Sheila Stephanie Chandra,07120080039- H. ZOSTER OFTALMIKUS.docx
-
Upload
simon-ganesya-rahardjo -
Category
Documents
-
view
50 -
download
3
Transcript of Sheila Stephanie Chandra,07120080039- H. ZOSTER OFTALMIKUS.docx
REFERAT
HERPES ZOSTER OFTALMIKUS
Disusun oleh:Sheila Stephanie Chandra – 07120080039
Konsulen Pembimbing:dr. R.R. Herdwiyanti Roesmawati, Sp.M
Kepaniteraan Klinik Departemen Penyakit Mata
Rumah Sakit Marinir Cilandak
Periode 26 Maret 2012 – 27 April 2012
Fakultas Kedokteran Universitas Pelita Harapan
Sheila Stephanie Chandra07120080039
FKUPH
Kata Pengantar
Seiring salam dan doa penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa
semoga Tuhan selalu melimpahkan rahmatnya kepada penulis sehingga penulis dapat
menyelesaikan referat yang berjudul “Herpes Zoster Oftalmikus” ini dengan baik.
Referat ini disusun sebagai salah satu tugas kepaniteraan klinik dalam bidang
ilmu mata di Rumah Sakit Marinir Cilandak. Dalam proses penyusunan referat ini,
tentunya penulis mendapat banyak bimbingan, arahan, dan saran. Oleh sebab itu,
tidak lupa penulis mengucapkan terima kasih yang sedalam – dalamnya kepada:
1. Tuhan Yang Maha Esa
2. dr. R.R. Herdwiyanti Roesmawati, Sp.M
3. Teman – teman dari stase mata
Yang telah membantu dan mendukung kelancaran dari penyusunan referat ini.
Demikian laporan ini penulis susun dengan sebaik – baiknya. Akhir kata penulis
berharap agar laporan ini dapat bermanfaat.
Tangerang, 15 April 2012
Penulis
1
Sheila Stephanie Chandra07120080039
FKUPH
Daftar isi
Kata Pengantar 1
Bab I Pendahuluan
1.1 Latar Belakang 3
1.2 Tujuan 5
Bab II Anatomi dan Fisiologi
2.1 Saraf Trigeminal 6
2.2 Kelopk Mata 8
2.3 Kelenjar Lakrimalis 10
2.4 Konjungtiva 10
2.5 Bola Mata 11
Bab III Herpes Zoster Oftalmikus
3.1 Definisi 17
3.2 Epidemiologi 17
3.3 Etiologi 1 7
3.4 Faktor Risiko 18
3.5 Cara Penularan 18
3.6 Patofisiologi 19
3.7 Gejala dan Tanda 21
3.8 Gejala dan Tanda Komplikasi 26
3.9 Diagnosis 28
3.10 Terapi 30
3.11 Pencegahan 31
Bab IV Penutup
4.1 Kesimpulan 33
2
Sheila Stephanie Chandra07120080039
FKUPH
Daftar Pustaka 35
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Herpes zoster oftalmika merupakan penyakit yang menyerang saraf
trigeminal divisi oftalmikus (V1) akibat ter-reaktivasinya virus varicella zoster
yang dormant. Virus jenis ini awalnya bermanifestsi di kulit tubuh manusia
berupa vesikel, pustul, atau krusta. Keadaan ini disebut dengan penyakit cacar
air atau varicella. Ketika penyakit varicella ini sembuh, virus akan dormant di
dalam tubuh manusia dan suatu saat dapat te-reaktivasi kembali oleh beberapa
sebab, seperti proses penuaan, kurangnya nutrisi, penyakit keganasan, post
transplantasi, dan penyakit - penyakit imunodeficiency atau
immunocompromice. Ter-reaktivasinya virus ini akan menimbulkan gejala
berupa munculnya vesikel/pustul yang berkelompok dengan dasar eritema di
kulit yang mengikuti arah dermatom tubuh dan umumnya bersifat unilateral.
Munculnya kembali virus ini dapat dimana saja sesuai dengan segmen
ganglion saraf tempat dimana virus ini dormant sebelumnya. Apabila virus ini
aktif lagi pada daerah ganglion saraf kranialis trigeminal divisi 1 atau divisi
oftalmikus, maka gejala yang ditimbulkan tidak hanya terdapat pada kulit,
namun juga terdapat pada daerah mata. Keadaan seperti itu disebut dengan
penyakit Herpes Zoster Oftalmikus.
Oleh karena saraf trigeminal divisi oftalmikus memiliki tiga cabang
lagi, yaitu saraf frontalis, saraf nasosiliari, dan saraf lakrimalis, dimana ketiga
saraf tersebut mempersarafi daerah orbital dan periorbital mata, maka
gangguan yang terjadi dapat berupa blefaritis, konjungtivitis, keratitis,
3
Sheila Stephanie Chandra07120080039
FKUPH
episkleritis, skleritis, uveitis anterior, neuritis optika, akut retinal nekrosis, dan
paralisis saraf motorik ekstraokular.
Dengan banyaknya manifestasi yang ditimbulkan oleh akibat ter-
reaktivasinya virus ini, maka penyakit herpes zoster oftalmikus tidak dapat
dianggap sepele. Meskipun menurut data dari jurnal NCBI (National Center for
Biotechnology Information, 2008), hanya sekitar 20% - 30% populasi di dunia
mengalami herpes zoster dan sekitar 10% - 25% dari individual tersebut
menderita herpes zoster oftalmikus, herpes zoster oftalmikus tetap perlu
diwaspadai dan dicegah mengingat kerusakan yang terjadi pada daerah mata
cukup banyak serta komplikasi jangka panjang seperti post herpetik neuralgia
dan kebutaan dapat terjadi pada sebagian kasus. Oleh karenanya, pendeteksian,
pengobatan, dan pencegahan yang tepat dan benar pun perlu diperhatikan.
Dalam referat ini, dibahas mengenai herpes zoster oftalmikus dari segi
definisi, etiologi, epidemiologi, patofisiologi, tanda gejala, diagnosis,
pengobatan, pencegahan, dan disertai dengan anatomi yang menunjang.
4
Sheila Stephanie Chandra07120080039
FKUPH
1.2 Tujuan
Referat ini dibuat untuk beberapa tujuan, antara lain:
1. Untuk memenuhi tugas kepaniteraan klinik di Departemen Mata Rumah
Sakit Marinir Cilandak sebagai salah satu syarat kelulusan.
2. Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik mengenai definisi,
epidemiologi, etiologi, patofisiologi, tanda dan gejala, diagnosis, terapi
dan pencegahan dari penyakit herpes zoster oftalmikus.
5
Sheila Stephanie Chandra07120080039
FKUPH
BAB II
ANATOMI DAN FISIOLOGI
2.1 Saraf trigeminal
Saraf trigeminal merupakan
saraf ke lima dari dua belas
saraf kranial dimana
nukleusnya terletak pada
pons. Bernama saraf
trigeminal karena memiliki
tiga cabang divisi, yaitu divisi
oftalmikus (V1), maksilaris
(V2), dan mandibularis (V3).
Saraf ini memiliki dua serabut
saraf, yaitu serabut saraf
motoris dan sensoris. Serabut
saraf motoris hanya terletak pada saraf trigeminal divisi ke-tiga, yaitu
mandibularis. Divisi motoris ini meng-inervasi otot- otot mastikasi (otot
masseter, temporalis, medial pterygoid, lateral pterygoid, otot mylohyoid, dan
otot tensor timpani di dalam telinga) dan menghasilkan gerakan elevasi,
deperesi, protusi, retaksi, dan gerakan ke kanan dan kekiri pada mandibula
yang digunakan untuk proses mengunyah.
Sedangnya serabut saraf sensoris terdapat pada seluruh divisi pada saraf
trigeminal ini. Serabut saraf sensorik membawa rangsangan rabaan, nyeri, dan
suhu pada daerah tersebut.
Pada divisi pertama (V1), yaitu oftalmikus, muncul dari bagian atas ganglion
semilunar sebagai berkas yang pendek dan rata kira-kira sepanjang 2.5 cm
6
Gambar 1.1 Dermatom Saraf Trigeminal
Sheila Stephanie Chandra07120080039
FKUPH
yang melewati dinding lateral sinus cavernous, di bawah saraf occulomotor (N
III) dan saraf trochlear (N IV). V1 ini merupakan saraf terkecil dari ketiga
divisi pada saraf trigeminal. Bagian ini menginervasi kornea, badan ciliaris,
iris, glandula lakrimalis, conjunctiva, membran mukosa cavum nasal, kulit
palpebra, alis, dahi dan ujung hidung. Ketika memasuki cavum orbita melewati
fissura orbitalis superior, saraf oftalmikus bercabang menjadi tiga cabang,
mejadi: saraf lakrimalis, frontalis dan nasociliaris.
a) Saraf frontalis
Merupakan cabang terbesar dari saraf oftalmikus dan dapat dianggap
sebagai lanjutan langsung dari saraf oftalmikus. Saraf ini memasuki cavum
orbita melewati fissura orbitalis superior dan masuk diantara palpebra
levator superioris dan periosteum. Di pertengahan perjalanan diantara
apeks dan basis orbita bercabang menjadi dua cabang yaitu nervus
supratrochlear dan supraorbital. Saraf supraorbital kemudian mempersarafi
kelopak mata bagian atas, otot frontalis, dan kulit kepala. Sedangkan saraf
7
Gambar 1.2 Percabangan Saraf Trigeminal divisi 1
Sheila Stephanie Chandra07120080039
FKUPH
supratroklear mempersarfi daerah konjungtiva, kelopak mata bagian atas,
dan dahi.
b) Saraf lakrimalis
Merupakan cabang saraf terkecil dari divisi ini. Berkas saraf menuju ke
glandula lakrimalis dan menginervasi glandula lakrimalis, konjungtiva,
dan kelopak mata bagian atas.
c) Saraf Nasosiliary
Saraf ini mempersarafi beberapa daerah pada divisi oftalmikus, seperti
daerah frontal dan anterior sinus etmoid, bagian anterior dari septum dan
dinding hidung, kulit dari ujung hidung (nasal tip), posterior sinus etmoid
dan spenoid, kornea, iris, badan silier, dan bola mata.
Pada divisi ke dua, yaitu maxillaris, juga hanya mempunyai serabut saraf
sensoris. Saraf ini memiliki tiga cabang, yaitu zigomatik, pterygopalatine atau
sphenopalatine, dan saraf posterior superior alveolar dimana ketiganya
membawa informasi sensori dari kelopak mata bagian bawah, pipi, bibir atas,
hidung, gigi (insisor, cais, dan premolar), gusi, rahang atas, ruang nasofaring,
sinus maksilaris, sinus etmoid, sinus spenoid, palatum mole dan atap rongga
mulut.
Pada divisi yang ketiga, yaitu mandibularis, mempunyai radiks sensoris yang
meninggalkan ganglion trigeminal dan berjalan keluar cranium melalui
foramen ovale. Serabut sensoris saraf mandibularis mempersarafi kulit daerah
mandibula dan sisi samping kepala hingga anterior telinga.
2.2 Kelopak mata
Kelopak atau palpebra merupakan alat penutup mata yang berguna untuk
melindungi bola mata terhadap trauma, debu, dan benda asing. Selain itu,
kelopak mata memiliki reflek untuk berkedip sehingga dapat memudahkan
penyebaran air mata sehingga kornea dan bagian mata lainnya tetap dalam
8
Sheila Stephanie Chandra07120080039
FKUPH
keadaan basah. Kelopak mata memiliki beberapa lapisan, dari luar kedalam,
yaitu kulit, jaringan subkutaneus, otot orbikularis okuli, tarsus, konjungtiva
tarsal, dan pembuluh darah. Pada
palpebra bagian tarsus dekat
dengan konjungtiva terdapat
kelenjar meibom yang berfungsi
untuk pengeluaran lemak yang
juga merupakan salah satu lapisan
dari air mata yang berguna untuk
mencegah penguapan air mata
yang berlebihan. Pada ujung kelopak mata terdapat rambut mata yang
berfungsi untuk mencegah masuknya debu ke dalam mata. Kelopak mata
diperdarahi oleh arteri palpebra, sedangkan persarafan sensoris dipersarafi oleh
saraf trigeminal divisi satu pada kelopak mata bagian atas (saraf infratrokhlear,
supratrokhlear, supraorbital and lakrimal) dan divisi dua pada kelopak mata
bagian bawah (infraorbital) dan untuk persarafan motoris dipersarafi oleh saraf
okulomotor dan fasialis.
Pada kelopak mata terdapat beberapa kelenjar dan otot, seperti:
Kelenjar: kelenjar moll atau kelenjar keringat dan kelenjar zeis atau
kelenjar minyak pada pangkal rambut, serta kelenjar meibom pada tarsus
yang berfungsi untuk pengeluaran minyak (terdapat 40 buah di kelopak
atas dan 20 pada kelopak bawah)
Otot: terdapat otot orbikularis okuli yang berjalan melingkar didalam
kelopak atas dan bawah. Otot ini menutup bola mata yang dipersarafi oleh
saraf kranial nomor tujuh, yaitu saraf fasial. Selain itu terdapat otot levator
palpebra yang dipersarafi oleh saraf kranial nomor tiga, yaitu saraf
okulomotor yang berfungsi untuk mengangkat kelopak mata atau
membuka mata.
9
Sheila Stephanie Chandra07120080039
FKUPH
2.3 Kelenjar Lakrimalis
Kelenjar lakrimalis merupakan
kelenjar yang menghasilkan air
mata. Terletak pada bagian antero
superior temporo orbital. Kelenjar
lakrimal itu sendiri juga terdiri
dari dua bagian, yaitu pada
bagian atas yang terletak pada
fosa lakrimal os. Frontalis dan pada bagian bawah yang terletak dibawah
konjungtiva, forniks superior, dan bagian temporal.
Air mata yang dihasilkan oleh kelenjar ini berfungsi sebagai cairan yang dapat
melindungi permukaan kornea dan konjungtiva agar terhindar dari kerusakan
epitel dan jaringannya. Selain itu, air mata juga dapat mencegah
berkembangnya mikroorganisme pada konjungtiva dan kornea karena sifatnya
yang antibakteri (mengandung IgA, dan lisozim). Air mata setelah diproduksi
oleh kelenjar lakrimalis akn berjalan menuju pungtum lakrimal inferior dan
superior, kemudian melewati duktus nasolakrimal menuju meatus inferior
rongga hidung.
2.4 Konjungtiva
Konjungtiva merupakan membran yang
menutupi sklera dan kelopak mata
bagian belakang. Konjungtiva terdiri
atas 3 bagian, yaitu:
Konjungtiva tarsal: konjungtiva
ini sangat melekat dengat tarsus
dan sulit digerakkan dari tarsus.
10
Sheila Stephanie Chandra07120080039
FKUPH
Konjungtiva bulbi: merupakan
konjungtiva yang menutupi
sklera. Di dekat kantus
internus, konjungtiva bulbi
membentuk plika semilunaris
yang mengelilingi suatu pulau
kecil terdiri dari rambut dan
kelenjar yang disebut dengan
caruncula.
Konjungtiva forniks: merupakan tempat peralihan konjungtiva tarsal
dengan konjungtiva bulbi. Hungungan konjungtiva forniks dan jaringan
di bawahnya lemah dan membentuk lekukan – lekukan sehingga bola
mata mudah bergerak.
2.5 Bola mata
Mata adalah suatu struktur sferis berisi cairan yang dan memiliki panjang
maksimal 24 mm. Otot – otot penggerak bola mata terdiri dari: otot lateral
rektus, medial rektus, superior rektus, inferior rektus, superior oblik, dan
inferior oblik. Mata dibungkus oleh tiga lapisan jaringan, yaitu sklera/kornea,
uvea (iris ,badan siliaris, koroid), dan retina.
a) Sklera dan Kornea
Sklera merupakan jaringan ikat yang kenyal yang memberikan bentuk
pada mata. Sklera memiliki tebal 1mm dan hanya mengandung sedikit
pembuluh darah Yang banyak memiliki pembuluh darah adalah jaringan
episklera sehingga jaringan ini yang memberikan nutrisi kepada sklera.
Bagian terdepan dari sklera bernama kornea. Batas antara kornea dan
sklera disebut dengan limbus kornea. Kornea memiliki kelengkungan
yang lebih besar dibandingkan dengan sklera dan bersifat transparan
11
Sheila Stephanie Chandra07120080039
FKUPH
sehingga memudahkan sinar masuk ke dalam bola mata. Kornea
memiliki lima lapisan, yaitu lapisan epitel, membran bowman, stroma
atau substansia propia, membran descement, dan lapisan endotel.
Epitel: tebalnya 50µm, terdiri atas 5 lapis sel epitel tidak bertanduk
yang saling tumpang tindih.
Membran bowman: terdiri dari kolagen yang tersusun tidak teratur
seperti stroma dan berasal dari bagian depan stroa. Hanya memiliki
sedikit daya tahan sehingga mudah sekali dirusak dan tidak dapat
dibentuk kembali.
Jaringan stroma: terdiri
atas susunan kolagen
yang rapi dan sejajar.
Diantaranya terdapat
semen, badan – badan
kornea, leukosit,
yang terdapat di dalam
lakuna, diantara serat – serat tersebut.
Membran descement: merupakan membran yang lebih elastis dan
memiliki tebal 40µm. Bagian kornea ini lebih resisten terhadap
trauma dan proses patologik lainnya dibandingkan dengan bagian
kornea lainnya.
Endotel: terdiri dari satu lapisan sel gepeng yang meliputi bagian
posterior membran descement dan membungkus messwork dan
melapisi iris. Endotel ini berbentuk heksagonal dan melekat pada
membran descement melalui hemidesmosom dan zonula okluden.
Kornea itu sendiri tidak memiliki pembuluh darah, hanya dibagian
limbus korena yang terdapat lengkungan pembuluh darah yang berasal
dari arteri siliaris anterior. Oleh karenanya kornea mendapatkan makanan
12
Gambar 5.1 Lapisan Kornea
Sheila Stephanie Chandra07120080039
FKUPH
dengan cara difusi oleh pembuluh – pembuluh di limbus dan cairan bilik
mata depan. Permeabilitas kornea ditentukan oleh epitel dan endotel,
sehingga apabila terjadi kerusakan disana, maka air dapat masuk kedalam
kornea dan menyebabkan edem kornea.
b) Uvea
Uvea terdiri atas tiga bagian, yaitu iris, badan silier, dan koroid
(mengelilingi bulbus okuli). Iris dan badan silier disebut dengan uvea
anterior, sedangkan koroid disebut dengan uvea posterior.
- Iris
Iris merupakan bagian dari mata yang memiliki fungsi sebagai pengatur
banyaknya cahaya yang masuk kedalam bola mata. Hal itu dikarenakan
iris memiliki dua otot yang berespon
terhadap cahaya dan gelap. Otot
tersebut bernama otot radial (otot
dilator) dan otot sirkuler (otot
konstriktor) dimana otot radial akan
memendek akibat rangsangan dari
saraf simpatis sehingga menghasilkan
pupil yang miosis dan otot sirkuler yang berkonstriksi akibat
rangsangan saraf parasimpatis sehingga menghasilkan pupil midriasis.
Selain itu, iris juga merupakan bagian dari mata yang menjadikan
warna mata setiap orang dapat berbeda karena terdapat pigmen.
- Badan silier
Badan silier berbentuk segitiga dan terdiri dari dua bagian, yaitu pars
korona pada anterior yang memiliki panjang kira – kira 2mm dan pars
plana di bagian posterior yang panjangnya kira – kira 4mm. Pada badan
silier terdapat tiga macam otot, yaitu otot sirkuler, radier, dan
longitudinal. Fungsi otot – otot silier ini ialah untuk proses akomodasi
yang berespon terhadap penglihatan benda yang jauh dan yang dekat.
13
Sheila Stephanie Chandra07120080039
FKUPH
Melihat benda yang terletak jauh
akan menyebabkan otot tersebut
relaksasi sehingga ligamentum
tertarik dan menjadikan lensa
menjadi tertarik lonjong,
sedangkan untuk melihat benda
dekat, otot silier akan berkontrksi
sehingga ligamentum mengendor
dan menyebabkan lensa
mencembung agar benda tersebut
dapat difokuskan tepat jatuh di retina mata. Dari prosesus silier ini juga
keluar serat – serat zonula zinn yang merupakan penggantung lensa.
Selain itu, badan silier terdapat jaringan kapiel yang mengeluarkan
aquos humor dengan kecepatan sekitar 5ml/hari. Aquos ini keluar dari
badan siliari menuju bilik mata belakang, kemudian melewati iris dan
lalu masuk ke dalam trabekula messwork. Apabila proses seperti itu
tidak berjalan seimbang, maka tekanan dalam bola mata dapat
meningkat.
- Koroid
Koroid merupakan lapisan dibawah sklera yang memiliki banyak
pembuluh darah sebagai pemberi makan retina. Koroid memiliki enam
lapisan, yaitu lapisan epitel pigmen, membran burch (lamina vitrea),
koriokapiler, pembuluh darah sedang, pembuluh darah besar, dan
suprakoroid.
c) Retina
14
Sheila Stephanie Chandra07120080039
FKUPH
Retina
merupakan membran tipis, halus, dan tidak berwarna. Terdapat 10
lapisan pada retina, yaitu membran limitants interna, lapisan serabut –
serabut saraf, lapisan sel – sel ganglion, lapisan plexiform dalam, lapisan
nuklear dalam, lapisan pleksiform luar, lapisan nuklear luar, membran
limitans eksterna, lapisan batang dan kerucut, dan lapisan epitel pigmen.
Pada retina terdapat makula lutea yang besarnya 1 – 2 mm dan
ditengahnya
terdapat lekukan
dari fovea sentralis.
Daerah fovea ini
merupakan daerah
dengan tingkat
ketajaman paling
tinggi karena
terdapat banyak
sekali sel kerucut.
Sel kerucut dan sel batang merupakan fotoreseptor yang terdapat di
retina. Dengan adanya kedua fotoreseptor ini, maka proses melihat dapat
terjadi. Gelombang cahaya setelah terfokuskan tiba diretina, kemudian
ditangkap oleh kedua fotoreseptor ini dan dubah menjadi impuls saraf
yang berjalan melalui sel bipolar menjadi saraf optik. Dari saraf optik
15
Sheila Stephanie Chandra07120080039
FKUPH
kemudian akan dilanjutkan ke traktus optikus, lalu radiasio optika sampai
ke serebrum. Terletak dekat dengan makula lutea, yaitu disebelah
nasalnya, terdapat papila nervi optik (dimana saraf optik menembus
sklera). Pada bagian ini merupakan tempat keluarnya saraf optik, arteri,
dan vena sentralis (ukuran vena dan arteri = 3:2).
16
Sheila Stephanie Chandra07120080039
FKUPH
BAB III
HERPES ZOSTER OFTALMIKUS
3.1 Definisi
Herpes Zoster Oftalmikus (HZO) merupakan penyakit Herpes Zoster yang
menyerang saraf trigeminal divisi Oftalmikus (V1) yang disebabkan karena ter-
reaktivasinya Virus Varicella Zoster yang dormant pada ganglia saraf tersebut.
Virus ini dapat menyerang pada seluruh cabang dari saraf oftalmikus, seperti
saraf frontalis, saraf lakrimalis, dan saraf nasosiliary.
3.2 Epidemiologi
Berdasarkan data dari National Center for Immunisation Research and
Surveilance dan jurnal Neurological Sciences, sekitar 20% - 30% dari 5/1.000
penderita varicella zoster diseluruh dunia akan menderita herpes zoster
dikemudian hari dan dari 20% - 30% tersebut, sekitar 10% - 25% menderita
Herpes Zoster Oftalmikus. Dari seluruh insiden herpes zoster oftalmikus, 50%
dari penderita herpes zoster oftalmikus mendapat gangguan pada bagian
matanya. Komplikasi okular terjadi pada 50 % – 89 % pasien penderita Herpes
Zoster Oftalmikus. Komplikasi berupa ketidakmampuan kebutaan dan post
herpetik neuralgia.
Pasien penderita penyakit immunodeficiency (HIV) memiliki risiko prevalensi
15-25 kali lebih besar terhadap terjangkitnya penyakit herpes zoster oftalmikus
dibandingkan dengan populasi orang sehat pada umumnya.
3.3 Etiologi
Penyebab dari penyakit Herpes Zoster Oftalmikus ini ialah virus Human
Herpes tipe 3 atau Virus Varicella Zoster. Oleh karena virus ini merupakan
17
Sheila Stephanie Chandra07120080039
FKUPH
virus yang ter-reaktivasi kembali, maka virus ini serupa dengan virus yang
menyebabkan penyakit sebelumnya, yaitu penyakit Varisela Zoster (chicken
pox). Virus ini termasuk dalam family Herpesviridae, seperti Herpes Simplex,
Epstein Barr Virus, dan Cytomegalovirus.
Munculnya kembali virus yang telah dorman ini dapat disebabkan karena
terjadi kerusakan sel saraf pada tempat virus ini dormant dan sistem imun host
yang menurun/kurang.
3.4 Faktor risiko
Terdapat beberapa faktor risiko yang dapat menyebabkan penyakit Herpes
Zoster Oftalmikus, seperti;
Penderita penyakit varicella zoster sebelumnya
Umur, semakin tua umur seseorang, maka risiko menderita herpes zoster
oftalmikus semakin meningkat
Penderita malnutrisi
Orang – orang yang mengkonsumsi obat – obatan yang menurunkan
sistem imun (kemoterapi, kortikosteroid)
Pasien yang menerima transplantasi organ
Penderita penyakit imunodeficiency (HIV)
Physiologikal stress
3.5 Cara Penularan
Penularan penyakit herpes zoster berawal dari penyakit varicella zoster.
Menurut data, tidak ada laporan yang menyatakan bahw herpes zoster beridir
sendiri tanpa terdapat riwayat penyakit varicella sebelumnya. Penyakit
varicella di dapat melalui direk kontak dari vesikel yang pecah terhadap dari
penderita varicella ataupun herpes zoster.
18
Sheila Stephanie Chandra07120080039
FKUPH
Masa infeksius, dimana virus dapat menular ialah pada hari 6 – 7 hari dari lesi
pertama muncul dan berakhir pada saat terbentuk krusta. Selain itu, virus dapat
disebarkan melalui droplet ketika penderita varicella bersin ataupun batuk.
3.6 Patofisiologi
Penyakit herpes zoster oftalmika berawal dari infeksi virus varicella zoster.
Virus ini dapat disebarkan melalui droplet saat penderita varicella zoster bersih
ataupun batuk ataupun dari direk kontak dari lesi varicella. Selain itu, virus
juga dapat menyebar dari sekret yang keluar dari vesikel ataupun pustul yang
timbul. Masa penularannya terhitung kurang lebih 7 hari setelah gejala dikulit
timbul. Setelah virus tersebut masuk kedalam tubuh manusia, terjadi proses
inkubasi selama sekitar 14 hingga 21 hari. Pertama pasien akan mengeluhkan
adanya mialgia, demam ringan, nyeri kepala. Kemudian muncul papul – papul
pada kulit, yang dalam beberapa jam berubah menjadi vesikel, lalu menjadi
pustul, dan menjadi krusta.
Setelah penyakit ini tidak lagi mengeluarkan gejala atau sembuh, virus tidak
semata – mata hilang dari tubuh penderita. Namun, virus akan dormant di
dalam ganglion sensoris saraf, yang disebut dengan varicella laten. Tidak
hanya dormant di ganglion sensoris, virus ini juga dapat dormant pada ganglion
motoris, meskipun kasus yang dilaporkan jarang.
Untuk penyakit herpes zoster oftalmikus, virus ini dormant di dalam ganglion
saraf kranial lima, yaitu saraf trigeminal divisi oftalmikus. Setelah virus ini
dormant untuk beberapa waktu, virus ini dapat ter-reaktivasi lagi oleh beberapa
sebab, seperti penurunan sistem imun, ataupun adanya gangguan dari saraf.
Dengan ter-reaktivasinya virus ini, virus akan segera dengan cepat bereplikasi
dan menimbulkan inflamasi pada saraf tersebut, baru kemudian menuju ujung
– ujung saraf (dalam waktu 3 – 4 hari menuju ujung saraf).
19
Sheila Stephanie Chandra07120080039
FKUPH
Tidak seperi penyakit varicella dimana manifestasi kulit muncul secara
sentrifugal dari daerah badan menyebar ke wajah dan ekstrimitas, penyakit
herpes zoster ini menyebar hanya pada dermatom segmen saraf yang terlibat.
Pada Herpes Zoster Oftalmikus, hanya bagian dermatom V1 yang
menimbulkan gejala vesikel/pustul dengan dasar eritema dan umumnya bersifat
unilateral. Apabila manifestasi di kulit muncul hingga pada ujung hidung
menandakan keterlibatan pasti pada mata.
Oleh karena divisi satu saraf trigeminal ini memiliki tiga cabang, yaitu saraf
frontalis, saraf lakrimalis, dan saraf nasosiliri, maka manifestasi tidak hanya
terdapat pada kulit, namun manifestasi juga dapat berupa;
Letak lesi Jenis Lesi
Kelopak mata- Blefaritis, Trikiasis, Entropion,
Ektropion
Kelenjar lakrimal - Dakrioadenitis
Konjungtiva - Konjungtivitis
Sklera dan Episklera - Skleritis dan Episkleritis
Keratitis
- Keratitis pungtata epitelial
- Pseudodendrit
- Keratitis numular
- Keratitis disciformis
- Keratutus fasikular
- Keratitis neurotropik
Uvea - Uveitis
Jika dibiarkan
Retina Akut retinal nekrosis
Saraf optik Optik Neuritis
Otot Ekstraokular Paralisis saraf motorik ekstraokular
Neuro Post Herpetik Neuralgia
20
Sheila Stephanie Chandra07120080039
FKUPH
3.7 Gejala dan Tanda
Gejala yang dialami pada pasien penderita HZO secara umum ialah lemas,
demam ringan, muncul vesikel/pustul/krusta yang berkelompok dengan dasar
eritema yang berjalan searah dengan dermatom saraf V1 di daerah sekitar mata
dan dapat menyebar hingga ujung hidung (apabila sudah mencapai ujung
hidung menandakan keterlibatan cabang nasosiliari), nyeri pada bagian kepala
yang bersifat unilateral, mata merah, mata berair, dan dapat terjadi penurunan
penglihatan. Gejala lainnya yang ditimbulkan sesuai dengan pada bagian mana
virus ini menyerang, seperti;
a. Blefaritis
Oleh karena virus ini dapat menyerang cabang frontalis dan cabang
lakrimalis, maka keterlibatan kelopak mata bagian atas dapat terjadi.
Gejala yang dapat ditimbulkan, seperti;
Edema palpebra
Vesikel/pustul/krusta dengan
dasar eritem yang sangat
sakit dan bersifat unilateral
Pseudoptosis akibat edema
Dapat terjadi trikiasis,
ektropion, ataupun entropion
b. Dakrioadenitis
Dakrioadenitis terjadi apabila saraf lakrimalis terserang. Gejala dan tanda
yang dapat ditimbulkan, seperti;
Nyeri pada daerah temporo superior orbital
Palpebra edem
Konjungtiva hiperemis
21
Sheila Stephanie Chandra07120080039
FKUPH
c. Konjungtivitis
Konjungtiva di inervasi-kan oleh saraf
frontalis dan saraf lakrimalis. Oleh
sebab itu konjungtivitis dapat terjadi
pada penyakit ini.
Gejala dan tanda yang ditimbulkan
ialah;
Mata berair
Konjungtiva hiperemis (injeksi
konjungtiva)
Terdapat vesikel dan pseudomembran pada konjungtiva
d. Episkleritis
Nyeri ringan pada mata
Penglihatan normal
Mata berair
Konjungtiva hiperemis
Pada pemberian phenilefrin, hiperemis memudar
Dapat timbul nodul berbatas tegas, berwarna merah/ungu di bawah
konjungtiva pada area inflamasi. Apabila ditekan terasa sakit.
e. Skleritis
Nyeri hebat pada mata, menyebar ke dahi, alis, dan dagu. Nyeri
memburuk dengan pergerakan mata
Mata berair
Fotofobia
Konjungtiva hiperemis
Pembuluh darah konjungtiva,
siliar, dan episklera dapat terlibat
22
Sheila Stephanie Chandra07120080039
FKUPH
Pelebaran pembuluh darah tidak memudar pada pemberian fenilefrin
Dapat terjadi penipisan sklera yang menyebabkan sklera berwarna
biru
Dapat terbentuk stafiloma
f. Keratitis
Keratitis dapat terjadi pada 2/5 penderita herpes zoster oftalmikus. Pertama
– tama yang terjadi ialah keratitis pungtata epitelial, pseudodendrit,
Keratitis numular, keratitis disiformis, sklerokeratitis, dan keratitis
neurotropik.
Keratitis pungtata epitelial: Pada slit lamp muncul gambaran multipel,
fokal lesi – lesi yang membengkak yang mengambil warna pada
pewarnaan fluorescein. Keratitis pungtata muncul awal sesudah 1 - 2
hari manifestasi pada kulit. Keratitis jenis ini berisi virus hidup dan
dapat hilang atau justru berkembang menjadi keratitis dendrit
Pseudodendrit: patternnya berbentuk “seperti medusa”. Dapat muncul
di diperifer kornea atau di area dimana keratitis pungtata sebelumnya.
Yang membedakan dengan herpes simpleks ialah letak dendritnya
lebih superfisial, memiliki ujung yang semakin memudar, dan
mengambil warna pada fluorescein lebih sedikit.
Keratitis stromal infiltrat anterior: Muncul sekitar minggu kedua dan
terjadi pada 25% - 30% pasien HZO. Kondisi ini sering disebut juga
23
Sheila Stephanie Chandra07120080039
FKUPH
dengan keratitis numular, dimana ditandai dengan infiltrat granular
halus multipel di anterior stroma korneal dibawah lapisan epithelial.
Kebanyakan dari infiltrat yang timbul terletak dibawah area dimana
ada pseudodendrit atau keratitis pungtata epitelial sebelumnya.
Kertitis disiformis:
dapat muncul
dalam waktu beberapa minggu atau beberapa bulan setelah lesi
pertama pada kulit timbul. Dapat terjadi dengan atau tanpa adanya
keratitis epitelia sebelumnya. Gambaran yang ditunjukkan dapat
berupa stroma edema yang terlihat jelas dengan bentuk seperti disc.
24
Sheila Stephanie Chandra07120080039
FKUPH
Sklerokeratitis: skleritis yang menyebar ke kornea pada umumnya
terjadi sesudah 1 bulan dari gejala awal timbul. Tanda yang terlihat,
seperti skleralisasi dan vaskularisasi
Keratitis neurotropik: tanda yang ditimbulkan dapat berupa dari
perforasi karena penipisan kornea, serta munculnya hipopion yang
steril ataupun tidak steril akibat infeksi sekunder bakteri.
g. Uveitis
Gejala dan tanda yang ditimbulkan, meliputi;
Mata merah (injeksi silier)
Kornea keruh
Bisa terdapat hipopion ataupun hifema
Atrofi iris yang menyebabkan pupil irregular
Pupil miosis
Pigmen iris bisa hilang sebagian
Terdapat sinekia posterior ataupun anterior sinekia
Reflek pupil melambat
Visus menurun
Fotofobia
25
Sheila Stephanie Chandra07120080039
FKUPH
3.8 Gejala dan Tanda Komplikasi
a. Akut Retinal Nekrosis: ditandai dengan anterior uveitis, vitritis, vaskulitis,
dan retinal nekrosis.
Penglihatan kabur
Mata merah dan sakit
Kornea keruh
Iris ireguler/miosis
Vitreus keruh
Arteritis
Terdapat gambaran retinal
nekrosis dengan batas yang
jelas
Dapat terjadi ablasi retina
b. Optik neuritis: Terjdi apabila
penyakit HZO ini tidak mendapat pengobatan lama, sehingga
menimbulkan komplikasi pda saraf kranial 2. Gejala yang ditimbulkan
dapat berupa;
Mata terasa sakit, terutama jika ditekan
Penglihatan menjadi kabur
Terdapat skotoma
Dapat terjadi papilitis ataupun neuritis retrobulbar. Jika terjadi
papilitis, maka pada pemeriksaan marcus gunn dpat menemukan hasil
yang (+), pada funduskopi akan terlihat papil edema dan berwarna
merah, batas tidak nyata, dapat terjadi pendarahan pada papil di dekat
retina yang menyerupai gambaran lidah api. Serta pendarahan juga
dapat terjadi di badan kaca dan makula. Sedangkan pada neuritis
retrobulbar, pada funduskopi ditemukan hasil yang normal, kecuali
proses sudah berlangsung lama, dimana akan terlihat papil atrofi.
26
Sheila Stephanie Chandra07120080039
FKUPH
c. Paralisis saraf motorik ekstraokular
Gangguan pada saraf ekstraokular, seperti saraf okulomotor, troklear, dan
abdusen dapat terjadi akibat perpanjangan dari proses inflamasi yang
menyerang atau menekan saraf – saraf ini pada sinus cavernosus.
Gangguan yang terjadi dapat mengenai satu atau lebih dari ketiga saraf -
saraf tersebut. Gejala yang didapati ialah;
Pasien tidak mampu untuk menggerakkan mata ke arah atas, medial,
dan bawah pada kerusakan saraf okulomotor
Pasien tidak mampu untuk menggerakkan mata ke arah bawah pada
kerusakan saraf troklear
Pasien tidak mampu untuk menggerakkan mata ke arah lateral pada
kerusakan saraf abdusen
Pupil dilatasi
Ptosis
d.
Post Herpetik Neuralgia
Sindrom neuropatik yang tetap muncul meskipun penyakit sudah dinyatakan
sembuh. Gelaja dapat berupa allodynia (nyeri serperti terbakar yang
hipersensitif), nyeri tajam yang hilang timbul, ataupun pedih.
27
Sheila Stephanie Chandra07120080039
FKUPH
3.9 Diagnosis Herpes Zoster Oftalmikus
Penyakit Herpes Zoster Oftalmikus dapat didiagnosis dari anamnesis,
pemeriksaan fisik mata dan pemeriksaan penunjang
1. Anamnesis
Pada kasus ini, dengan melakukan anamnesis hampir lebih dari setengah
persen diagnosa dapat ditegakkan. Anamnesis berupa keluhan utama
pasien, waktu dan onset, letak penyakit, perjalanan penyakit, faktor yang
memperparah dan yang memperingan, riwayat penyakit sebelumnya,
riwayat penyakit di keluarga, riwayat imunisasi, riwayat pengobatan, faktor
lingkungan, dan gaya hidup.
2. Pemeriksaan fisik mata
a. Inspeksi pda daerah wajah. Pada inspeksi akan terlihat lesi berbentuk
papul/vesikel/pustul/krusta yang berkelompok dengan dasar eritema di
daerah dermatom saraf trigeminal divisi 1 yang berjalan mulai dari
daerah dahi hingga ujung hidung.
b. Pemeriksaan visus. Pemeriksaan ini dapat dilakukan dengan
menggunakan papan snellen. Pemeriksaan ini dilakukan untuk
mengetahui sejauh mata komponen mata terlibat akibat virus varicella
ini. Apabila jalur penglihatan seperti, korena, iris, badan kaca, retina,
dan saraf optikus sudah terkena, maka visus akan menurun dengan uji
pin hole yang negatif.
c. Pemeriksaan reflek pupil. Pemeriksaan ini dilakukan untuk mengetahui
apakah terdapat kelaian pada iris dan saraf kranial tiga.
d. Pemeriksaan slit lamp
Pemeriksaan ini dilakukan untuk mengetahui lebih jelas adanya
kerusakan pada bilik mata depan. Pemeriksaan untuk mengetahui
keratitis juga dapat dilakukan dengan menggunakan pewarnaan
fluorosein.
28
Sheila Stephanie Chandra07120080039
FKUPH
e. Pemeriksaan Funduskopi. Dilakukan untuk melihat apakah ada
kerusakan papil, reflek makula, retina, diskus optikus, dan cairan
vitreus.
f. Pemeriksaan otot mata motorik ekstraokuler. Pemeriksaan ini dapat
dilakukan dengan menggerakkan jari penguji membentuk huruf H dn
meminta pasien untuk menggerakkan mtanya sesuai dengan pergerakan
penguji. Apabila terdapat absen dari salah satu atau beberapa
pergerakan dari mata, maka pasien mengalami komplikasi dari HZO,
yaitu paralisis saraf motorik ekstraokuler.
3. Pemeriksaan penunjang.
Pemeriksaan penunjang dilakukan untuk menunjang diagnosis terhadap
penyakit herpes zoster oftalmikus. Meskipun pada umumnya dengan
menggunakan anamnesis dan pemeriksaan fisik saja sudah dapat
menegakkan diagnosis, namun terkadang penyakit Herpes Zoster
Oftalmikus seringkali tidak menimbulkan lesi di kulit dan gejala pada mata
tidak terlalu signifikan. Oleh sebab itu terdapat beberapa pemeriksaan
penunjang, seperti;
a. Pemeriksaan kultur virus. Kultur virus herpes dapat dilakukan dengan
menggunakan Tzank smear. Kerokan dari lesi pada kulit diambil
kemudian dikultur dan dilihat di bawah mikroskop. Hasil positive
terhadap infeksi virus herpes menunjukkan gambaran multinukleated
sel giant. Tes ini tidak dapat membedakan infesi herpes zoster atau
herpes simplex.
b. Pemeriksaan PCR. Pemeriksaan ini dapat mengetahui DNA dari virus.
Lebih akurat daripada Tzank smear karena pemeriksaan ini bisa
membedakan virus herpes simplex dan herpes zoster.
29
Sheila Stephanie Chandra07120080039
FKUPH
3.10 Terapi
Terapi dapat dilakukan dengan dua metode Non-farmakologi dan farmakologi.
a. Non-farmakologi
Menjaga lesi – lesi yang ada tetap bersih dan kering untuk
menghindari infeksi bakteri sekunder
Mengompres bagian yang meradang dengan kompres dingin
Menghindari makanan yang banyak mengandung arginin, seperti
coklat, kacang, oats, lobster, salmon, udang, labu, dan susu atau
suplement untuk pembentukan otot yang mengandung L-Arginin.
Memperbanyak makanan yang banyak mengandung L-Lysine, seperti
telur, daging merah (sapi, babi), kedelai, ikan kod, ayam, mangga,
alpukat, apel, pepaya, dan susu rendah lemak.
Istirahat secukupnya
b. Farmakologi
Terapi farmakologikal untuk penyakit HZO ini dilakukan sebaiknya dalam
waktu 24-72 jam sejak gejala pertama timbul.
Antivirus untuk HZO yang umum digunakan ialah acyclovir 800mg
5x1 selama tujuh hingga sepuluh hari.
Pada kulit Dilakukan pembersihan, diberikan
kompres caladryl lotion (tetapi
pemakaian harus hati – hati, tidak
boleh masuk kedalam mata)
Blepharitis/conjunctivitis - Palliatif, dengan kompres dingin
dan lubrikasi topikal
- Dibersihkan bila terdapat sekret
akibat infeksi sekunder
- Pemberian topical antibiotik
broadspektrum untuk infeksi
30
Sheila Stephanie Chandra07120080039
FKUPH
bakteri sekunder
Stromal keratitis Steroid topikal
Neurotrophik keratitis - Lubrikasi topikal
- Topical antibiotik broadspektrum
untuk infeksi bakteri sekunder
- Lensa kontak untuk melindungi
kornea
Uveitis - Steroid topikal atau steroid oral
- Oral acyclovir
- Sikloplegik
Skleritis/episkleritis Topikal steroids
Adapted with permission from Arffa RC, Grayson M. Grayson's Diseases of the cornea. 4th ed. St. Louis: Mosby, 1997, and with information from references 2 and 3.
3.11 Pencegahan
Pencegahan terhadap penyakit herpes zoster oftalmikus yang paling utama
ialah menjaga kesehetan agar imunitas tubuh tidak menurun.
Selain itu, pencegahan dari penyakit ini dapat dilakukan juga dengan
melakukan vaksin.
Vaksin terutama diberikan kepada orang yang berumur lebih dari 50 tahun. Hal
ini dikarenakan usia tua sangat mempengaruhi munculnya penyakit herpes
zoster. Vaksin yang digunakan bernama Zostavax. Vaksin ini berisi virus
varicella zoster yang dilemahkan. Oleh sebab itu, penerima vaksin jenis ini
ialah harus orang dengan imunokompeten.
Berdasarkan data dari The Shingles Prevention Study, orang berumur 60 – 79
tahun yang telah menerima vaksin ini menunjukkan hasil yang cukup baik,
yaitu setengah penerima tercegah dari HZ dan 2/3-nya tercegah dari komplikasi
HZ yaitu post herpetik neuralgia. Selain itu, pada penderita yang telah
31
Sheila Stephanie Chandra07120080039
FKUPH
menerima vaksin tersebut menunjukkan gejala nyeri yang 60% lebih rendah
daripada penderita HZ yang belum menerima vaksin.
Vaksin jenis ini diberikan secara injeksi subkutaneus 0.65 ml dosis tunggal.
Seperti halnya, vaksinasi lainnya, kejadian ikutan paska vaksinasi dapat terjadi.
Setelah pemberian dilaporkan bahwa terdapat reaksi ringan pada daerah
injeksi. Reaksi dapat berupa nyeri, pembengkakan, dan kemerahan. Reaksi
tersebut dilaporkan terjadi pada 50% penerima vaksin. Efek samping lainnya
yang dapat terjadi ialah sakit kepala dan badan lemas.
Vaksin ini tidak diperkenankan untuk diberikan kepada orang yang belum
pernah menderita penyakit varicella ataupun belum pernah menerima vaksin
untuk varicella saat kecil sebelumnya.
32
Sheila Stephanie Chandra07120080039
FKUPH
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Penyakit Herpes Zoster Oftalmikus merupakan penyakit Herpes
Zoster yang menyerang saraf kranial trigeminal divisi oftalmikus. Penyakit
ini disebabkan oleh ter-reaktivasinya virus varicella zoster yang dorman
dalam ganglion dorsalis pada saraf sensorik atau bahkan saraf motorik.
Sekitar 10 – 25% penderita Herpes Zoster mengalami Herpes Zoster
Oftalmikus. Pada Herpes Zoster Oftalmikus, virus ini bermanifestasi pada
kulit dan juga pada daerah mata. Manifestasi pada daerah mata dapat berupa,
blefaritis, konjungtivitis, uveitis anterior, skleritis, episkleritis, dan keratitis.
Oleh sebab itu, penanganan pada HZO tidak hanya berpusat terhadap kulit,
namun juga melihat kepada bagian – bagian dari organ mata yang terlibat.
Pendeteksian dengan menggunakan anamnesis dan pemeriksaan fisik
umumnya dapat langsung menegakkn diagnosis. Namun, untuk lebih
menunjang diagnosis yang ada dapat digunakan pemeriksaan PCR dan kultur
virus dengan menggunakan Tzank smear. Dengan diagnosis yang pasti, maka
pengobatan dapat lebih terarah. Umumnya pengobatan yang diberikan dapat
berupa antivirus, steroid baik topikal maupun oral, analgesik, siklopegik, dan
air mata buatan. Apabila pemberian pengobatan tidak adekuat, maka virus ini
dapat terus berkembang dan mengakibatkan penyakit akut retinal nekrosis
dan paralisis saraf motorik ekstrokular. Meskipun pada pengobatan yang
berhasil, komplikasi lain seperti Post Herpetik Neuralgia tetap dapat terjadi.
Oleh sebab itu, pemberian vaksinasi mulai dianjurkan bagi orang
berumur lebih dari 50 tahun dengan harapan dapat menurunkan komplikasi
akibat HZ dan menurukan gejala pada saat terserang. Selain itu, menurut data
33
Sheila Stephanie Chandra07120080039
FKUPH
– data yang bermunculan, penurunan dan peningkatan konsumsi makanan
yang menggandung L-arginin dan L-lysine juga dapat mempengaruhi
perkembangan dari penyakit herpes zoster oftalmikus ini.
34
Sheila Stephanie Chandra07120080039
FKUPH
Daftar Pustaka
1. Anthony JH Hall, M. F. (2003). Herpes Zoster Ophthalmicus. American
Uveitis Society, 1-4.
2. Catron MD, T., & Hern, G. H. (2008). Herpes Zoster Ophthalmicus. Western
Journal of Emergency Medicine, 174-176.
3. Djuanda, P. (2007). Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Jakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.
4. Draper, D. R. (2010, march 16). Patient.co.uk. Shingles.
5. Gupta, R., Lata, H., Narng, S., & Sood, S. (2003). Herpes Zoster
Ophthalmicus With Abducent Palsy. India: Asian Journal Of Opthamology.
6. Hong, S. M., & Yang, Y. S. (2010). A Case of Optic Neuritis Complicating
Herpes Zoster Ophthalmicus in a Child. Korean Journl of Ophthalmology,
126-130.
7. Ilyas, p. (2010). Ilmu Penyakit Mata. Jakarta: Fakults Kedokteran Universitas
Indonesia.
8. Krachmer, Mannis, & Holland. (2005). Cornea 2nd Edition. British: Elsevier
Mosby.
9. Majumder, P. D. (2008). Acute Retinal Necrosis. E Journal of Opthalmology,
600.
10. Menon, V., Kumar, G. K., & Tandon, R. (1995). Optic neuropathy secondary
to herpes zoster ophthalmicus. New Delhi: Indian Journal of Opthalmology.
35
Sheila Stephanie Chandra07120080039
FKUPH
11. Pavan, D., & Langston. (1977). Herpes simplex and herpes zoster
keratouveitis: diagnosis and management. Journal of Urban Health, 731–748.
12. SAAD SHAIKH, M. a. (2001). Evaluation and Management of Herpes Zoster
Ophthalmicus. American Academy Family Physician, 1723-1730.
13. SETH JOHN STANKUS, M. M. (2000). Management of Herpes Zoster
(Shingles) and Postherpetic Neuralgia. American Family Physician, 2437-
2444.
14. Thomas J. Liesegang, M. (2008). Herpes Zoster Ophthalmicus. American
Academy of Ophthalmology, 3-12.
15. Thomas, S. L., Wheeler, J., & Hall, A. (2005). Micronutrient intake and the
risk of herpes zoster: a case–control study. Internation Journal of
Epidemiology, 307-314.
16. Ubani, U. (2011). Herpes-zoster virus ophthalmicus as presenting sign of
HIV disease. Journal of Optometry, 117-21.
17. Wijana, N. d. (1993). Ilmu Penyakit Mata. Jakarta: Fkults Kedokteran
Universitas Indonesia.
18. Yildiz, Ö. K., SEĞMEN, H., Bolyir, E., & Topktas, A. S. (2009). A Case of
Herpes Zoster Ophthalmicus With Oculomotor Nerve Palsy. Journal of
Neurological Sciences (Turkish), 500-504.
36
Sheila Stephanie Chandra07120080039
FKUPH
37