konseptualisasi dan Konteks Yuridis

e. pelaksanaan evaluasi dan pelaporan di bidang perencanaan pembangunan kawasan perdesaan, pembangunan sarana/prasarana kawasan perdesaan, dan pembangunan ekonomi kawasan perdesaan;

f. pelaksanaan administrasi Direktorat Jenderal Pembangunan Kawasan Perdesaan; dan

g. pelaksanaan fungsi lain yang diberikan oleh Menteri.

Implikasi nyata dari terbitnya Peraturan Presiden Nomor 11 Tahun 2015 tentang Kementerian Dalam Negeri dan Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2015 tentang Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi adalah adanya kepastian hukum kewenangan masing-masing kementerian. Apabila diilustrasikan dalam bentuk tabel adalah sebagai berikut:

Struktur OrganisasiPemerintahan Pusat

UrusanTerkaitDesa

Tugas Keterangan

KementerianDalam Negeri

Dire

ktor

at Je

nder

al

Bina

Pem

erin

taha

n D

esa

a. Penataan desa;b. Adminstrasi

Pemerintahan Desa;c. Keuangan dan aset desa;d. Produk hukum desa;e. Pemilihan kepala desa;f. Penugasan urusan

pemerintahan;g. Kelembagaan desa;h. Kerjasama

pemerintahan; dani. Evaluasi perkembangan

desa.

Peraturan Presiden Nomor 11 Tahun 2015 tentang Kementerian Dalam Negeri

Page 317: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

306 HUKUM PEMERINTAHAN DESA

Kementerian Desa,Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi

Direktorat Jenderal Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa

Direktorat Jenderal Pembangunan Kawasan Perdesaan

Pembangunan dan pemberdayaan masyarakat desa:a. Pelayanan sosial dasar;b. Pengembangan usaha

ekonomi desa;c. Pendayagunaan suber

daya alam dan teknologi tepat guna;

d. Pembangunan sarana prasarana desa; dan

e. Pemberdayaan masyarakat desa.

Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2015 tentang Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi

Pembangunan kawasan perdesaan:a. Perencanaan

pembangunan kawasan perdesaan;

b. Pembangunan sarana prasarana kawasan perdesaan; dan

c. Pembangunan ekonomi kawasan perdesaan.

Pembagian Tugas dan Wewenang Terkait DesaMeskipun telah terjadi kepastian hukum dalam

penyelenggaraan kewenangan namun demikian dalam taraf implementasinya ternyata menyisakan permasalahan, yaitu kurang koordinasinya antara Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi sehingga regulasi teknis berupa peraturan menteri yang dikeluarkan oleh kedua kementerian tersebut ada yang tidak sinkron. Ketidaksinkronan peraturan teknis ini berimplikasi

Page 318: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

307Perspektif, Konseptualisasi dan Konteks Yuridis

pada penyelenggaraan desentralisasi kewenangan kabupaten/kota berkaitan dengan kewenangan untuk mengatur dan mengelola desa. Sehingga menimbulkan kerugian di pihak kabupaten/kota maupun desa.

Peraturan Menteri Dalam NegeriPeraturan Menteri Desa, Pembangunan

Daerah Tertinggal, dan Transmigrasia. Peraturan Menteri Dalam

Negeri Nomor 111 Tahun 2014 tentang Pedoman Teknis Peraturan di Desa

b. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 112 Tahun 2014 tentang Pemilihan Kepala Desa;

c. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 113 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan Desa; dan

d. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 114 Tahun 2014 tentang Pedoman Pembangunan Desa.

a. Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pedoman Kewenangan Berdasarkan Hak Asal Usul dan Kewenangan Lokal Berskala Desa;

b. Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Nomor 2 Tahun 2015 tentang Pedoman Tata Tertib dan Mekanisme Pengambilan Keputusan Musyawarah Desa;

c. Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Nomor 3 Tahun 2015 tentang Pendampingan Desa;

d. Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Nomor 4 Tahun 2015 tentang Pendirian, Pengurusan dan Pengeloaan, dan Pembubaran Badan Usaha Milik Desa; dan

e. Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Nomor 5 Tahun 2015 tentang Penetapan Prioritas Penggunaan Dana Desa Tahun 2015.

Page 319: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

308 HUKUM PEMERINTAHAN DESA

Peraturan Menteri Dalam Negeri dan Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi.

Pada prinsipnya peraturan pelaksanaan termasuk di dalamnya adalah peraturan menteri disebut dengan delegated legislations sebagai subordinate legislations di bawah undang-undang. Disebut sebagai delegated legislation, karena kewenangan untuk menentukannya berasal dari kewenangan yang didelegasikan dari undang-undang oleh pembentuk undang-undang (legislature). Lembaga-lembaga yang menetapkan peraturan-peraturan itu pada umumnya adalah lembaga yang berada dalam ranah eksekutif tidaklah berwenang untuk menetapkan peraturan tersebut jika tidak mendapat delegasi kewenangan dari undang-undang. Karena itu, peraturan-peraturan itu biasa disebut juga dengan executive acts atau peraturan yang ditetapkan oleh lembaga pelaksana undang-undang itu sendiri.255

Dari beberapa peraturan menteri tersebut, baik Peraturan Menteri Dalam Negeri maupun Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi terdapat peraturan menteri yang tidak sinkron. Hal ini tentunya akan berimplikasi pada pelaksanaan kewenangan mengatur desa yang dilakukan oleh kabupaten/kota. Oleh karena peraturan menteri tersebut merupakan peraturan teknis pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Adapun peraturan menteri yang tidak sinkron adalah Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 114 Tahun 2014 tentang Pedoman Pembangunan Desa dengan Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2015 tentang Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi. Ketidaksinkronan itu terletak pada substansi hukum dari Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 114 Tahun 2014 tentang Pedoman

255Jimly Asshiddiqie, 2011, Perihal Undang-Undang, Jakarta: Rajawali Pers, hlm. 194.

Page 320: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

309Perspektif, Konseptualisasi dan Konteks Yuridis

Pembangunan Desa yang notabene berdasarkan Pasal 3 huruf a dan Pasal 10 Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2015 tentang Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi merupakan bagian kewenangan dari Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi.

Dengan adanya ketidaksinkronan ini akan menyebabkan permasalahan yang cukup signifikan baik di kabupaten/kota maupun desa. Oleh karena pembangunan desa berdasarkan Pasal 18 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa merupakan salah satu bidang kewenangan yang dimiliki oleh desa. Sehingga hal ini berkaitan pada permasalahan yaitu mengikuti peraturan menteri yang mana pelaksanaan pembangunan di desa, mengikuti Peraturan Menteri Dalam Negeri atau Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi.

Selanjutnya, hubungannya dengan kewenangan kabupaten/kota berdasarkan Pasal 115 huruf l Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa adalah kewenangan kabupaten/kota untuk melakukan percepatan pembangunan desa melalui bantuan keuangan, bantuan pendampingan, dan bantuan teknis serta Pasal 27 huruf a Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa yang mengatur bahwa kepala desa wajib menyampaikan laporan penyelenggaraan pemerintahan desa setiap akhir tahun anggaran kepada bupati/walikota. Secara lebih terperinci maksud dari laporan penyelenggaraan pemerintahan desa tersebut termaktub dalam Pasal 49 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, dimana laporan penyelenggaraan pemerintahan desa paling sedikit memuat: pertanggungjawaban penyelenggaraan pemerintahan desa, pertanggungjawaban pelaksanaan pembangunan, pelaksanaan

Page 321: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

310 HUKUM PEMERINTAHAN DESA

pembinaan kemasyarakatan, dan pelaksanaan pemberdayaan masyarakat.

Permasalahan yang muncul di sini adalah hampir sama dengan permasalahan yang muncul di desa yaitu berkaitan dengan domain keberlakuan peraturan menteri yang mengatur tentang pembangungan, mengikuti Peraturan Menteri Dalam Negeri atau Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi. Sehingga dapat ditarik suatu benang merah bahwa keberadaan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 114 Tahun 2014 tentang Pedoman Pembangunan Desa tidak relevan dengan Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2015 tentang Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi dan mengakibatkan ketidakpastian hukum yang berimplikasi negatif timbulnya ekses-ekses pada penyelenggaraan pemerintahan di daerah khususnya tentang berkaitan dengan pembangunan desa. Apalagi dengan adanya desentralisasi kekuasaan birokrasi diperlukan akuntabilitas yang ditunjang dengan kepastian hukum dari peraturan perundang-undangan yang mengaturnya.256

D. Peranan Desa dalam Menunjang Welfare StateSejak awal kemerdekaan, bangsa Indonesia telah mempunyai

perhatian besar terhadap terciptanya masyarakat yang adil dan makmur sebagaimana termuat dalam alenia ke-4 (empat) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteran umum, mencerdasakan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia

256Miftah Thoha, 2012, Birokrasi & Politik di Indonesia, Jakarta, PT RajaGrafindo Persada.

Page 322: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

311Perspektif, Konseptualisasi dan Konteks Yuridis

berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Program-program pembangunan yang dilaksanakan selama ini juga selalu memberikan perhatian besar terhadap upaya pengentasan kemiskinan karena pada dasarnya pembangunan yang dilakukan bertujuan meningkatkan kesejahteraan rakyat.257

Dalam negara kesejahteraan, untuk mencapai tujuan kesejahteraan masyarakat, negara dituntut hadir dalam segala aspek kehidupan sosial. Dengan demikian, tidak satupun aspek kehidupan masyarakat yang lepas dari campur tangan pemerintah.258 Dalam konteks ini desa harus berkontribusi dan mengambil peran strategis dalam mewujudkan welfare state (negara kesejahteraan) berdasarkan kewenangan yang dimilikinya. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa menjadi titik tolak bagi transformasi atau pembaharuan desa. Semangat yang dibangun adalah memberikan pengakuan eksistensi desa sebagai pilar pembangunan bangsa, memperkuat kewenangan dalam pengelolaan sumber daya, serta mendorong tata pemerintahan desa yang demokratis. Dengan begitu, desa diharapkan akan mandiri, mampu menciptakan kesejahteraan, serta menjadi jawaban atas problem-problem yang dialami masyarakat lokal.259

Optimalisasi peran desa dalam menunjang perwujudan welfare state di Negara Kesatuan Republik Indonesia ini didasari atas beberapa pertimbangan, yaitu:260

257Utang Rosidin, 2015, Otonomi Daerah dan Desentralisasi, CV Pustaka Setia, Bandung, hlm. 455.

258Ibid.259Indah Dwi Qurbani, 2014, “Menakar Peluang dan Tatangan terhadap Implementasi

Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa”, Jurnal Transisi, Edisi 9, hlm. 66.260Yansen TP, 2014, Revolusi dari Desa: Saatnya dalam Pembangunan Percaya Sepenuhnya

kepada Rakyat, Jakarta, Elex Media Komputindo, hlm. 46-47.

Page 323: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

312 HUKUM PEMERINTAHAN DESA

a. Desa merupakan tempat bermukimnya masyarakat yang ingin dibangun dan disejahterakan;

b. Desa memiliki aspek kearifan lokal yang sangat kaya dan beragam, yang mendominasi dan mewarnai kehidupan desa. Hal inilah yang sesungguhnya merupakan kekuatan utama yang menjadi spirit kehidupan berbangsa dan bernegara dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia;

c. Orientasi harus diarahkan atau tertuju ke desa apabila kita ingin sungguh-sungguh sukses mewujudkan cita-cita dan tujuan pembangunan; dan

d. Desa merupakan berpusatnya kegiatan dan aktivitas seluruh elemen dan komponen masyarakat dalam pemerintahan, pembangunan, dan pelayanan umum.

Setelah ditemukannya pertimbangan optimalisasi peran desa dalam menunjang welfare state, selanjutnya adalah evaluasi terhadap pembangunan yang dilaksanakan selama ini. Pola pembangunan yang dilaksanakan selama ini kurang maksimal untuk menyejahterakan rakyat. Hal ini disebabkan karena niat dan strategi stakeholders terkait khususnya desa kurang kuat, kurang jelas, dan kurang terarah ke penyelesaian masalah. Motivasi dan orientasi lebih banyak untuk kepentingan elite (pimpinan). Akibatnya terlalu banyak kebijakan yang jauh dari kebutuhan rakyat. Selain itu juga disebabkan oleh rendahnya keterlibatan masyarakat dalam pembangunan, tidak teridentifikasinya kebutuhan dasar masyarakat yang terbaca dalam pemetaan potensi dan permasalahan desa, serta dominasi intervensi pemerintah dan/atau pemerintah daerah terhadap desa.261 Implikasi kondisi tersebut adalah terwujudnya suatu kondisi ketimpangan hasil pembangunan

261Ibid., hlm. 48.

Page 324: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

313Perspektif, Konseptualisasi dan Konteks Yuridis

dengan apa yang diharapkan. Sehingga hal ini berakibat pada tingginya angka kemiskinan dan pengangguran yang jauh dari cita negara kesejahteraan.

Dengan kondisi yang demikian, optimaliasasi peran desa dalam menunjang perwujudan welfare state dapat dilakukan melalui mekanisme sebagai berikut: Pertama, upaya mewujudkan keterbukaan masyarakat desa. Jika desa bisa menjadi titik tolak pembangunan nasioanl yang bukan saja menyangkut pembangunan fisik, tetapi juga pembanguanan manusia desa seutuhnya dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa melalui potensi dan peluang yang dimiliki. Maka keterbukaan desa menjadi persyaratan utama, dengan keterbukaan maka gagasan dan paradigma baru akan masuk ke desa. Hal ini dapat diwujudkan melalui pendidikan di kalangan masyarakat desa, output dari proses ini adalah terwujudnya kemandirian desa yang dengan segala potensi dan bilamana dielaborasikan dengan kewenangan yang dimiliki, maka akan mendatangkan kesejahteraan dan kemaslahatan bagi segenap masyarakat desa.262 Kedua, percaya sepenuhnya pada masyarakat. Percaya kepada masyarakat merupakan modal dasar dan menjadi faktor pengungkit (leverage) dalam membangun rasa percaya diri masyarakat untuk berperan dalam pembangunan, oleh karena yang menikmati pembangunan dan kesejahteraan nantinya adalah masyarakat sendiri.263

Ketiga, optimalisasi pelimpahan urusan kepada pemerintah desa. Tindakan ini dimaksudkan untuk memberi ketegasan peran kepada masyarakat desa untuk melakukan usaha-usaha pembangunan. Sebagaimana kita dapat percaya kepada kemampuan masyarakat desa untuk membangun, maka dengan

262Aida Vitayala Hubeis, Op.Cit., hlm. 48.263Yansen TP, Op.Cit. hlm. 73.

Page 325: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

314 HUKUM PEMERINTAHAN DESA

sendirinya kita juga percaya atas kemampuan pemerintah desa untuk mengemban urusan yang akan didelegasikan kepada mereka. Pendelegasian urusan tertentu kepada desa ini akan menjadi kekuatan bagi pemerintah desa dalam mengelola potensi yang dimilikinya. Adapun hasil dari pengeolaan potensi yang dimiliki desa adalah terciptanya kemandirian desa, peningkatan kesejahteraan masyarakat desa, serta peningkatan Pendapatan Asli Desa yang nantinya akan diejawantahkan dalam bentuk program kesejahteraan dari desa baik berupa bantuan sosial, jaminan kesehatan, dan bantuan pendidikan yang semuanya ini berasal dari desa. Keempat, membina dan melatih aparatur/masyarakat desa. Hal ini merupakan langkah konkrit untuk membangun wawasan, pengertian, pemahaman, dan kemampuan bagi aparatur/masyarakat desa dalam upaya peningkatan kesejahteraan melalui penggarapan potensi yang ada di desa.264

Kelima, pendampingan pemerintahan dan masyarakat desa. Melalui upaya ini masyarakat dan pemerintah desa diharapkan dapat cepat memahami fungsi dan tugas pokoknya, serta mengerti dengan baik berbagai aspek pelaksanaannya.265 Pemahaman ini merupakan modal untuk mengelola desa ke depannya, selain itu pendampingan juga bertujuan sebagai bentuk fasilitasi penyelenggaraan pemerintahan desa, dalam pengertian ketika terjadi permasalahan dalam penyelenggaran pemerintahan desa. Maka dengan responsif pendamping dapat membantu menyelesaikannya melalui program pendampingan.

Akhirnya, setelah desa menemukan cara untuk berkontribusi positif dalam mewujudkan welfare state di Negara Kesatuan Republik Indonesia, maka desa akan bisa langsung merealisasikannya

264Ibid., hlm. 75.265Ibid., hlm. 76.

Page 326: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

315Perspektif, Konseptualisasi dan Konteks Yuridis

melalui kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan dan disepakati oleh seluruh komponen yang ada di desa. Misalnya saja, pengelolaan sumber air desa yang bisa dioptimalisasikan untuk air minum melalui Perusahaan Desa Air Minum (PDesAM) melalui Badan Usaha Milik Desa. Selain itu juga Badan Usaha Milik Desa bisa mengembangkan usahanya selain air minum yaitu dengan perikanan, pertanian, hingga pariwisata skala desa. Jika hal ini terwujud maka akan menyerap tenaga kerja yang nantinya akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat, meningkatkan perolehan Pendapatan Asli Desa yan dapat digunakan sebagai tambahan anggaran operasional penyelenggaraan pemerintahan desa dan pelayanan kepada masyarakat atau digunakan sebagai sumber anggaran untuk membiayai pelayanan kesehatan, pendidikan, dan sosial budaya skala desa.

Selain itu, juga untuk mewujudkan kemandirian di bidang bidang ekonomi pada tingkat desa agar tidak tergantung pada pihak manapun, juga yang tidak kalah pentingnya adalah penguasaan terhadap sumber daya yang dimiliki sebagai bentuk implementasi Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan bahwa Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.266 Penguasaan sumber daya dalam hal ini adalah suber daya air merupakan salah satu upaya untuk mewujudkan negara kesejahteraan dengan pendekatan tingkat desa, daripada dikelola oleh investor yang tentunya akan lebih menguntungkan investor daripada masyarakat desa. Pembangunan dan pengembangan masyarakat (community development) dalam konteks negara kesejahteraan harus melibatkan stakeholders terkait dan masyarakat

266Wahyuni Refi dan Ziyad Falahi, Op.Cit, Jakarta, 2014, hlm. 1.

Page 327: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

316 HUKUM PEMERINTAHAN DESA

yang saling teritegrasi kepentingan dan keinginannya dalam rangka meningkatkan kondisi masyarakat di bidang ekonomi, sosial, politik, dan budaya, serta untuk mensinergikan gerakan kemajuan dan kemakmuran bangsa.267

267Fredian Tonny Nasdian, 2014, Pengembangan Masyarakat, Yayasan Pustaka Obor Indonesia, Jakarta, hlm. v.

Page 328: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

317

BAB XII

PENUTUP

Di muka sudah dibahas tentang perkembangan pengaturan Desa. Pembahasan itu telah juga didahului dengan konseptualisasi mengenai pengertian, asal-usul istilah, praktik Desa atau nama lain sebagai satuan pemerintahan menurut hukum adat/hukum asli Indonesia, dan perkembangan penempatannya dalam konteks penyelenggaraan pemerintahan daerah. Memang, semenjak Hindia Belanda, pengaturan Desa tidak terlepas dari pemerintahan daerah, baik melalui peraturan perundang-undangan yang berdiri sendiri maupun “satu paket” dengan peraturan mengenai pemerintahan daerah itu sendiri.

Secara normatif, perkembangan pengaturan pemerintahan desa pertama-tama selalu berlandaskan dalam pemahaman (begrip) bahwa Desa-Desa yang beraneka ragam sejak dulu merupakan basis penghidupan masyarakat yang mempunyai otonomi. Desa dipandang sebagai kesatuan masyarakat yang mempunyai kearifan lokal menurut hukum adat dan berwenang dalam mengelola sumber daya alam dan penduduk. Bahkan, semenjak kelahiran Undang-Undang Dasar 1945, Desa dipandang menjadi landasan dan bagian dari pengaturan pemerintahan sesudahnya. Namun berbagai data menujukkan pemahaman yang demikian tidak memiliki kejelasan

Page 329: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

318 HUKUM PEMERINTAHAN DESA

konsep yaitu apakah merupakan praktik ketatanegaraan semenjak sebelum republik atau sekadar penafsiran historis, yang kemudian secara oportunistik diberikan penjelasan guna “menyelipkan” kepentingan, terutama ide-ide kecukupan, keseimbangan, dan harmoni, untuk dasar sistem pemerintahan yang dikehendaki. Tetapi yang pasti, pada akhirnya, Undang-Undang Dasar 1945 sama sekali tidak pernah memberikan pengaturan mengenai Desa. Hanya saja, pemahaman normatif tersebut, dalam praktik pengaturan, terutama semenjak pasca proklamasi, dimaknai secara berbeda-beda, khususnya bagaimanakah menempatkan Desa, baik sebagai entitas, sebagai kesatuan masyarakat, sebagai organisasi pemerintahan, maupun sebagai perwujudan desentralisasi, dari satu pengaturan di suatu masa ke pengaturan pada masa berikutnya.

Ditinjau dari pengertian, konsep desa sebagai entitas sosial sangat beragam, yaitu sesuai dengan maksud dan sudut pandang yang hendak digunakan dalam melihat desa. Sebutan Desa dapat berupa konsep tanpa makna politik, namun juga dapat berarti suatu posisi politik dan sekaligus kualitas posisi di hadapan pihak atau kekuatan lain.

Pengaturan mengenai posisi Desa, dari uraian-uraian di muka menunjukkan hal-hal sebagai berikut:

1. Dari segi istilah, arah, kedudukan, kewenangan, kelembagaan, dan penyelenggaraan pemerintahan menunjukkan perubahan yang disebabkan perbedaan sudut pandang secara politik dan hukum dalam memandang konsep otonomi desa;

2. Terjadi inkonsistensi dalam penempatan desa sebagai satuan pemerintahan, yaitu dari sudut pandang menurut prinsip non hierarkis pemerintahan hingga menurut prinsip hierarkis pemerintahan. Dalam prinsip non hierarkis pemerintahan,

Page 330: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

319Perspektif, Konseptualisasi dan Konteks Yuridis

Desa dipandang sebagai kesatuan masyarakat menurut hukum asli bangsa Indonesia dan berwenang menyelenggarakan urusan rumah tangganya sendiri, sementara prinsip hierarkis pemerintahan, Desa dipandang sebagai bagian pemerintahan di daerah yang pemosisiannya bervariasi: (i) secara otomatis merupakan satuan pemerintahan daerah yang terendah dengan kekuasaan mengatur dan menyelenggarakan urusan sendiri (1945-1957); (ii) secara otomatatis merupakan satuan pemerintahan daerah yang terendah dan berbentuk wilayah administratif dengan pembedaan penuh dengan wilayah yang berkualifikasi sebagai daerah swapraja (1957-1965); (iii) merupakan satuan pemerintahan daerah berbentuk wilayah administratif dengan nomenklatur dan derajat otonomi yang seragam (1965-1974); (iv) merupakan satuan pemerintahan dalam bentuk wilayah administratif yang memiliki organisasi pemerintahan terendah di bawah Camat (1974-1999); dan (iv) merupakan satuan pemerintahan dengan nomenklatur dan derajat otonomi yang berbeda-beda, tetapi menjadi bagian dari satuan pemerintahan daerah (1999-sekarang).

Tata pengaturan terakhir terus berlangsung sampai dengan era reformasi. Semangat UU Nomor 32 Tahun 2004 yang meletakan posisi Desa yang berada di bawah Kabupaten tidak koheren dan konkruen dengan nafas lain dalam undang-undang tersebut yang justru mengakui dan menghormati kewenangan asli yang berasal dari hak asal-usul. Pengakuan pada kewenangan asal-usul ini menunjukkan bahwa Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 menganut prinsip pengakuan (rekognisi). Kosekuensi dari pengakuan atas otonomi asli adalah Desa memiliki hak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri berdasarkan asal-usul

Page 331: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

320 HUKUM PEMERINTAHAN DESA

dan adat-istiadat setempat (self governing community), dan bukan merupakan kewenangan yang diserahkan pemerintahan atasan pada Desa. Adanya dua prinsip/asas dalam pengaturan tentang Desa tentu saja menimbulkan ambivalensi dalam menempatkan kedudukan dan kewenangan Desa. Pertanyaan yang paling mendasar adalah apakah Desa memiliki otonomi?

Berdasarkan uraian di muka, setidaknya ada 3 (tiga) posisi politik desa bila ditempatkan dalam formasi negara. Pertama, desa sebagai organisasi komunitas lokal yang mempunyai pemerintahan sendiri atau disebut dengan self-governing community. Dalam tradisi Minangkabau, self-governing community ini identik dengan “republik kecil”, sebuah posisi yang dimiliki nagari-nagari pada masa lampau. Self-governing community berarti komunitas lokal membentuk dan menyelenggarakan pemerintahan sendiri berdasarkan pranata lokal, bersifat swadaya dan otonom, tidak dibentuk oleh kekuatan eksternal dan tidak terikat secara struktural dengan organisasi eksternal seperti negara.

Secara historis, tidak hanya nagari di Minangkabau yang punya predikat self-governing community, tetapi juga desa-desa di Jawa maupun komunitas adat di daerah-daerah lain di Indonesia. Kita juga mengenal pengalaman self-governing community dalam bentuk commune di Eropa Daratan atau parish di Inggris Raya, yang setara dengan desa di Indonesia. Meskipun sudah ada negara-bangsa yang lebih besar, sampai saat ini commune dan parish masih tetap ada sebagai organisasi komunitas lokal yang tidak berurusan dengan adminitrasi pemerintahan negara.

Kedua, desa sebagai bentuk pemerintah lokal yang otonom atau disebut local self government. Local self government ini merupakan bentuk pemerintahan lokal secara otonom, sebagai konsekuensi dari desentralisasi politik (devolusi), yakni negara

Page 332: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

321Perspektif, Konseptualisasi dan Konteks Yuridis

mengakui pemerintah daerah yang sudah ada atau membentuk daerah baru, yang kemudian disertai pembagian atau penyerahan kewenangan kepada pemerintah lokal. Artinya daerah membentuk sendiri institusi-institusi pemerintah daerah, pemerintah daerah mempunyai keleluasaan penuh dalam perencanaan pembangunan dan anggaran, menyelenggarakan pelayanan publik serta bertanggungjawab kepada rakyat setempat.

Sementara, bagi desa, sebutan “otonomi asli” merupakan bentuk otonomi tradisional dalam kerangka self governing community, dan posisi local self government merupakan bentuk “otonomi modern” dalam payung negara bangsa. Jika desa akan dikembangkan menjadi local self government, maka yang harus dilakukan bukan sekadar menegaskan kewenangan asal-usul, melainkan negara melakukan desentralisasi politik 2 (devolusi) kepada desa, seperti yang dilakukan negara kepada daerah.

Ketiga, desa sebagai bentuk pemerintahan negara di tingkat lokal atau disebut dengan local state government. Ini merupakan bentuk lain dari pemerintahan yang sentralistik, yang tidak melakukan devolusi, melainkan hanya melakukan dekonsentrasi. Contoh yang paling jelas dari tipe ini adalah kecamatan dan kelurahan. Keduanya bukan unit pemerintahan lokal yang otonom atau menerima desentralisasi dari negara, melainkan sebagai kepanjangan tangan negara di tingkat lokal. Daerah maupun desa di masa Orde Baru juga dibuat sebagai kepanjangan tangan negara (local state government). Model local state government ini jelas menimbulkan banyak kerugian: ketimpangan ekonomi-politik pusat dan lokal, ketergantungan dan ketidakmampuan lokal, dan hilangnya kedaulatan rakyat.

Ketiga posisi di atas bersifat absolut, harus dibedakan dan dipilah secara tegas dan jelas. Penempatan posisi daerah atau desa

Page 333: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

322 HUKUM PEMERINTAHAN DESA

tidak boleh menggabungkan lebih dari satu model, melainkan harus tegas memilih salah satu model agar penggunaan kewenangan, pengambilan keputusan, penyelenggaraan pemerintahan dan hubungan antarpemerintah lebih jelas dan efektif. Penggabungan lebih dari satu model tentu akan menimbulkan ketidakjelasan penyelenggaraan pemerintahan. Contoh yang paling konkret adalah posisi ganda provinsi. Kabupaten/kota maupun masyarakat sering menuding ketidakjelasan peran provinsi dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan publik. Ini terjadi karena posisi ganda provinsi: di satu sisi ia sebagi daerah otonom (local self government) yang menerima desentralisasi, di sisi lain provinsi juga kepanjangan tangan pusat (local state government) yang menerima dekonsentrasi.

Di era Indonesis modern, selama enam dekade terakhir posisi desa tidak pernah tegas dan jelas. Campuran antarmodel digunakan untuk menempatkan posisi desa. Sampai era Orde Baru, sisa-sisa self governing community di ara desa masih terasa, tetapi melalui Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 pemerintah menempatkan daerah dan desa sebagai local state government alias sebagai kepanjangan tangan negara. Masyarakat lokal sangat resisten dengan intervensi negara ini, sehingga tujuan kontrol negara, modernisasi pemerintahan desa dan penyelenggaraan pemerintahan desa tidak berjalan optimal. Kecuali di Jawa, masyarakat lokal selain kehilangan kedaulatan juga menghadapi dualisme antara desa negara dengan organisasi adat.

Ketidakjelasan kedudukan dan kewenangan Desa dalam Uundang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 menunjukkan bahwa arah pengaturan belum kuat mengarah pada pencapaian cita-cita Desa yang mandiri, demokratis dan sejahtera. Sejak lahir Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 otonomi (kemandirian) Desa selalu menjadi bahan perdebatan dan bahkan menjadi tuntutan riil

Page 334: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

323Perspektif, Konseptualisasi dan Konteks Yuridis

di kalangan asosiasi Desa (sebagai representasi Desa), tetapi sampai sekarang belum terumuskan visi bersama apa makna otonomi Desa.

Disain kelembagaan pemerintahan Desa yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 juga belum sempurna sebagai visi dan kebijakan untuk membangun kemandirian, demokrasi dan kesehteraan Desa. Isu keragaman, misalnya, selalu mengundang pertanyaan tentang format dan disain kelembagannya. Meskipun Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 mengedepankan keragaman, tetapi banyak kalangan menilai bahwa disain yang diambil tetap Desa baku (default village), sehingga kurang memberi ruang bagi optional village yang sesuai dengan keragaman lokal. Format bakunya adalah Desa administratif (the local state government), yang tentu bukan Desa adat yang mempunyai otonomi asli (self governing community) dan bukan juga Desa otonom (local self government) seperti daerah otonom. Ketentuan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tidak menempatkan Desa pada posisi yang otonom, dan tidak membolehkan terbentuknya Desa adat sendirian tanpa kehadiran Desa administratif. Baik Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 maupun Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 menempatkan Desa sebagai bagian (subsistem) pemerintahan kabupaten/kota.

Dengan watak pengaturan yang demikian, ke depan perlu dilakukan evaluasi dan telaah dengan membentuk undang-undang yang mengatur desa secara tersendiri, yang mampu menjawab persoalan-persoalan di bawah ini:

1. Bagaimanakah kedudukan (posisi) Desa yang tepat dalam konteks ketatanegaraan dan semesta desentralisasi di Indonesia? Apakah Desa berada dalam subsistem

Page 335: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

324 HUKUM PEMERINTAHAN DESA

pemerintahan kabupaten/kota atau sebagai subsistem negara kesatuan?;

2. Bagaimana memperkuat kewenangan Desa agar dapat lebih berdaya dalam mengatur dan mengurus dirinya sendiri? Bagaimana mengembalikan dan mengembangkan prinsip subsidiarity dalam rangka memperkuat kewenangan Desa.

3. Bagaimana skema pembagian (penyerahan) kewenangan, perencanaan dan keuangan kepada Desa?

4. Bagaimana memperkuat peran lembaga-lembaga yang ada di Desa (institution building) dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan, pembangunan dan pemberdayaan masyarakat? Bagaimana mensinergiskan peran lembaga-lembaga bentukan dan lembaga-lembaga asli yang ada di Desa?

5. Bagaimana relasi antara pemerintah nasional, provinsi, kabupaten/kota, kecamatan dan Desa yang memungkinkan penguatan otonomi Desa?Bagaimana mengembangkan prinsip kerjasama Desa dalam memecahkan masalah dan mengembangkan networking antar Desa?

6. Bagaimana posisi dan peran Desa dalam skema pembangunan nasional dan pembangunan derah yang memungkinkan Desa dan masyarakat menjadi subyek yang mandiri dan kuat?

7. Apa sajakah sumber-sumber ekonomi yang seharusnya diserahkan dan dikembangkan sebagai penopang basis penghidupan masyarakat, pembangunan dan kesejahteraan?

8. Apa makna, prinsip dasar dan format demokrasi yang tepat di aras Desa yang memungkinkan tumbuhnya pemerintahan Desa yang kuat dan rakyat Desa yang berdaulat?

Page 336: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

325Perspektif, Konseptualisasi dan Konteks Yuridis

9. Bagaimana posisi dan peran lembaga-lembaga kemasyarakatan Desa?

10. Bagaimana skema birokrasi (perangkat) Desa yang kondusif bagi efektivitas penyelenggaraan pemerintahan, pelayanan publik dan pelaksanaan pembangunan Desa?

Dalam hubungannya dengan keinginan yang kuat untuk mewujudkan pembentukan Undang-Undang Desa, hal ini semakin menunjukkan adanya suatu kesadaran dan komitmen politik yang sangat tinggi untuk menempatkan dan memfokuskan Desa sebagai sendi-sendi negara yang sangat penting dalam rangka mempercepat dan mendukung pemerintahan di atasnya. Secara Yuridis, dengan pembentukan Undang Undang Desa ini maka akan semakin memperjelas kedudukan Desa dalam tata pemerintahan di Indonesia, hal ini dikarenakan akan kembali sesuai dengan amanat Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945.

Page 337: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi
Page 338: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

327

DAFTAR PUSTAKA

AAGN Ari Dwipayana dkk, 2003, Membangun Good Governance di Desa, Yogyakarta, Ire Press.

Aan Eko Widiyanto dan Rachmat Syafaat, 2006, Rekonstruksi Politik Hukum Pemerintahan Desa dari Desa Terkooptasi dan Marginal Menuju Desa Otonom dan Demokratis, Malang, Penerbit Sekretariat Penguatan Otonomi Desa Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya.

Ade Saptomo, 2010, Hukum dan Kearifan Lokal Revitalisasi Hukum Adat Nusantara, Jakarta, Penerbit Grasindo.

Adnan Buyung Nasution, 2009, Aspirasi Pemerintahan Konstitusional di Indonesia: Studi Sosio Legal atas Konstituante 1956-1959, Cetakan Ketiga, Jakarta, Penerbit Pustaka Utama Grafiti bekerjasama dengan Eka Tjipta Foundation.

Aida Vitayala Hubeis dkk, 2011, Menuju Desa 2030, Bogor, Crestpent Press.

Aidul Fitriciada Azhari, 2000, Sistem Pengambilan Keputusan Demokratis Menurut Konstitusi, Surakarta, Penerbit UMS Press.

Alfian, 1986, Pemikiran dan Perubahan Politik di Indonesia, Jakarta, Penerbit Gramedia Pustaka Utama.

Amrah Muslimin, 1986, Aspek-aspek Hukum Otonomi Daerah, Bandung, Penerbit Alumni.

Page 339: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

328 HUKUM PEMERINTAHAN DESA

Arbi Sanit, “Problematik Otonomi Daerah dan Distribusi Kekuasaan Pusat-Daerah” dalam Syamsuddin Haris et.al., 2000, Paradigma Baru Hubungan Pusat-Daerah di Indonesia: Format Otonomi Daerah Masa Depan, Jakarta, Penerbit Kantor Menteri Negara Riset dan Teknologi bekerjasama dengan Lembaga Ilmu Pengatahuan Indonesia.

Ateng Sjaffrudin, 1991, Titik Berat Otonomi pada Daerah Tingkat II dan Perkembangannya, Bandung, Penerbit Mandar Maju.

Ateng Syarifudin, “Pasang Surut Otonomi Daerah”, Orasi Dies Natalis Universitas Parahiyangan, Bandung, 1983.

Azwardi Sukanto, 2014, “Efektifitas Alokasi Dana Desa dan Kemiskinan di Provinsi Sumatra Selatan”, Jurnal Ekonomi Pembangunan, Vol. 12, No. 1.

Bagir Manan, 1990, Hubungan Pusat dan Daerah Menurut UUD 1945, Jakarta, Penerbit Pustaka Sinar Harapan.

Bagir Manan, “Suatu Kaji Ulang atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974”, Majalah Pro Justitia No. 2 Tahun XI, April 1991.

Bagir Manan, 1993, Perjalanan Historis Pasal 18 UUD 1945, Karawang, UNSIKA.

Bagir Manan, 2001, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, Jogjakarta, Penerbit UII Press.

Bagir Manan, “Dasar dan Dimensi Politik Otonomi dan UU No. 22 Tahun 1999”, makalah, Bandung, 1999.

Bayu Surianingrat, 1980, Desa dan Kelurahan Menurut UU No.5/1979, Jakarta.

B.C. Smith, 1985, Decentralization: The Territorial Dimension of the State, London, Asia Publishing House.

Page 340: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

329Perspektif, Konseptualisasi dan Konteks Yuridis

Bhenyamin Hossein, 1993, Berbagai Faktor yang Mempengaruhi Besarnya Otonomi Daerah Tingkat II Suatu Kajian Dsentralisasi dan Otonomi Daerah dari Segi Ilmu Administrasi Negara, disertasi Fakultas Pascasarjana, Universitas Indonesia.

Bhenyamin Hossein, 2001, “Transparansi Pemerintahan”, Jurnal Inovasi, November.

B. Hestu Cipta Handoyo, 1998, Otonomi Daerah: Titik Berat Otonomi dan Urusan Rumah Tangga Daerah Pokok-Pokok Pikiran Menuju Reformasi Hukum di Bidang Pemerintahan Daerah, Jogjakarta, Penerbit Universitas Atma Jaya.

Dharma Setyawan Salam, 2003, Otonomi Daerah dalam Perspektif Lingkungan, Nilai, dan Sumber Daya, Jakarta, Penerbit Djambatan.

Denny Indrayana, 2007, Amandemen UUD 1945 Antara Mitos dan Pembongkaran, Bandung, Penerbit Mizan.

Departemen Dalam Negeri, 2007, Laporan Akhir Studi Revitalisasi Otonomi Desa, Jakarta, Direktorat Pemberdayaan Masyarakat Desa.

Deytri Robekka Aritonang, “Jokowi-JK Andalkan Nawa Cita, Sembilan Agenda Prioritas Indonesia, Kompas, 20 Mei 2014.

Didik Sukriono, 2013, Hukum, Konstitusi dan Konsep Otonomi: Kajian Politik Hukum tentang Konstitusi, Otonomi Daerah dan Desa Pasca Perubahan Konstitusi, Malang, Setara Press.

“Dirjen PMD Ogah Gabung Kementerian Desa, Marwan: Kita Bikin Baru”, http://www. jpnn.com/read/ 2014/11/25/271979/ Dirjen-PMD-Ogah- Gabung- Kementerian-Desa,- Marwan:-Kita-Bikin-Baru, diakses 14 Februari 2015, Pukul 09.30.

Page 341: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

330 HUKUM PEMERINTAHAN DESA

Earlita Korompis, 2013, “Kinerja Badan Permusyawaratan Desa dalam Menjalankan Fungsi Pengawasan Pemerinatahan”, Jurnal Eksekutif, Vol. 2, No. 1.

E.B. Sitorus, dkk, 2007, Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang tentang Desa, Jakarta, Direktorat Jenderal Pemberdayaan Masyarakat Desa.

Fredian Tonny Nasdian. 2014. Pengembangan Masyarakat. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.

George Mc Turnan Kahin, 1995, Nasionalisme dan Revolusi di Indonesia, Jakarta, Penerbit Pustaka Sinar Harapan kerja sama dengan Sebelas Maret University Press.

Hanif Nurcholish, 2005, Teori dan Praktik Pemerintahan dan Otonomi Daerah, Jakarta, Penerbit Grasindo.

_________________, 2012, Pertumbuhan dan Penyelenggaraan Pemerintahan Desa, Jakarta, Penerbit Erlangga.

Henry Maddick, 1996, Democracy: Decentralization and Development, London, Asia House Publishing.

I Gde Pantja Astawa, 2009, Problematika Hukum Otonomi Daerah di Indonesia, Bandung: Alumni.

J.H.A. Logemann, 1982, Keterangan-Keterangan Baru Tentang Terjadinya Undang-Undang Dasar Hindia Belanda, Malang, Penerbit Laboratorium Pancasila IKIP Malang.

Jimly Asshiddiqie, 1994, Gagasan Kedaulatan Rakyat dalam Konstitusi dan Pelaksanaan di Indonesia, Jakarta, Ind-Hill Co.

________________, 2011, Perihal Undang-Undang, Jakarta, Rajawali Pers.

________________, 2012, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, Jakarta, Sinar Grafika.

Page 342: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

331Perspektif, Konseptualisasi dan Konteks Yuridis

J. Rulland, 1993, Urban Development in Southeast Asia: Regional Cities and Local Government, Bouldier, Westview Press.

James Manor, 1999, The Political Economy of Democratic Decentralization, Washington D.C., World Bank.

Kanneth Dacey, “Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah di Indonesia”, dalam Niekh Dvas, et.al., 1989, Keuangan Pemerintah Daerah di Indonesia, Jakarta, Penerbit UI Press.

Lincolin Arsyad dkk, 2011, Strategi Pembangunan Perdesaan Berbasis Lokal, Yogyakarta, Unit Penerbit dan Percetakan STIM YKPN.

Lukman Hakim, 2012, Filosofi Kewenangan Organ dan Lembaga Daerah: Perspektif Teori Otonomi & Desentralisasi dalam Penyelenggaraan Pemerintah Negara Hukum dan Kesatuan, Malang, Setara Press.

Indah Dwi Qurbani, 2014, “Menakar Peluang dan Tantangan terhadap Implementasi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, Jurnal Transisi, Vol. 1, No. 1.

Irawan Soejito, 1990, Hubungan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, Jakarta, Penerbit Rineka Cipta.

Mawhood P. (Editor), 1987, Local Government in the Third World:The Experience of Tropical Africa, Chicheser, John Wiley & Son.

Meutia Farida Swasono, 1980, Bung Hatta, Pribadinya dalam Kenangan, Jakarta, Penerbit Sinar Harapan.

Miftah Thoha, 2012, Birokrasi & Politik Indonesia, Jakarta, PT RajaGrafindo Persada.

Muhammad Djafar Saidi. 2014. Hukum Keuangan Negara. Jakarta: PT RajaGrafindo.

Page 343: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

332 HUKUM PEMERINTAHAN DESA

Mohammad Hatta, “Menuju ke Arah Kedaulatan Rakyat”, dalam Miriam Budiardjo (Editor), 1986, Masalah Kenegaraan, Jakarta, Penerbit Gramedia Pustaka Utama.

Muh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, 1983, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Jakarta, Penerbit Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia.

Moch Solekhan, 2014, Penyelenggaraan Pemerintahan Desa Berbasis Partisipasi Masyarakat, Malang, Setara Press.

Moh. Mahfud M.D., 2006, Politik Hukum di Indonesia, Jakarta, Penerbit LP3ES.

M Solly Lubis, 2014, Politik Hukum dan Kebijakan Publik (Legal Policy and Public Policy), Bandung, Penerbit CV Mandar Maju.

M Suparmoko, 2013, Keuangan Negara: Dalam Teori dan Praktik, Yogyakarta, BPFE.

Ni’matul Huda, 2009, Hukum Pemerintahan Daerah, Jogjakarta, Penerbit UII Press.

________________, 2015, Hukum Pemerintahan Desa: Dalam Konstitusi Indonesia Sejak Kemerdekaan Hingga Era Reformasi, Malang, Setara Press.

Miriam Budiardjo, 2008, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Edisi Revisi, Jakarta, Penerbit Gramedia Pustaka Utama.

“Pemerintah Siapkan Masyarakat Hadapi MEA”, Tribun Jogja, Edisi Minggu 17 Januari 2016.

Pratikno, “Hubungan Pusat-Daerah Gelombang Ketiga: Sosok Otonomi Dearah di Indonesia Pasca Soeharto”, dalam www.pratikno.staff.ugm.ac.id, diakses di Sukoharjo pada tanggal 14 April 2010, pukul 2.06 WIB.

Page 344: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

333Perspektif, Konseptualisasi dan Konteks Yuridis

RDH. Koesoemahatmadja, 1979, Pengantar Ke Arah Sistem Pemerintahan Daerah di Indonesia, Bandung, Penerbit Bina Cipta.

Rusdianto Sesung, 2013, Hukum Otonomi Daerah: Negara Kesatuan, Daerah Istimewa, dan Daerah Otonomi Khusus, Bandung: Refika Aditama.

Sadu Wasistiono, 2006, Prospek Pengembangan Desa, Bandung, Penerbit Fokus Media.

Satriyo Wibowo, “Siapkah Kita Mengahadapi Tantangan MEA 2016?”, http://inet. detik.com/ read/ 2016/01/14/ 074608/ 3118080/398/ siapkah- kita- menghadapi-tantangan-mea-2016, diakses tanggal 15 Januari 2016 pukul 18.00 WIB.

Siswanto Sunarno, 2012, Hukum Pemerintahan Desa di Indonesia, Jakarta, Sinar Grafika.

Slamet Suhartono, 2008, “ Norma Samar (Vage Norm) Sebagai Dasar Hukum Pengambilan Keputusan Tata Usaha Negara”, Yustisia. Edisi 79.

Slater, 1990, “Debating of Decentralisation: A Reply to Rondinelli, Development and Change, Vol. 21.

Soehino, 1983, Perkembangan Pemerintahan di Daerah, Jogjakarta, Penerbit Liberty.

Soehino, 2002, Hukum Tata Negara: Pemerintah Daerah Berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, Jogjakarta, BPFE Yogyakarta.

Soetandyo Wignjosoebroto, 2004, Desentralisasi dalam Tata Pemerintahan Kolonial Belanda: Kebijakan dan Upya Sepanjang Babak Akhir Kekuasaan Kolonial di Indonesia (1900-1940), Malang, Penerbit Bayumedia Publishing.

Page 345: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

334 HUKUM PEMERINTAHAN DESA

Solly Lubis, 1983, Perkembangan Garis Politik dan Perundang-undangan Pemerintahan Daerah, Bandung: Alumni.

Sujamto, 1984, Otonomi Daerah yang Nyata dan Bertanggung Jawab, Jakarta, Penerbit Ghalia Indonesia.

Sumber Saparin, 1979, Tata Pemerintahan dan Administrasi Pemerintahan Daerah, Jakarta, Penerbit Ghalia Indonesia.

Sutoro Eko, “Mempertegas Posisi Politik dan Kewenangan Desa”, dalam www.forumdesa.com, diakses di Sukoharjo pada tanggal 22 April 2010.

S. Wojowasit, 2001, Kamus Umum Belanda-Indonesia, Jakarta, Penerbit Ictiar Baru van Hoeve.

Syarief Hidayat, “Desentralisasi di Indonesia: Tinjauan Literatur”, dalam Syarief Hidayat et.al., 2005, Otonomi Daerah dalam Perspektif Lokal, Jakarta, LIPI.

Utang Rosidin, 2015, Otonomi Daerah dan Desentralisasi, Bandung, CV Pustaka Setia.

Wahyudi Kumorotomo, 2008, Desentralisasi Fiskal: Politik dan Perubahan Kebijakan 1974-2004, Jakarta, Kencana Prenada Media Grup.

Wahyuni Refi dan Ziyad Falahi, 2014, Desa Cosmopolitan: Globalisasi dan Masa Depan Kekayaan Indonesia, Jakarta, Change Publication.

Yansen TP, 2014, Revolusi dari Desa: Saatnya dalam Pembangunan Percaya Sepenuhnya kepada Rakyat, Jakarta, Elex Media Komputindo.

Yusril Ihza Mahendra, 1996, Dinamika Tatanegara Indonesia: Kompilasi Aktual Masalah Konstitusi, Dewan Perwakilan, dan Sistem Kepartaian, Jakarta, Penerbit Gema Insani Press.

Page 346: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

335

BIOGRAFI PENULIS

Dr. Isharyanto, S.H., M.Hum. Lahir di Gunung Kidul, 1 Mei 1978. Merupakan dosen hukum tata negara Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret sejak 2004. Menyelesaikan pendidikan sarjana pada Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (2001), Magister Hukum Universitas Gadjah Mada (2003), dan

Doktor Ilmu Hukum Universitas Sebelas Maret (2014). Pernah menempuh Sandwich Like Program di School of Economics, Law, and Governemnt Utrecht University, Netherland (2012) untuk memperdalam riset hukum dan penulisan jurnal internasional. Pernah menjabat sebagai Sekretaris Badan Mediasi dan Bantuan Hukum Universitas Sebelas Maret (2004-2011), Kepala Pusat Penelitian Konstitusi dan Hak Asasi Manusia LPPM Universitas Sebelas Maret (2010-2012), dan Koordinator Tenaga Ahli Rektor Bidang Hukum (2015-sekarang). Aktif melakukan penelitian antara lain Hibah Kajian Wanita (2005), Hibah Strategi Nasional Dirjen Dikti (2012 dan 2013), Hibah Penelitian Unggulan Perguruan Tinggi (2015), dan Hibah Prioritas Nasional MP3EI Dirjen Dikti (2016), serta penelitian yang dibiayai oleh PNBP Universitas Sebelas Maret (2013 dan 2015). Ia juga aktif menulis di media nasional dan lokal untuk isu-isu hukum dan politik serta berpengalaman melakukan advokasi kebijakan publik dan menjadi mentor dalam bimbingan teknis pengembangan fungsi lembaga-lembaga pemerintahan.

Page 347: PEMERINTAHAN - Layanan F.Hukum UNS file/Buku...Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan Konteks Yuridis). Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan bagi

336 HUKUM PEMERINTAHAN DESA

Dila Eka Juli Prasetya, S.H. Lahir di Kabupaten Klaten, 18 Juli 1993. Merupakan Mahasiswa Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta dengan Konsentrasi Hukum Kebijakan Publik. Menyelesaikan pendidikan sarjana pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta pada tahun 2015. Aktif menjadi

asisten dosen dan asisten peneliti di kampusnya. Minat utamanya adalah mengkaji isu-isu hukum kebijakan publik pemerintahan daerah dan desa.