Leukemia Akut Venabob

23
REFERAT LEUKEMIA AKUT Pembimbing : dr. Etty C Sp. A Penyusun : Ivena Iranny 11 2012 289 KEPANITERAAN KLINIK ILMU ANAK FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA

Transcript of Leukemia Akut Venabob

Page 1: Leukemia Akut Venabob

REFERAT

LEUKEMIA AKUT

Pembimbing :dr. Etty C Sp. A

Penyusun :Ivena Iranny

11 2012 289

KEPANITERAAN KLINIK ILMU ANAKFAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN

KRIDA WACANARUMAH SAKIT UMUM DAERAH TARAKAN

JAKARTA 2013

Page 2: Leukemia Akut Venabob

Pendahuluan

Leukemia merupakan penyakit keganasan sel darah yang berasal dari sumsum tulang

ditandai oleh proliferasi sel-sel darah putih, dengan manifestasi adanya sel sel abnormal

dalam darah tepi. Pada leukemia ada gangguan dalam pengaturan sel leukosit. Leukosit

dalam darah berproliferasi secara tidak teratur dan tidak terkendali dan tunj menjadi

tidak normal. Oleh karena proses tersebut fungsi-fungsi lain dari sel darah normal juga

terganggu hingga menimbulkan gejala leukemia yang dikenal dalam klinik. Lcukcm

akut dibagi atas leukemia limfoblastik akut (LLA) dan leukemia mieloblastik akut

(LMA)

Epidemiologi

Leukemia akut pada masa anak-anak merupakan 30-40% dari keganasan. Insidens

rata-rata 4 - 4,5 kasus/tahun/l00.000 anak dibawh 15 tahun. Di negara berkembang

83% ALL, 17% AML, lebih tinggi pada anak kulit putih dibandingkan kulit hitam. Di

Asia kejadian leuke-mia pada anak lebih tinggi dari pada anak kulit putih. Di Jepang

mencapai 4/100.000 anak dan diperkirakan tiap tahun terjadi 1000 kasus baru.

Sedangkan di Jakarta pada tahun 1994 insidennya mencapai 2.76/100.000 anak usia

1-4 tahun. Pada tahun 1996 didapatkan 5-6 pasien leukemia baru setiap bulan di

RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta,sementara itu di RSU Dr. Soetomo sepanjang tahun

2002 dijumpai 70 kasus leukemia baru.

Leukemia akut pada anak mencapai 97% dari semua leukemia pada anak, dan

terdiri dari 2 tipe yaitu leukemia limfoblastik akut (LLA)82% dan leukemia

mieloblastik akut (LMA) 18%.Leukemia kronik mencapai 3 % dari seluruh leukemia

pada anak. Di RSU Dr. Sardjito LLA 79%,LMA 9% dan sisanya leukemia kronik,

Page 3: Leukemia Akut Venabob

sementara itu di RSU Dr. Soetomo pada tahun 2002 LLA 88%,LMA8 % dan 4 %

leukemia kronik

Rasio laki-laki dan perempuan adalah 1,15 untuk LLA dan mendekati 1 untuk

LMA.Puncak kejadian pada umur 2-5 tahun, spesifik untuk anak kulit putih dengan

ALL» hal ini disebabkan banyaknya kasus pre B-LLA pada rentang usia ini. Kejadian

ini tidak tampak pada kulit hitam. Kemungkinan puncak tersebut merupakan pengaruh

faktor-faktor lingkungan di negara industri yang belum diketahui.

Etiologi

Penyebab leukemia masih belum diketahui, namun anak-anak dengan cacat genetik

21, sindrom "Bloom's, anemia "Fanconi's dan ataksia telangiektasia) mempunyai lebih

tin untuk menderita leukemia dan kembar monozigot. Studi faktor lingkungan

difokuskan pada paparan in utero dan pasca natal. Moskow melakukan studi kasus

kelola pada 204 |pasien dengan paparan paternal/maternal terhadap pestisida dan

produk minyak bumi. Terdapat peningkatan resiko leukemia pada keturunannya.

Penggunaan marijuana maternal Juga menunjukkan hubungan yang signifikan.

Radiasi dosis tinggi merupakan Icukemogcnik, seperti dilaporkan di

Hiroshima dan Nagasaki sesudah ledakan bom atom. Meskipun demikian paparan

radiasi dosis tinggi in utero secara signifikan tidak mengarah pada peningkatan

insidens leukemia, demikan juga halnya dengan radiasi dosis rendah. Namun hal ini

masih merupakan perdebatan. Pemeriksaan X-ray abdo-men selama trimester I

kehamilan menunjukkan peningkatan kasus LLA sebanyak 5 kali. Selama 40 tahunan

metode ini digunakan secara rutin, tetapi saat: ini pemeriksaan tersebut arnar jarang

dan hanya sedikit kasus yang bisa dijelaskan hubungannya dengan faktor ini.

Kontroversi tentang paparan bidang elektromagnetik masih tetap ada.

Beberapa studi tidak menemukan peningkatan, tapi studi terbaru menunjukkan

peningkatan 2X diantara anak-anak yang tinggal di jalur listrik tegangan tinggi,

namun tidak signifikan karena jumlah anak yang terpapar sedikit.

Page 4: Leukemia Akut Venabob

Hipotesis yang menarik saat ini mengenai etiologi leukemia pada anak-anak

peranan infeksi virus dan atau bakteri seperti disebutkan Greaves (Greaves,

Alexander 1993). Ia mempercayai ada 2 langkah mutasi pada sistem imun. Pertama

selama kehamilan atau awal masa bayi dan kedua selama tahun pertama kehidupan

sebagai konsekuensi dari respons terhadap infeksi pada umumnya.

Tahun-tahun terakhir, perhatian khusus dilakukan terhadap LMA sekunder

setelah kemoterapi yang agresif. Risiko LMA setelah penyakit Hodgkin disebabkan

oleh obat pengalkilasi. Kloning leukemia sering menunjukkan adanya kelainan

kromosom nomer 5 dan 7 dan memiliki FAB tipe M1 /M2. Terdapat pula hubungan

antara penggunaan epipodofilotoksin dengan LMA sekunder. Diperkirakan bahwa

anak-anak dengan LLA yang mendapat terapi epipodofilotoksin dosisi tinggi (VP-16

dan, atau VM 26) memiliki risiko kumulatif 5-12% menjadi LMA sekunder. LM A-

nya berbeda dengan yang mendapat terapi obat pengalkilasi, yaitu terdapat periode

laten yang lebih pendek dan mayoritas melibatkan perubahan kromosom llq23 dan

sebagian FAB tipe M4/M5. Mielodisplasia dan LMA sekunder juga meningkat pada

pasien yang mendapat terapi mieloblatif pada transplantasi sel stem autologus.

Beberapa kondisi perinatal merupakan faktor risiko terjadinya leukemia pada

anak, seperti yang dilaporkan oleh Cnattingius dkk (1995). Faktor-faktor tersebut

adalah penyakit ginjal pada ibu,penggunaan suplemen oksigen,asfiksia,berat badan

lahir > 4500 gram, dan hipertensi saat hamil. Sedangkan Shu dkk (1996) melaporkan

bahwa ibu hamil yang mengkonsumsi alkohol meningkatkan risiko terjadinya

leukemia pada bayi, terutama LMA.

Patofisiologi dan klasifikasi morfologik

Leukemia sebenarnya merupakan suatu istilah untuk beberapa jenis penyakit yang

berbeda dengan manifestasi patofisiologis yang berbeda pula. Mulai dari yang berat

dengan penekanan sumsum tulang yang berat pula seperti pada leukemia akut sampai

kepada penyakit dengan perjalanan yang lambat dan gejala ringan (indolent) seperti pada

Page 5: Leukemia Akut Venabob

leukemia kronik. Pada dasarnya efek patofisiologi berbagai macam leukemia akut

mempunyai kemiripan tetapi sangat berbeda dengan leukemia kronik.

Kelainan yang menjadi ciri khas sel leukemia diantaranya termasuk asal mula

"gugus* sel (clonal), kelainan proliferasi,kelainan sitogenetik dan

morfologi,kegagalan diferensiasi,petanda sel dan perbedaan biokimiawi terhadap sel

normal.

Terdapat bukti kuat bahwa leukemia akut dimulai dari sel tunggal yang

berproliferasi secara klonal sampai mencapai sejumlah populasi sel yang dapat

terdeteksi. Walau etiologi leukemia pada manusia belum diketahui benar, tetapi pada

penelitian mengenai proses feu- kemogenesis pada binatang percobaan ditemukan

bahwa penyebab (agent)nya mempunyai kemampuan melakukan modifikasi nukleus

DNA, dan kemampuan ini meningkat bila terdapat suatu kondisi (mungkin suatu

kelainan) genetik tertentu seperti translokasi,amplifikasi dan mutasi onkogen seluler.

Pengamatan ini menguatkan anggapan bahwa leukemia dimulai dari suatu mutasi

somatik yang mengakibatkan terbentuknya "gugus* (clone) abnormal.

Dari analisis mengenai sitogenetik,isoensim dan fenotip sel,dapat ditarik

kesimpulan bahwa transformasi sel pada LMA dapat terjadi di berbagai tempat pada

jalur perkembangan sel induk. Dengan demikian ekspresinya berupa perkembangan

gugus sel tertentu (clone) dengan akibat dapat terjadi berbagai jenis sel leukemia.

Misalnya transformasi leukemia terjadi pada sel induk pluripoten, yang akan mengenai

eritrosit dan trombosit, atau terjadi pada gugus sel induk yang telah dijuruskan untuk

granulositopoisis atau monositopoisis.

Telah pula dapat dibedakan masing-masing sel leukemia yang termasuk

golongan LMA yang berasal dari sel induk granulosit-monosit yang relatif tua (mature)

dari sel induk yang lebih muda fenotipnya. Perbedaan ini mudah dikenal oleh para ahli

dan berdasarkan hal ini dibuatlah klasifikasi jenis leukemia yang termasuk golongan

LMA dan yang sekarang dianut, adalah klasifikasi morfologik menurut FAB(Perancis

,Amerika,British) seperti berikut:

M-0 leukemia mielositik akut dengan diferensiasi minimal

M-l leukemia mielositik akut tanpa maturasi

Page 6: Leukemia Akut Venabob

M-2 leukemia mielositik akut dengan maturasi

M-3 leukemia promielositik hipergranuler

M-4 leukemia mielomonositik akut

M-5 leukemia monositik akut

M-6 leukemia eritroblastik (eritroleukemia)

M-7 leukemia megakariositik akut

Penelitian yang dilakukan pada leukemia limfoblastik akut menunjukkan bahwa

sebagian besar LLA mempunyai homogenitas pada fenotip permukaan sel bias dari

setiap pasien. Hal ini memberi dugaan bahwa populasi sel leukemia itu berasal dari sel

tunggal. Oleh karena homogenitas itu maka dibuat klasifikasi LLA secara morfologik

untuk lebih memudahkan pemakaiannya dalam klinik, sebagai berikut:

L-1 terdiri dari sel-sel limfoblas kecil serupa, dengan kromatin homogen,anak inti

umumnya tidak tampak dan sitoplasma sempit.

L-2pada jenis ini sel limfoblas lebih besar tetapi ukurannya bervariasi kromatin

lebih kasar dengan satu atau lebih anak inti.

L-3 terdiri dari sel limfoblas besar, homogen dengan kromatin berbercak,banyak

ditemukan anak inti serta sitoplasma yang basofilik dan bervakuolisasi.

Akibat terbentuknya populasi sel leukemia yang makin lama makin banyak akan

menimbulkan dampak yang buruk bagi produksi sel normal, dan bagi faal tubuh maupun

dampak karena infiltrasi sel leukemia ke dalam organ tubuh.

Kegagalan hematopoisis normal merupakan akibat yang besar pada patofisiologi leuke-mia

akut, walaupun demikian patogenesisnya masih sangat sedikit diketahui. Bahwa tidak

selamanya pansitopenia yang terjadi disebabkan desakan populasi sel leukemia, terlihat

pada keadaan yang sama (pansitopenia) tetapi dengan gambaran sumsum tulang yang

justru hiposeluler.

Kematian pada pasien leukimia akut pada umumnya diakibatkan penekanan sumsum

tulang yang cepat dan hebat, akan tetapi dapat disebabkan oleh infiltrasi sel leukemia.

Page 7: Leukemia Akut Venabob

Imunofenotip

Seperti disebutkan diatas sel-sel leukemia adalah hasil dari mutasi pada

tahap perkembangan awal hemopoitik. Klasifikasi imunofenotip sangat

berguna dalam mengklasifikasikan leuke-mia sesuai tahap-tahap maturasi

normal yang dikenal. Kebanyakan kelompok saat ini

mengklasifikasikan LLA dalam prekursor sel-B atau leukemia sel-T Prekusor sel-B

termasuk CD 19, CD 20, CD 22 dan CD 79.

Karekteristik sel-B matur adalah imunoglobin pada permukaan, sementara sel-T

membawa imunofenotip CD 3, CD7, CD 5 atau CD 2. Petanda mieloid spesifik termasuk

CD 13, CD 14 dan CD 33. Petanda sel-B dan atau petanda sel T kadang-kadang dapat

dideteksi pada konsentrasi rendah. Sel leukemia dapat menunjukkan antigen mieloid dan

limfoid pada saat yang bersamaan, leukemia tersebut dianggap bifenotip.

Gambaran Genetik

Ketidak normalan klon kromosom sekarang dapat diidentifikasikan pada sebagian besar

kasus leukemia anak. Jumlah kromosom (DNA content) per sel leukemia dikenali sebagai

parameter Prognostik yang penting. Pada penyakit leukemia dengan hiperdiploid (>50

kromosom/sel) Prognosisnya sangat baik, sebaliknya prognosis buruk pada hipodiploid

(<45 kromosom/ sel).

dite r?ns^°kasi t(9;22) dikenal sebagai suatu petanda prognosis yang amat buruk, dan u n pada

5% kasus LLA anak dan 25% kasus dewasa. Translokasi lain yang penting

pada LLA yaitu [ t(8;21)J hampir secara ekslusif ditemukan pada Ml dan M2. Semua

kasus M3 membawa translokasi t(15; 17) dan M5 berhubungan dengan t(9;ll).

Kromosom 16 abnormal terlihat dominan pada M4 dan sebagai berhubungan dengan

peningkatan eosinofil di sumsum tulang. Pada bayi, umumnya perubahan kromosom

melibatkan llq23. Banyak kromosom berperan dalam translokasi yang melibatkan

Page 8: Leukemia Akut Venabob

lokus ini. Gen pada kromosom 11 (MLL, HRX atau ALL-1) berhubungan dengan

sebuah gen homebox pada Drosophila yang bila bermutasi meningkatkan malformasi

morfologi pada dada dan perut pasien. Translokasi yang terlihat pada leukemia

promielositik (FAB M3) [t(15;17)], break point pada kromosom 17 adalah gen

encoding dari retinoic acid nuclear receptor alpha (RAR-a) dan kromosom 15 pada

gen yang awalnya disebut mye kemudian dinamakan PML (Warrell, dkk 1993). Leuke-

mia bereaksi pada semua trans retinoic acid.

Produk gen dari translokassi t(8;21) (q22;q22) sudah terdeteksi. Break point pada

kromosom 21 melibatkan gen LMA-1 dan kemungkinan merupakan kandidat

kromosom 8 yang disebut EOT. Translokasi ini hasil produksi gen chimerik dan sebuah

pesan yang kadang- kadang mengarah pada keganasan. Gen supresor tumor WTI yang

diimplikasikan pada tu-mor Wilm's dapat dideteksi pada 45 pasien LMA yang diperiksa

(Inoue, dkk 1994) dan terlihat bahwa ekspresi tinggi berhubungan dengan prognosis

yang buruk.

Faktor prognostik

Berdasarkan faktor prognostik maka pasien dapat digolongkan kedalam kelompok

risiko biasa dan risiko tinggi. Para ahli telah melakukan penelitian dan membuktikan

faktor prognostik itu ada hubungannya dengan in vitro drug resistance

Faktor prognostik LLA, sbb :

1. Jumlah leukosit awal, yaitu pada saat dignosis ditegakkan, mungkin merupakan

faktor prognosis yang bermakna tinggi.Ditemukan adanya hubungan linier antara

jumlah leukosit awal dan perjalanan pasien LLA pada anak, yaitu bahwa pasien

dengan jumlah leukosit > 50.000 ul mempunyai prognosis yang buruk.

2. Ditemukan pula adanya hubungan antara umur pasien saat diagnosis dan hasil

pengobatan. Pasien dengan umur dibawah 18 bulan atau diatas 10 tahun

mempunyai prognosis lebih buruk dibandingkan dengan pasien berumur diantara

itu. Khusus pasien dibawah umur 1 tahun atau bayi terutama dibawah 6 bulan

Page 9: Leukemia Akut Venabob

mempunyai prognosis pal-ing buruk. Hal ini dikatakan karena mereka

mempunyai kelainan biomolekuler tertentu. Leukemia bayi berhubungan dengan

gene re-arrangement pada kromosom 1 lq23 seperti t (4; 11) atau t (11; 19) dan

jumlah leukosit yang tinggi.

3. Fenotip imunologis (immunophenotype) dari limfloblas saat diagnosis juga

mempunyai nilai prognostik. Leukemia sel-B (L3 pada klasifikasi FAB) dengan

antibodi "kappa" dan "lambda pada permukaan bias diketahui mempunyai

prognosis yang buruk. Dengan adanya protokol spesifik untuk sel-B,

prognosisnya semakin membaik. Sel-T leukemia juga mempunyai prog-nosis

yang jelek, dan diperlakukan sebagi risiko tinggi. Dengan terapi intensif, sel-T

leukemia murni tanpa faktor prognostik buruk yang lain, mempunyai prognosis

yang sama dengan leukemia sel pre-B. LLA sel-T diatasi dengan protokol risiko

tinggi.

4. Nilai Prognostik jenis kelamin telah banyak dibahas. Dari berbagai

penelitian,sebagian F W menyimpulkan bahwa anak perempuan mempunyai

prognosis yang lebih baik dari anak laki. Hal ini dikatakan karena timbulnya

relaps testis dan kejadian leukemia sel-T yang tinggi , hiperleukositosis dan

organomegali serta massa mediatinum pada anak laki>laki. Penyebab pastinya

belum diketahui, tetapi diketahui pula ada perbedaan metabolisme merkaptopurin

dan metotreksat.

5. Respons terhadap terapi dapat diukur dari jumlah sel bias di darah tepi sesudah 1

minggu terapi prednisone dimulai. Adanya sisa sel bias pada sumsum tulang pada

induksi hari ke 7 atau 14 menunjukkan prognosis buruk.

6. Kelainan jumlah kromosom juga mempengaruhi prognosis. LLA hiperploid (> 50

Page 10: Leukemia Akut Venabob

kromosom) yang biasa ditemukan pada 25% kasus mempunyai prognosis yang

baik. LLA hipodiploid (3-5%) memiliki prognosis intermediate seperti t (1;19).

Translokasi t (9;22) pada 5% anak atau t (4; 11) pada bayi berhubungan dengan

prognosis buruk.

Faktor risiko LMA lebih sulit untuk diidentifikasi. Faktor-faktor tersebut antara lain:

1. Umur saat diagnosis tidak terlalu penting seperti pada ALL. Pengalaman

beberapa peneliti menunjukkan bahwa bayi mempunyai prognosis lebih baik.

2. Leukosit tinggi, tetapi tidak pada semua studi.

3. FAB M3 (promielositik leukemia) bereaksi pada asam retinoik, sebaiknya

diterapi dengan kombinasi vitamin dan kemoterapi.

4. Anak-anak dengan sindrom Down terdapat pada 10% kasus. Sebagian besar

merupakan FAB M7 dan mempunyai respons baik dengan kemoterapi. Translokasi

kromosom adalah taktor penting. Prognosis baik berhubungan dengan t(8;21), t(15;17)

dan inversi 16. Ptoidi juga mempengaruhi prognosis.

5. Respons awal terhadap terapi.

Page 11: Leukemia Akut Venabob

Diagnosis

Gejala klinis dan pemeriksaan darah lengkap dapat dipakai untuk menegakkan diagnosis

leukemia. Namun untuk memastikannya harus dilakukan pemeriksaan aspirasi

sumsum rolang.dan dilengkapi dengan pemeriksaan radiografi dada,cairan

serebrospinal,dan beberapa pemeriksaan penunjang yang lain. Cara ini dapat

mendiagnosis sekitar 90% kasus,sedangkan ssanva memerlukan pemeriksaan lebih

lanjut,yaitu sitokimia,imunologi,sitogenetika,dan ^wiogi molekuler.

Pada pemeriksaan darah lengkap didapatkan anemia,kelainan jumlah hitung jenis

leukosit trombositopenia. Bisa terdapat eosinofilia reaktif. Pada pemeriksaan preparat

apus darah tepi didapatkan sel-sel bias. Berdasarkan protokol WK-ALL dan protokol

Nasional (protokol B|| pasien LLA dimasukkan dalam kategori risiko tinggi bila jumlah

leukosit >50.000 il, ^ massa mediastinum,ditemukan leukemia susunan saraf

pusat(SSP) serta jumlah sel bias m setelah 1 minggu diterapi dengan deksametason

lebih dari 1000/mm3. Massa mediasti- ^»Pak pada radiografi dada. Untuk

menentukan adanya leukemia SSP harus dilakukan ^cairan serebrospinal (pungsi

lumbal) dan dilakukan pemeriksaan sitologi.

Di negara berkembang, diagnosis harus dipastikan dengan aspirasi sumsum

tulang (BMA) secara morfologis, immunofenotip dan karakter genetik. Leukemia dapat

menjadi kasus gawat darurat dengan komplikasi infeksi, perdarahan atau disfungssi

organ yang terjadi secara sebagai akibat leukostasis.

Kadang-kadang diagnosis LMA diawali dengan prolonged preleukemia,

biasanya ditunjukkan adanya kekurangan produksi sel darah yang normal sehingga

terjadi anemia refrakter, neutropenia atau trombositopeni. Pemeriksaan sumsum tulang

tidak menunjukkan leukemia, tetapi ada perubahan morfologi yang jelas. Kondisi ini

sering mengarah pada sindrom mielodiplastik (MDS) dan mempunyai klasifikasi FAB

sendiri (Hasle 1994). Biasanya sumsum tulang menunjukkan hiperseluler, kadang-

kadang hipoplastik yang kemudian berkembang menjadi leukemia akut

Diagnosis,evaluasi,dan terapi anak yang menderita LMA belum memuaskan bila

dibandingkan dengan LLA. Pada LMA, hasil pemeriksaan darah menunjukkan adanya

Page 12: Leukemia Akut Venabob

anemia,trombositopenia ,dan leukositosis. Kadar hemoglobin sekitar 7.0 sampai 8.5 g/

di,jumlah trombosit umumnya <50.000/ul dan jumlah leukositnya sekitar 24.000/ul.

Sekitar 20% pasien jumlah leukositnya >100.000/ul.

Pada saat diagnosis leukemia ditegakkan akan menimbulkan beberapa

permasalahan, baik karena tindakan yang invasif maupun kondisi psikologis orang tua

atau keluarga. Aspirasi sumsum tulang dan pungsi lumbal dapat dapat menimbulkan

nyeri dan ketakutan pada anak dan kekhawatiran pada orang tua, sehingga perlu

penjelasan dan edukasi,pemberian obat penenang dan pendekatan psikologi. Tindakan

tersebut juga perlu dilakukan pada saat mengevaluasi perkembangan

penyakit/kemajuan pengobatan,sesuai jadual yang sudah ditentukan. Edukasi dan

pendampingan orang tua pada saat dilakukan tindakan aspirasi sumsum tulang dan

pungsi lumbal adalah langkah yang bertujuan untuk mengurangi rasa sakit dan

meningkatkan rasa percaya diri pasien.

Diagnosis banding

Diagnosis banding leukemia pada anak yang perlu dipikirkan antara lain anemia

aplastik, gangguan mieloproliferatif,PTI,keganasan lain, penyakit reumatologi atau

penyakit kolagen vaskular,sindrom hemofagosit familial atau induksi virus,infeksi

virus Ebstein-Barr, infeksi mononukleosis,reaksi leukemoid, dan sepsis.

Pengobatan

Penanganan leukemia meliputi kuratif dan suportif. Penanganan suportif meliputi

pengobatan penyakit lain yang menyertai leukemia dan pengobatan komplikasi antara

lain berupa pemberian transfusi darah/trombosit,pemberian antibiotik ,pemberian obat

untuk meningkatkan granulosit,obat anti jamur,pemberian nutrisi yang baik, dan

pendekatan aspek psikososial.

Terapi kuratif/spesifik bertujuan untuk menyembuhkan leukemianya berupa

kemoterapi yang meliputi induksi remisi, intensifikasi, profilaksis susunan saraf

Page 13: Leukemia Akut Venabob

pusat dan rumatan. Perawatan intensif tambahan setelah remisi komplit dan untuk

profilaksi leukemia pada susunan sarat pusat. Hasil yang diharapkan adalah

tercapainya perpanjangan remisi dan meningkatkan kesembuhan. Pada pasien risiko

sedang dan tinggi, induksi diintensifkan guna memperbaiki kualitas remisi. Lebih

dari 95% pasien akan mendapatkan remisi pada fase ini. Terapi SSP yaitu secara

langsung diberikan melalui injeksi intratekal dengan obat metotreksat, sering

dikombinasi dengan infus berulang metotreksat dosis sedang (500 mg/m2) atau dosis

tinggi pusat pengobatan (3-5 gr/m2). Di beberapa pasien risiko tinggi dengan umur >

5 tahun mungkin lebih efektif dengan memberikan radiasi cranial (18-24 Gy)

disamping pemakaian kemoterapi sistemik dosis tinggi.

Terapi lanjutan rumatan dengan menggunakan obat merkaptopurin tiap hari

dan metotreksat sekali seminggu, secara oral dengan sitostatika lain selama

perawatan tahun pertama. Lamanya terapi rumatan ini pada kebanyakan studi adalah

2-21/2 tahun dan tidak ada keuntungan jika perawatan sampai dengan 3 tahun. Dosis

sitostatika secara individual dipantau dengan melihat leukosit dan atau monitor

konsentrasi obat selama terapi rumatan.

Pasien dinyatakan remisi komplit apabila tidak ada keluhan dan bebas gejala

klinis leu-kemia, pada aspirasi sumsum tulang didapatkan jumlah sel bias < 5% dari

sel berinti, hemo-globin >12g/dl tanpa transfusi, jumlah leukosit > 3000/ul dengan

hitung jenis leukosit normal,jumlah granulosit > 2000/ul, jumlah trombosit >

100.000/ul, dan pemeriksaan cairan serebrospinal normal.

Dengan terapi intensif modern, remisi akan tercapai pada 98% pasien. 2-3%

dari pasien anak akan meninggal dalam CCR (Continuous Complete Remission) dan 25-

30% akan kambuh. Sebab utama kegagalan terapi adalah kambuhnya penyakit.

Relaps sumsum tulang yang terjadi (dalam 18 bulan sesudah diagnosis)

memperburuk prognosis (10-20% long-term sur-vival) sementara relap yang terjadi

kemudian setelah penghentian terapi mempunyai prog-nosis lebih baik, khususnya

Page 14: Leukemia Akut Venabob

relap testis dimana long-term survival 50-60% . Terapi relaps harus lebih agresif untuk

mengatasi resistensi obat.

Transplantasi sumsum tulang mungkin memberikan kesempatan untuk

sembuh, khususnya bagi anak-anak dengan leukemia sel-T yang setelah relaps

mempunyai prognosis yang buruk dengan terapi sitostatika konvensional.

Secara keseluruhan survival setelah relaps adalah 20-40% pada seri yang

berbeda. Sur-vival meningkat dari 53% (1981-1985), sampai 68% (1986-1991)

sampai dengan saat ini 81% (1992-1995). Alasan utama dibalik perbaikan ini adalah

lebih intensifnya terapi untuk ^mua kelompok risiko.

Terapi LMA

Tiga puluh tahun yang lalu, hampir setiap anak dengan AML, meninggal dan tidak ada

kelompok yang teridentifikasi. Saat ini gambaran survival hidup lebih dari 40%

dilaporkan pada banyak studi. Perubahan terjadi pada tahun 70-an dengan dikenalnya

sitarabin (Arai C) dan antrasiklin. Dengan kombinasi obat yang berbeda, remisi bisa

berpengaruh pada 75' 85% anak, namun tanpa terapi lebih lanjut kebanyakan anak-anak

relaps dalam 1 tahun.

Perhatian psikologis dan kebutuhan untuk menangani pasien dan seluruh

keluarga pada suatu lingkungan adalah suatu keharusan.

Kualitas remisi harus diperbaiki dengan terapi konsolidasi intensif, namun

intensi® remisi juga bisa mempengaruhi hasil yang tidak berharga dari tipe terapi

konsolidasi ya11 digunakan.

Tiga metode terapi konsolidasi adalah kemoterapi sendiri, transplantasi

sumsum tu a autologus, atau transplantasi alogenik dari donor dengan HLA yang

identik.

Page 15: Leukemia Akut Venabob

Leukemia Promieiositik Akut (M3)

M3 berjumlah sekitar 10-15% . Penyakit ini dikarakteristikan dengan t ( 1 5 ; 1 7 )

dimana breakpoint pada gen untuk reseptor inti asam retinoik pada kromosom 17 dan

PML (promyelocyte leukemia) berada pada kromosom 15. Tahun 1998 ilmuwan Cina

melaporkan bahwa induksi remisi lengkap bisa terjadi pada M3 dengan

menggunakan asam retinoik (ATRA) sebagai agen tunggal. Tentu saja keterlibatan

reseptor inti untuk asam retinoik mempengaruhi sensitivitas leukemia terhadap

vitamin ini, meskipun detail molekuler masih belum diketahui. Kerugian terbesar

dari terapi retinoik ATRA adalah komplikasi perdarahan yang tidak bisa dihindari.

Daftar Pustaka

1. Baruchel A, Leblanc T and Schaison G. Pathology of Acute Lymphoblastic

Leukemia in Pediatric Hematology edited Lilleyman J, Han Ian and Blanchette V

2nd ed. Churchill Livingstone 2000: 519-535.

2. Greaves MF. Speculation on The Cause of Childhood Acute Lymphoid Leul^

Leukemia 1988; 2: 120-125.

3. Margolin JF, Steuber CP Poplack DG. Acute Lymphoblastic Leukemia in Principle»

and Practice of Pediatric Oncology 4th eds. Pizzo PA, Poplack DG eds. Lipincot

William & Wilkins Philadelphia 2002. h. 489-544.