8
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Lichens
2.1.1 Klasifikasi Lichens
Menurut Meijer (2006) Lichens merupakan simbiosis antara fungi
(mikobiount) dari kelompok Ascomycetes dan Basidiomycetes dengan alga
(fikobiont) dari kelompok Cyanobacteria atau Chlorophyceae. Lichens memiliki
beraneka warna dan bentuk, Corticolous Lichens merupakan jenis Lichens yang
ditemukan hidup sebagai epifit pada substrat kulit batang. Keberadaan jenis Lichens
ini sangat tergantung pada pohon inangnya karena beberapa jenis Lichens memilih
jenis pohon tertentu sebagai inang (Sudrajat, 2013). Maka perlu untuk mengetahui
jenis pohon apa saja yang dapat menjadi substrat dan mendukung kehidupan
Lichens.
Klasifikasi merupakan suatu proses pengaturan tumbuhan dalam tingkat
tertentu berdasarkan skesamaan dan tidak kesamaan. Pada dasarnya, Lichens
diklasifikasikan ke dalam tumbuhan Thallphyta yang merupakan tumbuhan
komposit dan perpaduan fisiologik dari dua makhluk hidup yaitu alga dan fungi
(Favero-longo, 2010).
Lichens diklasifikasikan menurut Jovan (2008) yang menyusun dan
dibedakan dalam dua kelas, yaitu:
1. Kelas AscoLichenses
a. Pyrenomucetales yang menghasilkan tubuh buah berupa perisetium, yang
berumur pendek dan dapat hidup bebas, misalnya Dermatocarpon dan
Verrucaria, dengan klasifikasi sebagai berikut.
9
1. Dermatocarpon miniatum W. Mann. Lich. Bahem.
Gambar 2.1 Dermatocarpon miniatum W. Mann. Lich. Bahem.
(Sumber: Jovan, 2008)
Dermatocarpon miniatum W. Mann. Lich. Bahem bentuknya bulat seperti
piring spesies ini termasuk dalam tife morfologi foliose karena sifatnya yang tidak
menempel erat pada substrat yang di tumbuhinya dan mudah dipisah.
2. Verrucaria ningrescens Schwabische Alb, Germany
Gambar 2.2 Verrucaria ningrescens Schwabische Alb, Germany
(Sumber: Jovan, 2008)
Verrucaria ningrescens Schwabische Alb, Germany spesies ini termasuk
dalam tipe morfologi crustose karena sifatnya yang sulit di pisahkan dari substrat
yang di tumbuhnya.
b. Discomycetales yang membentuk tubuh buah berupa aposetium. Aposetium
pada lumut kerak ini berumur panjang, bersifat seperti tulang rawan dan
mempunyai aksus yang berdinding tebal, contoh : Usnea yang berbentuk semak
kecil dan banyak terdapat pada pohon-pohon dalam hutan, lebih-lebih di daerah
pegunungan (Usnea australis (Ach.) Mont), dan Parmelia yang berupa
lembaran-lembaran seperti kulit yang hidup pada pohon-pohon dan batu-batu
(Parmelia sulcata Lecanora helva), dengan klasifikasi sebagai berikut.
10
1. Usnea australis (Ach.) Mont.
Gambar 2. 3 Usnea australis (Ach.) Mont
(Sumber: Jovan, 2008)
2. Parmelia sulcata Lecanora helva
Gambar 2.4 Parmelia sulcata Lecanora helva
(Sumber: Jovan, 2008)
2. Kelas Basidioomycetes
Kebanyakan Lichens ini merupakan talus yang berbentuk lembaran-
lembaran. Pada tubuh buah terbentuk lapisan hymenium yang mengandung
basidium, yang sangat menyerupai tubuh buah Hymenomycetales, contohnya: Cora
parvonia. Lichens dipisahkan dari fungi dan dijadikan suatu golongan yang berdiri
sendiri. Berasal dari jamur Basidiomycetes dan alga Mycophyceae. Basidiomycetes
yaitu dari family: thelephoraceae dengan tiga genus Cora, Corella dan
Dyctionema. Mycophyceae berupa filamen yaitu Scytonema dan tidak terbentuk
filamen dan Chrococcus. Klasifikasi Cora pavonia Lucking, E. Navarro & Sipman
adalah.
11
a. Cora pavonia Lucking, E. Navarro & Sipman
Gambar 2.5 Cora pavonia Lucking, E. Navarro & Sipman
(Sumber: Jovan, 2008)
Cora pavonia Lucking, E. Navarro & Sipman mirip seperti Dermato carpon
miniatum sama-sama termasuk dalam tipe morfologifoliose karena mudah di
pisahkan dari substratnya. Akan tetapi Cora pavonia Lucking, E. Navarro &
Sipman hidup secara berkelompok dalam jumlah yang sangat banyak. Kebanyakan
Lichens ini mempunyai talus yang berbentuk lembaran-lembaran. Pada tubuh buah
terbentuk lapisan hymenium yang mengandung basidium, yang sangat menyerupai
tubuh buah Hymenomycetalus.
2.1.2 Habitat Lichens
Menurut Murningsih (2016), Lichens tumbuh tidak hanya dipepohonan saja
akan tetapi juga tumbuh diatas permukaan tanah terutama di daerah- daerah ekstrem
misalnya di daerah Tundra. Lichens tumbuh dibatang pohon, tanah, batuan, dinding
atau substrat lainnya, dan dalam berbagai macam kondisi lingkungan, mulai dari
daerah gurun sampai daerah kutub (Septinia, 2011).
Tumbuhan ini termasuk tumbuhan perintis yang ikut berperan dalam
pembentukan tanah, Lichens bisa hidup di bebatuan atau pada cadas di bebatuan di
atas permukaan laut, atau di gunung-gunung yang tinggi dan bersifat endolitik
(Johansson 2008). Lichens tidak membutuhkan syarat hidup yang tinggi, tahan
terhadap kondisi kekurangan air dalam jangka waktu yang lama dan tahan terhadap
tanah terik. Jika cuaca panas Lichens akan berubah warna seperti kekeringan tetapi
tidak mati namun jika disirami hujan Lichens akan hidup kembali.
12
Menurut Mulyadi (2017), Lichens terdapat dalam jumlah yang berlimpah
pada habitat yang berbeda-beda, biasanya dalam lingkungan yang agak kering.
Lichens tumbuh pada batang dan cabang-cabang pohon, batu-batuan dan tanah
gundul dengan permukaan yang stabil. Kondisi lingkungan juga mempengaruhi
habitan Lichens yaitu: suhu, kelembapan, ketinggian, pH dan intensitas cahaya
sangat cocok bagi habitat Lichens.
Menurut Murningsih (2016),berdasarkan substratnya tempat tumbuhnya
Lichens dibedakan menjadi 3 yaitu:
1. Corticolous
Gambar 2.6 Corticolous
(Sumber: Jovan, 2008)
Corticolous merupakan Lichens yang tumbuh dipermukaan pohon atau jenis
Lichens yang hidup pada kulit pohon. Jenis ini sangat terbatas pada daerah tropis
dan subtropics, yang sebagian besar kondisi lingkungannya lembab. Biasanya
terdiri dari spesies fruticose dan foliose contohnya Evernia, Parmelia dan Usnea.
Pertumbuhan Lichens di permukaan pohon tergantung pada kestabilitas pohon
tersebut, tekstur, pH dan ketersediaan air.
2. Saxicolous
Saxicolous merupakan Lichens yang tumbuh di permukaan batu, jenis ini
sangat tergantung tipe batu dan menempel pada substrat yang padat dan di daerah
dingin, spesies yang termasuk didalamnya seperti Caloplecta, Aspicilia tumbuh
diatas permukaan batu akik. Spesies Verrucaria dapat ditemukan di daerah
13
bebatuan disumur. Lepraria, komunitas cystocoleus dapat ditemukan di permukaan
batu silika. Tipe batu dan pH merupakan faktor penting yang bertanggung jawab
atas pembentukan koloni dan komunitas Lichens, contoh spesies: Caloplecta,
Aspicilia, Verrucaria, Lepraria dan Cystocoleus.
Gambar 2.7 Saxicolous
(Sumber: Jovan, 2008)
3. Terricolous
Terricolous merupakan jenis Lichens terrestrial yang tumbuh di permukaan
tanah dan sering membentuk komponen yang dominan pada vegetasi lahan
biasanya di lingkungan ekstrem.
Gambar 2. 8 Terricolous
(Sumber: Jovan, 2008)
Lichens tidak membutuhkan syarat-syarat hidup yang tinggi, tahan
terhadap kondisi kekurangan air dalam jangka waktu yang lama, tahan terhadap
panas terik. Jika cuaca panas, Lichens akan berubah warna seperti kekeringan,
tetapi tidak mati. Jika disirami air maka Lichens akan hidup kembali. Pertumbuhan
thalus sangat lambat, dalam satu tahun biasanya kurang dari 1 cm. Di wilayah yang
kondisi lingkungan seragam masing-masing substrat cenderung Lichens yang
tumbuh juga relatif seragam. Tumbuhan tumbuh di lingkungan dengan kondisi
14
iklim yang berbeda dan dengan substrat yang berbeda. Tumbuhan mampu dengan
cepat menyerap dan menyiapkan air dari banyak sumber maka maka
memungkinkan bagi Lichens untuk hidup di lingkungan yang “keras” seperti gurun
dan kutup, dan terpapar pada suatu permukaan yang datar, dinding, atap,
dahan/ranting pohon dan material buatan manusia lainnya seperti gelas, logam dan
lain-lain. Lichens dapat dijumpai secara luas di daerah yang lembab, dataran tinggi,
daerah artik sampai tropik. Tumbuhan ini dapat ditemukan pada permukaan tanah,
daun, batu, kulit kayu, pohon, dipinggir sungai maupun tepi pantai. (Jannah 2017),
2.2 Kelimpahan
2.2.1 Definisi Kelimpahan
Menurut Dewi (2018), kelimpahan merupakan jumlah individu yang
menempati wilayah tertentu atau jumlah individu suatu spesies per satuan luas atau
per persatuan volume, kelimpahan mengacu kepada jumlah spesies atau jenis-jenis
struktur dalam komunitas. Kelimpahan juga merupakan parameter kualitas yang
mencerminkan distribusi relativ spesies organisme dalam komunitas (Arini, 2016).
2.2.2 Faktor yang mempengaruhi kelimpahan
Dalam suatu kelimpahan suatu organisme terdapat faktor-faktor yang
membatasi kelimpahan spesies yaitu faktor yang menentukan berapa dari individu
tersebut hidup. Faktor tersebut harus mencakup sifat dari individu dan lingkungan
baik berupa faktor dalam (densit-dependet factory) maupun faktor luar (densit-
independet factory). Karena keduanya berperan bersama untuk menentukan batasan
kelimpahan untuk suatu spesies (Sulistyani, 2014).
1. Faktor dalam (densit-dependet factory)
Faktor dalam merupakan seluruh makhluk hidup yang ada dibumi. Faktor
ini juga saling mempengaruhi kelimpahan spesies lain. Dengan adanya predasi,
parasitisme, kompetisi, dan mengakibatkan adanya batasan kelimpahan spesies
lain. Contoh umum faktor dalam yang membatasi kelimpahan spesies lain yaitu
organisme yang dapat membatasi kelimpahan organisme yang dimakan.
2. Faktor luar (densit-independet factory)
Faktor luar suatu ekosistem adalah keadaan fisik dan kimia yang menyertai
kehidupan organisme sebagai medium dan substar kehidupan. Komponen ini terdiri
15
dari segala sesuatu yang tak hidup dan secara langsung terkait pada keberadaan
organisme, antara lain sebagai berikut (Putra, 2015).
a. Suhu Udara
Suhu merupakan faktor fisik lingkungan, mudah di ukur dan sangat
berfarian. Suhu udara dipermukaan bumi adalah relatif, tergantung pada faktor-
faktor yang mempengaruhinya seperti lamanya penyimpanan matahari. Hal ini
dapat berdampak langsung akan adanya perubahan suhu di udara. Suhu udara
bervariasi menurut tempat dan dari waktu ke waktu dipermukaaan bumi (Karyati,
2016).
Faktor kondisi tempat tumbuh sangat berpengaruh terhadap nilai kerapatan
Lichens serta jumlah jenis Lichens tersebut. Lichens memiliki kisaran toleransi suhu
yang cukup luas. Lichens dapat hidup baik pada suhu yang sangat rendah atau pada
suhu yang sangat tinggi. Lichens akan segera menyesuaikan diri bila keadaan
lingkungan kembali normal. Salah satu alga contohnya alga jenis Trebouxia tumbuh
baik pada kisaran suhu 12-24℃, dan fungsi penyusunan Lichens pada umumnya
tumbuh baik pada suhu 18-21℃. Suhu optimal untuk pertumbuhan Lichens dibawah
40℃, sedangkan diatas 45℃ dapat merusak klorofil Lichens dan aktifitas
fotosintesis dapat terganggu (Murningsih, 2016).
b. Kelembaban udara
Kelembaban udara adalah banyaknya air di udara. Kelembaban ini terkait
dengan suhu, semakin rendah suhu umumnya akan menaikkan kelembaban.
Kelembaban udara maka transpirasi akan semakin tinggi. Lumut kerak rentan
terhadap kekeringan dalam jangka waktu yang cukup panjang, namun lumut kerak
(Lichens) menyukai tempat dengan kisaran kelembaban 70-98% (Sudrajat, 2013).
c. Intensitas cahaya
Intensitas cahaya merupakan faktor penting yang membantu menentukan
penyebaran dan pembentukan keanekaragaman. Berdasarkan adaptasi terhadap
cahaya, ada jenis-jenis tumbuhan yang memerlukan cahaya penuh, juga ada
tumbuhan yang tidak memerlukan cahaya penuh.
Terlalu banyak atau terlalu sedikit intensitas cahaya sangat mempengaruhi
tumbuhan dan hewan dalam lingkungan. Perubahan intensitas cahaya dapat
16
dikatakan sebagai faktor penting, itensitas cahaya terendah yang diperlukan
Lichens untuk berfotosintesis secara efektif adalah 1025 Lux (Mafaza, 2019).
2.2.3 Indeks Kelimpahan
Menurut Marianingsih (2017), kelimpahan setiap spesies individu atau jenis
biasanya dinyatakan sebagai persentase dari jumlah spesies yang ada di lingkungan
dan merupakan ukuran relatif. Kelimpahan mengacu kepada jumlah spesies atau
jenis-jenis struktur dalam komunitas. Kelimpahan relatif digolongkan dalam tiga
kategori yaitu tinggi (>20%), sedang (15%-20%), dan rendah (
17
Keterangan : H’ = Indeks keanekaragaman
Pi = ni/N, perbandingan antara jumlah individu spesies ke-I dengan
jumlah total individu
Ni = jumalah individu dari suatu jenis i
N = jumlah total individu seluruh jenis
Dengan kriteria :
H’
18
Bioindikator sebagai spesies atau kelompok spesies yang secara cepat dapat
menggambarkan kondisi lingkungan baik abiotik maupun biotik; menggambarkan
dampak perubahan lingkungan dari sebuah habitat, komunitas atau ekosistem; atau
mengindikasikan keragaman dari kelompok takson, atau keragaman secara
kseluruhan di dalam suatu Kawasan.
2.3.2 Keuntungan Penggunaan Lichens sebagai Bioindikator
Menurut Husamah (2019), beberapa keuntungan penggunaan Lichens
sebagai bioindikator adalah sebagai berikut:
a. Banyak spesies Lichens memiliki rentang geografis yang luas, memungkinkan
studi gradien polusi jarak jauh.
b. Morfologi Lichens tidak bervariasi dengan musim, dan akumulasi polutan dapat
terjadi sepanjang tahun.
c. Lichens biasanya berumur panjang.
d. Pertukaran air dan gas di seluruh thallus Lichens membuat mereka sensitif
terhadap polusi.
e. Lichens tidak memiliki akar dan tidak memiliki akses ke sumber nutrien tanah
dan bergantung pada endapan, rembesan air di atas permukaan substrat,
atmosfer dan sumber nutrisi lain yang sangat encer. Dengan demikian,
kandungan jaringan mereka sebagian besar mencerminkan sumber nutrisi di
atmosfer dan kontaminan.
f. Lichens tidak memiliki jaringan pelindung atau jenis sel yang diperlukan untuk
menjaga kadar air internal tetap konstan.
Kebanyakan Lichens yang melewati beberapa siklus pembasahan dan
pengeringan selama sehari. Ketika terhidrasi, nutrisi dan kontaminan diserap di
seluruh permukaan Lichens. Selama dehidrasi, nutrisi dan banyak kontaminan
terkonsentrasi dengan diubah menjadi bentuk slow release, yaitu diserap ke dinding
sel, tertutup di dalam organel atau mengkristal di antara sel-sel. Selama hujan lebat,
nutrisi dan polutan secara bertahap tercuci. Sebuah keseimbangan dinamis dengan
demikian ada antara akumulasi/kehilangan nutrisi/ pencemar atmosfer, yang
19
membuat Lichens menjadi alat analisis yang sensitif untuk mendeteksi perubahan
kualitas udara.
2.3.3. Lichens Sebagai Indikator Pencemaran Udara
Menurut Taufikurahman (2010), Lichens sangat dikenal sebagai indicator
polusi udara dan banyak digunakan untuk menilai kualitas udara. Lumut kerak
(Lichens) merupakan tumbuhan indikator yang peka terhadap pencemaran udara.
Lumut kerak (Lichens) merupakan hasil simbiosis antara fungi dan alga (Rasyidah
2018). Simbiosis tersebut menghasilkan keadan fisiologi dan morfologi yang
berbeda dengan keadaan semula sesuai dengan keadaan masing-masing komponen
pembentukannya.
Menurut Hadiyati (2013), Thallus Lichens tidak memiliki kurtikula
sehingga mendukung Lichens dalam menyerap semua unsur senyawa di udara
termasuk Sulfur Dioksida (So2) yang akan diakumulasikan dalam thallus nya.
Kemampuan tersebut yang menjadi dasar penggunaan Lichens untuk pemantauan
pencemaran udara. Salah satu organisme tanaman yang berfungsi sebagai indikator
biologi pencamaran udara adalah Lichens, ini dapat dilihat dari kepekaannya
terhadap berbagai jenis polutan di udara dan reaksinya terhadap emisi-emisi
polutan. Jenis Lichens yang paling peka terhadap Sulfur Dioksida (So2) adalah dari
jenis Lobaria amplissima, hal ini sejalan dengan penambahan jumlah konsentrasi
Sulfur Dioksida (So2) yang diikuti oleh berkurangnya keberadaan jenis Lichens
terutama dari jenis corticolous. Oleh karena itu kita jarang menemukan Lichens
pada daerah yang tercemar.
Menurut Conti (2001), sifat Lichens yang ideal sebagai bioindikator antara
lain:
a. Secara geografis penyebarannya luas
b. Morfologinya tetap meskipun terjadi perubahan musim
c. Tidak memiliki kutikula, sehingga mempermudah air, larutan dan logam serta
mineral diserap oleh Lichens
d. Nutrisinya tergantung dari bahan-bahan yang diendapkan dari udara
e. Mampu menimbun pencemar selama bertahun-tahun
20
Menurut Pignata (2007) lumut kerak (Lichens) adalah salah satu organisme
yang digunakan sebagai bioindikator pencemaran udara. Hal ini disebabkan karna
Lichens sangat sensitif dengan pencemaran udara. Memiliki sebaran geografis yang
luas kecuali di daerah perairan, keberadaan melimpah dan memiliki bentuk atau
morfologi yang relatif tetap dalam jangka waktu yang lama dan tidak memiliki
kutikula. Sehingga, Lichens dapat menyerap gas dan partikel polutan secara
langsung melalui permukaan talus. Penggunaan Lichens sebagai bioindikator lebih
efisien dibandingkan menggunakan alat atau mesin indicator ambien yang dalam
pengoprasiannya memerlukan bbiaya yang besar dan menggunakan alat khusus.
2.4 Tinjauan tentang sumber belajar Biologi
Menurut Tahar (2006) sumber belajar merupakan suatu sistem yang terdiri
dari sekumpulan bahan atau situasi yang diciptakan dengan sengaja dan dibuat agar
memungkinkan seseorang dapat belajar secara individual. Pemanfaatan sumber
belajar ditandai dengan kemampuan memilih sumber belajar yang sesuai dengan
kebutuhan, pengadaan bahan ajar, dan bentuk interaksi dengan bahan ajar yang
digunakan. Dengan pemanfaatan sumber belajar tersebut, kegiatan pembelajaran
menjadi lebih bermakna.
Sumber belajar merupakan segala sesuatu yang dapat digunakan untuk
kepentingan proses atau aktivitas pengajaran baik secara langsung maupun tidak
langsung (Khanifah, 2012). Sumber belajar yang menarik dapat meningkatkan
pemahaman siswa. Pada umumnya sumber belajar saat ini terbatas pada guru dan
buku paket, padahal banyak sumber belajar lainnya baik didalam maupun diluar
kelas, antara lain: benda nyata, poster, lingkungan alam dan sosial. Namun fakta
dilingkungan sering kita temukan adalah sumber belajar yang hanya berasal dari
buku dan guru itu sendiri (Lilawati, 2017). Lingkungan alam merupakan segala
sesuatu yang berada disekitar yang mempengaruhi perkembangan dan tingkah laku
organisme. Sumber belajar berbasis lingkungan alam yang digunakan dapat berupa
meteri lokal.
Sumber belajar diharapkan dapat memberikan informasi dalam rangka
meningkatkan kualitas pengajaran. Apabila dicapai kualitas pengajaran yang baik
maka akan dicapai pula hasil belajar yang baik. Dengan adanya pengadaan dan
21
penggunaan sumber belajar disekolah diharapkan dapat memberikan informasi
dalam rangka meningkatkan kualitas pengajaran. Implementasi penggunaan
sumber belajar sampai saat ini belum dikembangkan oleh Pendidikan menjadi
sumber belajar yang lebih menarik dan tepat dalam rangka membantu pencapaian
Kompetensi Dasar peserta didik (Setiyani, 2010).
Agar proses mengajar berjalan dengan baik, peserta didik sebaiknya diajak
untuk memanfaatkan semua alat inderanya. Semakin banyak alat indera yang
digunakan dalam menerima dan mengolah informasi semakin besar informasi
tersebut dimengerti dan dapat dipertahankan dalam ingatan. Media pembelajaran
dipergunakan untuk memudahkan dalam penyampaian materi kepada peserta didik
dan membantu guru dalam proses belajar mengajar. Peserta didik akan terbantu
dalam memahami materi yang komplek. Pemanfaatan media juga berperan besar
memberikan pengalaman belajar peserta didik (Imtihana, 2014).
22
2.5 Kerangka Konsep
Gambar 2. 9 Kerangka Konsep Penelitian
(Sumber: Dokumentasi Pribadi 2019)
Top Related