Sheila Stephanie Chandra,07120080039- H. ZOSTER OFTALMIKUS.docx

55
REFERAT HERPES ZOSTER OFTALMIKUS Disusun oleh: Sheila Stephanie Chandra – 07120080039 Konsulen Pembimbing: dr. R.R. Herdwiyanti Roesmawati, Sp.M Kepaniteraan Klinik Departemen Penyakit Mata Rumah Sakit Marinir Cilandak

Transcript of Sheila Stephanie Chandra,07120080039- H. ZOSTER OFTALMIKUS.docx

Page 1: Sheila Stephanie Chandra,07120080039- H. ZOSTER OFTALMIKUS.docx

REFERAT

HERPES ZOSTER OFTALMIKUS

Disusun oleh:Sheila Stephanie Chandra – 07120080039

Konsulen Pembimbing:dr. R.R. Herdwiyanti Roesmawati, Sp.M

Kepaniteraan Klinik Departemen Penyakit Mata

Rumah Sakit Marinir Cilandak

Periode 26 Maret 2012 – 27 April 2012

Fakultas Kedokteran Universitas Pelita Harapan

Page 2: Sheila Stephanie Chandra,07120080039- H. ZOSTER OFTALMIKUS.docx

Sheila Stephanie Chandra07120080039

FKUPH

Kata Pengantar

Seiring salam dan doa penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa

semoga Tuhan selalu melimpahkan rahmatnya kepada penulis sehingga penulis dapat

menyelesaikan referat yang berjudul “Herpes Zoster Oftalmikus” ini dengan baik.

Referat ini disusun sebagai salah satu tugas kepaniteraan klinik dalam bidang

ilmu mata di Rumah Sakit Marinir Cilandak. Dalam proses penyusunan referat ini,

tentunya penulis mendapat banyak bimbingan, arahan, dan saran. Oleh sebab itu,

tidak lupa penulis mengucapkan terima kasih yang sedalam – dalamnya kepada:

1. Tuhan Yang Maha Esa

2. dr. R.R. Herdwiyanti Roesmawati, Sp.M

3. Teman – teman dari stase mata

Yang telah membantu dan mendukung kelancaran dari penyusunan referat ini.

Demikian laporan ini penulis susun dengan sebaik – baiknya. Akhir kata penulis

berharap agar laporan ini dapat bermanfaat.

Tangerang, 15 April 2012

Penulis

1

Page 3: Sheila Stephanie Chandra,07120080039- H. ZOSTER OFTALMIKUS.docx

Sheila Stephanie Chandra07120080039

FKUPH

Daftar isi

Kata Pengantar 1

Bab I Pendahuluan

1.1 Latar Belakang 3

1.2 Tujuan 5

Bab II Anatomi dan Fisiologi

2.1 Saraf Trigeminal 6

2.2 Kelopk Mata 8

2.3 Kelenjar Lakrimalis 10

2.4 Konjungtiva 10

2.5 Bola Mata 11

Bab III Herpes Zoster Oftalmikus

3.1 Definisi 17

3.2 Epidemiologi 17

3.3 Etiologi 1 7

3.4 Faktor Risiko 18

3.5 Cara Penularan 18

3.6 Patofisiologi 19

3.7 Gejala dan Tanda 21

3.8 Gejala dan Tanda Komplikasi 26

3.9 Diagnosis 28

3.10 Terapi 30

3.11 Pencegahan 31

Bab IV Penutup

4.1 Kesimpulan 33

2

Page 4: Sheila Stephanie Chandra,07120080039- H. ZOSTER OFTALMIKUS.docx

Sheila Stephanie Chandra07120080039

FKUPH

Daftar Pustaka 35

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Herpes zoster oftalmika merupakan penyakit yang menyerang saraf

trigeminal divisi oftalmikus (V1) akibat ter-reaktivasinya virus varicella zoster

yang dormant. Virus jenis ini awalnya bermanifestsi di kulit tubuh manusia

berupa vesikel, pustul, atau krusta. Keadaan ini disebut dengan penyakit cacar

air atau varicella. Ketika penyakit varicella ini sembuh, virus akan dormant di

dalam tubuh manusia dan suatu saat dapat te-reaktivasi kembali oleh beberapa

sebab, seperti proses penuaan, kurangnya nutrisi, penyakit keganasan, post

transplantasi, dan penyakit - penyakit imunodeficiency atau

immunocompromice. Ter-reaktivasinya virus ini akan menimbulkan gejala

berupa munculnya vesikel/pustul yang berkelompok dengan dasar eritema di

kulit yang mengikuti arah dermatom tubuh dan umumnya bersifat unilateral.

Munculnya kembali virus ini dapat dimana saja sesuai dengan segmen

ganglion saraf tempat dimana virus ini dormant sebelumnya. Apabila virus ini

aktif lagi pada daerah ganglion saraf kranialis trigeminal divisi 1 atau divisi

oftalmikus, maka gejala yang ditimbulkan tidak hanya terdapat pada kulit,

namun juga terdapat pada daerah mata. Keadaan seperti itu disebut dengan

penyakit Herpes Zoster Oftalmikus.

Oleh karena saraf trigeminal divisi oftalmikus memiliki tiga cabang

lagi, yaitu saraf frontalis, saraf nasosiliari, dan saraf lakrimalis, dimana ketiga

saraf tersebut mempersarafi daerah orbital dan periorbital mata, maka

gangguan yang terjadi dapat berupa blefaritis, konjungtivitis, keratitis,

3

Page 5: Sheila Stephanie Chandra,07120080039- H. ZOSTER OFTALMIKUS.docx

Sheila Stephanie Chandra07120080039

FKUPH

episkleritis, skleritis, uveitis anterior, neuritis optika, akut retinal nekrosis, dan

paralisis saraf motorik ekstraokular.

Dengan banyaknya manifestasi yang ditimbulkan oleh akibat ter-

reaktivasinya virus ini, maka penyakit herpes zoster oftalmikus tidak dapat

dianggap sepele. Meskipun menurut data dari jurnal NCBI (National Center for

Biotechnology Information, 2008), hanya sekitar 20% - 30% populasi di dunia

mengalami herpes zoster dan sekitar 10% - 25% dari individual tersebut

menderita herpes zoster oftalmikus, herpes zoster oftalmikus tetap perlu

diwaspadai dan dicegah mengingat kerusakan yang terjadi pada daerah mata

cukup banyak serta komplikasi jangka panjang seperti post herpetik neuralgia

dan kebutaan dapat terjadi pada sebagian kasus. Oleh karenanya, pendeteksian,

pengobatan, dan pencegahan yang tepat dan benar pun perlu diperhatikan.

Dalam referat ini, dibahas mengenai herpes zoster oftalmikus dari segi

definisi, etiologi, epidemiologi, patofisiologi, tanda gejala, diagnosis,

pengobatan, pencegahan, dan disertai dengan anatomi yang menunjang.

4

Page 6: Sheila Stephanie Chandra,07120080039- H. ZOSTER OFTALMIKUS.docx

Sheila Stephanie Chandra07120080039

FKUPH

1.2 Tujuan

Referat ini dibuat untuk beberapa tujuan, antara lain:

1. Untuk memenuhi tugas kepaniteraan klinik di Departemen Mata Rumah

Sakit Marinir Cilandak sebagai salah satu syarat kelulusan.

2. Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik mengenai definisi,

epidemiologi, etiologi, patofisiologi, tanda dan gejala, diagnosis, terapi

dan pencegahan dari penyakit herpes zoster oftalmikus.

5

Page 7: Sheila Stephanie Chandra,07120080039- H. ZOSTER OFTALMIKUS.docx

Sheila Stephanie Chandra07120080039

FKUPH

BAB II

ANATOMI DAN FISIOLOGI

2.1 Saraf trigeminal

Saraf trigeminal merupakan

saraf ke lima dari dua belas

saraf kranial dimana

nukleusnya terletak pada

pons. Bernama saraf

trigeminal karena memiliki

tiga cabang divisi, yaitu divisi

oftalmikus (V1), maksilaris

(V2), dan mandibularis (V3).

Saraf ini memiliki dua serabut

saraf, yaitu serabut saraf

motoris dan sensoris. Serabut

saraf motoris hanya terletak pada saraf trigeminal divisi ke-tiga, yaitu

mandibularis. Divisi motoris ini meng-inervasi otot- otot mastikasi (otot

masseter, temporalis, medial pterygoid, lateral pterygoid, otot mylohyoid, dan

otot tensor timpani di dalam telinga) dan menghasilkan gerakan elevasi,

deperesi, protusi, retaksi, dan gerakan ke kanan dan kekiri pada mandibula

yang digunakan untuk proses mengunyah.

Sedangnya serabut saraf sensoris terdapat pada seluruh divisi pada saraf

trigeminal ini. Serabut saraf sensorik membawa rangsangan rabaan, nyeri, dan

suhu pada daerah tersebut.

Pada divisi pertama (V1), yaitu oftalmikus, muncul dari bagian atas ganglion

semilunar sebagai berkas yang pendek dan rata kira-kira sepanjang 2.5 cm

6

Gambar 1.1 Dermatom Saraf Trigeminal

Page 8: Sheila Stephanie Chandra,07120080039- H. ZOSTER OFTALMIKUS.docx

Sheila Stephanie Chandra07120080039

FKUPH

yang melewati dinding lateral sinus cavernous, di bawah saraf occulomotor (N

III) dan saraf trochlear (N IV). V1 ini merupakan saraf terkecil dari ketiga

divisi pada saraf trigeminal. Bagian ini menginervasi kornea, badan ciliaris,

iris, glandula lakrimalis, conjunctiva, membran mukosa cavum nasal, kulit

palpebra, alis, dahi dan ujung hidung. Ketika memasuki cavum orbita melewati

fissura orbitalis superior, saraf oftalmikus bercabang menjadi tiga cabang,

mejadi: saraf lakrimalis, frontalis dan nasociliaris.

a) Saraf frontalis

Merupakan cabang terbesar dari saraf oftalmikus dan dapat dianggap

sebagai lanjutan langsung dari saraf oftalmikus. Saraf ini memasuki cavum

orbita melewati fissura orbitalis superior dan masuk diantara palpebra

levator superioris dan periosteum. Di pertengahan perjalanan diantara

apeks dan basis orbita bercabang menjadi dua cabang yaitu nervus

supratrochlear dan supraorbital. Saraf supraorbital kemudian mempersarafi

kelopak mata bagian atas, otot frontalis, dan kulit kepala. Sedangkan saraf

7

Gambar 1.2 Percabangan Saraf Trigeminal divisi 1

Page 9: Sheila Stephanie Chandra,07120080039- H. ZOSTER OFTALMIKUS.docx

Sheila Stephanie Chandra07120080039

FKUPH

supratroklear mempersarfi daerah konjungtiva, kelopak mata bagian atas,

dan dahi.

b) Saraf lakrimalis

Merupakan cabang saraf terkecil dari divisi ini. Berkas saraf menuju ke

glandula lakrimalis dan menginervasi glandula lakrimalis, konjungtiva,

dan kelopak mata bagian atas.

c) Saraf Nasosiliary

Saraf ini mempersarafi beberapa daerah pada divisi oftalmikus, seperti

daerah frontal dan anterior sinus etmoid, bagian anterior dari septum dan

dinding hidung, kulit dari ujung hidung (nasal tip), posterior sinus etmoid

dan spenoid, kornea, iris, badan silier, dan bola mata.

Pada divisi ke dua, yaitu maxillaris, juga hanya mempunyai serabut saraf

sensoris. Saraf ini memiliki tiga cabang, yaitu zigomatik, pterygopalatine atau

sphenopalatine, dan saraf posterior superior alveolar dimana ketiganya

membawa informasi sensori dari kelopak mata bagian bawah, pipi, bibir atas,

hidung, gigi (insisor, cais, dan premolar), gusi, rahang atas, ruang nasofaring,

sinus maksilaris, sinus etmoid, sinus spenoid, palatum mole dan atap rongga

mulut.

Pada divisi yang ketiga, yaitu mandibularis, mempunyai radiks sensoris yang

meninggalkan ganglion trigeminal dan berjalan keluar cranium melalui

foramen ovale. Serabut sensoris saraf mandibularis mempersarafi kulit daerah

mandibula dan sisi samping kepala hingga anterior telinga.

2.2 Kelopak mata

Kelopak atau palpebra merupakan alat penutup mata yang berguna untuk

melindungi bola mata terhadap trauma, debu, dan benda asing. Selain itu,

kelopak mata memiliki reflek untuk berkedip sehingga dapat memudahkan

penyebaran air mata sehingga kornea dan bagian mata lainnya tetap dalam

8

Page 10: Sheila Stephanie Chandra,07120080039- H. ZOSTER OFTALMIKUS.docx

Sheila Stephanie Chandra07120080039

FKUPH

keadaan basah. Kelopak mata memiliki beberapa lapisan, dari luar kedalam,

yaitu kulit, jaringan subkutaneus, otot orbikularis okuli, tarsus, konjungtiva

tarsal, dan pembuluh darah. Pada

palpebra bagian tarsus dekat

dengan konjungtiva terdapat

kelenjar meibom yang berfungsi

untuk pengeluaran lemak yang

juga merupakan salah satu lapisan

dari air mata yang berguna untuk

mencegah penguapan air mata

yang berlebihan. Pada ujung kelopak mata terdapat rambut mata yang

berfungsi untuk mencegah masuknya debu ke dalam mata. Kelopak mata

diperdarahi oleh arteri palpebra, sedangkan persarafan sensoris dipersarafi oleh

saraf trigeminal divisi satu pada kelopak mata bagian atas (saraf infratrokhlear,

supratrokhlear, supraorbital and lakrimal) dan divisi dua pada kelopak mata

bagian bawah (infraorbital) dan untuk persarafan motoris dipersarafi oleh saraf

okulomotor dan fasialis.

Pada kelopak mata terdapat beberapa kelenjar dan otot, seperti:

Kelenjar: kelenjar moll atau kelenjar keringat dan kelenjar zeis atau

kelenjar minyak pada pangkal rambut, serta kelenjar meibom pada tarsus

yang berfungsi untuk pengeluaran minyak (terdapat 40 buah di kelopak

atas dan 20 pada kelopak bawah)

Otot: terdapat otot orbikularis okuli yang berjalan melingkar didalam

kelopak atas dan bawah. Otot ini menutup bola mata yang dipersarafi oleh

saraf kranial nomor tujuh, yaitu saraf fasial. Selain itu terdapat otot levator

palpebra yang dipersarafi oleh saraf kranial nomor tiga, yaitu saraf

okulomotor yang berfungsi untuk mengangkat kelopak mata atau

membuka mata.

9

Page 11: Sheila Stephanie Chandra,07120080039- H. ZOSTER OFTALMIKUS.docx

Sheila Stephanie Chandra07120080039

FKUPH

2.3 Kelenjar Lakrimalis

Kelenjar lakrimalis merupakan

kelenjar yang menghasilkan air

mata. Terletak pada bagian antero

superior temporo orbital. Kelenjar

lakrimal itu sendiri juga terdiri

dari dua bagian, yaitu pada

bagian atas yang terletak pada

fosa lakrimal os. Frontalis dan pada bagian bawah yang terletak dibawah

konjungtiva, forniks superior, dan bagian temporal.

Air mata yang dihasilkan oleh kelenjar ini berfungsi sebagai cairan yang dapat

melindungi permukaan kornea dan konjungtiva agar terhindar dari kerusakan

epitel dan jaringannya. Selain itu, air mata juga dapat mencegah

berkembangnya mikroorganisme pada konjungtiva dan kornea karena sifatnya

yang antibakteri (mengandung IgA, dan lisozim). Air mata setelah diproduksi

oleh kelenjar lakrimalis akn berjalan menuju pungtum lakrimal inferior dan

superior, kemudian melewati duktus nasolakrimal menuju meatus inferior

rongga hidung.

2.4 Konjungtiva

Konjungtiva merupakan membran yang

menutupi sklera dan kelopak mata

bagian belakang. Konjungtiva terdiri

atas 3 bagian, yaitu:

Konjungtiva tarsal: konjungtiva

ini sangat melekat dengat tarsus

dan sulit digerakkan dari tarsus.

10

Page 12: Sheila Stephanie Chandra,07120080039- H. ZOSTER OFTALMIKUS.docx

Sheila Stephanie Chandra07120080039

FKUPH

Konjungtiva bulbi: merupakan

konjungtiva yang menutupi

sklera. Di dekat kantus

internus, konjungtiva bulbi

membentuk plika semilunaris

yang mengelilingi suatu pulau

kecil terdiri dari rambut dan

kelenjar yang disebut dengan

caruncula.

Konjungtiva forniks: merupakan tempat peralihan konjungtiva tarsal

dengan konjungtiva bulbi. Hungungan konjungtiva forniks dan jaringan

di bawahnya lemah dan membentuk lekukan – lekukan sehingga bola

mata mudah bergerak.

2.5 Bola mata

Mata adalah suatu struktur sferis berisi cairan yang dan memiliki panjang

maksimal 24 mm. Otot – otot penggerak bola mata terdiri dari: otot lateral

rektus, medial rektus, superior rektus, inferior rektus, superior oblik, dan

inferior oblik. Mata dibungkus oleh tiga lapisan jaringan, yaitu sklera/kornea,

uvea (iris ,badan siliaris, koroid), dan retina.

a) Sklera dan Kornea

Sklera merupakan jaringan ikat yang kenyal yang memberikan bentuk

pada mata. Sklera memiliki tebal 1mm dan hanya mengandung sedikit

pembuluh darah Yang banyak memiliki pembuluh darah adalah jaringan

episklera sehingga jaringan ini yang memberikan nutrisi kepada sklera.

Bagian terdepan dari sklera bernama kornea. Batas antara kornea dan

sklera disebut dengan limbus kornea. Kornea memiliki kelengkungan

yang lebih besar dibandingkan dengan sklera dan bersifat transparan

11

Page 13: Sheila Stephanie Chandra,07120080039- H. ZOSTER OFTALMIKUS.docx

Sheila Stephanie Chandra07120080039

FKUPH

sehingga memudahkan sinar masuk ke dalam bola mata. Kornea

memiliki lima lapisan, yaitu lapisan epitel, membran bowman, stroma

atau substansia propia, membran descement, dan lapisan endotel.

Epitel: tebalnya 50µm, terdiri atas 5 lapis sel epitel tidak bertanduk

yang saling tumpang tindih.

Membran bowman: terdiri dari kolagen yang tersusun tidak teratur

seperti stroma dan berasal dari bagian depan stroa. Hanya memiliki

sedikit daya tahan sehingga mudah sekali dirusak dan tidak dapat

dibentuk kembali.

Jaringan stroma: terdiri

atas susunan kolagen

yang rapi dan sejajar.

Diantaranya terdapat

semen, badan – badan

kornea, leukosit,

yang terdapat di dalam

lakuna, diantara serat – serat tersebut.

Membran descement: merupakan membran yang lebih elastis dan

memiliki tebal 40µm. Bagian kornea ini lebih resisten terhadap

trauma dan proses patologik lainnya dibandingkan dengan bagian

kornea lainnya.

Endotel: terdiri dari satu lapisan sel gepeng yang meliputi bagian

posterior membran descement dan membungkus messwork dan

melapisi iris. Endotel ini berbentuk heksagonal dan melekat pada

membran descement melalui hemidesmosom dan zonula okluden.

Kornea itu sendiri tidak memiliki pembuluh darah, hanya dibagian

limbus korena yang terdapat lengkungan pembuluh darah yang berasal

dari arteri siliaris anterior. Oleh karenanya kornea mendapatkan makanan

12

Gambar 5.1 Lapisan Kornea

Page 14: Sheila Stephanie Chandra,07120080039- H. ZOSTER OFTALMIKUS.docx

Sheila Stephanie Chandra07120080039

FKUPH

dengan cara difusi oleh pembuluh – pembuluh di limbus dan cairan bilik

mata depan. Permeabilitas kornea ditentukan oleh epitel dan endotel,

sehingga apabila terjadi kerusakan disana, maka air dapat masuk kedalam

kornea dan menyebabkan edem kornea.

b) Uvea

Uvea terdiri atas tiga bagian, yaitu iris, badan silier, dan koroid

(mengelilingi bulbus okuli). Iris dan badan silier disebut dengan uvea

anterior, sedangkan koroid disebut dengan uvea posterior.

- Iris

Iris merupakan bagian dari mata yang memiliki fungsi sebagai pengatur

banyaknya cahaya yang masuk kedalam bola mata. Hal itu dikarenakan

iris memiliki dua otot yang berespon

terhadap cahaya dan gelap. Otot

tersebut bernama otot radial (otot

dilator) dan otot sirkuler (otot

konstriktor) dimana otot radial akan

memendek akibat rangsangan dari

saraf simpatis sehingga menghasilkan

pupil yang miosis dan otot sirkuler yang berkonstriksi akibat

rangsangan saraf parasimpatis sehingga menghasilkan pupil midriasis.

Selain itu, iris juga merupakan bagian dari mata yang menjadikan

warna mata setiap orang dapat berbeda karena terdapat pigmen.

- Badan silier

Badan silier berbentuk segitiga dan terdiri dari dua bagian, yaitu pars

korona pada anterior yang memiliki panjang kira – kira 2mm dan pars

plana di bagian posterior yang panjangnya kira – kira 4mm. Pada badan

silier terdapat tiga macam otot, yaitu otot sirkuler, radier, dan

longitudinal. Fungsi otot – otot silier ini ialah untuk proses akomodasi

yang berespon terhadap penglihatan benda yang jauh dan yang dekat.

13

Page 15: Sheila Stephanie Chandra,07120080039- H. ZOSTER OFTALMIKUS.docx

Sheila Stephanie Chandra07120080039

FKUPH

Melihat benda yang terletak jauh

akan menyebabkan otot tersebut

relaksasi sehingga ligamentum

tertarik dan menjadikan lensa

menjadi tertarik lonjong,

sedangkan untuk melihat benda

dekat, otot silier akan berkontrksi

sehingga ligamentum mengendor

dan menyebabkan lensa

mencembung agar benda tersebut

dapat difokuskan tepat jatuh di retina mata. Dari prosesus silier ini juga

keluar serat – serat zonula zinn yang merupakan penggantung lensa.

Selain itu, badan silier terdapat jaringan kapiel yang mengeluarkan

aquos humor dengan kecepatan sekitar 5ml/hari. Aquos ini keluar dari

badan siliari menuju bilik mata belakang, kemudian melewati iris dan

lalu masuk ke dalam trabekula messwork. Apabila proses seperti itu

tidak berjalan seimbang, maka tekanan dalam bola mata dapat

meningkat.

- Koroid

Koroid merupakan lapisan dibawah sklera yang memiliki banyak

pembuluh darah sebagai pemberi makan retina. Koroid memiliki enam

lapisan, yaitu lapisan epitel pigmen, membran burch (lamina vitrea),

koriokapiler, pembuluh darah sedang, pembuluh darah besar, dan

suprakoroid.

c) Retina

14

Page 16: Sheila Stephanie Chandra,07120080039- H. ZOSTER OFTALMIKUS.docx

Sheila Stephanie Chandra07120080039

FKUPH

Retina

merupakan membran tipis, halus, dan tidak berwarna. Terdapat 10

lapisan pada retina, yaitu membran limitants interna, lapisan serabut –

serabut saraf, lapisan sel – sel ganglion, lapisan plexiform dalam, lapisan

nuklear dalam, lapisan pleksiform luar, lapisan nuklear luar, membran

limitans eksterna, lapisan batang dan kerucut, dan lapisan epitel pigmen.

Pada retina terdapat makula lutea yang besarnya 1 – 2 mm dan

ditengahnya

terdapat lekukan

dari fovea sentralis.

Daerah fovea ini

merupakan daerah

dengan tingkat

ketajaman paling

tinggi karena

terdapat banyak

sekali sel kerucut.

Sel kerucut dan sel batang merupakan fotoreseptor yang terdapat di

retina. Dengan adanya kedua fotoreseptor ini, maka proses melihat dapat

terjadi. Gelombang cahaya setelah terfokuskan tiba diretina, kemudian

ditangkap oleh kedua fotoreseptor ini dan dubah menjadi impuls saraf

yang berjalan melalui sel bipolar menjadi saraf optik. Dari saraf optik

15

Page 17: Sheila Stephanie Chandra,07120080039- H. ZOSTER OFTALMIKUS.docx

Sheila Stephanie Chandra07120080039

FKUPH

kemudian akan dilanjutkan ke traktus optikus, lalu radiasio optika sampai

ke serebrum. Terletak dekat dengan makula lutea, yaitu disebelah

nasalnya, terdapat papila nervi optik (dimana saraf optik menembus

sklera). Pada bagian ini merupakan tempat keluarnya saraf optik, arteri,

dan vena sentralis (ukuran vena dan arteri = 3:2).

16

Page 18: Sheila Stephanie Chandra,07120080039- H. ZOSTER OFTALMIKUS.docx

Sheila Stephanie Chandra07120080039

FKUPH

BAB III

HERPES ZOSTER OFTALMIKUS

3.1 Definisi

Herpes Zoster Oftalmikus (HZO) merupakan penyakit Herpes Zoster yang

menyerang saraf trigeminal divisi Oftalmikus (V1) yang disebabkan karena ter-

reaktivasinya Virus Varicella Zoster yang dormant pada ganglia saraf tersebut.

Virus ini dapat menyerang pada seluruh cabang dari saraf oftalmikus, seperti

saraf frontalis, saraf lakrimalis, dan saraf nasosiliary.

3.2 Epidemiologi

Berdasarkan data dari National Center for Immunisation Research and

Surveilance dan jurnal Neurological Sciences, sekitar 20% - 30% dari 5/1.000

penderita varicella zoster diseluruh dunia akan menderita herpes zoster

dikemudian hari dan dari 20% - 30% tersebut, sekitar 10% - 25% menderita

Herpes Zoster Oftalmikus. Dari seluruh insiden herpes zoster oftalmikus, 50%

dari penderita herpes zoster oftalmikus mendapat gangguan pada bagian

matanya. Komplikasi okular terjadi pada 50 % – 89 % pasien penderita Herpes

Zoster Oftalmikus. Komplikasi berupa ketidakmampuan kebutaan dan post

herpetik neuralgia.

Pasien penderita penyakit immunodeficiency (HIV) memiliki risiko prevalensi

15-25 kali lebih besar terhadap terjangkitnya penyakit herpes zoster oftalmikus

dibandingkan dengan populasi orang sehat pada umumnya.

3.3 Etiologi

Penyebab dari penyakit Herpes Zoster Oftalmikus ini ialah virus Human

Herpes tipe 3 atau Virus Varicella Zoster. Oleh karena virus ini merupakan

17

Page 19: Sheila Stephanie Chandra,07120080039- H. ZOSTER OFTALMIKUS.docx

Sheila Stephanie Chandra07120080039

FKUPH

virus yang ter-reaktivasi kembali, maka virus ini serupa dengan virus yang

menyebabkan penyakit sebelumnya, yaitu penyakit Varisela Zoster (chicken

pox). Virus ini termasuk dalam family Herpesviridae, seperti Herpes Simplex,

Epstein Barr Virus, dan Cytomegalovirus.

Munculnya kembali virus yang telah dorman ini dapat disebabkan karena

terjadi kerusakan sel saraf pada tempat virus ini dormant dan sistem imun host

yang menurun/kurang.

3.4 Faktor risiko

Terdapat beberapa faktor risiko yang dapat menyebabkan penyakit Herpes

Zoster Oftalmikus, seperti;

Penderita penyakit varicella zoster sebelumnya

Umur, semakin tua umur seseorang, maka risiko menderita herpes zoster

oftalmikus semakin meningkat

Penderita malnutrisi

Orang – orang yang mengkonsumsi obat – obatan yang menurunkan

sistem imun (kemoterapi, kortikosteroid)

Pasien yang menerima transplantasi organ

Penderita penyakit imunodeficiency (HIV)

Physiologikal stress

3.5 Cara Penularan

Penularan penyakit herpes zoster berawal dari penyakit varicella zoster.

Menurut data, tidak ada laporan yang menyatakan bahw herpes zoster beridir

sendiri tanpa terdapat riwayat penyakit varicella sebelumnya. Penyakit

varicella di dapat melalui direk kontak dari vesikel yang pecah terhadap dari

penderita varicella ataupun herpes zoster.

18

Page 20: Sheila Stephanie Chandra,07120080039- H. ZOSTER OFTALMIKUS.docx

Sheila Stephanie Chandra07120080039

FKUPH

Masa infeksius, dimana virus dapat menular ialah pada hari 6 – 7 hari dari lesi

pertama muncul dan berakhir pada saat terbentuk krusta. Selain itu, virus dapat

disebarkan melalui droplet ketika penderita varicella bersin ataupun batuk.

3.6 Patofisiologi

Penyakit herpes zoster oftalmika berawal dari infeksi virus varicella zoster.

Virus ini dapat disebarkan melalui droplet saat penderita varicella zoster bersih

ataupun batuk ataupun dari direk kontak dari lesi varicella. Selain itu, virus

juga dapat menyebar dari sekret yang keluar dari vesikel ataupun pustul yang

timbul. Masa penularannya terhitung kurang lebih 7 hari setelah gejala dikulit

timbul. Setelah virus tersebut masuk kedalam tubuh manusia, terjadi proses

inkubasi selama sekitar 14 hingga 21 hari. Pertama pasien akan mengeluhkan

adanya mialgia, demam ringan, nyeri kepala. Kemudian muncul papul – papul

pada kulit, yang dalam beberapa jam berubah menjadi vesikel, lalu menjadi

pustul, dan menjadi krusta.

Setelah penyakit ini tidak lagi mengeluarkan gejala atau sembuh, virus tidak

semata – mata hilang dari tubuh penderita. Namun, virus akan dormant di

dalam ganglion sensoris saraf, yang disebut dengan varicella laten. Tidak

hanya dormant di ganglion sensoris, virus ini juga dapat dormant pada ganglion

motoris, meskipun kasus yang dilaporkan jarang.

Untuk penyakit herpes zoster oftalmikus, virus ini dormant di dalam ganglion

saraf kranial lima, yaitu saraf trigeminal divisi oftalmikus. Setelah virus ini

dormant untuk beberapa waktu, virus ini dapat ter-reaktivasi lagi oleh beberapa

sebab, seperti penurunan sistem imun, ataupun adanya gangguan dari saraf.

Dengan ter-reaktivasinya virus ini, virus akan segera dengan cepat bereplikasi

dan menimbulkan inflamasi pada saraf tersebut, baru kemudian menuju ujung

– ujung saraf (dalam waktu 3 – 4 hari menuju ujung saraf).

19

Page 21: Sheila Stephanie Chandra,07120080039- H. ZOSTER OFTALMIKUS.docx

Sheila Stephanie Chandra07120080039

FKUPH

Tidak seperi penyakit varicella dimana manifestasi kulit muncul secara

sentrifugal dari daerah badan menyebar ke wajah dan ekstrimitas, penyakit

herpes zoster ini menyebar hanya pada dermatom segmen saraf yang terlibat.

Pada Herpes Zoster Oftalmikus, hanya bagian dermatom V1 yang

menimbulkan gejala vesikel/pustul dengan dasar eritema dan umumnya bersifat

unilateral. Apabila manifestasi di kulit muncul hingga pada ujung hidung

menandakan keterlibatan pasti pada mata.

Oleh karena divisi satu saraf trigeminal ini memiliki tiga cabang, yaitu saraf

frontalis, saraf lakrimalis, dan saraf nasosiliri, maka manifestasi tidak hanya

terdapat pada kulit, namun manifestasi juga dapat berupa;

Letak lesi Jenis Lesi

Kelopak mata- Blefaritis, Trikiasis, Entropion,

Ektropion

Kelenjar lakrimal - Dakrioadenitis

Konjungtiva - Konjungtivitis

Sklera dan Episklera - Skleritis dan Episkleritis

Keratitis

- Keratitis pungtata epitelial

- Pseudodendrit

- Keratitis numular

- Keratitis disciformis

- Keratutus fasikular

- Keratitis neurotropik

Uvea - Uveitis

Jika dibiarkan

Retina Akut retinal nekrosis

Saraf optik Optik Neuritis

Otot Ekstraokular Paralisis saraf motorik ekstraokular

Neuro Post Herpetik Neuralgia

20

Page 22: Sheila Stephanie Chandra,07120080039- H. ZOSTER OFTALMIKUS.docx

Sheila Stephanie Chandra07120080039

FKUPH

3.7 Gejala dan Tanda

Gejala yang dialami pada pasien penderita HZO secara umum ialah lemas,

demam ringan, muncul vesikel/pustul/krusta yang berkelompok dengan dasar

eritema yang berjalan searah dengan dermatom saraf V1 di daerah sekitar mata

dan dapat menyebar hingga ujung hidung (apabila sudah mencapai ujung

hidung menandakan keterlibatan cabang nasosiliari), nyeri pada bagian kepala

yang bersifat unilateral, mata merah, mata berair, dan dapat terjadi penurunan

penglihatan. Gejala lainnya yang ditimbulkan sesuai dengan pada bagian mana

virus ini menyerang, seperti;

a. Blefaritis

Oleh karena virus ini dapat menyerang cabang frontalis dan cabang

lakrimalis, maka keterlibatan kelopak mata bagian atas dapat terjadi.

Gejala yang dapat ditimbulkan, seperti;

Edema palpebra

Vesikel/pustul/krusta dengan

dasar eritem yang sangat

sakit dan bersifat unilateral

Pseudoptosis akibat edema

Dapat terjadi trikiasis,

ektropion, ataupun entropion

b. Dakrioadenitis

Dakrioadenitis terjadi apabila saraf lakrimalis terserang. Gejala dan tanda

yang dapat ditimbulkan, seperti;

Nyeri pada daerah temporo superior orbital

Palpebra edem

Konjungtiva hiperemis

21

Page 23: Sheila Stephanie Chandra,07120080039- H. ZOSTER OFTALMIKUS.docx

Sheila Stephanie Chandra07120080039

FKUPH

c. Konjungtivitis

Konjungtiva di inervasi-kan oleh saraf

frontalis dan saraf lakrimalis. Oleh

sebab itu konjungtivitis dapat terjadi

pada penyakit ini.

Gejala dan tanda yang ditimbulkan

ialah;

Mata berair

Konjungtiva hiperemis (injeksi

konjungtiva)

Terdapat vesikel dan pseudomembran pada konjungtiva

d. Episkleritis

Nyeri ringan pada mata

Penglihatan normal

Mata berair

Konjungtiva hiperemis

Pada pemberian phenilefrin, hiperemis memudar

Dapat timbul nodul berbatas tegas, berwarna merah/ungu di bawah

konjungtiva pada area inflamasi. Apabila ditekan terasa sakit.

e. Skleritis

Nyeri hebat pada mata, menyebar ke dahi, alis, dan dagu. Nyeri

memburuk dengan pergerakan mata

Mata berair

Fotofobia

Konjungtiva hiperemis

Pembuluh darah konjungtiva,

siliar, dan episklera dapat terlibat

22

Page 24: Sheila Stephanie Chandra,07120080039- H. ZOSTER OFTALMIKUS.docx

Sheila Stephanie Chandra07120080039

FKUPH

Pelebaran pembuluh darah tidak memudar pada pemberian fenilefrin

Dapat terjadi penipisan sklera yang menyebabkan sklera berwarna

biru

Dapat terbentuk stafiloma

f. Keratitis

Keratitis dapat terjadi pada 2/5 penderita herpes zoster oftalmikus. Pertama

– tama yang terjadi ialah keratitis pungtata epitelial, pseudodendrit,

Keratitis numular, keratitis disiformis, sklerokeratitis, dan keratitis

neurotropik.

Keratitis pungtata epitelial: Pada slit lamp muncul gambaran multipel,

fokal lesi – lesi yang membengkak yang mengambil warna pada

pewarnaan fluorescein. Keratitis pungtata muncul awal sesudah 1 - 2

hari manifestasi pada kulit. Keratitis jenis ini berisi virus hidup dan

dapat hilang atau justru berkembang menjadi keratitis dendrit

Pseudodendrit: patternnya berbentuk “seperti medusa”. Dapat muncul

di diperifer kornea atau di area dimana keratitis pungtata sebelumnya.

Yang membedakan dengan herpes simpleks ialah letak dendritnya

lebih superfisial, memiliki ujung yang semakin memudar, dan

mengambil warna pada fluorescein lebih sedikit.

Keratitis stromal infiltrat anterior: Muncul sekitar minggu kedua dan

terjadi pada 25% - 30% pasien HZO. Kondisi ini sering disebut juga

23

Page 25: Sheila Stephanie Chandra,07120080039- H. ZOSTER OFTALMIKUS.docx

Sheila Stephanie Chandra07120080039

FKUPH

dengan keratitis numular, dimana ditandai dengan infiltrat granular

halus multipel di anterior stroma korneal dibawah lapisan epithelial.

Kebanyakan dari infiltrat yang timbul terletak dibawah area dimana

ada pseudodendrit atau keratitis pungtata epitelial sebelumnya.

Kertitis disiformis:

dapat muncul

dalam waktu beberapa minggu atau beberapa bulan setelah lesi

pertama pada kulit timbul. Dapat terjadi dengan atau tanpa adanya

keratitis epitelia sebelumnya. Gambaran yang ditunjukkan dapat

berupa stroma edema yang terlihat jelas dengan bentuk seperti disc.

24

Page 26: Sheila Stephanie Chandra,07120080039- H. ZOSTER OFTALMIKUS.docx

Sheila Stephanie Chandra07120080039

FKUPH

Sklerokeratitis: skleritis yang menyebar ke kornea pada umumnya

terjadi sesudah 1 bulan dari gejala awal timbul. Tanda yang terlihat,

seperti skleralisasi dan vaskularisasi

Keratitis neurotropik: tanda yang ditimbulkan dapat berupa dari

perforasi karena penipisan kornea, serta munculnya hipopion yang

steril ataupun tidak steril akibat infeksi sekunder bakteri.

g. Uveitis

Gejala dan tanda yang ditimbulkan, meliputi;

Mata merah (injeksi silier)

Kornea keruh

Bisa terdapat hipopion ataupun hifema

Atrofi iris yang menyebabkan pupil irregular

Pupil miosis

Pigmen iris bisa hilang sebagian

Terdapat sinekia posterior ataupun anterior sinekia

Reflek pupil melambat

Visus menurun

Fotofobia

25

Page 27: Sheila Stephanie Chandra,07120080039- H. ZOSTER OFTALMIKUS.docx

Sheila Stephanie Chandra07120080039

FKUPH

3.8 Gejala dan Tanda Komplikasi

a. Akut Retinal Nekrosis: ditandai dengan anterior uveitis, vitritis, vaskulitis,

dan retinal nekrosis.

Penglihatan kabur

Mata merah dan sakit

Kornea keruh

Iris ireguler/miosis

Vitreus keruh

Arteritis

Terdapat gambaran retinal

nekrosis dengan batas yang

jelas

Dapat terjadi ablasi retina

b. Optik neuritis: Terjdi apabila

penyakit HZO ini tidak mendapat pengobatan lama, sehingga

menimbulkan komplikasi pda saraf kranial 2. Gejala yang ditimbulkan

dapat berupa;

Mata terasa sakit, terutama jika ditekan

Penglihatan menjadi kabur

Terdapat skotoma

Dapat terjadi papilitis ataupun neuritis retrobulbar. Jika terjadi

papilitis, maka pada pemeriksaan marcus gunn dpat menemukan hasil

yang (+), pada funduskopi akan terlihat papil edema dan berwarna

merah, batas tidak nyata, dapat terjadi pendarahan pada papil di dekat

retina yang menyerupai gambaran lidah api. Serta pendarahan juga

dapat terjadi di badan kaca dan makula. Sedangkan pada neuritis

retrobulbar, pada funduskopi ditemukan hasil yang normal, kecuali

proses sudah berlangsung lama, dimana akan terlihat papil atrofi.

26

Page 28: Sheila Stephanie Chandra,07120080039- H. ZOSTER OFTALMIKUS.docx

Sheila Stephanie Chandra07120080039

FKUPH

c. Paralisis saraf motorik ekstraokular

Gangguan pada saraf ekstraokular, seperti saraf okulomotor, troklear, dan

abdusen dapat terjadi akibat perpanjangan dari proses inflamasi yang

menyerang atau menekan saraf – saraf ini pada sinus cavernosus.

Gangguan yang terjadi dapat mengenai satu atau lebih dari ketiga saraf -

saraf tersebut. Gejala yang didapati ialah;

Pasien tidak mampu untuk menggerakkan mata ke arah atas, medial,

dan bawah pada kerusakan saraf okulomotor

Pasien tidak mampu untuk menggerakkan mata ke arah bawah pada

kerusakan saraf troklear

Pasien tidak mampu untuk menggerakkan mata ke arah lateral pada

kerusakan saraf abdusen

Pupil dilatasi

Ptosis

d.

Post Herpetik Neuralgia

Sindrom neuropatik yang tetap muncul meskipun penyakit sudah dinyatakan

sembuh. Gelaja dapat berupa allodynia (nyeri serperti terbakar yang

hipersensitif), nyeri tajam yang hilang timbul, ataupun pedih.

27

Page 29: Sheila Stephanie Chandra,07120080039- H. ZOSTER OFTALMIKUS.docx

Sheila Stephanie Chandra07120080039

FKUPH

3.9 Diagnosis Herpes Zoster Oftalmikus

Penyakit Herpes Zoster Oftalmikus dapat didiagnosis dari anamnesis,

pemeriksaan fisik mata dan pemeriksaan penunjang

1. Anamnesis

Pada kasus ini, dengan melakukan anamnesis hampir lebih dari setengah

persen diagnosa dapat ditegakkan. Anamnesis berupa keluhan utama

pasien, waktu dan onset, letak penyakit, perjalanan penyakit, faktor yang

memperparah dan yang memperingan, riwayat penyakit sebelumnya,

riwayat penyakit di keluarga, riwayat imunisasi, riwayat pengobatan, faktor

lingkungan, dan gaya hidup.

2. Pemeriksaan fisik mata

a. Inspeksi pda daerah wajah. Pada inspeksi akan terlihat lesi berbentuk

papul/vesikel/pustul/krusta yang berkelompok dengan dasar eritema di

daerah dermatom saraf trigeminal divisi 1 yang berjalan mulai dari

daerah dahi hingga ujung hidung.

b. Pemeriksaan visus. Pemeriksaan ini dapat dilakukan dengan

menggunakan papan snellen. Pemeriksaan ini dilakukan untuk

mengetahui sejauh mata komponen mata terlibat akibat virus varicella

ini. Apabila jalur penglihatan seperti, korena, iris, badan kaca, retina,

dan saraf optikus sudah terkena, maka visus akan menurun dengan uji

pin hole yang negatif.

c. Pemeriksaan reflek pupil. Pemeriksaan ini dilakukan untuk mengetahui

apakah terdapat kelaian pada iris dan saraf kranial tiga.

d. Pemeriksaan slit lamp

Pemeriksaan ini dilakukan untuk mengetahui lebih jelas adanya

kerusakan pada bilik mata depan. Pemeriksaan untuk mengetahui

keratitis juga dapat dilakukan dengan menggunakan pewarnaan

fluorosein.

28

Page 30: Sheila Stephanie Chandra,07120080039- H. ZOSTER OFTALMIKUS.docx

Sheila Stephanie Chandra07120080039

FKUPH

e. Pemeriksaan Funduskopi. Dilakukan untuk melihat apakah ada

kerusakan papil, reflek makula, retina, diskus optikus, dan cairan

vitreus.

f. Pemeriksaan otot mata motorik ekstraokuler. Pemeriksaan ini dapat

dilakukan dengan menggerakkan jari penguji membentuk huruf H dn

meminta pasien untuk menggerakkan mtanya sesuai dengan pergerakan

penguji. Apabila terdapat absen dari salah satu atau beberapa

pergerakan dari mata, maka pasien mengalami komplikasi dari HZO,

yaitu paralisis saraf motorik ekstraokuler.

3. Pemeriksaan penunjang.

Pemeriksaan penunjang dilakukan untuk menunjang diagnosis terhadap

penyakit herpes zoster oftalmikus. Meskipun pada umumnya dengan

menggunakan anamnesis dan pemeriksaan fisik saja sudah dapat

menegakkan diagnosis, namun terkadang penyakit Herpes Zoster

Oftalmikus seringkali tidak menimbulkan lesi di kulit dan gejala pada mata

tidak terlalu signifikan. Oleh sebab itu terdapat beberapa pemeriksaan

penunjang, seperti;

a. Pemeriksaan kultur virus. Kultur virus herpes dapat dilakukan dengan

menggunakan Tzank smear. Kerokan dari lesi pada kulit diambil

kemudian dikultur dan dilihat di bawah mikroskop. Hasil positive

terhadap infeksi virus herpes menunjukkan gambaran multinukleated

sel giant. Tes ini tidak dapat membedakan infesi herpes zoster atau

herpes simplex.

b. Pemeriksaan PCR. Pemeriksaan ini dapat mengetahui DNA dari virus.

Lebih akurat daripada Tzank smear karena pemeriksaan ini bisa

membedakan virus herpes simplex dan herpes zoster.

29

Page 31: Sheila Stephanie Chandra,07120080039- H. ZOSTER OFTALMIKUS.docx

Sheila Stephanie Chandra07120080039

FKUPH

3.10 Terapi

Terapi dapat dilakukan dengan dua metode Non-farmakologi dan farmakologi.

a. Non-farmakologi

Menjaga lesi – lesi yang ada tetap bersih dan kering untuk

menghindari infeksi bakteri sekunder

Mengompres bagian yang meradang dengan kompres dingin

Menghindari makanan yang banyak mengandung arginin, seperti

coklat, kacang, oats, lobster, salmon, udang, labu, dan susu atau

suplement untuk pembentukan otot yang mengandung L-Arginin.

Memperbanyak makanan yang banyak mengandung L-Lysine, seperti

telur, daging merah (sapi, babi), kedelai, ikan kod, ayam, mangga,

alpukat, apel, pepaya, dan susu rendah lemak.

Istirahat secukupnya

b. Farmakologi

Terapi farmakologikal untuk penyakit HZO ini dilakukan sebaiknya dalam

waktu 24-72 jam sejak gejala pertama timbul.

Antivirus untuk HZO yang umum digunakan ialah acyclovir 800mg

5x1 selama tujuh hingga sepuluh hari.

Pada kulit Dilakukan pembersihan, diberikan

kompres caladryl lotion (tetapi

pemakaian harus hati – hati, tidak

boleh masuk kedalam mata)

Blepharitis/conjunctivitis - Palliatif, dengan kompres dingin

dan lubrikasi topikal

- Dibersihkan bila terdapat sekret

akibat infeksi sekunder

- Pemberian topical antibiotik

broadspektrum untuk infeksi

30

Page 32: Sheila Stephanie Chandra,07120080039- H. ZOSTER OFTALMIKUS.docx

Sheila Stephanie Chandra07120080039

FKUPH

bakteri sekunder

Stromal keratitis Steroid topikal

Neurotrophik keratitis - Lubrikasi topikal

- Topical antibiotik broadspektrum

untuk infeksi bakteri sekunder

- Lensa kontak untuk melindungi

kornea

Uveitis - Steroid topikal atau steroid oral

- Oral acyclovir

- Sikloplegik

Skleritis/episkleritis Topikal steroids

Adapted with permission from Arffa RC, Grayson M. Grayson's Diseases of the cornea. 4th ed. St. Louis: Mosby, 1997, and with information from references 2 and 3.

3.11 Pencegahan

Pencegahan terhadap penyakit herpes zoster oftalmikus yang paling utama

ialah menjaga kesehetan agar imunitas tubuh tidak menurun.

Selain itu, pencegahan dari penyakit ini dapat dilakukan juga dengan

melakukan vaksin.

Vaksin terutama diberikan kepada orang yang berumur lebih dari 50 tahun. Hal

ini dikarenakan usia tua sangat mempengaruhi munculnya penyakit herpes

zoster. Vaksin yang digunakan bernama Zostavax. Vaksin ini berisi virus

varicella zoster yang dilemahkan. Oleh sebab itu, penerima vaksin jenis ini

ialah harus orang dengan imunokompeten.

Berdasarkan data dari The Shingles Prevention Study, orang berumur 60 – 79

tahun yang telah menerima vaksin ini menunjukkan hasil yang cukup baik,

yaitu setengah penerima tercegah dari HZ dan 2/3-nya tercegah dari komplikasi

HZ yaitu post herpetik neuralgia. Selain itu, pada penderita yang telah

31

Page 33: Sheila Stephanie Chandra,07120080039- H. ZOSTER OFTALMIKUS.docx

Sheila Stephanie Chandra07120080039

FKUPH

menerima vaksin tersebut menunjukkan gejala nyeri yang 60% lebih rendah

daripada penderita HZ yang belum menerima vaksin.

Vaksin jenis ini diberikan secara injeksi subkutaneus 0.65 ml dosis tunggal.

Seperti halnya, vaksinasi lainnya, kejadian ikutan paska vaksinasi dapat terjadi.

Setelah pemberian dilaporkan bahwa terdapat reaksi ringan pada daerah

injeksi. Reaksi dapat berupa nyeri, pembengkakan, dan kemerahan. Reaksi

tersebut dilaporkan terjadi pada 50% penerima vaksin. Efek samping lainnya

yang dapat terjadi ialah sakit kepala dan badan lemas.

Vaksin ini tidak diperkenankan untuk diberikan kepada orang yang belum

pernah menderita penyakit varicella ataupun belum pernah menerima vaksin

untuk varicella saat kecil sebelumnya.

32

Page 34: Sheila Stephanie Chandra,07120080039- H. ZOSTER OFTALMIKUS.docx

Sheila Stephanie Chandra07120080039

FKUPH

BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Penyakit Herpes Zoster Oftalmikus merupakan penyakit Herpes

Zoster yang menyerang saraf kranial trigeminal divisi oftalmikus. Penyakit

ini disebabkan oleh ter-reaktivasinya virus varicella zoster yang dorman

dalam ganglion dorsalis pada saraf sensorik atau bahkan saraf motorik.

Sekitar 10 – 25% penderita Herpes Zoster mengalami Herpes Zoster

Oftalmikus. Pada Herpes Zoster Oftalmikus, virus ini bermanifestasi pada

kulit dan juga pada daerah mata. Manifestasi pada daerah mata dapat berupa,

blefaritis, konjungtivitis, uveitis anterior, skleritis, episkleritis, dan keratitis.

Oleh sebab itu, penanganan pada HZO tidak hanya berpusat terhadap kulit,

namun juga melihat kepada bagian – bagian dari organ mata yang terlibat.

Pendeteksian dengan menggunakan anamnesis dan pemeriksaan fisik

umumnya dapat langsung menegakkn diagnosis. Namun, untuk lebih

menunjang diagnosis yang ada dapat digunakan pemeriksaan PCR dan kultur

virus dengan menggunakan Tzank smear. Dengan diagnosis yang pasti, maka

pengobatan dapat lebih terarah. Umumnya pengobatan yang diberikan dapat

berupa antivirus, steroid baik topikal maupun oral, analgesik, siklopegik, dan

air mata buatan. Apabila pemberian pengobatan tidak adekuat, maka virus ini

dapat terus berkembang dan mengakibatkan penyakit akut retinal nekrosis

dan paralisis saraf motorik ekstrokular. Meskipun pada pengobatan yang

berhasil, komplikasi lain seperti Post Herpetik Neuralgia tetap dapat terjadi.

Oleh sebab itu, pemberian vaksinasi mulai dianjurkan bagi orang

berumur lebih dari 50 tahun dengan harapan dapat menurunkan komplikasi

akibat HZ dan menurukan gejala pada saat terserang. Selain itu, menurut data

33

Page 35: Sheila Stephanie Chandra,07120080039- H. ZOSTER OFTALMIKUS.docx

Sheila Stephanie Chandra07120080039

FKUPH

– data yang bermunculan, penurunan dan peningkatan konsumsi makanan

yang menggandung L-arginin dan L-lysine juga dapat mempengaruhi

perkembangan dari penyakit herpes zoster oftalmikus ini.

34

Page 36: Sheila Stephanie Chandra,07120080039- H. ZOSTER OFTALMIKUS.docx

Sheila Stephanie Chandra07120080039

FKUPH

Daftar Pustaka

1. Anthony JH Hall, M. F. (2003). Herpes Zoster Ophthalmicus. American

Uveitis Society, 1-4.

2. Catron MD, T., & Hern, G. H. (2008). Herpes Zoster Ophthalmicus. Western

Journal of Emergency Medicine, 174-176.

3. Djuanda, P. (2007). Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Jakarta: Fakultas

Kedokteran Universitas Indonesia.

4. Draper, D. R. (2010, march 16). Patient.co.uk. Shingles.

5. Gupta, R., Lata, H., Narng, S., & Sood, S. (2003). Herpes Zoster

Ophthalmicus With Abducent Palsy. India: Asian Journal Of Opthamology.

6. Hong, S. M., & Yang, Y. S. (2010). A Case of Optic Neuritis Complicating

Herpes Zoster Ophthalmicus in a Child. Korean Journl of Ophthalmology,

126-130.

7. Ilyas, p. (2010). Ilmu Penyakit Mata. Jakarta: Fakults Kedokteran Universitas

Indonesia.

8. Krachmer, Mannis, & Holland. (2005). Cornea 2nd Edition. British: Elsevier

Mosby.

9. Majumder, P. D. (2008). Acute Retinal Necrosis. E Journal of Opthalmology,

600.

10. Menon, V., Kumar, G. K., & Tandon, R. (1995). Optic neuropathy secondary

to herpes zoster ophthalmicus. New Delhi: Indian Journal of Opthalmology.

35

Page 37: Sheila Stephanie Chandra,07120080039- H. ZOSTER OFTALMIKUS.docx

Sheila Stephanie Chandra07120080039

FKUPH

11. Pavan, D., & Langston. (1977). Herpes simplex and herpes zoster

keratouveitis: diagnosis and management. Journal of Urban Health, 731–748.

12. SAAD SHAIKH, M. a. (2001). Evaluation and Management of Herpes Zoster

Ophthalmicus. American Academy Family Physician, 1723-1730.

13. SETH JOHN STANKUS, M. M. (2000). Management of Herpes Zoster

(Shingles) and Postherpetic Neuralgia. American Family Physician, 2437-

2444.

14. Thomas J. Liesegang, M. (2008). Herpes Zoster Ophthalmicus. American

Academy of Ophthalmology, 3-12.

15. Thomas, S. L., Wheeler, J., & Hall, A. (2005). Micronutrient intake and the

risk of herpes zoster: a case–control study. Internation Journal of

Epidemiology, 307-314.

16. Ubani, U. (2011). Herpes-zoster virus ophthalmicus as presenting sign of

HIV disease. Journal of Optometry, 117-21.

17. Wijana, N. d. (1993). Ilmu Penyakit Mata. Jakarta: Fkults Kedokteran

Universitas Indonesia.

18. Yildiz, Ö. K., SEĞMEN, H., Bolyir, E., & Topktas, A. S. (2009). A Case of

Herpes Zoster Ophthalmicus With Oculomotor Nerve Palsy. Journal of

Neurological Sciences (Turkish), 500-504.

36

Page 38: Sheila Stephanie Chandra,07120080039- H. ZOSTER OFTALMIKUS.docx

Sheila Stephanie Chandra07120080039

FKUPH

37