ISSN: 2085-787X Policy Brief olume 13 No. 6 tahun 2019 ...

8
Volume 13 No. 5 tahun 2019 1 Forest Amnesty: Masihkah Diperlukan? Forest Amnesty: Masihkah Diperlukan? Forest amnesty adalah islah yang diadopsi dan dimodifikasi dari program Tax Amnesty yang diarkan sebagai pengampunan atas berbagai keterlanjuran okupasi berbagai sektor pembangunan di kawasan hutan (KH). Forest amnesty sebagai wacana keka dilakukan harus berbeda dengan tax amnesty karena bukan hanya persoalan penilaian fisik (tangible goods), tetapi juga harus dinilai fungsi dari KH tersebut (intangible benefits). Saat ini sebenarnya sudah tersedia 11 (sebelas) peraturan perundangan terkait penyelesaian konflik tenurial di KH, namun dalam pelaksanaannya masih terdapat hambatan dan kendala di lapangan sehingga kebijakan forest amnesty dipandang sebagai upaya mencari solusi atas hambatan tersebut. Untuk membantu mewujudkan forest amnesty, penyusunan pologi keterlanjuran okupasi di KH menjadi prasyarat utama dan setelah itu baru dicarikan solusinya. Namun penerapan forest amnesty dak akan bermanfaat manakala denda terhadap okupasi KH non prosedural relaf rendah (Rp27 juta/ha) dibandingkan dengan perolehan HGU resmi sebesar Rp90-100 juta/ha. Jika ingin diterapkan forest amnesty perlu menggunakan nilai total dari KH sebesar Rp161 juta/ha. Ringkasan Eksekutif (Executive Summary) Tahun 2012, Direktorat Perlindungan dan Pengamanan Hutan, Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konsevasi Alam merilis data terkait okupasi konsesi tambang di KH seluas 8,855 juta ha dan okupasi areal kebun kelapa sawit yang mencapai 8,511 juta ha (Ditjen PHKA, 2012). Dalam rangka mencari solusi atas okupasi tersebut, pemerintah sudah menerbitkan PP No. 60 Tahun 2012 tentang Perubahan Atas PP No. 10 Tahun 2010 tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan hutan dan PP No. 61 Tahun 2012 tentang Perubahan Atas PP No. 24 Tahun 2010 tentang Penggunaan Kawasan Hutan. PP No. 60/2012, Pasal 51 B me- nyebutkan bahwa keterlanjuran usaha perkebunan di KH diberi waktu 6 bulan untuk menyelesaikannya melalui skema tukar menukar KH dan PP No. 61/2012, Pasal 25A menyebutkan keterlanjuran usaha pertambangan di Pernyataan Masalah (Statement of the Issue/ Problem) ISSN: 2085-787X Badan Penelian, Pengembangan dan Inovasi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Pusat Penelian dan Pengembangan Sosial, Ekonomi, Kebijakan dan Perubahan Iklim Policy Brief Volume 13 No. 6 tahun 2019 Subarudi, Lukas Rumboko Wibowo, Yanto Rochmayanto, Nunung Parlinah dan Dewi Ratna Kurniasari

Transcript of ISSN: 2085-787X Policy Brief olume 13 No. 6 tahun 2019 ...

Page 1: ISSN: 2085-787X Policy Brief olume 13 No. 6 tahun 2019 ...

Volume 13 No. 5 tahun 2019

1Forest Amnesty: Masihkah Diperlukan?

Forest Amnesty:Masihkah Diperlukan?

Forest amnesty adalah is�lah yang diadopsi dan dimodifikasi dari program Tax Amnesty yang diar�kan sebagai pengampunan atas berbagai keterlanjuran okupasi berbagai sektor pembangunan di kawasan hutan (KH). Forest amnesty sebagai wacana ke�ka dilakukan harus berbeda dengan tax amnesty karena bukan hanya persoalan penilaian fisik (tangible goods), tetapi juga harus dinilai fungsi dari KH tersebut (intangible benefits). Saat ini sebenarnya sudah tersedia 11 (sebelas) peraturan perundangan terkait penyelesaian konflik tenurial di KH, namun dalam pelaksanaannya masih terdapat hambatan dan kendala di lapangan sehingga kebijakan forest amnesty dipandang sebagai upaya mencari solusi atas hambatan tersebut. Untuk membantu mewujudkan forest amnesty, penyusunan �pologi keterlanjuran okupasi di KH menjadi prasyarat utama dan setelah itu baru dicarikan solusinya. Namun penerapan forest amnesty �dak akan bermanfaat manakala denda terhadap okupasi KH non prosedural rela�f rendah (Rp27 juta/ha) dibandingkan dengan perolehan HGU resmi sebesar Rp90-100 juta/ha. Jika ingin diterapkan forest amnesty perlu menggunakan nilai total dari KH sebesar Rp161 juta/ha.

RingkasanEksekutif

(Executive Summary)

Ta h u n 2 0 1 2 , D i r e k t o r a t Perlindungan dan Pengamanan Hutan, Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konsevasi Alam merilis data terkait okupasi konsesi tambang di KH seluas 8,855 juta ha dan okupasi areal kebun kelapa sawit yang mencapai 8,511 juta ha (Ditjen PHKA, 2012). Dalam rangka mencari solusi atas okupasi tersebut, pemerintah sudah menerbitkan PP No. 60 Tahun 2012 tentang Perubahan Atas PP No. 10

Ta h u n 2 0 1 0 te nta n g Tata C a ra Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan hutan dan PP No. 61 Tahun 2012 tentang Perubahan Atas PP No. 24 Tahun 2010 tentang Penggunaan Kawasan Hutan. PP No. 60/2012, Pasal 51 B me-nyebutkan bahwa keterlanjuran usaha perkebunan di KH diberi waktu 6 bulan untuk menyelesaikannya melalui skema tukar menukar KH dan PP No. 61/2012, Pasal 25A menyebutkan keterlanjuran usaha pertambangan di

Pernyataan Masalah

(Statement of the Issue/

Problem)

ISSN: 2085-787XBadan Peneli�an, Pengembangan dan InovasiKementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan

Pusat Peneli�an dan Pengembangan Sosial,Ekonomi, Kebijakan dan Perubahan Iklim

PolicyBrief

Volume 13 No. 6 tahun 2019

Subarudi, Lukas Rumboko Wibowo, Yanto Rochmayanto, Nunung Parlinah dan Dewi Ratna Kurniasari

Page 2: ISSN: 2085-787X Policy Brief olume 13 No. 6 tahun 2019 ...

2

KH diberi waktu 6 bulan untuk menyelesaikannya melalui skema izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH). Program pengampunan yang sudah diakomodir dalam kedua PP tersebut �dak berjalan sebagaimana mes�nya disebabkan alasan waktunya yang rela�f pendek (6 bulan) dan kesulitan m e n c a r i l a h a n p e n g ga n � b a g i perkebunan. Namun khusus untuk tambang sebenarnya �dak ada alasan u n t u k b e r d a l i h ka r e n a � n g ga l mengajukan permohonan IPPKH nya saja dan jika persyaratan yang diminta lengkap, maka menteri akan me-ngeluarkan IPPKH. Forest amnesty yang diperlukan k h u s u s nya u nt u k p e nye l e s a i a n ketelanjuran penggunaan kawasan hutan o leh perusahaan besar/ korporasi yang ditulis oleh Widiaryanto (2019) sebenarnya bukan inisia�f baru. Dekade sebelumnya, semangat forest amnesty sudah mulai dimunculkan namun dengan is�lah yang berbeda, yaitu pemu�han. Sayangnya, konsep pemu�han belum cukup kuat sehingga banyak pihak yang �dak sejalan. Beberapa tahun yang lalu, land amnesty mulai mengemuka (misalnya yang dipublikasikan oleh Wibowo et al., 2017, dan Nurrochmat, 2018 yang menggunakan is�lah lain yaitu land use a m n e s t y ) ya n g p a d a d a s a r nya penyelesaian land amnesty harus di-b e d a ka n a n ta ra p e m i l i k l a h a n pengusaha skala kecil dan korporasi. S e j a l a n d e n ga n l a n d a m n e st y , BAPPENAS telah melakukan back-ground study rasionalisasi kawasan hutan, dimana pokok-pokok pikiran pemu�han lahan, land amnesty, land use amnesty, dan forest amnesty terdapat di dalamnya. Menurut Wibowo et al. (2019), wacana in i muncul sebenarnya berangkat dari adanya keterbatasan terhadap beragam instrumen legal penyelesaian penggunaan dan pemanfaatan lahan kawasan hutan selama ini, antara lain: (1) salah satu keterbatasan itu, misalnya, program Reforma Agraria (Perpres 86/2018) ditujukan bukan untuk menyelesaian

perkebunan sawit di kawasan hutan, s e m e nta ra s aw i t ya n g d i m i l i k i masyarakat secara individu maupun oleh en�tas legal lain (korporasi) luasannya jutaan ha; (2) program Pe r h u t a n a n S o s i a l j u ga h a ny a mengakomodasi setengah daur yang mana tentunya �dak mudah d i aplikasikan di lapangan; (3) penegakan hukum melalui pembabatan tegakan sawit seper� dilakukan di Taman Nasional Leuser, kurang efisien dan efek�f. Berdasarkan peneli�an Santoso (2018), biaya pembabatan sawit memerlukan biaya yang �nggi sekitar R p 4 j u t a / h a . D e n g a n l u a s a n perkebunan sawit yang lebih dari 3 juta ha, maka akan memerlukan biaya yang besar dan waktu yang lama; 4) Perpres 8 8 / 2 0 1 7 t e r k a i t p e n y e l e s a i a n penguasaan lahan di kawasan hutan (P3H) juga masih menimbulkan perdebatan terkait penyelesaian di kawasan Pelestarian Alam yang hanya memberikan satu alterna�f yakni relokasi. Namun Subagio (2019) juga mengingatkan bahwa forest amnesty �dak sama dan sebangun dengan tax amnesty, tetapi juga harus dipilah dari berbagai keterlanjuran (�pologi) yang berbeda-beda karena solusinya juga berbeda. Di samping itu, gagasan forest amnesty berisiko mencampuradukkan antara persoalan pengakuan hak kelola masyarakat yang tergantung pada hutan dengan pelanggaran oleh korporasi. Sebagai solusi sementara dan jaminan kepas�an hukum, pemerintah seharusnya melakukan moratorium perizinan sambil mem-benahi kebijakan yang masih tumpang �ndih dan perlu diharmonisasikan terlebih dahulu. Persoalan okupasi perusahaan ke l a p a s a w i t d a n p e r u s a h a a n pertambangan di KH �dak akan berakhir, tetapi akan terus dijadikan modus karena persoalan �ngkat keuntungan yang diperoleh pemilik perusahaan dari okupasi KH secara non prosedural rela�f �nggi dibandingkan jika mereka mengurus konsesinya secara legal melalui Hak Guna Usaha (HGU) dan Izin Usaha Pertambangan

Policy Brief Volume 13 No. 6 Tahun 2019

Page 3: ISSN: 2085-787X Policy Brief olume 13 No. 6 tahun 2019 ...

3Forest Amnesty: Masihkah Diperlukan?

(IUP). Subarudi (2017) telah meng-hitung kebijakan denda 15 kali PSDH dan DR bagi para pelaku pelanggar dianggap sangat kecil. Dengan asumsi hutan yang dirambah hutan rawang

3(potensi kayu = 25 m /ha), maka denda yang harus dibayarkan sebesar Rp27 juta/ha dan KH sudah bisa dilepaskan. Bandingkan dengan permohonan areal p e r ke b u n a n d e n ga n H G U ya n g mencapai biaya Rp90-100 juta/ha

sehingga mereka lebih memilih okupasi KH secara non prosedural daripada mendapatkannya secara resmi atau legal. Hasil perhitungan Subarudi (2015) atas kawasan hutan yang diokupasi seluas 10,04 ha di Desa Ke d a r o , Ke c a m a t a n S e ko t o n g , Kabupaten Lombok Barat sebesar Rp.1.619.812.438 atau Rp161 juta/ha dengan menghitung semua nilai tangible and intangible dari KH.

Definisi is�lah amnesty ber-d a s a r ka n Ka m u s B e s a r B a h a s a Indonesia (KBBI) adalah pengampunan atau penghapusan hukuman yang diberikan Kepala Negara kepada seseorang atau sekelompok orang yang te lah melakukan �ndak p idana tertentu. Is�lah amnesty dipakai oleh Kementerian Keuangan untuk program pengampunan pajak bagi para pihak yang selama ini �dak melaporkan harta kekayaannya yang dikenal dengan is�lah tax amnesty. Dalam diskusi yang diselenggarakan Keha� dan Auriga, Kartodihardjo (2019) mengajak untuk mencar i terobosan baru dalam mengatasi beragam konflik yang terjadi di sektor Kehutanan. Secara konseptual beragam terminology atau is�lah tersebut memiliki makna yang �dak j a u h b e r b e d a . I n � n y a a d a l a h memberikan pengampunan dalam kerangka untuk memberikan kepas�an h u k u m d a n b e r u s a h a , t a n p a mengabaikan aspek keadilan dan keberlanjutan pembangunan. Land amnesty juga ditujukan agar negara �dak dirugikan oleh prak�k-prak�k usaha yang �dak legal dari sisi pajak dan pendapatan negara bukan pajak. Dari serangkaian diskusi yang dilakukan di Kalteng dan Kalbar, masyarakat petani sawit dan stakeholder lain juga menyambut baik kalau ada land amnesty. I s� lah amnesty dapat sa ja diadopsi dalam sektor kehutanan yang disebut sebagai forest amnesty yang merupakan program pengampunan

bagi pihak-pihak yang telah meng-okupasi KH non prosedural. Namun dalam pengampunan d i b idang kehutanan �dak bisa disamakan dengan harta benda (property) karena hutan memiliki nilai tangible (dapat dirasakan dan dini lai) dan ni lai intangible (�dak dapat dirasakan seper� pengaturan tata air dan penyangga kehidupan) sehingga perlu penekanan pada nilai hutan secara keseluruhannya. Sebenarnya pemerintah telah menerbitkan kurang lebih 11 (sebelas) kebijakan dalam upaya mencari solusi atas konflik tenurial di KH dari mulai Permen LHK P.84/MENLHK-SETJEN/ 2015 tentang Penanganan Konflik Tenurial Kawasan Hutan hingga Peraturan Presiden No. 88 Tahun 2017 tentang Penyelesaian Penguasaan Tanah Dalam Kawasan Hutan (lihat lampiran 1). Hal ini menunjukkan bahwa peraturan perundangan dalam menyelesaikan konflik tenurial di KH atau keterlanjuran dirasakan sudah cukup memadai sebagai langkah awal pelaksanaan forest amnesty. Kadang muncul kesan Kementerian LHK terlalu akomoda�f terhadap penyelesaian keterlanjuran tersebut. Sebagai contoh PP No. 60/2012 untuk mengakomodir keterlanjuran sektor perkebunan khususnya kelapa sawit, namun karena perusahaan perkebunan kesulitan mencari lahan penggan�, Kementerian LHK mengeluarkan Permen LHK No. P.97//MENLHK/SETJEN/KUM.1/11/ 2018 yang menetapkan Lahan peng-gan� dapat berupa non-KH atau HPK

Fakta atau Kondisi Saat Ini

(Existing Condition)

Page 4: ISSN: 2085-787X Policy Brief olume 13 No. 6 tahun 2019 ...

4

yang letaknya bisa dalam DAS, provinsi dan pulau yang sama. Kehadiran Permen LHK tersebut d ianggap “ m e n g u n t u n g ka n ” p e r u s a h a a n perkebunan yang lahan penggan�nya juga diambil dari HPK. Sementara negara �dak mendapatkan benefit yang berar� atas pelepasan HPK kepada perkebunan tersebut. Implikasi lainnya adalah banyak KPH hanya memiliki sedikit areal tertentu (KH yang � d a k d i b e b a n i i z i n ) . Pa d a h a l , peningkatan status HPK menjadi KH dan dapat dikelola oleh KPH akan jauh

lebih solu�f dibanding diberikan kepada perusahaan perkebunan kelapa sawit. Sebagaimana telah diuraikan di atas, bahwa pembuatan �pologi kasus-kasus okupasi KH menjadi suatu keniscayaan sehingga penyusunan kriteria dan indikatornya serta arah penyelesaiannya harus jelas dan mudah dipahami oleh para pemangku kepen�ngan sebagaimana tercantum dalam Tabel 1.

Tabel 1. Tipologi keterlanjuran dan okupasi KH oleh sektor terkait

Tabel 1 menunjukkan proses penyusunan �pologi okupasi KH dengan menyusun kriteria terkait (1) luas minimal KH 30% dari luasa DAS/wilayah/pulau, (2) ada atau �dak adanya perizinan, (3) skala luas okupasi, (4) kepemilikan usaha, (5) tahun penguasaan atau okupasi di KH dan (6) tahun tanam atau beroperasi di KH dan juga menetapkan indikator serta arahan penyelesaian berikut pihak penanggung jawab kegiatannya. Sebagai contoh kriteria untuk tahun

tanam atau beroperasi menggunakan indikator di bawah umur 3 tahun, 4-6 tahun dan di atas 6 tahun. Penetapan tahun tanam ini mengacu kepada proses penegakan hukum di KLHK yang dimodifikasi. Khusus untuk tahun tanaman di atas 6 tahun akan diberikan skema IPPKH. Khusus kasus okupasi KH oleh usaha besar atau korporasi harus dikaji lebih lanjut terkait dengan bisnis utamanya dan hasil audit kinerja perusahaan baik di group maupun di

Policy Brief Volume 13 No. 6 Tahun 2019

Page 5: ISSN: 2085-787X Policy Brief olume 13 No. 6 tahun 2019 ...

Konflik tenurial di KH dan penyelesaiannya merupakan sebuah jalan terjal (P3SEKPI, 2015). Keputusan memilih penyelesaian keterlanjuran di dalam KH secara cepat atau perlahan, atau �dak sama sekali sama-sama akan menghasilkan konsekuensi poli�k tertentu.Pokok-pokok pikiran berikut perlu menjadi per�mbangan utama jika forest amnesty akan dijalankan, yaitu: 1. Pemerintah (KLHK) sesungguhnya

telah melakukan langkah korek�f yang di dalamnya telah me-ngandung inisia�f forest amnesty. Kenda� �dak harus menggunakan is�lah forest amnesty (misalnya TORA dan PS), penyelesaian konflik tenurial dalam KH masih terus perlu dilakukan.

2. Tipologi keterlanjuran okupasi KH yang sudah disusun oleh Ditjen PTKL dan bekerjasama dengan Ditjen Gakkum perlu disinkroni-sasikan dengan kebijakan one map policy.

3. Bila forest amnesty tetap akan d i l a k s a n a k a n , m a k a h a r u s memper�mbangkan dan mengacu kepada peraturan perundangan yang sudah ada terkat menyelesai-kan konflik tenurial di KH.

4. Forest amnesty hendaknya lebih ditekankan kepada upaya-upaya penyelesaian atas hambatan atau ke n d a l a d a l a m p e l a ks a n a a n peraturan perundangan penyele-saian konflik tenurial di KH yang sudah ada.

5. S e p e r � h a l nya p ro g ra m ta x amnesty yang memiliki jangka waktu pelaksanaanya (1 tahun) dan PP No.60/2012 (6 bulan), maka program forest amnesty juga harus menetapkan jangka waktunya misalnya 1 tahun setelah program tersebut ditetapkan melalui SK Menteri LHK atau setelah pember-lakuan kebijakan satu peta (one map policy) yang sudah diluncurkan tahun 2019.

Pilihan dan Rekomendasi

kebijakan (Policy Options and Recommendations)

Subarudi ([email protected])Lukas Rumboko Wibowo ([email protected])Yanto Rochmayanto ([email protected])Nunung Parlinah ([email protected])Dewi Ratna Kurniasari ([email protected])

Rujukan untuk konsultasi

(Sources consulted)

5Forest Amnesty: Masihkah Diperlukan?

unit. Apabila perusahaan itu sering melanggar hukum atau seringkali m e n g o k u p a s i K H s e c a r a n o n prosedural, maka korporasi tersebut �dak diberikan pengampunan tetapi

dilaksanakan proses hukum untuk membuat jera dan okupasi KH �dak dijadikan modus karena biaya dan dendanya lebih murah dari proses prosedur yang resmi.

Page 6: ISSN: 2085-787X Policy Brief olume 13 No. 6 tahun 2019 ...

Ditjen PHKA. (2012). Progres Kegiatan PHKA dalam Rangka Penurunan Emisi di Sektor Kehutanan. Dalam Rangka Workshop“Iden�fikasi Kegiatan di Sektor Kehutanan Yang Berpotensi Dalam Penurunan Emisi, Peningkatan Serapan dan Simpanan Karbon” yang diselenggarakan oleh Pusat Peneli�an dan Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan Kehutanan di Bogor, 20 November 2012.

Nurrochmat, D.R. (2018). Land Use Amnesty: Mengapa Tidak? Diunduh dari: h�ps://greenindonesia.co/2018/05/dodik-ridho-nurrochmat-land-use-amnesty-mengapa-�dak/. Diakses pada tanggal 20 Juni 2019.

Santoso, H. (2018). Penataan Kebun Sawit Rakyat di Dalam Kawasan Hutan: Persiapan menuju ser�fikasi ISPO. Jakarta. Indonesia: KEHATI.

Subagiyo, H. (2019). Banjir dan forest amnesty. Diunduh dari h�ps://tropis.info/?p= 102. Diakses pada tanggal 14 Juni 2019.

Subarudi. (2015). Berita Acara Pemeriksaan Saksi Ahli dalam perkara Tindak Pidana Korupsi Pembuatan/ Pener-bitan Ser�fikat Tanah di Kawasan Hutan Negara di Dusun Lendang Guar Desa Kedaro Kecamatan Sekotong Kabupaten Lombok Barat Tahun 2009 – 2011. Kejaksanaan Negeri Mataram.

Subarudi. (2017). Resolusi Konflik Kebun Sawit di Kawasan Hutan: Studi Kasus di Kalimantan Tengah. Bahan Presentasi FGD Penyelesaian Konflik Perkebunan

Kelapa Sawit di Kawasan Hutan yang Diselenggarakan oleh Pusat Peneli�an dan Pengembangan Sosial Ekonomi, Kebijakan dan Perubahan Iklim di Bogor, 4 November 2017.

Wibowo, L.R., Hakim, I. , Subarudi, Kurniasari, D. R . , N u r fat r i a n i , F. , R a m a & Komarudin, H. (2017). Land amnesty as a policy breakthrough for agrarian reform in forestry sector”. Proceeding o f I n t e r n a � o n a l A c a d e m i c Conference: Green Poli�cal Dynamics, Bandung, 20-21 April 2017. Bandung: FISIP UNPAS PRESS. ISBN: 978-602-0942-14-8

Wibowo, L.R., Hakim, I., Komarudin, H., Kurniasari, D.R., Wicaksono, D., & Okarda, B. (2019). Penyelesaian tenurial perkebunan kelapa sawit di kawasan hutan untuk kepas�an investasi dan keadilan. CIFOR Working Paper 247. Bogor: CIFOR.

Wibowo, L.R., Hakim, I., Komarudin, H., & Kurniasari, D.R. (2019). Finding a recipe to reduce conflict in state forest areas: Stopping the trend: Dispute over land grows in tandem with Indonesia's oil palm industry. CIFOR Blog. h�ps://forestsnews.cifor.org/ 58715/finding-a-recipe-to-reduce-conflict-in-state-forest-areas?fnl=en

W i d i a r ya nto, P. ( 2 0 1 9 ) . M u n g k i n ka h menerapkan forest amnesty? . D i u n d u h d a r i h � p s : / / w w w . forestdigest.com/detail/245/mungkinkah-menerapkan-forest-amnesty. Diakses pada tanggal 14 Juni 2019.

6

Daftar Pustaka(References)

Policy Brief Volume 13 No. 6 Tahun 2019

Page 7: ISSN: 2085-787X Policy Brief olume 13 No. 6 tahun 2019 ...

Lampiran 1. Da�ar peraturan perundangan sebagai upaya resolusi konflik tenurial atau okupasi di KH (2007-2018)

Lampiran

7Forest Amnesty: Masihkah Diperlukan?

Page 8: ISSN: 2085-787X Policy Brief olume 13 No. 6 tahun 2019 ...

P3SEKPIPusat Unggulan IptekKebijakan Perubahan Iklim