128659399 HIV Referat Baru

download 128659399 HIV Referat Baru

of 39

Transcript of 128659399 HIV Referat Baru

  • 7/30/2019 128659399 HIV Referat Baru

    1/39

    REFERAT

    HIV dan PERMASALAHANYA

    DISUSUN OLEH:

    Defri Rahman

    030.07.061

    PEMBIMBING:

    dr. Suryantini Sp.PD

    Bagian Ilmu Penyakit DalamFakultas Kedokteran Universitas Trisakti

    Rumah Sakit Pusat Angkatan Udara

    Dr. Esnawan Antariksa

    Halim Perdana Kusuma

    2013

    1

  • 7/30/2019 128659399 HIV Referat Baru

    2/39

    BAB I

    PENDAHULUAN

    Masalah HIV/AIDS adalah masalah besar yang mengancam

    Indonesia dan banyak Negara di seluruh dunia. UNAIDS

    memperkirakan jumlah ODHA di seluruh dunia pada Desember

    2004 adalah 35,9 44,3 juta orng. Saat ini tidak ada Negara

    yang terbebas dari HIV/AIDS.

    Kasus pertama AIDS di dunia dilaporkan pada tahun 1981.

    Meskipun demikian, dari beberapa literature sebelumnya ditemukan

    kasus yang cocok dengan definisi surveilans AIDS pada tahun 1950

    dan 1960-an di Amerika Serikat. Kasus pertama AIDS di Indonesia

    dilaporkan secara resmi oleh Departemen Kesehatan tahun 1987 yaitu

    pada seorang warga negara Belanda di Bali. Dan kini, kasus HIV/AIDS

    ini kini semakin meluas dan menyerang berbagai lapisan dan strata

    sosial.

    2

  • 7/30/2019 128659399 HIV Referat Baru

    3/39

    BAB II

    HIV - AIDS

    2.1 DEFINISI

    Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) adalah kumpulan gejala

    atau penyakit yang diakibatkan karena penurunan kekebalan tubuh akibat adanya

    infeksi oleh Human Imunodeficiency Virus (HIV) yang termasuk familiretroviridae. AIDS merupakan tahap akhir dari infeksi HIV. (Djoerban Z dkk,

    2006)

    2.2 EPIDEMIOLOGI

    Laporan UNAIDS-WHO menunjukkan bahwa AIDS telah merenggut

    lebih dari 25 juta jiwa sejak pertama kali dilaporkan pada tahun 1981. Pada tahun

    2009, jumlah odha diperkirakan mencapai 33,3 juta orang, dengan sebangian

    besar penderitanya adalah usia produktif , 15,9 juta penderita adalah perempuan

    dan 2,5 juta adalah anak-anak. Dengan jumlah kasus baru HIV sebanyak 2.6 juta

    jiwa. Dari jumlah kasus baru tersebut, sekitar 370 ribu di antaranya terjadi pada

    anak-anak. Pada tahun yang sama, lebih dari dua juta orang meninggal karena

    AIDS. (WHO,2010 )

    Sejak 1985 sampai tahun 1996 kasus AIDS masih jarang ditemukan di

    Indonesia. Sebagian ODHA pada periode itu berasal dari kalangan homoseksual.Kemudian jumlah kasus baru HIV/AIDS semakin meningkat dan sejak

    pertengahan tahun 1999 mulai terlihat peningkatan tajam yang terutama

    disebabkan akibat penularan melalui narkotika suntik. (Djoerban Z dkk, 2006)

    Saat ini, perkembangan epidemi HIV di Indonesia termasuk yang tercepat

    di Asia. Sebagian besar infeksi baru diperkirakan terjadi pada beberapa sub-

    populasi berisiko tinggi (dengan prevalensi > 5%) seperti pengguna narkotika

    suntik (penasun), wanita penjaja seks (WPS), dan waria. Di beberapa propinsi

    3

  • 7/30/2019 128659399 HIV Referat Baru

    4/39

    seperti DKI Jakarta, Riau, Bali, Jabar dan Jawa Timur telah tergolong sebagai

    daerah dengan tingkat epidemi terkonsentrasi (concentrated level of epidemic).

    Sedang tanah Papua sudah memasuki tingkat epidemi meluas (generalized

    epidemic). ( Mustikawati DE dkk, 2009)

    Berdasarkan laporan Departemen Kesehatan, terjadi laju peningkatan

    kasus baru AIDS yang semakin cepat terutama dalam 3 tahun terakhir dimana

    terjadi kenaikan tiga kali lipat dibanding jumlah yang pernah dilaporkan pada 15

    tahun pertama epidemi AIDS di Indonesia. Dalam 10 tahun terakhir terjadi laju

    peningkatan jumlah kumulatif kasus AIDS dimana pada tahun 1999 terdapat 352

    kasus dan data tahun 2008 jumlah tersebut telah mencapai angka 16.110 kasus.

    (Mustikawati DE dkk, 2009 ).

    Dari jumlah kumulatif 16.110 kasus AIDS yang dilaporkan pada

    Desember 2008, sekitar 74,9% adalah laki-laki dan 24,6% adalah perempuan.

    Berdasarkan cara penularan, dilaporkan 48% pada heteroseksual; 42,3% pada

    pengguna narkotika suntik; 3,8% pada homoseksual dan 2,2% pada transmisi

    perinatal. Hal ini menunjukkan adanya pergeseran dari dominasi kelompok

    homoseksual ke kelompok heteroseksual dan penasun. Jumlah kasus pada

    kelompok penasun hingga akhir tahun 2008 mencapai 1.255 orang. Kumulatif

    kasus AIDS tertinggi dilaporkan pada kelompok usia 2029 tahun (50,82%),

    disusul kelompok usia 3039 tahun. (Depkes RI, 2008)

    Dari 33 propinsi seluruh Indonesia yang melaporkan, peringkat pertama

    jumlah kumulatif kasus AIDS berasal dari propinsi Jawa Barat sebesar 2.888

    kasus, disusul DKI Jakarta dengan 2.781 kasus, kemudian diikuti oleh Jawa

    Timur, Papua, dan Bali dengan masing-masing jumlah kasus secara berurutan

    sebesar 2.591 kasus, 2.382 kasus, dan 1.177 kasus AIDS. (Depkes RI,2008)

    2.3 E TIOLOGI

    AIDS disebabkan oleh infeksi HIV. HIV adalah suatu virus RNA

    berbentuk sferis yang termasuk retrovirus dari famili Lentivirus. (Gambar 1).

    4

  • 7/30/2019 128659399 HIV Referat Baru

    5/39

    Strukturnya tersusun atas beberapa lapisan dimana lapisan terluar (envelop)

    berupa glikoprotein gp120 yang melekat pada glikoprotein gp41. Selubung

    glikoprotein ini berafinitas tinggi terhadap molekul CD4 pada permukaan T-

    helper lymphosit dan monosit atau makrofag. Lapisan kedua di bagian dalam

    terdiri dari protein p17. Inti HIV dibentuk oleh protein p24. Di dalam inti ini

    terdapat dua rantai RNA dan enzim transkriptase reverse (reverse transcriptase

    enzyme). ( Merati TP dkk,2006)

    Gambar 1: struktur virus HIV-1

    Sumber : Fauci AS at al, 2005

    Ada dua tipe HIV yang dikenal yakni HIV-1 dan HIV-2. Epidemi HIV

    global terutama disebabkan oleh HIV-1 sedangkan tipe HIV-2 tidak terlalu luas

    penyebarannya. Tipe yang terakhir ini hanya terdapat di Afrika Barat dan

    beberapa negara Eropa yang berhubungan erat dengan Afrika Barat. (Merati TPdkk,2006)

    2.4 PENULARAN

    Infeksi HIV terjadi melalui tiga jalur transmisi utama yakni transmisi

    melalui mukosa genital (hubungan seksual) transmisi langsung ke peredaran darah

    melalui jarum suntik yang terkontaminasi atau melalui komponen darah yang

    5

  • 7/30/2019 128659399 HIV Referat Baru

    6/39

    terkontaminasi, dan transmisi vertikal dari ibu ke janin. CDC pernah melaporkan

    adanya penularan HIV pada petugas kesehatan.

    Tabel 1 : Risiko penularan HIV dari cairan tubuh

    .

    Risiko tinggi Risiko masih sulit

    ditentukan

    Risiko rendah selama

    tidak terkontaminasi

    darah

    Darah, serum

    Semen

    Sputum

    Sekresi vagina

    Cairan amnion

    Cairan

    serebrospinal

    Cairan pleura

    Cairan peritonealCairan perikardial

    Cairan synovial

    Mukosa seriks

    Muntah

    Feses

    Saliva

    KeringatAir mata

    Urin

    Sumber : Djauzi S, 2002

    Sebenarnya risiko penularan HIV melalui tusukan jarum maupun percikan

    cairan darah sangat rendah. Risiko penularan melalui perlukaan kulit (misal akibat

    tusukan jarum atau luka karena benda tajam yang tercemar HIV) hanya sekitar

    0,3% sedangkan risiko penularan akibat terpercik cairan tubuh yang tercemar HIV

    pada mukosa sebesar 0,09%. (Djauzi S dkk, 2002)

    2.5 P ATOGENESIS

    Limfosit CD4+ (sel T helperatau Th) merupakan target utama infeksi HIV

    karena virus mempunyai afinitas terhadap molekul permukaan CD4. Limfosit

    CD4+ berfungsi mengkoordinasikan sejumlah fungsi imunologis yang penting

    sehingga bila terjadi kehilangan fungsi tersebut maka dapat menyebabkan

    gangguan imun yang progresif. (Djoerban Z dkk, 2006)

    Namun beberapa sel lainnya yang dapat terinfeksi yang ditemukan secara

    in vitro dan invivo adalah megakariosit, epidermal langerhans, peripheral

    dendritik, folikular dendritik, mukosa rectal, mukosa saluran cerna, sel serviks,

    mikrogilia, astrosit, sel trofoblast, limfosit CD8, sel retina dan epitel ginjal.

    (Merati TP dkk, 2006)

    6

  • 7/30/2019 128659399 HIV Referat Baru

    7/39

    Infeksi HIV terjadi melalui molekul CD4 yang merupakan reseptor utama

    HIV dengan bantuan ko-reseptor kemokin pada sel T atau monosit, atau melalui

    kompleks molekul adhesi pada sel dendrit. Kompleks molekul adhesi ini dikenal

    sebagai dendritic-cell specific intercellular adhesion molecule-grabbing

    nonintegrin (DC-SIGN). Akhir-akhir ini diketahui bahwa selain molekul CD4 dan

    ko-reseptor kemokin, terdapat integrin 47 sebagai reseptor penting lainnya

    untuk HIV. Antigen gp120 yang berada pada permukaan HIV akan berikatan

    dengan CD4 serta ko-reseptor kemokin CXCR4 dan CCR5, dan dengan mediasi

    antigen gp41 virus, akan terjadi fusi dan internalisasi HIV. Di dalam sel CD4,

    sampul HIV akan terbuka dan RNA yang muncul akan membuat salinan DNA

    dengan bantuan enzim transkriptase reversi. Selanjutnya salinan DNA ini akan

    berintegrasi dengan DNA pejamu dengan bantuan enzim integrase. DNA virus

    yang terintegrasi ini disebut sebagai provirus. Setelah terjadi integrasi, provirus ini

    akan melakukan transkripsi dengan bantuan enzim polimerasi sel host menjadi

    mRNA untuk selanjutnya mengadakan transkripsi dengan protein-protein struktur

    sampai terbentuk protein. mRNA akan memproduksi semua protein virus.

    Genomik RNA dan protein virus ini akan membentuk partikel virus yang

    nantinya akan menempel pada bagian luar sel. Melalui proses budding pada

    permukaan membran sel, virion akan dikeluarkan dari sel inang dalam keadaan

    matang. Sebagian besar replikasi HIV terjadi di kelenjar getah bening, bukan di

    peredaran darah tepi. (Djoerban Z dkk, 2006)

    Siklus replikasi virus HIV digambarkan secara ringkas melalui gambar 2.

    7

  • 7/30/2019 128659399 HIV Referat Baru

    8/39

    Gambar 2 : Visualisasi siklus HIV

    Pada pemeriksaan laboratorium yang umum dilakukan untuk melihat

    defisiensi imun, akan terlihat gambaran penurunan hitung sel CD4, inverse rasio

    CD4-CD8 dan hipergammaglobulinemia. Respon imun humoral terhadap virus

    HIV dibentuk terhada berbagai antigen HIV seperti antigen inti (p24) dan sampul

    virus (gp21, gp41).Antibodi muncul di sirkulasi dalam beberapa minggu setelah

    infeksi. Secara umum dapat dideteksi pertama kali sejak 2 minggu hingga 3 bulan

    8

  • 7/30/2019 128659399 HIV Referat Baru

    9/39

    setelah terinfeksi HIV. Masa tersebut disebut masa jendela. Antigen gp120 dan

    bagian eksternal gp21 akan dikenal oleh sistem imun yang dapat membentuk

    antibodi netralisasi terhadap HIV. Namun, aktivitas netralisasi antibodi tersebut

    tidak dapat mematikan virus dan hanya berlangsung dalam masa yang pendek.

    Sedangkan respon imun selular yang terjadi berupa reaksi cepat sel CTL (sel T

    sitolitik yang sebagian besar adalah sel T CD8). Walaupun jumlah dan aktivitas

    sel T CD8 ini tinggi tapi ternyata tidak dapat menahan terus laju replikasi HIV.

    (Djoerban Z dkk, 2006)

    Perjalanan penyakit infeksi HIV disebabkan adanya gangguan fungsi dan

    kerusakan progresif populasi sel T CD4. Hal ini meyebabkan terjadinya deplesi

    sel T CD4. Selain itu, terjadi juga disregulasi repsons imun sel T CD4 dan

    proliferasi CD4 jarang terlihat pada pasien HIV yang tidak mendapat pengobatan

    antiretrovirus. (Djoerban Z dkk, 2006)

    2.6 PERJALANAN PENYAKIT

    Dalam tubuh odha, partikel virus bergabung dengan DNA sel pasien,sehingga satu kali seseorang terinfeksi HIV, seumur hidup ia akan tetap terinfeksi.

    Sebagian berkembang masuk tahap AIDS pada 3 tahun pertama, 50%

    berkembang menjadi pasien AIDS sesudah 10 tahun, dan sesudah 13 tahun

    hampir semua orang yang terinfeksi HIV menunjukkan gejala AIDS, dan

    kemudian meninggal. Perjalanan penyakit tersebut menunjukkan gambaran

    penyakit yang kronis, sesuai dengan perusakan sistem kekebalan tubuh yang juga

    bertahap. (Djoerban Z dkk, 2006)

    Dari semua orang yang terinfeksi HIV, lebih dari separuh akan

    menunjukkan gejala infeksi primer yang timbul beberapa hari setelah infeksi dan

    berlangsung selama 2-6 minggu. Gejala yang terjadi adalah demam, nyeri

    menelan, pembengkakan kelenjar getah bening, ruam, diare, atau batuk dan

    gejala-gejala ini akan membaik dengan atau tanpa pengobatan. (Djoerban Z dkk,

    2006)

    9

  • 7/30/2019 128659399 HIV Referat Baru

    10/39

    Setelah infeksi akut, dimulailah infeksi HIV asimtomatik (tanpa gejala)

    yang berlangsung selama 8-10 tahun. Tetapi ada sekelompok kecil orang yang

    perjalanan penyakitnya amat cepat, dapat hanya sekitar 2 tahun, dan ada pula

    perjalanannya lambat (non-progessor). Sejalan dengan memburuknya kekebalan

    tubuh, odha mulai menampakkan gejala-gejala akibat infeksi oportunistik seperti

    berat badan menurun, demam lama, rasa lemah, pembesaran kelenjar getah

    bening, diare, tuberkulosis, infeksi jamur, herpes dan lain-lainnya.

    Tabel 2. Gejala klinis infeksi primer HIV

    Kelompok Gejala Kekerapan (%)

    Umum Demam 90

    Nyeri otot 54

    Nyeri sendi -

    Rasa lemah -

    Mukokutan Ruam kulit 70

    Ulkus di mulut 12

    Limfadenopati 74

    Neurologi Nyeri kepala 32Nyeri belakang mata -

    Fotofobia -

    Depresi -

    Meningitis 12

    Saluran cerna Anoreksia -

    Nausea -

    Diare 32

    Jamur di mulut 12

    Sumber : (Djauzi S, 2002)

    Tanpa pengobatan ARV, sistem kekebalan tubuh orang yang terinfeksi

    HIV akan memburuk bertahap meski selama beberapa tahun tidak bergejala. Pada

    akhirnya, odha akan menunjukkan gejala klinik yang makin berat. Hal ini berarti

    telah masuk ke tahap AIDS. Terjadinya gejala-gejala AIDS biasanya didahului

    oleh akselerasi penurunan jumlah limfosit CD4. Perubahan ini diikuti oleh gejala

    klinis menghilangnya gejala limfadenopati generalisata yang disebabkan

    hilangnya kemampuan respon imun seluler untuk melawan turnoverHIV dalam

    10

  • 7/30/2019 128659399 HIV Referat Baru

    11/39

    kelenjar limfe Karena manifestasi awal kerusakan dari system imun tubuh adalah

    kerusakan mikroarsitektur folikel kelenjar getah bening dan infeksi HIV meluas

    ke jaringan limfoid, yang dapat diketahui dari pemeriksaan hibridasi insitu.

    Sebagian replikasi HIV terjadi di kelenjar getah bening, bukan di peredaran darah

    tepi. (Djoerban Z dkk, 2006)

    Pada waktu orang dengan infeksi HIV masih merasa sehat, klinis tidak

    menunjukkan gejala, pada waktu itu terjadi replikasi HIV yang tinggi, 10 partikel

    setiap hari. Replikasi yang cepat ini disertai dengan mutasi HIV dan seleksi,

    muncul HIV yang resisten. Bersamaan dengan replikasi HIV, terjadi kehancuran

    limfosit CD4 yang tinggi, untungnya tubuh masih bisa mengkompensasi dengan

    memproduksi limfosit CD4 sekitar 10 miliar sel setiap hari. (Djoerban Z dkk,

    2006)

    Pejalanan penyakit lebih progresif pada pengguna narkotika. Lebih dari

    80% pengguna narkotika terinfeksi virus hepatitis C. Infeksi pada katup jantung

    juga adalah penyakit yang dijumpai pada ODHA pengguna narkotika dan

    biasanya tidak ditemukan pada ODHA yang tertular dengan cara lain. Lamanya

    pengguna jarum suntik berbanding lurus dengan infeksi pneumonia dan

    tuberkulosis. Makin lama seseorang menggunkan narkotika suntikan, makin

    mudah ia terkena pneumonia dan tuberkulosis. Infeksi secara bersamaan ini akan

    menimbulkan efek yang buruk. Infeksi oleh kuman penyakit lain akan

    menyebabkan virus HIV membelah dengan lebih cepat sehingga jumlahnya akan

    meningkat pesat. Selain itu juga dapat menyebabkan reaktivasi virus di dalam

    limfosit T. Akibatnya perjalanan penyakitnya biasanya lebih progresif. (Djoerban

    Z dkk, 2006)

    Secara ringkas, perjalanan alamiah penyakit HIV/AIDS dikaitkan dengan

    hubungan antara jumlah RNA virus dalam plasma dan jumlah limfosit CD4+

    ditampilkan dalam gambar 3.

    Gambaran perjalanan alamiah infeksi HIV. Dalam periode infeksi primer,

    HIV menyebar luas di dalam tubuh; menyebabkan deplesi sel T CD4 yang terlihat

    11

  • 7/30/2019 128659399 HIV Referat Baru

    12/39

    pada pemeriksaan darah tepi. Reaksi imun terjadi sebagai respon terhadap HIV,

    ditandai dengan penurunan viremia.

    Gambar 3: perjalanan alamiah infeksi HIV

    sumber : http://www.aegis.org/factshts/NIAID/1995

    Selanjutnya terjadi periode laten dan penurunan jumlah sel T CD4 terus

    terjadi hingga mencapai di bawah batas kritis yang akan memungkinkan

    terjadinya infeksi oportunistik.

    2.7 DIAGNOSIS

    2.7.1. Anamnesis

    Anamnesis yang lengkap termasuk risiko pajanan HIV , pemeriksaan fisik,

    pemeriksaan laboratorium, dan konseling perlu dilakukan pada setiap odha saat

    kunjungan pertama kali ke sarana kesehatan. Hal ini dimaksudkan untuk

    menegakkan diagnosis, diperolehnya data dasar mengenai pemeriksaan fisik dan

    laboratorium, memastikan pasien memahami tentang infeksi HIV, dan untuk

    menentukan tata laksana selanjutnya.

    12

  • 7/30/2019 128659399 HIV Referat Baru

    13/39

    Dari Anamnesis, perlu digali factor resiko HIV AIDS, Berikut ini

    mencantumkan, daftar tilik riwayat penyakit pasien dengan tersangaka ODHA

    (table 3 dan table 4).

    Tabel 3. Faktor risiko infeksi HIV

    - Penjaja seks laki-laki atau perempuan

    - Pengguna napza suntik (dahulu atau sekarang)

    - Laki-laki yang berhubungan seks dengan sesama laki-laki (LSL) dan

    transgender (waria)

    - Pernah berhubungan seks tanpa pelindung dengan penjaja seks komersial

    - Pernah atau sedang mengidap penyakit infeksi menular seksual (IMS)

    - Pernah mendapatkan transfusi darah atau resipient produk darah

    - Suntikan, tato, tindik, dengan menggunakan alat non steril.

    Sumber : Depkes RI 2007

    Table 4: Daftar tilik riwayat pasien

    13

  • 7/30/2019 128659399 HIV Referat Baru

    14/39

    Sumber :Depkes RI 2007

    2.7.2 Pemeriksaan fisik

    Daftar tilik pemeriksaan fisik pada pasien dengan kecurigaan infeksi HIV dapat

    dilihat pada tabel 6

    14

  • 7/30/2019 128659399 HIV Referat Baru

    15/39

    Tabel 6 : Daftar tilik pemeriksaan fisik

    Sumber :Depkes RI 2007

    Gambaran klinis yang terjadi. umumnya akibat adanya infeksi oportunistik

    atau kanker yang terkait dengan AIDS seperti sarkoma Kaposi, limfoma

    malignum dan karsinoma serviks invasif. Daftar tilik pemeriksaan fisik pada

    15

  • 7/30/2019 128659399 HIV Referat Baru

    16/39

    pasien dengan kecurigaan infeksi HIV dapat dilihat pada tabel 6. Di RS Dr. Cipto

    Mangkusumo (RSCM) Jakarta, gejala klinis yang sering ditemukan pada odha

    umumnya berupa demam lama, batuk, adanya penurunan berat badan, sariawan,

    dan diare, seperti pada tabel 5 .

    Tabel 5. Gejala AIDS di RS. Dr. Cipto Mangunkusumo

    Gejala Frekuensi

    Demam lama 100 %

    Batuk 90,3 %

    Penurunan berat badan 80,7 %

    Sariawan dan nyeri menelan 78,8 %

    Diare 69,2 %

    Sesak napas 40,4 %

    Pembesaran kelenjar getah bening 28,8 %

    Penurunan kesadaran 17,3 %

    Gangguan penglihatan 15,3 %

    Neuropati 3,8 %

    Ensefalopati 4,5 %

    Sumber : Yunihastuti E dkk, 2005

    2.7.3 Pemeriksaan penunjang

    Untuk memastikan diagnosis terinfeksi HIV, dilakukan dengan

    pemeriksaan laboratorium yang tepat. Pemeriksaan dapat dilakukan antara lain

    dengan pemeriksaan antibodi terhadap HIV, deteksi virus atau komponen virus

    HIV (umumnya DNA atau RNA virus) di dalam tubuh yakni melalui pemeriksaan

    PCR untuk menentukan viral load, dan tes hitung jumlah limfosit Sedangkan

    untuk kepentingan surveilans, diagnosis HIV ditegakkan apabila terdapat infeksi

    oportunistik atau limfosit CD4+ kurang dari 200 sel/mm3 (Tabel 7) . ( Depkes RI,

    2007)

    16

  • 7/30/2019 128659399 HIV Referat Baru

    17/39

    Tabel 7. Anjuran pemeriksaan laboratorium yang perlu dilakukan pada odha

    Tes antibodi terhadap HIV (AI);

    Tes Hitung jumlah sel T CD4 T (AI);

    HIV RNA plasma (viral load) (AI);

    Pemeriksaan darah perifer lengkap, profil kimia, SGOT, SGPT, BUN dan

    kreatinin, urinalisis, tes mantux, serologi hepatitis A, B, dan C, anti-Toxoplasma

    gondii IgG, dan pemeriksaan Pap-smear pada perempuan (AIII);

    Pemeriksaan kadar gula darah puasa dan profil lipid pada pasien dengan risiko

    penyakit kardiovaskular dan sebagai penilaian awal sebelum inisasi kombinasi

    terapi (AIII);

    Sumber : Yayasan Spiritia 2006.

    Pemeriksaan anti HIV dilakukan setelah dilakukan konseling pra-tes dan

    biasanya dilakukan jika ada riwayat perilaku risiko (terutama hubungan seks yang

    tidak aman atau penggunaan narkotika suntikan). Tes HIV juga dapat ditawarkan

    pada mereka dengan infeksi menular seksual, hamil, mengalami tuberkulosis

    aktif, serta gejala dan tanda yang mengarah adanya infeksi HIV. Hasil

    pemeriksaan pada akhirnya akan diberitahukan, untuk itu, konseling pasca tes

    juga diperlukan. Jadi, pemeriksaan HIV sebaiknya dilakukan dengan memenuhi

    3C yakni confidential (rahasia), disertai dengan counselling (konseling), dan

    hanya dilakukan dengan informedconsent. (Djoerban Z dkk,2006)

    Tes penyaring standar anti-HIV menggunakan metode ELISA yang

    memiliki sensitivitas tinggi (> 99%). Jika pemeriksaan penyaring ini menyatakan

    hasil yang reaktif, maka pemeriksaan dapat dilanjutkan dengan pemeriksaan

    konfirmasi untuk memastikan adanya infeksi oleh HIV. Uji konfirmasi yang

    sering dilakukan saat ini adalah dengan teknik Western Blot (WB). Hasil tes

    positif palsu dapat disebabkan adanya otoantibodi, penerima vaksin HIV, dan

    kesalahan teknik pemeriksaan. Hasil tes positif pada bayi yang lahir dari ibu HIV

    positif belum tentu berarti tertular mengingat adanya IgG terhadap HIV yang

    berasal dari darah ibu. IgG ini dapat bertahan selama 18 bulan sehingga pada

    kondisi ini, tes perlu diulang pada usia anak > 18 bulan. (Djoerban Z dkk,2006)

    17

  • 7/30/2019 128659399 HIV Referat Baru

    18/39

    Hasil tes dinyatakan positif bila tes penyaring dua kali positif ditambah

    dengan tes konfirmasi dengan WB positif. Di negara-negara berkembang

    termasuk Indonesia, pemeriksaan WB masih relatif mahal sehingga tidak mungkin

    dilakukan secara rutin. WHO menganjurkan strategi pemeriksaan dengan

    kombinasi dari pemeriksaan penyaring yang tidak melibatkan pemeriksaan WB

    sebagai konfirmasi. Di Indonesia, kombinasi yang digunakan adalah tiga kali

    positif pemeriksaan penyaring dengan menggunakan strategi 3. Bila hasil tes tidak

    sama missal hasil tes pertama reaktif, tes kedua reaktif, dan yang ketiga non-

    reaktif atau apabila hasil tes pertama reaktif, kedua dan ketiga non-reaktif, maka

    keadaan ini disebut sebagai indeterminate dengan catatan orang tersebut memiliki

    riwayat pajanan atau berisiko tinggi tertular HIV. Bila orang tersebut tanpa

    riwayat pajanan atau tidak memiliki risiko tertular, maka hasil pemeriksaan

    dilaporkan sebagai non-reaktif. (Djoerban Z dkk,2006).

    Table 8 : Alogaritma pemeriksaan HIV

    Sumber : Depkes,2007

    2.7.4 Penilaian Klinis

    18

  • 7/30/2019 128659399 HIV Referat Baru

    19/39

    Penilaian klinis yang perlu dilakukan setelah diagnosis HIV ditegakkan

    meliputi penentuan stadium klinis infeksi HIV, mengidentifikasi penyakit yang

    berhubungan dengan HIV di masa lalu, mengidentifikasi penyakit yang terkait

    dengan HIV saat ini yang membutuhkan pengobatan, mengidentifikasi kebutuhan

    terapi ARV dan infeksi oportunistik, serta mengidentifikasi pengobatan lain yang

    sedang dijalani yang dapat mempengaruhi pemilihan terapi. (Djauzi S dkk,2002)

    2.7.5 Stadium Klinis

    WHO membagi HIV/AIDS menjadi empat stadium klinis yakni stadium I

    (asimtomatik), stadium II (sakit ringan), stadium III (sakit sedang), dan stadium

    IV (sakit berat atau AIDS), lihat table 9. Bersama dengan hasil pemeriksaan

    jumlah sel T CD4, stadium klinis ini dapat dijadikan sebagai panduan untuk

    memulai terapi profilaksis infeksi oportunistik dan memulai atau mengubah terapi

    ARV.

    AIDS merupakan manifestasi lanjutan HIV. Selama stadium individu bisa

    saja merasa sehat dan tidak curiga bahwa mereka penderita penyakit. Padastadium lanjut, system imun individu tidak mampu lagi menghadapi infeksi

    Opportunistik dan mereka terus menerus menderita penyakit minor dan mayor

    Karen tubuhnya tidak mampu memberikan pelayanan.

    Angka infeksi pada bayi sekitar 1 dalam 6 bayi. Pada awal terinfeksi,

    memang tidak memperlihatkan gejala-gejala khusus. Namun beberapa minggu

    kemudian orang tua yang terinfeksi HIV akan terserang penyakit ringan sehari-

    hari seperti flu dan diare. Penderita AIDS dari luar tampak sehat. Pada tahun ke 3-

    4 penderita tidak memperlihatkan gejala yang khas. Sesudah tahun ke 5-6 mulaitimbul diare berulang, penurunan berat badan secara mendadak, sering sariawan

    di mulut dan terjadi pembengkakan didaerah kelenjar getah bening. Jika diuraikan

    tanpa penanganan medis, gejala PMS akan berakibat fatal.

    Infeksi HIV memberikan gambaran klinik yang tidak spesifik dengan

    spectrum yang lebar, mulai dari infeksi tanpa gejala (asimtomatif) pada stadium

    awal sampai dengan gejala-gejala yang berat pada stadium yang lebih lanjut.

    Perjalanan penyakit lambat dan gejala-gejala AIDS rata-rata baru timbul 10 tahun

    sesudah infeksi, bahkan dapat lebih lama lagi.

    19

  • 7/30/2019 128659399 HIV Referat Baru

    20/39

    Faktor-faktor yang mempengaruhi berkembangnya HIV menjadi AIDS

    belum diketahui jelas. Diperkirakan infeksi HIV yang berulang ulang dan

    pemaparan terhadap infeksi-infeksi lain mempengaruhi perkembangan kearah

    AIDS. Menurunnya hitungan sel CDA di bawah 200/ml menunjukkan

    perkembangan yang semakin buruk. Keadaan yang buruk juga ditunjukkan oleh

    peningkatan B2 mikro globulin dan juga peningkatan I9A.

    Perjalan klinik infeksi HIV telah ditemukan beberapa klasifikasi yaitu :

    a. Infeksi Akut : CD4 : 750 1000

    Gejala infeksi akut biasanya timbul sedudah masa inkubasi selama 1-3

    bulan. Gejala yang timbul umumnya seperti influenza, demam, atralgia, anereksia,

    malaise, gejala kulit (bercak-bercak merah, urtikarta), gejala syaraf (sakit kepada,

    nyeri retrobulber, gangguan kognitif danapektif), gangguan gas trointestinal

    (nausea, diare). Pada fase ini penyakit tersebut sangat menular karena terjadi

    viremia. Gejala tersebut diatas merupakan reaksi tubuh terhadap masuknya unis

    yang berlangsung kira-kira 1-2 minggu.

    b. Infeksi Kronis Asimtomatik : CD4 > 500/ml

    Setelah infeksi akut berlalu maka selama bertahun-tahun kemudian,

    umumnya sekitar 5 tahun, keadaan penderita tampak baik saja, meskipun

    sebenarnya terjadi replikasi virus secara lambat di dalam tubuh. Beberapa

    penderita mengalami pembengkakan kelenjar lomfe menyeluruh, disebut limfa

    denopatio (LEP), meskipun ini bukanlah hal yang bersifat prognostic dan tidak

    terpengaruh bagi hidup penderita. Saat ini sudah mulai terjadi penurunan jumlah

    sel CD4 sebagai petunjuk menurunnya kekebalan tubuh penderita, tetapi masih

    pada tingkat 500/ml.

    c. Infeksi Kronis Simtomatik

    Fase ini dimulai rata-rata sesudah 5 tahun terkena infeksi HIV. Berbagai

    gejala penyakit ringan atau lebih berat timbul pada fase ini, tergantung pada

    tingkat imunitas pemderita.

    1) Penurunan Imunitas sedang : CD4 200 500

    Pada awal sub-fase ini timbul penyakit-penyakit yang lebih ringan

    misalnya reaktivasi dari herpes zoster atau herpes simpleks. Namun dapat sembuh

    total atau hanya dengan pengobatan biasa. Keganasan juga dapat timbul pada fase

    20

  • 7/30/2019 128659399 HIV Referat Baru

    21/39

    yang lebih lanjut dari sub-fase ini dan dapat berlanjut ke sub fase berikutnya,

    demikian juga yang disebut AIDS-Related (ARC).

    2) Penurunan Imunitas berat : CD4 < 200

    Pada sub fase ini terjadi infeksi oportunistik berat yang sering mengancam

    jiwa penderita. Keganasan juga timbul pada sub fase ini, meskipun sering pada

    fase yang lebih awal. Viremia terjadi untuk kedua kalinya dan telah dikatakan

    tubuh sudah dalam kehilangan kekebalannya.

    Sindrom klinis stadium simptomatik yang utama:

    Limfadenopati Generalisata yang menetap

    Gejala konstutional: Demam yang menetap > 1 bulan, penurunan BB

    involunter > 10% dari nilai basal, dan diare >1 bulan tanpa penyebab jelas.

    Kelainan neurologis: Ensefalopati HIV, limfoma SSP primer, meningitis

    aseptik, mielopati, neuropati perifer, miopati.

    Penyakit infeksiosa sekunder: pneumonia, Candida albicans, M.

    Tuberculosis, Cryptococcus neoformans, Toxxoplasma gondii, Virus

    Herpes simpleks

    Neoplasma Sekunder: Sarkoma Kaposi (kulit dan viseral), neoplasma

    limfoid

    Kelainan lain: Sindrom spesifik organ sebagai manifestasi prmer penderita

    TB atau komplikasi

    Untuk memastikan apakah seseorang kemasukan virus HIV, ia harus

    memeriksakan darahnya dengan tes khusus dan berkonsultasi dengan dokter. Jika

    dia positif mengidap AIDS, maka akan timbul gejala-gejala yang disebut degnan

    ARC (AIDS Relative Complex) Adapun gejala-gejala yang biasa nampak pada

    penderita AIDS adalah:

    a. Dicurigai AIDS pada orang dewasa bila ada paling sedikit dua gejala mayor dan

    satu gejala minor dan tidak ada sebab-sebab imunosupresi yang lain seperti

    kanker,malnutrisi berat atau pemakaian kortikosteroid yang lama.

    1. Gejala Mayor

    Penurunan berat badan lebih dari 10%

    Diare kronik lebih dari satu bulan

    Demam lebih dari satu bulan

    21

  • 7/30/2019 128659399 HIV Referat Baru

    22/39

    2. Gejala Minor

    Batuk lebih dari satu bulan

    Dermatitis preuritik umum

    Herpes zoster recurrens

    Kandidias orofaring

    Limfadenopati generalisata

    Herpes simplek diseminata yang kronik progresif

    b. Dicurigai AIDS pada anak. Bila terdapat palinh sedikit dua gejala mayor dan

    dua gejala minor, dan tidak terdapat sebab sebab imunosupresi yang lain seperti

    kanker, malnutrisi berat, pemakaian kortikosteroid yang lama atau etiologi lain.

    1. Gejala Mayor

    Penurunan berat badan atau pertmbuhan yang lambat dan abnormal

    Diare kronik lebih dari 1bulan

    Demam lebih dari1bulan

    2. Gejala minor

    Limfadenopati generalisata

    Kandidiasis oro-faring

    Infeksi umum yang berulang

    Batuk parsisten

    Dermatitis

    2.7.6 Penilaian Imunologi

    Tes hitung jumlah sel T CD4 merupakan cara yang terpercaya dalam

    menilai status imunitas odha dan memudahkan kita untuk mengambil keputusan

    dalam memberikan pengobatan ARV. Tes CD4 ini juga digunakan sebagai

    pemantau respon terapi ARV. Namun yang penting diingat bahwa meski tes CD4

    dianjurkan, bilamana tidak tersedia, hal ini tidak boleh menjadi penghalang atau

    menunda pemberian terapi ARV. CD4 juga digunakan sebagai pemantau respon

    terapi ARV.Pemeriksaan jumlah limfosit total (Total Lymphocyte Count TLC)

    dapat digunakan sebagai indikator fungsi imunitas jika tes CD4 tidak tersedia

    namun TLC tidak dianjurkan untuk menilai respon terapi ARV atau sebagai dasar

    menentukan kegagalan terapi ARV. (Depkes RI, 2007)

    22

  • 7/30/2019 128659399 HIV Referat Baru

    23/39

    Tabel 9. Stadium klinis HIV

    Stadium 1 AsimptomatikTidak ada penurunan berat badan

    Tidak ada gejala atau hanya : Limfadenopati Generalisata Persisten

    Stadium 2 Sakit ringan

    Penurunan BB 5-10%

    ISPA berulang, misalnya sinusitis atau otitis

    Herpes zoster dalam 5 tahun terakhir

    Luka di sekitar bibir (keilitis angularis)

    Ulkus mulut berulang

    Ruam kulit yang gatal (seboroik atau prurigo -PPE)Dermatitis seboroik

    Infeksi jamur kuku

    Stadium 3 Sakit sedang

    Penurunan berat badan > 10%

    Diare, Demam yang tidak diketahui penyebabnya, lebih dari 1 bulan

    Kandidosis oral atau vaginal

    Oral hairy leukoplakia

    TB Paru dalam 1 tahun terakhir

    Infeksi bakterial yang berat (pneumoni, piomiositis, dll)

    TB limfadenopatiGingivitis/Periodontitis ulseratif nekrotikan akut

    Anemia (Hb

  • 7/30/2019 128659399 HIV Referat Baru

    24/39

    HIV/AIDS sampai saat ini memang belum dapat disembuhkan secara total.

    Namun data selam 8 tahun terakhir menunjukkan bukti yang amat meyakinkan

    bahwa pegobatan dengan menggunakan kombinasi beberapa obat anti HIV

    bermanfaat untuk menurunkan morbiditas dan mortalitas dini akibat infeksi HIV. .

    (Djoerban Z dkk,2006)

    Secara umum, penatalaksanaan odha terdiri atas beberapa jenis, yaitu:

    a) Pengobatan untuk menekan replikasi virus HIV dengan obat

    antiretroviral (ARV).

    b) Pengobatan untuk mengatasi berbagai penyakit infeksi dan kanker

    yang menyertai infeksi HIV/AIDS, seperti jamur, tuberkulosis,

    hepatitis, toksoplasmosis, sarkoma kaposi, limfoma, kanker serviks.

    c) Pengobatan suportif, yaitu makanan yang mempunyai nilai gizi yang

    lebih baik dan pengobatan pendukung lain seperti dukungan

    psikososial dan dukungan agama serta juga tidur yang cukup dan perlu

    menjaga kebersihan. Dengan pengobatan yang lengkap tersebut, angka

    kematian dapat ditekan, harapan hidup lebih baik dan kejadian infeksi

    oportunistik amat berkurang.

    2.8.1Terapi Antiretroviral (ARV)

    Secara umum, obat ARV dapat dibagi dalam 3 kelompok besar yakn (Djauzi S

    dkk,2002):

    Kelompok nucleoside reverse transcriptase inhibitors (NRTI) seperti:

    zidovudin, zalsitabin, stavudin, lamivudin, didanosin, abakavir

    Kelompok non-nucleoside reverse transcriptase inhibitors (NNRTI) seperti

    evafirens dan nevirapin

    Kelompokprotease inhibitors (PI) seperti sakuinavir, ritonavir, nelvinavir,

    amprenavir.

    24

  • 7/30/2019 128659399 HIV Referat Baru

    25/39

    Waktu memulai terapi ARV harus dipertimbangkan dengan seksama karena

    obat antiretroviral akan diberikan dalam jangka panjang. Proses memulai terapi

    ARV meliputi penilaian terhadap kesiapan pasien untuk memulai terapi ARV dan

    pemahaman tentang tanggung jawab selanjutnya (terapi seumur hidup, adherence,

    toksisitas). Jangkauan pada dukungan gizi dan psikososial, dukungan keluarga

    atau sebaya juga menjadi hal penting yang tidak boleh dilupakan ketika membuat

    keputusan untuk memulai terapi ARV. ( Depkes RI, 2007)

    Dalam hal tidak tersedia tes CD4, semua pasien dengan stadium 3 dan 4

    harus memulai terapi ARV. Pasien dengan stadium klinis 1 dan 2 harus dipantau

    secara seksama, setidaknya setiap 3 bulan sekali untuk pemeriksaan medis

    lengkap atau manakala timbul gejala atau tanda klinis yang baru.Adapun terapi

    HIV-AIDS berdasarkan stadiumnya seperti pada tabel 10. (Depkes RI, 2007)

    Tabel 10. Terapi pada ODHA dewasa

    Stadium

    KlinisBila tersedia pemeriksaan CD4

    Jika tidak tersedia

    pemeriksaan CD4

    1Terapi antiretroviral dimulai bila CD4

  • 7/30/2019 128659399 HIV Referat Baru

    26/39

    2. Nilai yang tepat dari CD4 di atas 200/mm3 di mana terapi ARV harus dimulai

    belum dapat ditentukan.

    3. Jumlah limfosit total 1200/mm3 dapat dipakai sebagai pengganti bilapemeriksaan CD4 tidak dapat dilaksanakan dan terdapat gejala yang berkaitan

    dengan HIV (Stadium II atau III). Hal ini tidak dapat dimanfaatkan pada

    ODHA asimtomatik. Maka, bila tidak ada pemeriksaan CD4, ODHA

    asimtomatik (Stadium I) tidak boleh diterapi karena pada saat ini belum ada

    petanda lain yang terpercaya di daerah dengan sumber daya terbatas.

    Bila terdapat tes untuk hitung CD4, saat yang paling tepat untuk memulai

    terapi ARV adalah sebelum pasien jatuh sakit atau munculnya IO yang pertama.

    Perkembangan penyakit akan lebih cepat apabila terapi Arv dimulai pada saatCD4 < 200/mm3 dibandingkan bila terapi dimulai pada CD4 di atas jumlah

    tersebut. Apabila tersedia sarana tes CD4 maka terapi ARV sebaiknya dimulai

    sebelum CD4 kurang dari 200/mm3. Waktu yang paling optimum untuk memulai

    terapi ARV pada tingkat CD4 antara 200- 350/mm3 masih belum diketahui, dan

    pasien dengan jumlah CD4 tersebut perlu pemantauan teratur secara klinis

    maupun imunologis. Terapi ARV dianjurkan pada pasien dengan TB paru atau

    infeksi bakterial berat dan CD4 < 350/mm3. Juga pada ibu hamil stadium klinis

    manapun dengan CD4 < 350 / mm3. Keputusan untuk memulai terapi ARV pada

    ODHA dewasa danremaja didasarkan pada pemeriksaan klinis dan imunologis.

    Namun Pada keadaan tertentu maka penilaian klinis saja dapat memandu

    keputusan memulai terapi ARV. Mengukur kadar virus dalam darah (viral load)

    tidak dianjurkan sebagai pemandu keputusan memulai terapi. (Depkes RI, 2007)

    Terapi ARV sebaiknya jangan dimulai bila terdapat keadaan infeksi

    oportunistik yang aktif. Pada prinsipnya, IO harus diobati atau diredakan dulu.

    Namun pada kondisi-kondisi dimana tidak ada lagi terapi yang efektif

    selain perbaikan fungsi kekebalan dengan ARV maka pemberian ARV sebaiknya

    diberikan sesegera mungkin (AIII). Contohnya pada kriptosporidiosis,

    mikrosporidiosis, demensia terkait HIV. Keadaan lainnya, misal pada infeksi

    M.tuberculosis,penundaan pemberian ARV 2 hingga 8 minggu setelah terapi TB

    dianjurkan untuk menghindari bias dalam menilai efek samping obat dan juga

    untuk mencegah atau meminimalisir sindrom restorasi imun atau IRIS. (Depkes

    RI, 2007)

    26

  • 7/30/2019 128659399 HIV Referat Baru

    27/39

    2.8.2 Panduan Kombinasi Obat ARV

    Kombinasi tiga obat antiretroviral merupakan regimen pengobatan ARV

    yang dianjurkan oleh WHO, yang dikenal sebagai Highly Active AntiRetroviral

    Therapy atau HAART. Kombinasi ini dinyatakan bermanfaat dalam terapi infeksi

    HIV. Semula, terapi HIV menggunakan monoterapi dengan AZT dan duo (AZT

    dan 3TC) namun hanya memberikan manfaat sementara yang akan segera diikuti

    oleh resistensi. (Yunihastuti E, 2005)

    WHO merekomendasikan penggunaan obat ARV lini pertama berupa

    kombinasi 2 NRTI dan 1 NNRTI. Obat ARV lini pertama di Indonesia yang

    termasuk NRTI adalah AZT, lamivudin (3TC) dan stavudin (d4T). Sedangkan

    yang termasuk NNRTI adalah nevirapin (NVP) dan efavirenz (EFZ). ( Depkes RI,

    2007) Adapun terapi kombinasi untuk HIV/AIDS seperti pada tabel 11.

    Tabel 11 : Terapi ARV

    Sumber : Depkes RI, 2007

    27

  • 7/30/2019 128659399 HIV Referat Baru

    28/39

    Di Indonesia, pilihan utama kombinasi obat ARV lini pertama adalah

    AZT + 3TC + NVP. Pemantauan hemoglobin dianjurkan pada pemberian AZT

    karena dapat menimbulkan anemia. Pada kondisi ini, kombinasi alternatif yang

    bisa digunakan adalah d4T + 3TC + NVP. Namun AZT lebih disukai daripada

    stavudin (d4T) oleh karena adanya efek toksik d4T seperti lipodistrofi, asidosis

    laktat, dan neuropati perifer. Kombinasi AZT + 3TC + EFZ dapat digunakan bila

    NVP tidak dapat digunakan. Namun, perlu kehati-hatian pada perempuan hamil

    karena EFZ tidak boleh diberikan (Depkes RI, 2007). Pemilihan ARV golongan

    NRTI tentunya dengan mempertimbangkan keuntungan dan kekurangan masing-

    masing obat. Adapun kombinasi terapi ARV yang tidak dianjurkan seperti pada

    tabel 12.

    Tabel 12. Pilihan obat ARV golongan NR

    Sumber : Depkes RI, 2007

    28

  • 7/30/2019 128659399 HIV Referat Baru

    29/39

    Tabel 13 mencoba menampilkan ringkasan mengenai keuntungan dan kerugian

    obat ARV golongan ini.

    Tabel 13 : Kombinasi ARV

    Sumber : Depkes RI, 2007

    PI tidak direkomendasikan sebagai paduan lini pertama karena penggunaa

    PI pada awal terapi akan menghilangkan kesempatan pilihan lini kedua di

    Indoneesia di mana sumber dayanya masih sangat terbatas. PI hanya dapat

    digunakan sebagai paduan lini pertama (bersama kombinasi standar 2 NRTI) pada

    terapi infeksi HIV-2, pada perempuan dengan CD4>250/ mm3 yang mendapat

    ART dan tidak bisa menerima EFV, atau pasien dengan intoleransi NNRTI.

    29

  • 7/30/2019 128659399 HIV Referat Baru

    30/39

    2.6.3 Sindrom Pemulihan Imunitas (immun reconstitution syndrome = IRIS)

    Kumpulan tanda dan gejala akibat dari pulihnya system kekebalan tubuh

    selama terapi ARV. Merupakan reaksi paradoksal dalam melawan antigen asing

    (hidup atau mati) dari pasien yang baru memulai terapi ARV dan mengalami

    pemulihan respon imun terhadap antigen tersebut.M. tuberkulosi merupakan

    sepertiga dari seluruh kasus IRIS. Frekuensinya 10% dari seluruh pasien yang

    mulai terapi ARV dan 25% dari pasien yang mulai terapi ARV dengan CD4

  • 7/30/2019 128659399 HIV Referat Baru

    31/39

    2.8.3 Penatalaksanaan Infeksi Opurtunistik

    Infeksi oportunistik (IO) adalah infeksi yang timbul akibat penurunan

    kekebalan tubuh. Infeksi ini dapat timbul karena mikroba (bakteri, jamur, virus)

    yang berasal dari luar tubuh, maupun yang sudah ada dalam tubuh manusia

    namun dalam keadaan normal terkendali oleh kekebalan tubuh. (Yunihastuti E,

    2005)

    Infeksi oportunistik dapat dihubungkan dengan tingkat kekebalan tubuh

    yang ditandai dengan jumlah CD4 dan dapat terjadi pada jumlah CD4 < 200

    sel/ L ataupun > 200 sel/ L. Sebagian besar infeksi oportunistik dapat diobati

    namun apabila kekebalan tubuh tetap rendah maka infeksi oportunistik mudah

    kambuh kembali atau juga dapat timbul oportunistik yang lain. Pada umumnya

    kematian pada odha disebabkan oleh infeksi oportunistik sehingga infeksi ini

    perlu dikenal dan diobati. Dengan penggunaan ARV peningkatan kekebalan tubuh

    ( CD4 ) dapat dicapai sehingga risiko infeksi oportunistik dapat dikurangi.

    Terdapat banyak penyakit yang digolongkan infeksi oportunistik seperti terlihat

    pada table 15.

    Tabel 15. Infeksi Oportunistik/ Kondisi yang Sesuai dengan Kriteria Diagnosis

    AIDS

    Cytomegalovirus (CMV) selain hati, limpa, atau kelenjar getah bening

    CMV, retinitis (dengan penurunan fungsi penglihatan)

    Ensefalopati HIV a

    Herpes simpleks, ulkus kronik (lebih dari 1 bulan), bronchitis, pneumonitis, atau

    esofagitis

    Histoplasmosis, diseminata atau ekstraparu

    Isosporiasis, dengan diare kronis (> 1 bulan)

    Kandidiasis bronkus, trakea, atau paruKandidiasis esophagus

    Kanker serviks invasif

    Koksidioidomikosis, diseminata, atau ekstraparu

    Kriptokokosis, ekstraparu

    Kriptokosporidiosis, dengan diare kronis (> 1 bulan)

    Leukoensefalopati multifocal progresif

    Limfoma Burkitt

    Limfoma imunoblastik

    Limfoma primer pada otak

    Mycobacterium avium complex atauM. kansasii, diseminata atau ekstraparu

    Mycobacteriumi tuberculosis, di paru atau ekstraparu

    31

  • 7/30/2019 128659399 HIV Referat Baru

    32/39

    Mycobacteriumi spesies lain atau tak teridentifikasi, di paru atau ekstraparu

    PneumoniaPneumocystis carinii

    Pneumonia rekuren bSarkoma Kaposi

    Septikemia Salmonella rekuren

    Toksoplasmosis otak

    Wasting syndrome c

    a Terdapat gejala klinis gangguan kognitif atau disfungsi motorik yang

    mengganggu kerja atau aktivitas sehari-hari, tanpa dapat dijelaskan oleh penyebab

    lain selain infeksi HIV. Untuk menyingkirkan penyakit lain dilakukan

    pemeriksaan lumbal pungsi dan pemeriksaan pencitraan otak (CT scan atau MRI)b Berulang lebih dari satu episode dalam 1 tahunc Terdapat penurunan berat badan lebih dari 10% ditambah diare kronik (minimal

    2 kali selama > 30 hari), atau kelemahan kronik dan demam lama (>30 hari,

    intermiten, atau konstan) tanpa dapat dijelaskan oleh penyakit/ kondisi lain

    (missal kanker, tuberkulosis, enteritis spesifik) selain HIV.

    Sumber :Yunihastuti E dkk, 2005

    2.8.3.1 Tuberkulosis

    Tuberkulosis (TB) merupakan infeksi oportunistik terbanyak pada odha di

    Indonesia.TB mempercepat progesivitas infeksi HIV dengan meningkatkan

    replikasi HIV dan juga menjadi penyebab kematian tersering pada odha.

    (Yunihastuti E dkk, 2002)

    TB paru merupakan jenis yang paling sering dijumpai dan muncul pada

    infeksi HIV awal dengan jumlah median CD4 > 300 sel/ L sedangkan TB

    ekstraparu atau diseminata dijumpai pada odha dengan jumlah CD4 yang lebih

    rendah. (Yunihastuti E dkk, 2002)

    Gejala TB paru yang paling sering adalah batuk kronik lebih dari 3

    minggu, demam, penurunan berat badan, penurunan nafsu makan, rasa letih,

    berkeringat pada waktu malam, nyeri dada, dan batuk darah. Sedangkan pada TB

    ekstra paru yang tersering adalah limfadenopati asimetris, perikarditis, efusi

    pleura dan osteomielitis. Sayangnya, gambaran klinis TB pada odha seringkali

    tidak khas dan sangat bervariasi sehingga menegakkan diagnosis menjadi lebih

    sulit. (Yunihastuti E dkk, 2002)

    Cara penegakan diagnosis TB pada odha tidak berbeda dengan yang bukan

    odha. Namun, sensitivitas untuk pemeriksaan sputum BTA pada odha sekitar 50%

    32

  • 7/30/2019 128659399 HIV Referat Baru

    33/39

    dan tes tuberkulin hanya positif pada 30-50% odha. Pada foto toraks, gambaran

    TB paru pada odha dengan CD4>200 sel/L tidak berbeda dengan non HIV

    berupa infiltrat pada lobus atas, kavitas, atau efusi pleura. Pada ODHA dengan

    CD < 200 sel/L, gambaran yang lebih sering tampak adalah limfadenopati

    mediastinum dan infiltrat di lobus bawah. Diagnosis definitif TB pada odha

    adalah dengan ditemukannya M.tuberculosis pada kultur jaringan atau specimen

    sedangkan diagnosis presumtifnya berdasarkan ditemukannya BTA pada

    specimen dengan gejala sesuai TB atau perbaikan gejala setelah terapi kombinasi

    OAT. Yunihastuti E dkk, 2002)

    Regimen pengobatan TB tidak berbeda dengan regimen pengobatan TB

    pada kasus non-HIV dengan lama pengobatan 6 bulan seperti tercantum pada

    tabel 16. Terapi ARV direkomendasikan untuk semua odha yang menderita TB

    dengan CD4 < 200/mm3, dan perlu dipertimbangkan bila CD4 > 350/mm3. Bila

    tidak tersedia pemeriksaan CD4, maka terapi ARV direkomendasikan untuk

    semua odha dengan TB. Pemberian OAT sebaiknya tidak dimulai bersama-sama

    dengan ARV dengan tujuan untuk mengurangi kemungkinan interaksi obat, dan

    ketidakpatuhan minum obat. (Yunihastuti E dkk, 2002)

    Tabel 16. Obat yang dipakai dan lama pengobatan

    Klasifikasi Regimen Obat

    Kasus TB baru

    TB kambuh/ pengobatan ulang

    2HRZE / 6 HE (DOTS)

    2SHRZE / HRZE / 5H3R3E3 (DOTS)

    Sumber : Yunihastuti E dkk, 2002

    Beberapa hal yang perlu diperhatikan pada odha dengan terapi ARV dan

    OAT adalah kemungkinan adanya efek samping dan resistensi OAT. Tatacara

    terapi berdasarkan jumlah CD4 seperti tercantum pada tabel 17. Untuk itu, perlu

    dilakukan tes resistensi BTA pada odha yang mengalami TB. (Yunihastuti E dkk,

    2002)

    Tabel 17. Terapi ARV untuk pasien koinfeksi TB-HIV

    33

  • 7/30/2019 128659399 HIV Referat Baru

    34/39

    CD4 Paduan yang dianjurkan Keterangan

    CD4 350/

    mm3

    Mulai terapi TB Tunda terapi ARV , evaluai

    kembali pada saat minggu

    ke 8 terapi TB dan setelah

    terapi TB lengkap

    CD4 tidak

    mungkin

    diperiksa

    Mulai terapi TB Pertimbangkan terapi ARV

    mulai 2 8 minggu setelah

    terapi TB dimulaiSumber : Depkes RI, 2007

    2.8.4 Pencegahan Infeksi Oportunistik

    Pencegahan infeksi oportunistik atau profilaksis dapat dibagi dalam dua

    kelompok besar yakni (Djauzi S dkk, 2002) :

    1. Pencegahan primer, yakni upaya untuk mencegah infeksi sebelum infeksi

    terjadi. Misalnya pemberian kotrimoksazol pada penderita yang CD4 5 ml

    Kontak Positif

    CD4 < 100

    IGG Toksoplasma aviditas rendah

    CD4 > 200

    Anti HBs (-)

    HBs Ag(-)

    Anti HAV (-)

    Risiko paparan tinggi (IDU,

    MSM, dll)

    TMP.SMX 1 DS/hari

    TMP.SMX 1 SS/ hari

    INH 300mg/hari +

    Piridoksin

    TMP.SMX 1 DS/hari

    Vaksinasi pneumovax

    Vaksinasi Hepatitis B

    Vaksinasi Hepatitis A

    Sumber : Djauzi S dkk, 2002

    BAB III

    35

  • 7/30/2019 128659399 HIV Referat Baru

    36/39

    KESIMPULAN

    AIDS adalah kumpulan gejala atau penyakit yang diakibatkan karena

    penurunan kekebalan tubuh akibat adanya infeksi oleh Human

    Imunodeficiency Virus (HIV) yang termasuk famili retroviridae. AIDS

    merupakan tahap akhir dari infeksi HIV.

    Masalah HIV/AIDS adalah masalah besar yang mengancam Indonesia

    dan banyak Negara di seluruh dunia. Tidak ada satupun negara di dunia

    ini yang terbebas dari HIV.

    Pada tahun 2009, jumlah odha diperkirakan mencapai 33,3 juta orang,

    dengan sebangian besar penderitanya adalah usia produktif , 15,9 juta

    penderita adalah perempuan dan 2,5 juta adalah anak-anak. perkembangan

    epidemi HIV di Indonesia termasuk yang tercepat di Asia.

    Infeksi HIV terjadi melalui tiga jalur transmisi utama yakni transmisi

    melalui mukosa genital (hubungan seksual) transmisi langsung ke

    peredaran darah melalui jarum suntik yang terkontaminasi atau melalui

    komponen darah yang terkontaminasi, dan transmisi vertikal dari ibu ke

    janin.

    Limfosit CD4+ (sel T helperatau Th) merupakan target utama infeksi HIV

    karena virus mempunyai afinitas terhadap molekul permukaan CD4.

    Limfosit CD4+ berfungsi mengkoordinasikan sejumlah fungsi imunologis

    yang penting sehingga bila terjadi kehilangan fungsi tersebut maka dapat

    menyebabkan gangguan imun yang progresif.

    Dalam tubuh odha, partikel virus bergabung dengan DNA sel pasien,

    sehingga satu kali seseorang terinfeksi HIV, seumur hidup ia akan tetap

    terinfeksi. Sebagian berkembang masuk tahap AIDS pada 3 tahun

    pertama, 50% berkembang menjadi pasien AIDS sesudah 10 tahun, dan

    36

  • 7/30/2019 128659399 HIV Referat Baru

    37/39

    sesudah 13 tahun hampir semua orang yang terinfeksi HIV menunjukkan

    gejala AIDS, dan kemudian meninggal

    Diagnosis ditegakkan dengan Anamnesis yang lengkap termasuk risiko

    pajanan HIV , pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium, dan konseling

    perlu dilakukan pada setiap odha saat kunjungan pertama kali ke sarana

    kesehatan. Hal ini dimaksudkan untuk menegakkan diagnosis,

    diperolehnya data dasar mengenai pemeriksaan fisik dan laboratorium,

    memastikan pasien memahami tentang infeksi HIV, dan untuk

    menentukan tata laksana selanjutnya.

    Secara umum, penatalaksanaan odha terdiri atas beberapa jenis, yaitu:

    a) Pengobatan untuk menekan replikasi virus HIV dengan obat

    antiretroviral (ARV).

    b) Pengobatan untuk mengatasi berbagai penyakit infeksi dan kanker

    yang menyertai infeksi HIV/AIDS, seperti jamur, tuberkulosis,

    hepatitis, toksoplasmosis, sarkoma kaposi, limfoma, kanker serviks.

    c) Pengobatan suportif, yaitu makanan yang mempunyai nilai gizi yang

    lebih baik dan pengobatan pendukung lain seperti dukungan

    psikososial dan dukungan agama serta juga tidur yang cukup dan perlu

    menjaga kebersihan.

    Secara umum, obat ARV dapat dibagi dalam 3 kelompok besar yakni:

    nucleoside reverse transcriptase inhibitors (NRTI) , non-nucleoside

    reverse transcriptase inhibitors (NNRTI), danprotease inhibitors (PI).

    Di Indonesia, pilihan utama kombinasi obat ARV lini pertama adalah

    AZT + 3TC + NVP

    37

  • 7/30/2019 128659399 HIV Referat Baru

    38/39

    DAFTAR PUSTAKA

    1. Djoerban Z, Djauzi S. HIV/AIDS di Indonesia. In: Sudoyo AW,

    Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata MK, Setiati S, eds. Buku ajar ilmu

    penyakit dalam. 4th ed. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu

    Penyakit Dalam FKUI 2006

    2. Djauzi S, Djoerban Z. Penatalaksanaan HIV/AIDS di pelayanan kesehatan

    dasar. Jakarta: Balai Penerbit FKUI 2002.

    3. Fauci AS, Lane HC. Human Immunodeficiency Virus Disease: AIDS and

    related disorders. In: Kasper DL, Fauci AS, Longo DL, Braunwald E,

    Hause SL, Jameson JL. editors. Harrisons Principles of Internal

    Medicine. 17th ed. The United States of America: McGraw-Hill

    4. Kelompok Studi Khusus AIDS FKUI. In: Yunihastuti E, Djauzi S,Djoerban Z, editors. Infeksi oportunistik pada AIDS. Jakarta: Balai

    Penerbit FKUI 2005.

    5. Laporan statistik HIV/AIDS di Indonesia. 2009 [cited 2009 March 10].

    Available at url: http://www.aidsindonesia.or.id

    6. Merati TP, Djauzi S. Respon imun infeksi HIV. In: Sudoyo AW,

    Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata MK, Setiati S, eds. Buku ajar ilmu

    penyakit dalam. 4th ed. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu

    Penyakit Dalam FKUI 2006

    7. Mustikawati DE. Epidemiologi dan pengendalian HIV/AIDS. In: Akib

    AA, Munasir Z, Windiastuti E, Endyarni B, Muktiarti D, editors. HIV

    infection in infants and children in Indonesia: current challenges in

    management. Jakarta: Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM

    2009

    8. Pedoman Nasional Terapi Antiretroviral. Panduan Tatalaksana Klinis

    Infeksi HIV pada orang Dewasa dan Remaja edisi ke-2, Departemen

    Kesehatan Republik Indonesia Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit

    dan Penyehatan Lingkungan 2007

    38

    http://www.aidsindonesia.or.id/http://www.aidsindonesia.or.id/http://www.aidsindonesia.or.id/http://www.aidsindonesia.or.id/
  • 7/30/2019 128659399 HIV Referat Baru

    39/39

    9. UNAIDS-WHO. Report on the global HIV/AIDS epidemic 2010:

    executive summary. Geneva. 2010.

    10. Yayasan Spiritia. Sejarah HIV di Indonesia. 2009 [cited 2009 April 8];

    Available from: http://spiritia.or.id/art/bacaart.php?artno=1040

    http://spiritia.or.id/art/bacaart.php?artno=1040http://spiritia.or.id/art/bacaart.php?artno=1040