Yang Unik Di MUNA
Click here to load reader
Transcript of Yang Unik Di MUNA
Y ang Un ik-un ik d i Pu la u M una
1. POGIRAHA ADHARA ( MUSTANG FIGHTING )
Pogiraha Adhara ( Mustang Fighting ) adalah salah satu atraksi
budaya suku Bangsa Wuna di Propinsi Sulawesi Tenggara. Atraksi ini merupakan atraksi
unik dan satu-satunya di dunia. Dengankemampuan yang dimilikinya seorang pawang
dapat mengendalikan kuda yang sedang marah dan dalam waktu singkat dapat
memulikan mental yang telah kalah dalam pertarungan dan mengembalikannya
kearena untuk bertarung.
2. IKAN BUTA
Ikan Buta adalah species ikan yang hidup dalam gua-gua yang
ada di Pulau Wuna. Ikan-ikan ini memiliki warna-warnah mencolok seperti merah,
kuning dan abu-abu. Ikan buta adalah merupakan spesies endemik yang hanya dapat
di temui dalam gua-gua yang ada di Pulau Muna
3. GUA LIANG KOBORI
Gua Liangkobori yang terletak di Pulau Wuna adalah satu-satunya situs purbakala yang
ada Suawesi Tenggara . Situs itu berbentuk relief yang ditulis di dinding gua dengan
mengunakan zat pewarna yang sampai sat ini belum diketahui jenisnya. Beberapa
penelitian mengungkapkan bahwa relief tersebut dibuat sekitar tahun 1500SM. Relief
itu menggabarkan peradaban dan kebudayaan Orang Muna yang telah mengenal
teknologi kelautan dan Ilmu perbintangan. SitusLiangkobori terletak sekitar 12Km dari
Kota Raha Ibu Kota Kabupaten Muna dan dapat ditempuh dengan menggunakan
kedaraan umum dengan waktu tempuh sekitar 10 menit.
Diposkan oleh Muh a mm a d Ali m uddin di 02:53 T i d a k a da ko m e n t a r: Ki r i m k a n I ni l e w a t E m a i l B logThis !B e rb a gi ke Twitt e rB er b a gi ke Fa ce b o ok
M e n g e n a n g K e h i d u p a n P u r b a k a l a S u k u b a n g s a W u n a M e l a l u i W i s a t a G u a Li a n g k o b o ri
Salah satu Relief di Gua Liangkobori
A. Selayang PandangLiang Kobori adalah nama lain dari Gua Kobori, peninggalan nenek moyang masyarakat
suku Muna. Nama liang kobori berasal dari bahasa Muna yang berarti Gua tulis.
Penamaan ini cukup tepat karena di sepanjang dinding di dalam gua, terdapat aneka
lukisan yang berjejer rapi.
Diperkirakan, lukisan yang terdapat di dalam gua ini sudah berumur ratusan tahun.
Perkiraan tersebut, didukung oleh temuan seorang peneliti dari Jerman yang pernah
melakukan penelitian di lokasi Liang Kobori. Peneliti tersebut mengungkapkan, lukisan
yang terpahat indah itu berasal dari zaman prasejarah atau sekitar 4.000 tahun silam.
Liang Kobori memiliki lebar 30 meter, tinggi antara 2 sampai 5 meter, dan kedalaman di
bawah tanah sekitar 50 meter. Liang Kobori tersusun dari bebatuan stalaktit dan
stalagmit yang berwarna kehitam-hitaman.
B. KeistimewaanDi dalam Liang Kobori, tersimpan sebuah misteri kehidupan masyarakat prasejarah dari
suku Muna. Hal tersebut tergambar pada 130 aneka lukisan berwarna merah yang
terdapat pada dinding-dinding gua, mulai dari pintu masuk hingga pada bagian
terdalam gua.
Dari berbagai aneka lukisan tersebut, tergambar cara hidup masyarakat suku Muna
pada masa lalu mulai dari cara bercocok tanam, berternak, berburu, berdapatasi
dengan lingkungan, dan berperang untuk mempertahankan diri dari serangan musuh.
Diantara lukisan (gambar) yang ada dalam gua itu adalah gambar seseorang yang
menaiki seekor gajah, gambar matahari, gambar pohon kelapa, gambar binatang ternak
seperti sapi, kuda, serta gambar l a ya n g -l a y a n g yang merupakan salah satu media ritual
masyarakat Muna pada saat itu. Dari lukisan-lukisan itu, terdapat sebuah pesan
simbolik dari masyarakat suku Muna purba begi generasi muda mereka tentang arti
nilai sejarah dengan mencatat setiap peristiwa yang mereka alami.
Yang menarik dari gambar-gambar tersebut adalah misteri dibalik pemilihan bahan dan
warna yang dipakai untuk melukis. Walaupun lukisan telah berusia ribuan tahun, tetapi
warnanya tetap bagus dan masih terlihat dengan jelas. Tentunya ini sangat kontras
dengan penggunaan warna pada saat sekarang yang mudah hilang dalam waktu cepat.
Bukti sejarah yang ditinggalkan oleh masyarakat suku Muna yang terdapat di dalam
Liang Kobori menanti kedatangan para pelancong yang gemar dengan wisata gua atau
para peneliti yang bergerak dalam bidang kepurbakalaan. Lokasi ini dapat menjadi
alternatif
tamasya alam sekaligus tempat menimba pengetahuan, terutama yang berkaitan
dengan dunia kepurbakalaan.
Selain aneka lukisan, gua ini juga menyimpan keunikan yang lain. Di dalam Liang Kobori
terdapat kawanan burung walet yang hidup dan membuat sarang. Keberadaan burung-
burung tersebut menjadi nilai tambah bagi keberadaan Liang Kobori sebagai tempat
tujuan tamasya.
C. LokasiLiang Kobori terletak di Desa Mabolu, Kecamatan Lohia, Kabupaten Muna, Sulawesi
Tenggara,Indonesia.
D. AksesUntuk mencapai lokasi, para wisatawan dapat menggunakan beberapa alternatif
perjalanan, yaitu menggunakan kapal laut atau pesawat perintis. Jika menggunakan
kapal laut, perjalanan dimulai dari Pelabuhan Nusantara di Kota Kendari menuju
Pelabuhan Raha (Ibu Kota Kabupaten Muna) dengan waktu tempuh sekitar 4 jam.
Sementara jika menggunakan pesawat perintis, perjalanan dimulai dari Bandara Walter
Monginsidi yang terletak di Kota Kendari, Provinsi Sulawesi Tenggara menuju Bandara
Sugimanuru yang terdapat di Kabupaten Muna atau 25 km dari Kota Raha. Setelah
sampai di Bandara Sugimanuru, pejalanan dilanjutkan ke Kota Raha menggunakan
angkutan umum dengan waktu tempuh sekitar 30 menit. Dari Kota Raha, perjalanan
dilanjutkan ke lokasi tepatnya di Desa Mabolu yang berjarak 10 km dengan waktu
tempuh sekitar 15 menit perjalanan.
E. Akomodasi dan Fasilitas LainnyaDi Ibu Kota Kabupaten Muna (Kota Raha) terdapat hotel yang nyaman untuk tempat
menginap. Bagi para wisatawan yang datang dari luar kota dan ingin berlama-lama di
Kabupaten Muna dapat menginap di hotel yang ada di kota tersebut. Sementara untuk
kebutuhan makanan, para wisatawan dapat memilih tempat yang sesuai untuk
bersantap, karena di Kota Raha banyak terdapat warung makan dan restoran yang
menyajikan beraneka menu makanan.
Apabila ingin mengenal lebih jauh kekayaan alam dan obyek wisata lainnya yang
terdapat di Kabupaten Muna para pelancong dapat memanfaatkan jasa agen perjalanan
yang ada di Kota Raha untuk membantu perjalanan selama berada di Kabupaten Muna
Diposkan oleh Muh a mm a d Ali m uddin di 02:46 T i d a k a da ko m e n t a r: Kiri m k a n I ni l e w a t E m a i l B logThis !B e rb a gi ke Twitt e rB e rb a gi ke Fa ce b o ok
S ek elum it Tent an g Peso na Pu lau Mu na
Pulau Muna merupakan salah satu pulau yang cukup menarik di Sulawesi Tenggara. Dengan kondisi pulau yang tersusun oleh batuan karst, membuat Pulau Muna menjadi pulau yang tampak keras karena di beberapa tempat memiliki kondisi lingkungan yang kering dan tandus.
Namun di beberapa lokasi, Pulau Muna menawarkan pesonanya tersendiri. Kalau kita mengunjungi Desa Oempu, Walengkabola, disana kita akan disuguhkan oleh pemandangan pantai yang indah dan keramahan penduduk meskipun untuk mencapai desa ini kita harus melalui daerah yang cukup gersang hanya ditutup oleh semak.
Memasuki desa, rumah-rumah panggung berjejer sepanjang jalan dengan pagar batu. Di suatu tempat, tampak penduduk membawa jerigen, alat mandi atau pun gerobak pembawa air. Di tempat itu, ternyata terdapat mata air di sebuah gua yang digunakan oleh penduduk untuk mandi dan cuci.
Gua dengan mata air berair tawar ini sangat menarik karena tersebar di beberapa tempat di Desa Oempu, Walengkabola, sehingga penduduk tidak hanya bergantung pada satu gua melainkan ada lebih dari tiga diluar sumur-sumur kecil yang digunakan untuk tempat mengambil air minum.
Selain gua dengan mata air, Desa Oempu, Walengkabola juga memiliki danau-danau karst yang berwarna biru. Di salah satu danau, dgunakan sebagai tempat wisata, dimana setiap musim liburan sangat ramai dikunjungi oleh masyarakat dari luar Walengkabola. Danau yang berair payau ini digunakan juga untuk memelihara penyu. Konon, danau-danau ini dihubungkan oleh sebuah gua yang terhubung ke laut.
Begitu juga gua-gua yang memiliki mata air juga berhubungan dengan laut melalui sebuah gua yang baru sedikit yang telah di eksplorasi oleh cave diver dari Perancis, Australia dan Spanyol.
Desa Oempu, Walengkabola juga menawarkan pantai berpasir putih yang cukup indah dengan beberapa pohon kelapa yang melambai-lambai. Di salah satu sudut desa juga sudah dibuat semacam gazebo untuk menikmati pemandangan pantai indah dan di seberah nampak Pulau Buton.
Jauh dari Desa Oempu, terdapat juga danau karst yang mudah dicapai dari Raha menuju Danau Napabale. Danau ini menawarkan juga keindahan danau karst yang sekaligus juga dapat menyewa perahu untuk mengarungi danau.
Selain dengan keindahan alam, Pulau Muna juga memiliki potensi masyarakat dengan kerajinan tangannya yaitu tenun sarung. Di salah satu desa, di setiap rumah ada perempuan muda yang sedang menenun di bawah rumah panggungnya.
Konon, sarung-sarung dari Muna ini banyak dikirim ke beberapa daerah. Waktu itu, saya sempat beli sarung hasil tenun tangan ini dengan harga yang cukup murah. Mungkin harga akan lebih mahal di pasar-pasar di luar Pulau Muna.
Selamat menikmati Pulau Muna.
Sumber : h tt p :// b i o t agua.org / 2011 / 07 / 05 / m una/
Bagikan ini Ke : Facebook, Twitter,Bloger
Diposkan oleh Muh a mm a d Ali m uddin di 02:23 T i d a k a da ko m e n t a r: Kiri m k a n I ni l e w a t E m a i l B logThis !B e rb a gi ke Twitt e rB e rb a gi ke Fa ce b o ok
U s a i M a i n L a ya n g a n M e n y u s u ri Da n a u N a p a b a l e d i Mu n a
MUNA, KOMPAS.com – Sejumlah peserta Festival Layang-Layang Internasional asal
mancanegara tak sabar mengunjungi beberapa obyek wisata di Kabupaten Muna,
sulawesi Tenggara. Mereka bergegas tamasya usai main layang-layang.
Beberapa obyek wisata yang dikunjungi sejumlah wisawatan mancanegara itu antara
lain permandian alam Napabale di Kecamatan Lohia, sekitar 20 Km dari Kota Raha dan
Liang Kobori, sekitar 10 Km dari Kota Raha.
Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Muna, Hasanuddin Rabali di Raha
Rabu (12/8) mengatakan, peserta festival asal mancanegara yang mengunjungi lokasi
obyek wisata Liang Kobori dan permandian Napabale itu didampingi dua orang
pemandu dari Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Muna.
Menurut Hasanuddin, dalam jadwal peserta festival dari mancanegara itu sebenarnya
mereka akan berkunjung ke beberapa tempat obyek wisata di Kabupaten Muna pada
Kamis (13/8), namun peserta festival dari Prancis, Jerman dan China tampak tidak
sabar untuk menikmati keindahan obyek wisata alam di daerah itu.
“Setelah mengikuti festival layang-layang tadi pagi, mereka (wisatawan) langsung ingin
mengunjungi obyek wisata tersebut pada siang dan sore harinya mereka kembali lagi
ke arena festival di lapangan Sarana Olahraga (SOR),” ujarnya.
Wisatawan mancanegera itu mengunjungi lokasi obyek wisata permandian danau
Napabale ini karena memiliki keunikan tersendiri, yakni air danau itu terasa asin karena
memiliki terowongan yang berhubungan dengan laut sepanjang 500 meter.
“Bila air laut surut, pengunjung bisa menikmati keindahan air dalam terowongan itu
dengan menggunakan sampan (perahu kecil), namun harus berhati-hati karena sangat
berbahaya bagi pengunjungbaru yang akan mencoba menelusuri terowongan itu,
kecuali dengan pemandu dari masyarakat lokal,’ ujarnya.
Selain itu peserta festival layang-layang dari luar negeri itu juga mengunjungi lokasi
wisata alam goa Liang Kobori yang memiliki lukisan bersejarah di zaman dahulu kala.
Di dalam goa itu terdapat lukisan bersejarah antara lain terdapat sekitar 300 jenis
gambar binatang pada dinding goa seperti babi, anjing, kuda dan kalajengking.
Sumber :
Antara
Diposkan oleh Muh a mm a d Ali m uddin di 02:18 T i d a k a da ko m e n t a r: Kiri m k a n I ni l e w a t E m a i l B logThis !B e rb a gi ke Twitt e rB e rb a gi ke Fa ce b o ok
K i a s a h T e n t a n g T u a Sa re/ L a Ba a l u w u
Ewa Wuna, Pencak Silat khas Wuna Foto ; https://encrypted- tbn1.gstatic.com/images?q=tbn:ANd9GcS2zYDZclZHxizw3yzevNg8rZZZs6PszcviePLy21ljiI0 gfdQeeQ
Raja Muna pertama adalah La Eli/ Baidhul Dhamani gelar Bheteno Netombula putera Raja Luwu, namun ada juga yang mengatakan bahwa Bheteno Netombula kemungian keturunan Raja-Raja Majapahit yang terdampar di Pulau Muna. Ada juga yang mengisahkan La Eli adalah Sawerigang, Putera raja Luwu, Kerajaan tertua di Sulawesi Selatan. Kisah tentang Sawerigading ini diceritakan dalam epik I Lagaligo.
Dugaan La Eli berasal dari Kerajaan Majapahit, karena nama lain dari La Eli adalah Baidhul Dhamani, yang diperkirakan akibat pengaruh agama islam. Sedangkan dugaan La Eli adalah Sawerigading karena menurut tradisi lisan masyarakat Muna, kapal Sawerigading paerna terdampar di pulau Muna. Kisah terdamparnya Sawerigadi tersebut sebagaimana yang berkembang dalam tradisi lisan masyrakat Muna sebagai awal terbentuknya Pulau Muna. Hal lain yang memperkuat dugaan itu adalah dikisahkan, La Eli/ Baidhul Dhamani menikahi seorang Gadis yang dalam kondisi hamil yang bernama Wa Tandi abe. Nama ini memilikn dinikai kemiripan dengan We Tendriabeng, saudara kembar Sawerigading yang sepmpat akan dinikahi, namun ditentang ayahandanya dan petinggi kerajaan Luwu karena itu bertentangan dengan Norma adat yang diyakini oleh masyarakat Kerajaan Luwu.
La Eli/ Badhul Dhamani, mendapat gelar Beteno netombula, sebab berdasarkan tradisi
lisan masyarakat Muna dia ditemukan dalam rumpun bambu oleh serombongan orang
yang ditugaskan mencari bambu pada saat Mieno Wamelai (salah seorang pemimpin
kampung di Muna) akan mengadakan pesta. Rombongan yang menemukan La
Eli/Baidhul Dhamani dalam rumpun bambu tersebut dipimpin oleh Mieno Tongkuno.
Bheteno Netombula menikah dengan Tandri Abe yang ditemukan terdampar di laguna
Napabale beberapa saat setelah penemuan Bheteno Netombula.Perkawinan keduanya
melahirkan tiga orang anak yaitu Runtu Wulae, La Aka/ Sugi Patola dan Kilambibito.
Setelah Dewasa Runtu Wulae kembali ke Luwu negeri leluhurnya kemudian menjadi raja
di sana, sedangkan La Aka/ Sugi Patola menjadi Raja Muna II dan Kilambibito menikah
dengan La Singkabu Mieno Wamelai. Suatu waktu ketika Sugi Patola menjadi Raja Muna
dan Runtu Wulae telah menjadi Raja Luwu, Sugi Patola mengadakan perlawatan di
Negeri Luwu menemui saudaranya Runtu Wulae.
Pada saat Kembali ke Muna, Sugi Patola meminta pada saudaranya agar
diperkenangkan untuk membawa beberapa orang yang memiliki keahlian seperti
bertani, membuat kapal dan menyadap nira ke kerajaan Muna. Salah seorang yang
dibawah tersebut yaitu yang memiliki keahlian menyadap, diangkat menjadi juru sadap
pribadi raja dan diberi gelar
‘Tuasare’ ( bahasa bugis: tukang sadap tuak).
Setiap hari Tuasare harus menyediakan kameko ( sejenis tuak dari pohon enau) untuk
kebutuhan raja dan tamu-tamu raja. Apabila dia tidak mampu menyediakan kameko
seperti yang diminta raja maka Tuasare mendapat hukuman dicambuk. Karena
seringnya dicambuk maka luka bekas cambukan tersebut membekas dipunggunnya.
Suatu pagi saat Tuasare hendak melakukan aktifitasnya menyadap enau tiba-tiba dia
menemukan seseorang telah mendahluinya diatas pohon. Melihat hal itu Tuasare
sangat berang, dan begitu orang yang mencuri 'kameko' nya turun langsung
disambutnya dengan tikaman, bacokan serta pukulan. Orang yang diserangtersebut
ternyata tidak mau mengalah begitu saja sehingga terjadi perkelahian yang sengit.
Hampir sore perkelahian itu belum juga berhenti hingga akhirnya lawan Tuasare
menyerah.
“ ampun….. saya menyeraha…. asal kamu tidak bunuh saya apapun yang tuanku minta
saya akan penuhi ” Ratap lawan Tuasare tersebut yang ternyata siluman.
“ Saya mau membebaskanmu asal kamu bisa menjadikan saya seperti tuanku” bentak
Tuasare.
“ Oke permintaan tuanku saya penuhi” jawab siluman itu.
Ajaibnya dalam sekejab Tuasare berubah menjadi sepotong bambu. Potongan bambu
tersebut kemudian dibawah oleh siluman itu ke Wadiabero, Pulau Muna bagian Selatan
yang saat ini masuk dalam wilayah administrasi Kec. Wadiabero Kabupaten Buton dan
membuangnya kelaut .
Beberapa saat kemudian seorang nelayan dari Baruta, kampung sekitar Wadiabero
yang sedang mengambil bubunya di pantai menemkan bubu yang dipasangnya tidak
berisi ikan atau binatang laut lainnya, tetapi sepotong bambu. Menganggap potongan
bambu itu adalah potongan bambu biasa maka dia kembali membuangnya kelaut dan
melanjutkan mengambil bubunya yang lain. Tapi betapa terkejutnya dia begitu bubunya
diangkat ternyata isi bubunya bukan ikan tetapi bambu yang sama yang beberapa saat
yang lalu dibuangnya.
Kejadian sama terjadi sampai tiga kali sehingga nelayan tersebut memutuskan untuk
tidak melanjutkan mengangkat bubunyayang lain tetapi langsung pulang kerumah dan
membawa potongan bambuitu. Sesampainya dirumah nelayan itu menyimpan bambu
yang didaptnya tadi di ‘sikua” sudut rumahnya.
Sejak bambu yang ditemukan saat mengangkat bubu tersebut ada dirumah nelayan itu
terjadi hal yang aneh, dimana setiap hari air yang ada dalam bhosu ( tempat air yang
terbuatdari tanah liat ) setiap pagi didapatinya dalam keadaan kosong padal sorenya
telah diisi penuh. Mendapat hal yang aneh tersebut, nelayan itu kemudian menyusun
siasat untuk mengintip siap sebenarnya yang telah memakai airnya. Suatu subuh dalam
pengintaiannya, nelayan itu mendapati seorang laki-laki sedang mandi memakai air
dalam bhosu yang telah diisi sore kemarin.
Merasa sudah cukup bukti akhirnya nelayan itu menangkap lelaki yang mencuri airnya
tersebut. Namun betapa terkejutnya sebab orang yang ditangkap itu mengaku jelmaan
dari bambu yang ditemukan di laut dan dismpinnya di sikua dan bernama La Baaluwu
( Orang dari Luwu). Tidak percaya dengan pengakuan laki-laki tersebut nelayan itu
bergegas melihat bambu yang telah disimpanya di sikua bebeapa hari yang lalu.
Anehnya bambu tersebu tternyata benar-benar sudah tidak ada.
Setelah kembali menjadi manusia normal, Tuasare ( La Baaluwu) kemudian berpamitan
pada orang yang telah menemukannya untuk pergi menuju ke Negeri Wolio yang
kabarnya Rajanya Seorang perempuan ( Bulawambona ) belum bersuami. Sesampai di
Kerajaan Wolio, La Baaluwu menghadap ke istanah kerajaan Wolio dan melamar Raja
Bulawambona untuk dijadikan issterinya. Setelah lamarannya diterima maka resmilah
mereka menjadi Suami Isteri.
Salah seorang anak dari La Baaluwu dengan Bulawambona diberi nama Banc(s)a Patola
yang artinya mayang patola. Penamaan itu utuk mengenang tuanya Raja Muna II Sugi
Patola, yang telah membawahnya dari Kerajaan Luwu ke Kerajaan Wuna.
Diposkan oleh Muh a mm a d Ali m ud d in di 02:17 T i d a k a da ko m e n t a r: Kiri m k a n I ni l e w a t E m a i l B logThis !B e rb a gi ke Twitt e rB e rb a gi ke Fa ce b o ok
Peson a Da na u Na paba le
Danau Napabale di Pulau Muna Sulawesi Tenggara
Formuna, Raha – Danau Laut Napabale yang menakjubkan. Keunikan alam ini, karena
air laut terjebak cincin karang yang akhirnya membentuk cawan. Air berkubang luas
dilingkari bukit-bukit karang yang tinggi dan terjal. Bukit rimbun menghijau nan kokoh
seperti benteng penjaga Napabale yang mirip lukisan vagina alam. Napabale yang
terletak di tebing tinggi Lohia, dekat pantai dengan pemandangan Selat Buton.
Dari kejauhan, nampak air laut mengalir lewat gua-gua kecil di kaki bukit karang. Ada
tiga karang besar yang ditumbuhi pepohonan liar. Bentuknya seperti tube fallopi, dan
tempat ini menjadi lorong jutaan berbagai spesies ikan laut yang hidup di Selat Buton.
Napabale berjarak sekitar 15 Km dari Kota Raha Ibu kota Kabupaten Muna Propnsi
Sulawesi Tenggara. Posisinya yang dikelilingi oleh bukit-bukit karang serta dihubungkan
dengan laut oleh sebuah terowongan menghadirkan sebuah panorama alam yang
sangat indah untuk dinikmati.
Pesona alam napabale yang dikelilingi oleh bukit karang yang seakan membentenginya,
dapat menghilangkan kepenatan setelah disibukan dengan berbagai kesibukan yang
menegangkan otot dan saraf. Lambaian bunga-bunga anggrek batu di sepanjang
dinding danau yang mengelilinginya mampu menyejukkan perasaan yang sebelumnya
diliputi oleh kegundahan. Barisan berbagai biota yang ada di dalamnya juga seakan tak
mau ketinggalan untuk menghibur setiap pengunjung di Danau tersebut.
Bila anda ingin menikmati pemandangan laut selat Buton anda dapat menyewa
perahu yang disediakan penduduk untuk menuju lalut dengan melewati terowongan
bila air
laut lagi susurt, atau dengan berjalan kaki sekitar 20 meter melewati batu-batu karang.
Panorama alam Napabale semakin mempesona bila senja menjelang. Langit yang
merona merah seakan turut mengantar para nelayan yang mulai turun kelaut untuk
memulai aktiitas mencari ikan. Dari Danau Napabale para nelayan tersebut mulai
mengayuh perahu koli-koli mereka menuju selat buton dengan melalui terowongan
alam Danau Napabale . Diselat Buton perahu yang lebih besar yang biasa disebut
bagang oleh masyarakat setempat telah menanti dan siap membawa mereka ke lautan
lepas yang dipenuhi berbagai jenis ikan untuk ditangkap.
Sebenarnya selain keindahan panorama alamnya, Napabale juga memiliki nilai historis
yang sangat penting dalam sejarah peradaban Kerajaan Wuna ( Muna ), sehingga
sangat sayang untuk dilewatkan bila berkunjung di Kabupaen Muna. Dengan erkunjung
ke danau Napabale, selain anda dimanja dengan keindhan panorama alamnya anda
juga dapat bernostalgia mengenang kisah cinta antara Raja Muna I Bheteno Netombula
dengan Permaisurunya Wa Tandri Abe.
Dikisahkan dalam lengenda masyarakat Wuna, bahwa beberapa waktu setelah
ditemukan Bheteno Netombula ( Orang yang muncul dari bambu ) dalam rumpun
bambu, saat sekelompok orang yang sedang mencari bambu untuk kebutuhan
pembuatan bangsal dalam rngka pesta yang akan diselenggarakan oleh Mieno Wamelai,
ditemukan pula seorang gadis yang terdampar di Napabale. Gadis tersebut dikisahkan
menumpang sebuah talam sehingga oleh masyarakat Wuna memberinya Nama
“Sangke Palangga” artinya orang yang ,meumpang Palangga/ Talam.
Penemuan gadis oleh masyarakat Lohia yang bermukim di sekitar Danau
Napabaletersebut didengar oleh para petinggi kampung di Kawuna-wuna ( kemudian
menjadi pusat Kerajaan Wuna sebelum dipindah ke Tongkuno ), yang berjarak sekitar
Tujuh Kilometer dari Napabale. Mendengar kabar tersebut, para petinggi kampung yang
sebelumnya juga menemukan seorang pemuda,meminta agar gadis tersebut di bawah
ke “Mieno Wamelai “ untuk mempertemukan keduanya. Betapa terkejutnya mereka,
setelah dipertemukan ternyata keduanya mengaku sebagai suami isteri, sehingga oleh
para petinggi kampung yang berjumlah delapan kampung menikahkan kembali mereka
dengan prosesi adat Wuna sekaligus mengangkat Bheteno Netombula sebagai
pemimpin tertingi. Setelah dinobatkan menjadi pemimpin tertinggi, Bheteno Netombula
memproklamirkan berdirinya Kerajaan Wuna dan menetapkan dirinya sebagai Raja I.
Untuk mengunjungi Napabale tidak terlalu sulit. Angkot siap mengantar anda setiap
saat saat dengan waktu tempuh sekitar 10 menit dari kota Raha dan tarif Rp.3.000,-
anda sudah sampai di Napabale. Jadi Tunggu apa lagi???? Sebab keramahan penduduk
juga sudah siap menerima kedatangan anda.
Sebagai destinasi wisata yang unik, maka sayang bila anda tidak mengunjunginya,
apalagi anda berada di Kabupaten Muna. Dengan mengunjungi Napabale berarti anda
telah melakukan dua kinjungan wiaata dalam waktu yang bersamaan, yaitu wisata
alam dan Wisata Budaya. ( Aliem )
Diposkan oleh Muh a mm a d Ali m uddin di 01:34 T i d a k a da ko m e n t a r: Kiri m k a n I ni l e w a t E m a i l B logThis !B e rb a gi ke Twitt e rB e rb a gi ke Fa ce b o ok
S e b ag i a n D a ri S e j a r a h K er aj a a n Mu n a
Tinjauan dari Aspek Ketatanegaraan
Oleh: Laode Abadi Rere – Pemerhati Budaya
Kelompok manusia yang hidup di suatu tempat tertentu dan menunjuk seorang menjadi
pemimpin mereka yang disebut Raja, itulah awal dari kepemimpinan. Tempat mereka
menetap disebut Kerajaan dan kelompok manusia dalam kerajaan tersebut adalah
Rakyat. Sedangkan rakyat yang mendiami wilayah tertentu dengan batas-batas negara
yang sudah disepakati, menduduki wilayah tersebut disebut Penduduk.
Adapun unsur-unsur yang harus dimiliki oleh masyarakat politik supaya ia dapat
dianggap sebagai Negara termasuk Negara Kerajaan kemudian berlanjut membentuk
sistem Ketatanegaraan. Menurut Oppenheim Lauterpacht, seperti yang dikutip Solly
Lubis Guru Besar Universitas Sumatera Utara (USU) Medan, dalam bukunya Ilmu
Negara, mengatakan bahwa pertama adalah keharusan pada rakyat. Dengan demikian
ide atau cita-cita untuk bersatu, adalah penting untuk dapat membentuk suatu bangsa
yang akan hidup dalam suatu negara dengan identitas yang sama. Rakyat yang
mempunyai cita-cita untuk bersatu ini merupakan unsur dari negara.
Rakyat atau penduduk jika mempunyai identitas yang sama secara geografis-ekolologis
dan demografis serta faktor historis, politik sosial,budaya,bahasa yang sama kemudian
menjadi suku bangsa yang sama. Selanjutnya rakyat dapat membentuk Negara dengan
Ketatanegaraan dan kemudian penduduknya disebut Warga Negara.
Persyaratan tersebut di atas jika dikaitkan dengan eksistensi rakyat Muna, menurut J.
Couvreur dalam bukunya tentang Etnografisch Overzicht van Moena terjemahan Rene
van den Berg dengan judul Sejarah dan Kebudayaan Kerajaan Muna, bahwa asal usul
rakyat pulau Muna disuguhkan dua cerita yaitu cerita pertama : Dikisahkan bahwa Nabi
Muhammad yang pertama kali menemukan pulau Buton dan pulau Muna. Kedua pulau
tersebut baru saja muncul dari permukaan laut serta masih merupakan rawa-rawa
berlumpur yang belum dapat ditumbuhi atau dihuni oleh apapun juga. Setelah
menemukan pulau ini, Nabi Muhammad kembali kepada Allah memberitahukan apa
yang telah dilihatnya, kemudian Nabimenambahkan bilamana allah menghendaki
tanah-tanah tersebut dikeringkan kira-kira akan terdapat daratan yang akan sama
dengan Tanah Rum (Turki atau Eropa). Allah lalu bertanya kepada Nabi Muhammad,
dimana Nabi Muhammad melihat daratan tersebut? Jawaban Nabi Muhammad, “Di
bawah daratan Turki (atau Eropa)” (dalam bahasa Muna we ghowano witeno Rumu).
Allah kemudian bertanya kepada Nabi Muhammad, “Nama apa yang harus diberikan
kepada tanah itu?” Nabi Muhammad menjawab, “ Butuuni “ (arti nama itu tidak
diketahui). Allah lalu membuat daratan tersebut. Menurut tradisi ini orang pertama
yang menetap disini adalah keturunan roh-roh.
Cerita yang ke dua, dikisahkan bahwa dahulu kala ditempat ini semuanya digenangi air.
Pada suatu hari berlayarlah di laut ini sebuah perahu, di dalamnya berada seorang
lelaki yang bernama “Sawirigadi” (Sawerigading). Perahu tersebut terbentur pada batu
karang di bawah permukaan air lalu terdampar. Sawerigading adalah putra Raja Luwu,
dan dia dilahirkan ibunya bersama dengan seekor ayam kuning sehingga dianggap
sebagai orang mulia. Karena terbenturnya perahu tersebut pada ujung batu karang di
bawah permukaan air itu, maka dengan tiba-tiba muncullah daratan besar dari
permukaan laut, yaitu pulau Muna sekarang ini. (Perlu dicatat bahwa gunung tempat
terdamparnya perahu Sawerigading itu masih dapat ditunjukkan. Nama gunung itu
sampai sekarang terdapat sebuah batu besar yang menyerupai perahu)Setelah
terdampar perahunya, berjalanlah Sawerigading di atas daratan yang baru muncul itu
sampai pada Wisenokontu artinya didepan batu (disekitar kampung Tanjung Batu
sekarang). Setelah itu Raja luwu mengutus beberapa orang untuk pergi mencari perahu
Sawerigading dan sebagian dari orang-orang ini konon menetap disini dan merupakan
penghuni pertama pulau Muna dan kemudian mereka mendirikan suatu koloni yang
mereka namakan Wamelai. ( Arti nama ini tidak lagi deketahui), namun sampai
sekarang nama ini menjadi kampung Wamelai dan hingga sekarang masih ada di Muna,
akan tetapi kini merupakan bagian dari kampung Tongkuno. Mata pencaharian mereka
berburu dan sebagian kecil bertani.
Setelah beberapa lama mereka menetap disini, maka sebagian dari orang yang terdiri
atas laki-laki itu kembali ke tempat asal mereka untuk mengambil istri-istri dan anak-
anak mereka yang tertinggal di sana untuk dibawah ke Muna dan sekembalinya
mereka, maka atas musyawarah bersama lalu ditunjuklah seorang kepala yang diberi
gelar “mino Wamelai”. (Orang Wamelai)
Demikian juga dikatakan oleh Oppenheim Lauterpacht, bahwa yang dimaksud dengan
rakyat adalah kumpulan manusia dari kedua jenis kelamin yang hidup bersama
merupakan suatu masyarakat, meskipun mereka ini mungkin berasal dari keturunan
yang berlainan, menganut kepercayaan yang berlainan atau memiliki warna kulit yang
berlainan dan jika hal ini dikaitkan dengan peristiwa asal usul mulanya penduduk Muna
sebagaimana dijelaskan oleh J.Couvreur di atas, maka jelas rakyat Muna pertama yang
mendiami Pulau Muna adalah orang WamelaiKedua, keharusan ada daerah. Faktor ini
terkait dengan faktor identitas suatu suku bangsa yaitu mengenai faktor geografis-
ekologis dan demografis,biasanya disebut Faktor Obyektif. Untuk menentukan
terbentuknya suatu negara terdapat beberapa teori tentang negara, antara lain seorang
iIlmuwan terkenal Plato mengatakan bahwa luas negara itu harus diukur atau
disesuaikan dengan dapat atau tidaknya, mampu atau tidaknya negara memelihara
kesatuan di dalam negara itu, oleh karena negara itu sebetulnya pada hakekatnya
merupakan suatu keluarga yang besar. Oleh sebab itu negara tidak boleh mempunyai
luas daerah yang tidak tertentu.
Faktor Subyektif mengenai persyaratan tersebut, yaitu faktor historis, politik, sosial,
budaya dan bahasa, jika dikaitkan dengan wilayah Penduduk Muna ditinjau dari segi
bahasa yang digunakan, maka daerah Muna cukup luas meliputi sebagian besar wilayah
Penduduk Buton, hal ini dapat dibuktikan dari bahasa daerah yang digunakan
masyarakat wilayah Muna juga digunakan oleh sebagian besar masyarakat Buton
namun dialeknya yang berbeda, sehingga sebagian besar masyarakat Buton
sebenarnya masuk Suku Muna karena bahasa asli Buton hanya digunakan oleh
masyarakat yang berdiam disekitar kota Bau-bau dan wilayah Keraton dan selebihnya
mengunakan bahasa Muna.
Awal pembentukan wilayah didasarkan kesepakatan antara dua negara atau lebih, dan
bahasa merupakan salah satu unsur terbentuknya bangsa, maka antara Muna dan
Buton telah bersepakat menentukan batas-batas wilayah, yaitu wilayah Pulau Muna
bagian Utara dan Pulau Buton bagian Utara merupakan Daerah Muna, sedangkan
bagian Selatan Pulau Muna merupakan wilayah Buton.
Ketiga, keharusan ada Pemerintahan yang berdaulat. Jika hal ini dikaitkan dengan
eksistensi kerajaan Muna, maka penunjukan Ibu Kota Kerajaan Muna di Kota Muna
pada Tahun 1321, Pembangunan Benteng Pertahanan, Pembangunan Istana Kerajaan
atau Kamali, Pembangunan Rumah para pejabat Kerajaan dan Pembangunan Mesjid
Besar di Kota Muna atas persetujuan Syarah Muna, menunjukkan bahwa aktivitas
pemerintahan kerajaan Muna terpusat di Kota Muna, letaknya sekitar 23 Kilometer dari
Kota Raha sekarang. Dan menurut J.Couvreur benteng dikota Muna dibangun oleh roh-
roh halus, dan terbuat dari tembok batu setinggi empat meter, dengan ketebalan tiga
meter dan panjang keseluruhan tembok sekitar 8.073 meter.
Namun setelah Raja Muna Laode Ahmad Makutubu Istana Kerajaan Muna atau Kamali
dibangun di Kota Raha yaitu di Tula atas persetujuan Syarat Muna dan disebut Kamali
Panda. Dan Raja Muna Laode Fiu M.Shalihi membangun Kamali di Loghiadan yang
sekarang ke dua kamali ini dikelola oleh Laode Shalihi mantan Kepala Distrik Katobu,
anak dari Raja Muna Laode Fiu. M.Shalihi. Selain kedua Kamali tersebut di atas, Raja
Muna Laode Fiu membangun Kamali di Masalili.
Pada Tahun 1928 Raja Muna Laode Rere membangun Istana atau KamaliWamelai,
letaknya sekarang iniberdiri bangunan gedung pertemuan Wamelai atau persisnya di
depan kantor Camat Katobu bagian atas. Bangunan Kamali ini dibangun oleh ahli
pertukangan dari Buton dengan tiang bangunan (katubo) sebanyak 99 katubo, ruang
pertemuan, ruang istrahat Raja, ruang keluarga. Bersamaan pembangunan Kamali
Wamelai selesai, Raja Muna Laode Rere diberhentikan oleh Pemerintah Penjajahan
Belanda. Selanjutnya Raja Muna Laode Rere tidak berniat lagi untuk menempati Kamali
tersebut karena Kamali adalah milik Syarah Muna, meskipun Syarah Muna ketika itu
menyarankan kepada Laode Rere agar Kamali yang dibangun tersebut tetap ditinggali,
namun Raja Muna Laode Rere tidak bersedia.
Padahal saat itu Laode Rere tidak mempunyai rumah dan terpaksa Laode Rere
membongkar Kamali yang pernah ditempati Saudara sepupunya yaitu Raja Muna
Ahmad Makutubu dan memindahkan ke tanah yang dibeli dari La Kalende letaknya di
depan penjara atau sekarang didepan rumah jabatan Rumah Tahanan (Rutan) Raha,
yaitu di jalan Basuki Rahmat No.16.Syarah Muna mendengar bahwa Kamali Tula
dibongkar dan dipindahkan kedepan Penjara, segera menemui Laode Rere dan meminta
agar rumah yang sedang dibangundi depan Penjara atau sekarang di depan Rutan Raha
juga dijadikan Kamali. Istana atau kamali bukan asal bangunan akan tetapi rumah raja
yang dibangun atas persetujuan Syarat Muna atau dalam bahasa Muna Dofongkorae
Syarah, dan jumlah Kamali yang dibangun atas persetujuan Syarah ada tiga buah yaitu
di Kota Muna, di Kota Raha ada dua yaitu Kamali Panda dan Kamali Wamelai.
Rumah Raja Muna Laode Rere didepan Rutan sekarang masih berdiri, jika dilihat dari
sejarahnya merupakan Kamali karena Dofongkorae Syarah Muna, namun sudah hampir
roboh. Padahal panjang rumah tersebut awalnya lebih kurang seratus meter
kebelakang dengan bentuk sama dengan Kamali Panda La Ende, namun Kamali ini
dibongkar untuk perubahan bentuk oleh keponakannya yaitu almarhum Laode
Walanda, namun tidak selesai dan sekarang tinggal sisa sebagaimana dapat dilihat
persis berhadapan dengan rumah jabatan Rutan Raha.
Demikian pula Kamali Wamelai yang dibangun oleh Raja Muna Laode Rere dibongkar
oleh cucunya, yaitu Laode Kaimuddin Bupati Muna saat itu dan merubah dengan
mengganti gedung yang digunakan untuk pertemuan sekarang dengan tetap
menggunakan nama Wamelai. Padahal Istana Raja Muna tersebut sebelum dirobohkan
sekitar Tahun 1980 an pernah ditempati kantor Polres Muna dan masih terlihat bentuk
bangunan dengan 99 tiang atau 99 katubo yang menggambarkan 99 sifat-sifat Allah
SWT yang terdapat dalam kitab suci Al – Qur ’an.
Silsilah Dinasti Kerajaan Muna, yaitu dimulai dari Raja Muna pertama sampai Raja Muna
terakhir adalah sebagai berikut: pertama La Eli atau Baidulzaman gelar Betheno Ne
Tombula, memerintah Tahun 1321-1350, kedua La Aka atau Sugimpatola gelar Kagua
Bangkano Fotu, memerintah Tahun 1350-1365, ketiga Sugimpatani, memerintah Tahun
1365-1415, keempat Lambona (Sugiambona) memerintah Tahun 1415-1444, kelima
Sugi La Ende memerintah Tahun 1444-1479, keenam Sugimanuru memerintah Tahun
1479-1527, ketujuh Lakilapontoh memerintah Tahun 1527-1530 juga merangkap Raja
Wolio ke-6/Sultan Buton I, kedelapan Raja Laposaso memerintah Tahun 1532-1555,
kesembilan Rampai Somba memerintah Tahun 1555-1600, kesepuluh Titakono
memerintah Tahun 1600-1625, kesebelas Laode Saaludin memerintah Tahun 1625-
1626, keduabelas Laode Ngkadiri gelar Sangia Kaindea memerintah Tahun 1926-1667,
ketigabelas Laode Abdurachman gelar Sangia La Tugho memerintah Tahun 1671-1716,
keempatbelas Laode Husain gelar Omputo Sangia memerintah Tahun 1716-1767,
kelimabelas Laode Kentu Koda gelar Omputo Kantolalo Kamukula, keenambelas Laode
Umara, ketujuhbelas Laode Harisi gelar Omputo Negege, kedelapanbelas Laode Mursali
gelar Sangia Gola, kesembilanbelas Laode Sumaili gelar Omputo Nesombo, keduapuluh
Laode Saete memerintah tahun 1816-1830, keduapuluh satu Laode BulaEng gelar
Sangia Laghada memerintah Tahun 1830-1861, keduapuluh dua Laode Ahmad
Makutubu gelar Milano Tekaleleha Tula memerintah Tahun 1907-1914, keduapuluh tiga
Laode Fiu M.Saiful Anami memerintah Tahun 1919-1922 dan terakhir adalah Raja Muna
keduapuluh empat Laode Rere gelar Arowuna memerintah Tahun 1925-1928.
Pada Tahun 1767 sampai 1800 di Pemerintahan Kerajaan Muna terdapat pengangkatan
Raja berasal dari luar Dinasti Kerajaan Muna, dan Raja Muna dimaksud dengan sebutan
Raja Pengganti atau Pelaksana Tugas Raja dan di Kerajaan Muna di sebut Solewata
Raja karena mereka tidak diangkat oleh Syarah Muna, akan tetapi langsung ditunjuk
oleh Belanda dan bekerja sama dengan Sultan Buton, antara lain yaitu pertama Laode
Tumawo, jabatan Kapitalao Lakologou di Buton, kedua Laode Ngkumabusi, putra kino
Lolibu di Buton, ketiga Laode Malei, putra pejabat tinggi di Buton, keempat Laode Sa
Aduddin, Kelima Waode Wakelu.
Pengangkatan Raja Muna tanpa persetujuan Syarah Muna tentu mendapat penolakan
dari Rakyat Muna, namun karena intervensi dari Belanda maka Syarah Muna tidak
berdaya dan karena dianggap Syarah Muna sebagai penghalang pengangkatan Raja
Muna oleh Belanda, akhirnya pada Tahun 1910 Belanda membubarkan Syarah Muna.
Meskipun Syarah Muna telah dibubarkan Belanda, namun secara devakto tetap
berfungsi sebagai Lembaga Adat Muna dan sebagai bukti sejarah yaitu pengangkatan
Laode Dika sebagai Lakina Muna oleh Pemerintahan Belanda,namun oleh Syarah Muna
tetap mengangkat Laode Dika sebagai Raja Muna.
Menurut Sejarah Muna Laode Dika merupakan Raja Muna terakhir yang diangkat oleh
Syarah Muna. Konsekwensi logis bila pengangkatan Raja Muna tanpa persetujuan
Syarah Muna, maka segala akibat dari keputusannya tidak akan berlaku bagi
masyarakat Munaatau ditolak rakyat Muna.
Berdasarkan uraian diatas, secara ketatanegaraan Kerajaan Muna adalah Kerajaan
yang berdaulat artinya kekuasaan tertinggi berada ditanganPemerintahan Kerajaan
Muna. Namun DR.Ir. Mujur Muif AM,MSc menulis buku dengan judul UU Martabat
Tujuh, Sumber Filosofis Pancasila sebagai Landasan Sistem Demokrasi Ketuhanan Di
dalam Pemerintahan Dunia, membuat Silsilah Pemerintahan Kerajaan Muna dan
menempatkan Kerajaan Muna sebagai Bharata dalam Kesultanan Buton.Apa yang
ditulis oleh Mujur Muif AM tidak sesuai dengan dokumen Sejarah.Suatu hipotesa yang
sangat dangkal, tanpa adanya penggalian dan kajian yang mendalam tentang sejarah
dan pelaku sajarah.
Sanggahan pertama : Kesultanan Buton sejak Tahun 1887 merupakan bagian atau
bharatanya Belanda atau jajahan Pemerintah Belanda (baca dokumen Sejarah
Kebudayaan Sultra di Arsip Nasional).Sedangkan Kerajaan Muna adalah kerajaan yang
berdaulat sampai Raja yang ke duapuluh empat yaitu Raja La Ode Rere yang bergelar
Arowuna yang berkuasa tahun 1925-1928. Raja Laode Rereadalah merupakan dinasti
terakhir dari Raja Muna dan Laode Rere adalah Raja Muna yang tidak tunduk kepada
Pemerintahan Belanda.
Kedua, J.Couvreur sendiri seorang kebangsaan Belanda yang pernah menjadi Controlir
Onderafdeling Muna atau setingkat Bupati pada Pemerintahan Kolonial Belanda pada
Tahun 1933 sampai 1935, menulis Buku tentang Sejarah Kebudayaan
Munamengatakan, bahwa tidak ada bukti Sejarah kerajaan Muna adalah bagian dari
Kesultanan Buton atau Bharatanya Buton.
Ketiga, jika alasannya karena ada orang Buton menjadi Raja di Muna, juga kurang
berdasar. Karena Sultan Buton pertama Lakilaponto merangkap Raja Muna VII adalah
anak dari Raja Muna VI Sugimanuru, selanjutnya Latumparasi Sultan Buton II juga
orang Muna adalah anak dari Lakilaponto dan La Sangaji Sultan Buton III juga orang
Muna adalah anak dari Lakilaponto, namun Orang Muna tidak pernah mengatakan
bahwa Kesultanan Buton adalah Bharatanya Kerajaan Muna hanya karena alasan
penempatan pimpinan pemerintahan yang berasal dari keturunan Kerajaan Muna.
Keempat,Raja Muna Laode Rere pernah bertengkar dengan Sultan Buton Laode Hamidi
masalah batas, yaitu di Kusambi Ramba dekat Waniba Lakepera perbatasan Muna dan
Buton. Sultan Buton saat itu melontarkan kata-kata memojokan Raja Muna dengan
ucapan Muna bharataku. Raja Muna tersinggung dengan ucapan Sultan, sehingga saling
menyerang dengan kata-kata dan akhirnya sebelum berpisah mereka bersumpah
tentang kebenaran mereka masing-masing. Beberapa tahun kemudian Laode
Hamidiwafat karena sakit. Raja Muna berpesan kepada Laode Hadi anak Sultan, bahwa
orang Buton dan Muna jangan bermusuhan mengikuti kami orang tua. Dan
alhamdullillah antara Laode Badia anak Raja dan Laode Hadi anak Sultan sangat
bersahabat dan tidak melihat ada perbedaan antara kerajaan Muna dan Kesultanan
Buton sebagaimana ditulis Mujur Muif AM.
Demikian fakta sejarah yang didapat dari dari nara sumber yang faliditasnya tidak
diragukan. Semoga menjadi tonggak sejarah penerus suku Muna dan Buton yang
memang bersumber dari keturunan yang sama yaitu berasal dari Raja-Raja Muna dan
Raja-Raja Buton yang berkuasa di kawasan Kerajaan Muna dan Buton, kemudian
dengan datangnya Islam membentuk Kesultanan Buton. Akibat dari penjajahan kolonial
Belanda di kawasan ini dengan politik Belanda yang sangat terkenal yaitu devide et
empera maka sengaja dibuat perpecahan,perdebatan bahkan pertengkaran antara
Muna dan Buton, oleh karena itu kita sebagai penerus, jangan ikuti politik devide et
empera dengan membengkokkan sejarah. Marilah kita terima sejarah yang sudah
terjadi dan menjadi pelaku sejarah untuk masa datang.