Vol. 3, No. 01, Nopember 2014ejurnal.staismqbangko.ac.id/download.php?file=20181124-1... · iv...

30
ISSN: 1979-27439 771979274310 Jurnal Pendidikan Islam, Sosial dan Keagamaan SOSIO AKADEMIKA Vol. 3, No. 01, Nopember 2014 Pendidikan Multikultural Menuju Pendidikan Islam yang Humanis Maisah لمعاصرة القضايالجة ا في معامس منهج ا وأهليةبحثها وأصول بحثها المتصدي لH. M. Joni Role Play in Teaching Speaking Mardalena Urgensi Budaya Akademik Menyinari Kehidupan Kampus Berbudaya Educatif Ibrahim Teori Psikologi Psikodinamik dan Implikasinya dalam Belajar dan Pembelajaran M. Syahran Pemikiran Abu Yusuf Tentang Hukum Islam Rafikah Analisis Istinbath Terhadap Kontroversi Zakat Penghasilan Ainul Mardhiah Kebijakan Pemerintah Terhadap Pendidikan Islam Setelah Masuk Era Reformasi dan Implikasinya Masruri Diterbitkan oleh: STAI SYEKH MAULANA QORI BANGKO-JAMBI

Transcript of Vol. 3, No. 01, Nopember 2014ejurnal.staismqbangko.ac.id/download.php?file=20181124-1... · iv...

  • ISSN: 1979-27439 771979274310

    Jurnal Pendidikan Islam, Sosial dan Keagamaan

    SOSIO AKADEMIKA Vol. 3, No. 01, Nopember 2014

    Pendidikan Multikultural Menuju Pendidikan Islam yang Humanis

    Maisah

    منهج اإلسالم في معالجة القضايا المعاصرةالمتصدي لبحثها وأصول بحثهاوأهلية

    H. M. Joni

    Role Play in Teaching Speaking Mardalena

    Urgensi Budaya Akademik Menyinari Kehidupan Kampus Berbudaya Educatif

    Ibrahim

    Teori Psikologi Psikodinamik dan Implikasinya dalam Belajar dan Pembelajaran

    M. Syahran

    Pemikiran Abu Yusuf Tentang Hukum Islam Rafikah

    Analisis Istinbath Terhadap Kontroversi Zakat Penghasilan

    Ainul Mardhiah

    Kebijakan Pemerintah Terhadap Pendidikan Islam Setelah Masuk Era Reformasi dan Implikasinya

    Masruri

    Diterbitkan oleh:

    STAI SYEKH MAULANA QORI BANGKO-JAMBI

  • ii Sosio Akademika/Vol. 3/No. 01/Nopember 2014

    Vol. 3/No. 01/November 2014 ISSN: 1979-27439 771979274310 Jurnal Pendidikan Islam, Sosial dan Keagamaan

    SOSIO AKADEMIKA Penanggung Jawab

    Ketua Yayasan Pendidikan Islam Syekh Maulana Qori Bangko Drs. H. Mawardi Sadin (Ketua STAI Syekh Maulana Qori Bangko)

    Dr. H. M. Joni, Lc., MA (Pembantu Ketua I STAI SMQ Bangko) M. Thoiyibi, S. Sos (Pembantu Ketua II STAI SMQ Bangko)

    Drs. Hamdan, M.Pd.I (Pembantu Ketua III STAI SMQ Bangko)

    Pimpinan Redaksi Ibrahim, S.Pd., M.Pd.I

    Wakil Pimpinan Redaksi

    Al-Husni, S. Ag., M.HI

    Penyunting Pelaksana H. Firdaus Zuhri, S.Sos.I., MA

    Masruri. S.Pd.I., M.Pd.I Drs. H. Zulkifli. M.Pd.I

    Pelaksana Tata Usaha

    Muhammad Nuzli, S.Pd.I Ahmad Saupi, S.HI., M.Pd.I

    Abdul Katar, S.Pd.I

    Alamat Redaksi STAI SYEKH MAULANA QORI BANGKO

    Jln. Prof. Muhammad Yamin SH, Pasar Atas Bangko-Jambi Telp. 081386811457

    e-mail: [email protected]

    mailto:[email protected]

  • iii Sosio Akademika/Vol. 3/No. 01/Nopember 2014

    PENGANTAR REDAKSI

    Assalamu’alaikum Wr. Wb

    Salah satu tujuan berdirinya STAI Syekh Maulana Qori sebagaimana secara eksplisit tercermin dalam surat keputusan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor: 488 Tahun 2002 tentang setatus STAI Syekh Maulana Qori adalah untuk mengembangkan dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan agama Islam serta mengupayakan penggunaannya untuk meningkatkan taraf kehidupan masyarakat dan memperkaya kebudayaan nasional.

    Dengan demikian, STAI Syekh Maulana Qori tidak hanya dituntut agar mengembangkan ilmu pengetahuan terutama ilmu-ilmu keislaman dan kemasyarakatan melalui kegiatan pembelajaran, penelitian, dan menyebarluaskannya. Berdasarkan amanat tersebut, pimpinan STAI Syekh Maulana Qori telah mengambil kebijakan yang mengarah kepada peningkatan mutu intelektual akademik dosen STAI Syekh Maulana Qori melalui penerbitan jurnal berkala ilmiah, dan untuk pengelolaannya diberikan pada Pusat Penelitian.

    Sosio Akademika: Jurnal Pendidikan Islam dan Sosial Keagamaan adalah salah satu jurnal ilmiah berkala, yang bertujuan pertama, untuk meningkatkan kemampuan akademik para dosen, karyawan, guru, ilmuan maupun cendikiawan dalam menulis karya ilmiah yang lebih baik sesuai dengan kaedah sistematika jurnal terakreditasi. Kadua, dapat menjadi wadah pembelajaran menulis bagi dosen-dosen pemula dan karyawan untuk meningkatkan kemampuan mereka dalam aspek ketrampilan menulis ilmiah. Ketiga, menambah khazanah jurnal yang ada di lingkungan STAI Syekh Maulana Qori untuk pengembangan citra diri sebagai lembaga perguruan tinggi Islam yang ada di Provinsi Jambi.

  • iv Sosio Akademika/Vol. 3/No. 01/Nopember 2014

    Sosio Akademika: Jurnal Pendidikan Islam dan Sosial Keagamaan ini diperuntukkan bagi “mahasiswa baru dan lama”, dosen, karyawan dan peminat informasi-informasi terapan maupun filosofis tentang pendidikan, sosial, bahasa serta budaya yang mengakar pada ilmu keislaman. Oleh karena itu fokus tulisannya lebih banyak menyentuh pada “Pendidikan Islam dalam arti luas dan persoalan sosial kemasyarakatan serta terdapat pula beberapa tulisan yang membahas tentang syari’ah sebagai salah satu keilmuan dalam Islam”.

    Saran dan masukan dari semua pihak sangat kami harapkan demi terwujudnya tujuan dan cita-cita mulia kita bersama. Semoga kita dapat berkarya lebih baik lagi di masa mendatang. Demi kemajuan civitas akademika STAI Syekh Maulana Qori.

    Wassalamu’alaikum Wr. Wb

    Redaksi

  • v Sosio Akademika/Vol. 3/No. 01/Nopember 2014

    DAFTAR ISI Halaman Judul ........................................................... i Tim Redaksi ................................................................ ii Pengantar Redaksi ..................................................... iii Daftar isi .................................................................... v

    Pendidikan Multikultural Menuju Pendidikan Islam yang Humanis Maisah ....................................................................... 1

    منهج اإلسالم في معالجة القضايا المعاصرة وأهلية المتصدي لبحثها وأصول بحثهاH. M. Joni ................................................................... 25

    Role Play in Teaching Speaking Mardalena .................................................................. 47

    Urgensi Budaya Akademik Menyinari Kehidupan Kampus Berbudaya Educatif Ibrahim ....................................................................... 69

    Teori Psikologi Psikodinamik dan Implikasinya dalam Belajar dan Pembelajaran M. Syahran ................................................................. 87

    Pemikiran Abu Yusuf Tentang Hukum Islam Rafikah ....................................................................... 101

    Analisis Istinbath Terhadap Kontroversi Zakat Penghasilan Ainul Mardhiah ........................................................... 117

    Kebijakan Pemerintah Terhadap Pendidikan Islam Setelah Masuk Era Reformasi dan Implikasinya Masruri ....................................................................... 135

  • PENDIDIKAN MULTIKULTURAL MENUJU PENDIDIKAN ISLAM YANG HUMANIS

    Maisah Dosen Tetap

    Fakultas Tarbiyah IAIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi dan Wakil Koordinator Kopertais Wilayah XIII Provinsi Jambi

    Abstrak

    Pendidikan multikultural merupakan suatu pendekatan progresif untuk melakukan transformasi pendidikan yang secara menyeluruh membongkar kekurangan, kegagalan dan praktik-praktik diskriminatif dalam proses pendidikan. Pendidikan multikultural didasarkan pada gagasan keadilan sosial dan persamaan hak dalam pendidikan. Sedangkan dalam doktrin Islam sebenarnya tidak membeda-bedakan etnik, ras dan lain sebagainya dalam pendidikan.

    Kata Kunci: Pendidikan Multikultural, Pendidikan Islam Humanis

    Pendahuluan Kualitas manusia yang dibutuhkan oleh bangsa

    Indonesia pada masa yang akan datang adalah yang mampu menghadapi persaingan yang semakin ketat dengan bangsa lain di dunia. Kualitas manusia Indonesia tersebut dihasilkan melalui penyelenggaraan pendidikan yang bermutu. Pendidikan multikuturalisme merupakan sebuah istilah yang sudah lama muncul dalam dunia pendidikan. Masyarakat yang harus mengapresiasi pendidikan multikulturalisme adalah masyarakat yang secara objektif memiliki anggota hetrogen dan plural. Paling tidak heterogenitas dan pluralitas masyarakat itu bisa dilihat dari eksistensi keragaman suku, etnis, agama, dan budaya. Pada hakikatnya pendidikan dalam konteks pembangunan nasional mempunyai fungsi: (1) pemersatu

  • Maisah

    Sosio Akademika/Vol. 3/No. 01/Nopember 2014 2

    bangsa, (2) penyamaan kesempatan, dan (3) pengembangan potensi diri. Pendidikan diharapkan memperkuat keutuhan bangsa dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, memberi kesempatan yang sama bagi pembangunan, dan memungkinkan setiap warga negara untuk mengembangkan potensi yang dimilikinya secara optimal.

    Undang-undang Republik Indonesia nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional merupakan dasar hukum penyelenggaraan dan reformasi pendidikan Nasional, serta strategi pembangunan pendidikan nasional dalam teori modern, untuk mewujudkan pendidikan yang bermutu, relevan dengan kebutuhan masyarakat, dan berdaya saing dalam kehidupan global.

    Secara nasional, pendidikan merupakan sarana yang dapat mempersatukan setiap warga menjadi suatu bangsa melalui pendidikan, setiap peserta didik difasilitasi, dibimbing dan dibina untuk menjadi warga negara yang menyadari dan merialisasikan hak dan kewajibannya. Kesadaran akan hak dan kewajiban sebagai warga negara ini apabila dimiliki secara kolektif akan mempersatukan mereka menjadi suatu bangsa.

    Pendidikan juga merupakan alat yang ampuh untuk menjadikan setiap peserta didik dapat duduk sama rata dan berdiri sama tinggi. Melalui pendidikan dapat dihilangkan rasa perbedaan kelas dan kasta, karena di mata hukum setiap warga negara adalah sama dan harus memperoleh perlakuan yang sama. Pendidikan juga dapat menjadi wahana bagi negara untuk membangun sumber daya manusia yang diperlukan, dalam pembangunan juga bagi peserta didik untuk dapat mengembangkan diri sesuai dengan potensi yang dimiliki. Oleh karena itu, pendidik mempunyai fungsi, peran, dan kedudukan yang sangat strategis. Menurut Tilaar, Profil profesi pendidik abad XXI adalah; 1) memiliki kepribadian yang matang dan berkembang, 2) memiliki penguasaan ilmu yang kuat, 3) memiliki keterampilan untuk membangkitkan minat peserta

  • Pendidikan Multikultural Menuju Pendidikan Islam yang Humanis

    3 Sosio Akademika/Vol. 3/No. 01/Nopember 2014

    kepada ilmu pengetahuan dan teknologi, 4) mengembangkan profesi secara berkesenambungan (H. A. R. Tilaar 1999: 55).

    Pendidikan Multikultural Muhammad Ali, menjelaskan istilah multikultural jika

    ditela’ah asal-usul sejak tahun 1960-an setelah adanya gerakan hak-hak sipil sebagai koreksi terhadap kebijakan asimilasi kelompok minoritas terhadap melting pot yang sudah berjalan lama tentang kultur dominan Amerika khususnya di New York dan California. Istilah mutikultural tersebut selalu mereka kaitkan dengan pendidikan, yang mempunyai arti meliputi any set procsse by which school work than again appressed grouf (Muhammad Ali 2007: 103).

    Pendapat tersebut sejalan dengan pernyataan Will kymlicka yang dikutif Tilaar, bahwa multikultural merupakan suatu pengakuan penghargaan dan keadilan terhadap etnik minoritas baik yang menyangkut hak-hak universal yang melekat pada hak-hak individu maupun komunitasnya yang bersifat kolektif dalam mengeksperesikan kebudayaan. Sedikit berbeda dengan Stevenhagen, yang memandangnya bahwa konsep multikultural mengandung dua pengertian (H. A. R. Tilaar 2003: 5).

    Konsep pertama, ia merupakan realitas dalam masyarakat yang heterogen. Pernyataan dari segi ini sebanyak 95 % negara-negara didunia pada dasarnya adalah bersifat multikultural menginggat secara etnis dan budaya bersifat plural. Konsep kedua, multikultural telah diangkat sebagai suatu keyakinan idologi, sikap, maupun kebijakan yang menghargai pluralisme etnik dan budaya sebagai sesuatu yang berharga, potensial, yang harus dipilihara dan ditumbuh kembangkan.

    Hamid Hasan, Indonesia adalah negara yang kaya dengan budaya seperti dinyatakan dalam motto nasional “ Bhineka Tunggal Ika = (Bhin = berbeda banyak; Tunggal = satu).

  • Maisah

    Sosio Akademika/Vol. 3/No. 01/Nopember 2014 4

    Oleh karena itu, kebudayaan menjadi landasan kuat bagi bangsa Indonesia (Hamid Hasan 2008: 2).

    K. I. Hajar Dewantara, menurut perkataannya, maka “kebudayaan” itu berarti buah budi manusia, sedangkan, bila menginggatcara terjadinya atau lahirnya kebudayaan, bolehlah kebudayaan dinamakan; kemenangan atau hasil perjuangan hidup manusia (K. I. Hajar Dewantara 1976: 65) . Budi, itu tidak lain adalah jiwa yang sudah masuk, sudah cerdas dan oleh karenanya sanggup dan mampu mencipta, karena budi manusia itu mempunyai dua sifat yang istimewa, yaitu sifat luhur dan sifat halus pula, maka segala ciptaannya senantiasa mempunyai sifat luhur dan halus pula, sesuai dengan pelajaran etika dan estetika. Sebagai kemenangan atau hasil perjuangan hidup manusia, yaitu dalam perjuangannya terhadap dua kekuatan dan abadi, yakni alam dan zaman, dalam perjuangan manusia tetap dan terus-menerus berhasil mengatasi segala pengaruh alam dan zaman yang mengukirkan hidupnya lahir dan batin. Maka kebudayaan itu selain bersifat luhur dan halus (indah), juga selalu mempunyai sifat mengembangkan hidupnya serta pula membesarkan hasil hidupnya. Ini berarti memberi kemajuan hidup dan penghidupan pada manusia, inilah kejayaan hidup manusia.

    Kemajuan hidup dan penghidupan manusia pada umumnya nampak sebagai keinginan, kesanggupan dan kemampuan untuk mewujudkan hidup yang serba tertib dan damai, tertib dalam sifatnya lahir dan damai dalam batinnya, dan inilah yangmendatangkan keselamatan dan kebahagiaan. Kebudayaan ini tidak pernah mempunyai bentuk yang abadi, tetapi terus menerus berganti-ganti wujudnya, ini disebabkan karena berganti-gantinya alam dan zaman. Kebudayaan yang dalam zaman yang lampau mengembangkan dan menguntungkan hidup, boleh jadi dalam zaman sekarang menukarkan hidup. Itulah sebabnya kita harus senantiasa menyisihkan kebudayaan kita dengan tuntunan alam dan

  • Pendidikan Multikultural Menuju Pendidikan Islam yang Humanis

    5 Sosio Akademika/Vol. 3/No. 01/Nopember 2014

    zaman yang baru. Karena budi manusia itu meliputi segala gerak-gerik pikiran dibagi menjadi: buah pikiran (misalnya ilmu pengetahuan, pendidikan dan pengajaran filsafat), buah perasaan (misalnya adat istiadat, kenegaraan, keadilan, keagamaan, kesosialan, dan sebagainya), buah kemauan (misalnya: semua sifat perbuatan manusia, seperti industri, pertanian, percakapan, bangunan-bangunann lain-lain).

    Rendah tingginya kebudayaan ini menunjukkan rendahnya budi serta peradaban dalam hidupnya sesuatu bangsa, kebudayaan tidak lain ialah sifat utuhnnya atau globalnya hidup sesuatu bangsa. Kebudayaan selalu mempunyai sifat nasional, karena rakyat yang menimbulkan kebudayaan tersebut ialah semua orang-orang yang hidupnya di dalam satu lingkungan alam, dan satu lingkungan zaman. Perkataan alam dan zaman boleh juga kita ganti dengan sebutan kodrat dan masyarakat karena karena kodrat itu kekuatan alam, sedangkan masyarakat itulah yang menwujudkan zaman.

    Musa”Asy” Arie, Pendidikan multicultural adalah proses penemanan cara hidup menghormati. tulus dan toleran terhadap keanekaragaman budaya yang hidup di tengah-tengah masyarakat plural. Dengan pendidikan multikultural, diharapkan adanya kekenyalan dan kelenturan mental bangsa menghadapi benturan konplik sosial, sehingga persatuan bangsa tidak mudah patah dan retak (Musa Asy’arie 2008: 1).

    Dalam konteks Indonesia, yang dikenal dengan muatan yang sarat kemajemukan, maka pendidikan muticultural menjadi sangat strategis untuk dapat mengelola kemajemukkan secara kreatif, sehingga yang muncul sebagai dampak dari transformasi dan reformasi sosial dapat dikelola secara cerdas dan menjadi bagian dari pencerahan kehidupan bangsa ke depan.

    Jika melihat sejarah Indonesia, maka realitas konflik sosial yang terjadi seringkali mengambil bentuk kekerasan

  • Maisah

    Sosio Akademika/Vol. 3/No. 01/Nopember 2014 6

    sehingga mengancam persatuan dan eksistensi bangsa. Pengalaman peperangan antara kerajaan-kerajaan sebelum kemerdekaan telah membentuk fanatisme kesukuan yang kuat. Sedangkan terjadinya komflik sosial setelah kemerdekaan, sering kali bertendensi politik, dan ujungnya adalah keinginan suatu komunitas untuk melepaskan diri dari kesatuaan wilayah negara kesatuan, bahkan buntunya masih terasa hingga sekarang, baik yang terjadi di Aceh dan Papua. Tanpa pendidikan cultural, maka komflik sosial yang destruktif akan terus menjadi suatu acaman yang serius bagi keutuhan dan persatuan bangsa.

    Muhaemin, menyatakan sudah merupakan kenyataan yang tak bisa ditolak bahwa negara- bangsa Indonesia terdiri dari berbagai kelompok etnis, budaya, agama dan lain-lain sehingga negara-negara Indonesia secara sederhana dapat disebut sebagai masyarakat “multikultural”. Tetapi pada pihak lain, realitas “multikultural” tersebut berhadapan dengan kebutuhan mendesak untuk merekonstruksi kembali “kebudayaan nasional Indonesia” yang dapat menjadi “integrating force” yang mengikat seluruh keragaman etnis dan budaya tersebut (Muhaemin 2008: 1).

    Perbedaan budaya merupakan seluruh konduksi dalam hubungan interpersonal. sebagai contoh ada orang yang bila diajak bicara (pendengar) dalam mengungkapkan perhatiannya cukup dengan mengangguk-anggukkan kepala sambil berkata “uh. huh”. namun dalam kelompok lain untuk menyatakan persetujuan cukup dengan mengedipkan kedua matanya. Dalam beberapa budaya,individu-individu yang berstatus tinggi biasanya yang memprakarsai, sementera individu yang statusnya rendah hanya menerima saja sementara dalam budaya lain justru sebaliknya.

    Beberapa psikolog menyatakan bahwa budaya menunjukkan tingkat intelegensi masyarakat. Sebagai contoh, gerakan lemah gemulai merupakan ciri utama masyarakat Bali.

  • Pendidikan Multikultural Menuju Pendidikan Islam yang Humanis

    7 Sosio Akademika/Vol. 3/No. 01/Nopember 2014

    Oleh karena kemampuannya untuk menguasai hal itu merupakan ciri dari tingkat intelegensinya. Sementara manipulasi atau rekayasa kata dan angka menjadi penting dalam masyarakat Barat. Oleh karenanya “keahlian “ yang dimiliki seseorang itu menunjukan kepada kemampuan intelegensinya.

    Paling tidak ada tiga kelompok sudut pandang yang biasa berkembang dalam menyikapi perbedaan identitas kaitannya dengan konflik yang sering muncul. Pertama, pandangan primordialis. Kelompok ini menganggap perbedaan-perbedaan yang berasal dari genetika seperti suku, ras (dan juga Agama) merupakan sumber utama lahirnya benturan-benturan kepentingan etnis maupun Agama. Kedua, pandangan kaum instrumentalis. Menurut mereka, suku, Agama dan identitas yang lain dianggap sebagai alat yang digunakan individu atau kelompok untuk mengjar tujuan yang lebih besar, baik bentuk materil maupun non-materil. Konsepsi yang lebih banyak digunakan oleh politisi dan para elit untuk mendapatkan dukungan dari kelompok identitas. Dengan meneriakkan “Islam” misalnya, diharapkan semua orang Islam merapatkan barisan untuk mem-back up kepentingan politik. Oleh karena itu, dalam pandangan kaun instrumentalis, selama setiap orang mau mengalah dari prefence yang dikehendaki elit, selama itu pula benturan antar kelompok identitas dapat dihindari bahkan tidak terjadi. Ketiga, kaum konstruktivis, yang beranggapan bahwa identitas kelompok tidak bersifat kaku, sebagaimana yang dibayangkan kaum primordialis. Etnitas, bagi kelompok ini, dapat diolah hingga membentuk jaringan relasi pergaulan sosial. Karenanya, etnisitas merupakan sumber kekayaan hakiki yang dimiliki manusia untuk saling mengenal dan memperkaya budaya. Bagi mereka, persamaan adalah anugerah dan perbedaan adalah berkah.

    Dalam konteks pendapat yang ketiga, terdapat ruang wacana tentang multikulturalisme dan pendidikan kultural

  • Maisah

    Sosio Akademika/Vol. 3/No. 01/Nopember 2014 8

    sebagai sarana membangun toleransi atas keragaman. Wacana ini mulai ramai terdengar di kalangan akademis, praktis budaya dan aktifis diawal tahun 2000 di Indonesia. Tulisan ini dimaksud sebagai kajian tentang multikulturalisme dan pendidikan multikultural sebagai bahan kajian lanjutan untuk mengtahui corak, peluang dan tantangan pendidikan multikultural di Indonesia.

    Oriantasi Pendidikan Multikultural Menurut Umi khumaidah, oriantasi yang dibangun dan

    dipertahan pendidikan multikultural adalah: 1. Oriantasi kemanusiaan, humanisme yang menjadi landasan

    sekaligus tujuan pendidikan. Kemanusian bersifat universal, global, di atas semua suku, aliran, ras golongan, dan agama, jauh dari sifat eksploitatif, dominatif, kompetitif yang sebebas-bebasnya,

    2. Oriantasi kebersamaan, yaitu nilai kooperatif yang sangat mulia dalam masyarakat plural dan heterogen. Kebersamaan ini bebas dari nilai kolutif, tidak ada kebersamaan yang hakiki ketika masing-masing pihak memiliki Hidden Agenda sendiri-sendiri. Karena yang terjadi adalah kecurigaan dari masing-masing pihak,

    3. Oriantasi kesejahteraan, welvarisme yang merupakan sebuah kondisi yang dihadapkan masyarakat terwujud dengan adanya kesadaran diri tanpa ada paksaan untuk keadaan itu,

    4. Oriantasi profesional, yaitu aspek ketepatan, tepat landasan, tepat proses, tepat kuantitatif, dan tepat tujuan.

    5. Oriantasi mengakui pluralisitas dan heterogenitas, 6. Oriantasi anti hegemoni dan anti dominasi, kedua istilah ini

    sangat populer bagi kaum tertindas (Umi Khumaidah 2004: 275-276).

    Muhaemin, mengemukakan konsep pendidikan multikultural di negara-negara yang menganut konsep demokratis seperti Amerika Serikat dan Kanada, bukan hal baru

  • Pendidikan Multikultural Menuju Pendidikan Islam yang Humanis

    9 Sosio Akademika/Vol. 3/No. 01/Nopember 2014

    lagi. Mereka telah melaksanakan khususnya dalam upaya melenyapkan diskriminasi rasial antara orang kulit putih dan kulit hitam, yang bertujuan memajukan dan memelihara integritas nasional (Muhaemin 2008: 50). Pendidikan multikultural mengakui adanya keragaman etnik dan budaya masyarakat suatu bangsa, sebagai contoh berikut: di Amerika, sebagai contohnya muncul serangkaian konsep tentang pluralitas yang bebeda-beda, mulai dari melting pot sampai multikulturalisme. Sejak columbus menemukan benua Amerika, berbagai macam bangsa telah menempati benua itu. Penduduk yang sudah berada disana sebelum bangsa-bangsa Eropa membentuk koloni-koloni mereka di Amerika Utara terdiri dari berbagai macam suku yang berbeda-beda bahasa dan budayanya. Tetapi di mata bangsa Anglo-Sakson yang menyebarkan koloni di abad ke- 17, tanah di Negara baru itu ada di kawasan tak bertuan dan bangsa-bangsa yang di temui di benua baru itu tak lebih dari makhuk primitif yang merupakan bagian dari alam yang mesti di taklukkan. Dari perspektif kaum puritan yang menjadi acuan utama sebagian besar pendatang dari Inggris tersebut, berbagai suku bangsa yang dilabel secara generik dengan nama “ Indian” adalah bangsa kafir pemuja dewa yang membahayakan kehidupan komunitas berbasis agama tersebut. Di sini terlihat bagaimana pandangan berperspektif tunggal yang datang dari budaya tertentu membutakan mata terhadap kenyataan keragamaan yang ada.

    Amerika Serikat ketika ingin membentuk masyarakat baru-pasca kemerdekaannya (4 Juli 1976) baru disadari bahwa masyarakatnya terdiri dari berbagai ras dan asal negara yang berbeda. Oleh karena itu, dalam hal ini Amerika mencoba mencari terobosan baru yaitu dengan menempuh strategi menjadikan sekolah sebagai pusat sosialisasi dan pembudayaan nilai-nilai baru yang dicita-citakan. Melalui pendekatan inilah, dari SD sampai Perguruan Tinggi, Amerika Serikat berhasil membentuk bangsanya yang dalam perkembangnnya melampaui masyarakat induknya yaitu Eropa. Kaitannya

  • Maisah

    Sosio Akademika/Vol. 3/No. 01/Nopember 2014 10

    dengan nilai-nilai kebudayaan yang perlu diwariskan dan dikembangkan melalui sistem pendidikan pada suatu masyarakat, maka Amerika Serikat memakai sistem demokrasi dalam pendidikan yang pelopori oleh John Dewey. intinya adalah toleransi tidak hanya diperuntukkan untuk kepentingan bersama akan tetapi juga menghargai kepercayaan dan berinteraksi dengan anggota masyarakat.

    Multikulturalisme secara etimologis marak digunakan pada tahun 950-an di Kanada. Menurut Longer Oxford Dictionary istilah“muticulturalis” merupakan deviasi dari kata “multicultural” Kamus ini menyitir kalimat surat kabar Kanada, Montreal Times yang mengambarkan masyarakat Montreal sebagai masyarakat “multicultural dan multi-lingual”. Sedangkan wacana tentang pendidikan multikultural, secara sederhana pendidikan multikultural dapat didefenisikan sebagai “pendidikan untuk/tentang keragaman kebudayaan dalam meresponi perubahan demografis dan kultural lingkungan masyarakat tertentu atau bahkan dunia secara keseluruhan”. Hal ini sejalan dengan pendapat Paulo Freire, pendidikan bukan merupakan “menara gading” yang berusaha menjauhi realits sosial dan budaya. Pendidikan menurutnya harus mampu menciptakan tatanan masyarakat yang terdidik dan berpendidikan, bukan sebuah masyarakat yang hanya mengagungkan prestise sosial sebagai akibat kekayaan dan kemakmuran yang dialaminya.

    Pendidikan multikultural (multicultural education) merupakan respon terhadap perkembangan keragaman populasi sekolah, sebagaimana tuntutan persamaan hal bagi setiap kelompok. Dalam dimensi lain, pendidikan miltikultural merupakan pengembangan kurikulum dan aktivitas pendidikan untuk memasuki berbagai pandangan sejarah, prestasi dan perhatian terhadap orang-orang non Eropa, (Hilliard, 19911992). Sedangkan secara luas pendidikan multikultural itu mencakup seluruh siswa tanpa membedakan kelompok-

  • Pendidikan Multikultural Menuju Pendidikan Islam yang Humanis

    11 Sosio Akademika/Vol. 3/No. 01/Nopember 2014

    kelompoknya seperti gender, etnis, ras, budaya, strata sosial dan agama. Selanjutnya James Banks, yang dikutif Muhaemin, menjelaskan bahwa pendidikan multikultural memiliki lima dimensi yang saling berkaitan: 1. Content integration

    Mengintegrasikan berbagai budaya dan kelompok untuk mengilustrasikan konsep mendasar, generalisasi dan teori dalam mata pelajaran/disiplin ilmu.

    2. The knowledge Construction Process Membawa siswa untuk memahami implikasi budaya ke dalam sebuah mata pelajaran (disiplin).

    3. An Equity Paedagogy Menyesuaikan metode pengajaran dengan cara belajar siswa dalam rangka memfasilitasi prestasi akademik siswa yang beragam baik dari segi ras, budaya ataupun sosial.

    4. Projudice Reduction Mengidentifikasi karakteristik ras siswa dan menentukan metode pengajaran mereka.

    5. Melatih kelompok untuk berpartisipasi dalam kegiatan olahraga, berinteraksi dengan seluruh staff dan siswa yang berbeda etnis dan ras dalam upaya menciptakan budaya akademik (Muhaemin 2008: 67).

    Dalam aktifitas pendidikan manapun, peserta didik merupakan sasaran (obyek) dan sekaligus sebagi subyek pendidikan. Oleh sebab itu dalam memahami hakikat pesertadidik, para pendidik perlu dilengkapi pemahaman tentang ciri-ciri umum peserta didik. Setidaknya secara umum peserta didik memiliki empat ciri yaitu; 1. Peserta didik dalam keadaan sedang berdaya, madsudnya ia

    dalam keadaan berdaya untuk menggunakan kemampuan, kemauan dan sebagainya.

    2. Mempunyai keinginan untuk berkembang ke arah dewasa. 3. Peserta didik mempunyai latar belakang yang berbeda.

  • Maisah

    Sosio Akademika/Vol. 3/No. 01/Nopember 2014 12

    4. Peserta didik melakukan penjelajahan terhadap alam sekitarnya dengan potensi-potensi dasar yang dimiliki secara individu.

    Menurut Tilaar, program pendidikan multikultural, fokus tidak lagi diarahkan semata-mata kepada kelompok rasial, agama dan kultural domain atau mainstream. Fokus seperti ini pernah menjadi tekanan pada pendidikan intelektual yang menekankan peningkataan pemahaman dan tolenrasi individu-individu yang berasal dari kelompok minoritas terhadap budaya mainstream yang dominan, yang pada akhirnya menyebabkan orang-orang dari kelompok minoritas terintegrasi ke dalam masyarakat mainstream. Pendidikan multikultural sebenarnya merupakan sikap “peduli” dan mau mengerti (difference), atau “ politics of recognition” politik pengakuan terhadap orang-orang dari kelompok minoritas (H. A. R. Tilaar 2003: 87).

    Pendidikan multikultural melihat masyarakat secara lebih luas. Berdasarkan pandangan dasar bahwa sikap“ indiference” dan Non-recognition” tidak hanya berakar dari ketimpangan struktur rasial, tetapi paradigma pendidikan multikultural mencakup subjek-subjek mengenai ketidak adilan, kemiskinan, penindasan dan keterbelakangan kelompok-kelompok minoritas dalam berbagai bidang: sosial, budaya, ekonomi, pendidikan dan lain sebagainya. Paradigma seperti ini akan mendorong tumbuhnya kajian-kajian tentang“ethnic studies” untuk kemudian menemukan tempatnya dalam kurikulum pendidikan sejak dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi. Tujuan inti dari pembahasan tentang subjek ini adalah untuk mencapai pemberdayaan(empowerment) bagi kelompok-kelompok minoritas dan disadventaged.

    Istilah “pendidikan multikultural” dapat digunakan baik pada tingkat deskriftif dan normatif, yang menggambarkan isu-isu dan masalah-masalah pendidikan yang berkaitan dengan masyarakat multikultural. Lebih jauh ia juga mencakup pengertian tentang pertimbangan terhadap kebijakan-

  • Pendidikan Multikultural Menuju Pendidikan Islam yang Humanis

    13 Sosio Akademika/Vol. 3/No. 01/Nopember 2014

    kebijakan dan strategi-strategi pendidikan dalam masyarakat multikultural. Dalam konteks deskrifftif ini, maka kurikulum pendidikan multikultural mestinya mencakup subjek-subjek seperti: tolenrasi; tema-tema tentang perbedaan ethno-kultural dan agama: bahaya disriminasi: penyelesaian konflik dan mediasi: HAM; demokratis dan pluralitas; kemanusiaan universal dan subjek lain yang relevan.

    Dalam konteks teoritis, belajar dari model-model pendidikan multikultural yang pernah ada dan sedang dikembangkan oleh negara-negara maju, dikenal lima pendekatan, yaitu: pertama, pendidikan mengenai perbedaan-perbedaan kebudayaan atau multikulturalisme. Kedua, pendidikan mengenai perbedaan-perbedaan kebudayaan atau pemahaman kebudayaan. Ketiga, pendidikan bagi pluralisme kebudayaan. Keempat, pendidikan dwi-budaya. Kelima, pendidikan multikultural sebagai pengalaman moral manusia.

    Pendidikan Multikultural di Indonesia

    Di Indonesia, pendidikan multikultural relatif baru dikenal sebagai suatu pendekatan yang dianggap lebih sesuai bagi masyarakat Indonesia yang heterogen, terlebih pada masa otonomi dan desentralisasi yang baru dilakukan. Pendidikan multikultural yang dikembangkan di Indonesia sejalan pengembangan demokrasi yang dijalankan sebagai counter terhadap kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah. Apabila hal itu dilaksanakan dengan tidak berhati-hati justru akan menjerumuskan kita ke dalam perpecahan nasional.

    Menurut Azyumardi Azra, pada level nasional, berakhirnya sentralisme kekuasaan yang pada orde baru memaksakan “monokulturalisme” yang nyaris seragam, memunculkan reaksi balik, yang bukan tidak mengandung implikasi-implikasi negatif bagi rekonstruksi kebudayaan Indonesia yang multikultural. Berbarengan dengan proses otonomisasi dan desentralisasi kekuasaan pemerintah, terjadi

  • Maisah

    Sosio Akademika/Vol. 3/No. 01/Nopember 2014 14

    peningkatan gejala “ provinsialisme” yang hampir tumpang tindih dengan“ etnisitas”. Kecendrungan ini, jika tidak terkendali akan dapat menimbulkan tidak hanya disintegrasi sosio-kultural yang amat parah, tetapi juga disintegrasi politik (Azra Azyumardi 2006: 124).

    Model pendidikan di Indonesia maupun di negara-negara lain menunjukkan keragaman tujuan yang menerapkan strategi dan sarana yang dipakai untuk mencapainya. Sejumlah kritikus melihat bahwa revisi kuikulum sekolah yang dilakukan dalam program pendidikan multikultural di Inggris dan beberapa tempat di Australia dan Kanada, terbatas pada keragaman budaya yang ada, jadi terbatas pada dimensi kognitif.

    Penambahan informasi tentang keragaman budaya merupakan model pendidikan multikultural yang mencakup revisi atau materi pembelajaran, termasuk revisi buku-buku teks. Terlepas dari kritik atas penerapannya di beberapa tempat, revisi pembelajaran seperti di Amerika Serikat merupakan strategi yang dianggap paling penting dalam reformasi pendidikan dan kurikulum. Penulisan kembali sejarah Amerika dari perspektif yang lebih beragam merupakan suatu agenda pendidikan yang diperjuangkan intelektual, aktivis dan pratisi pendidikan. Di jepang aktivis kemanusian melakukan advokasi serius untuk merevisi buku sejarah, terutama yang menyangkut peran Jepang pada perang dunia II di Asia. Walaupun belum diterima, usaha ini sudah mulai membuka mata sebagian masyarakat akan pentingnya perspektif baru tentang perang, agar tragedi kemanusiaan tidak terulang kembali. Sedangkan di Indonesia masih diperlukan usaha yang panjang dalam merevisi buku-buku teks agar mengakomodasi kontribusi dan partisipasi yang lebih inklusif bagi warga dari berbagai latar belakang dalam pembentukan Indonesia juga memerlukan pula materi pembelajaran yang bisa mengatasi “dendam sejarah” di berbagai wilayah.

  • Pendidikan Multikultural Menuju Pendidikan Islam yang Humanis

    15 Sosio Akademika/Vol. 3/No. 01/Nopember 2014

    Model lainnya adalah pendidikan multikurltural tidak sekedar merevisi materi pembelajaran tetapi melakukan reformasi dalam sistem pembelajaran itu sendiri. Affirmative action dalam seleksi siswa sampai rekrutmen pengajar di Amerika adalah salah satu strategi untuk membuat perbaikan ketimpangan struktur terhadap kelompok minoritas. contoh yang lain adalah model “ sekolah pembauran” Iskandar muda di Medan yang memfasilitasi interaksi siswa dari berbagai latar belakang budaya dan menyusun program anak asuh lintas kelompok. Di Amerika Serikat bersamaan dengan masuknya wacana multikulturalisme, dilakukan berbagai lokakarya di sekolah-sekolah maupun di masyarakat luas untuk meningkatkan kepekaan sosial, toleransi dan mengurangi prasangka antar kelompok.

    Untuk menwujudkan model-model tersebut, pendidikan multikultural di Indonesia perlu memakai kombinasi model yang ada, agar seperti yang diajukan Gorski, pendidikan multikultural dapat mencakup tiga hal jenis transformasi, yaini: (1) transformasi diri; (2) transformasi sekolah dan proses belajar mengajar, dan (3) transformasi masyarakat.

    Menyusun pendidikan multikultural dalam tatanan masyarakat yang penuh permasalahan antar kelompok mengandung tantangan yang tidak ringan. Pendidikan multikultural tidak berarti sebatas “ merayakan keragaman” belaka. Apalagi jika tatanan masyarakat yang ada masih penuh diskriminasi dan bersifat rasis. Dapat pula dipertanyakan apakah mungkin meminta siswa yang dalam kehidupan sehari-hari mengalami penindasan karena warna kulitnya atau perbedaannya dari budaya yang dominan tersebut. Dalam kondisi demikian pendidikan multikutural lebih tepat diarahkan sebagai advokasi untuk menciptakan masyarakat yang toleran dan bebas toleransi.

    Adapun beberapa pendekatan dalam proses pendidikan multikultural, yaitu:

  • Maisah

    Sosio Akademika/Vol. 3/No. 01/Nopember 2014 16

    Pertama, tidak lagi terbatas pada menyamakan pandangan pendidikan (education) dengan persekolahan (shcooling) atau pendidikan multikultural dengan program-program sekolah formal. Pandangan yang lebih luas mengenai pendidikan sebagai transmisi kebudayaan membebaskan pendidik dari asumsi bahwa tanggung jawab primer mengembangkan kompetensi kebudayaan di kalangan anak didik semata-mata berada di tangan mereka dan justru semakin banyak pihak yang bertanggung jawab karena program-program sekolah seharusnya terkait dengan pembelajaran informal di luar sekolah.

    Kedua, menghindari pandangan yang menyamakan kebudayaan-kebudayaan dengan kelompok etnik adalah sama. Artinya, tidak perlu lagi mengasosiasikan kebudayaan semata-mata dengan kelompok-kelompok etnik sebagaimana yang terjadi selama ini. Secara tradisional, para pendidik mengososiasikan kebudayaan hanya dengan kelompok-kelompok sosial yang relatif self sufficient, ketimbang dengan sejumlah orang yang secara terus menerus dan berulang-ulang terlibat satu sama yang lain dalam satu atau lebih kegiatan. Dalam konteks pendidikan multikultural, pendekatan ini diharapkan dapat mengilhami para penyusun program-program pendidikan multikultural untuk melenyapkan kecendrungan memandang anak didik secara stereotif menurut identitas etnik mereka dan akan meningkatkan eksplorasi pemahaman yang lebih besar mengenai kesamaan dan perbedaan di kalangan anak didik dari berbagai kelompok etnik.

    Ketiga, karena pengembangan kompetensi dalam suatu “ kebudayaan baru” biasanya membutuhkan interaksi inisiatif dengan orang-orang yang sudah memiliki kompetensi, bahkan dapat dilihat lebih jelas bahwa upaya-upaya untuk mendukung sekolah-sekolah yang terpisah secara etnik adalah antitesis terhadap tujuan pendidikan multikultural. Mempertahankan dan memperluas solidaritas kelompok adalah menghambat

  • Pendidikan Multikultural Menuju Pendidikan Islam yang Humanis

    17 Sosio Akademika/Vol. 3/No. 01/Nopember 2014

    sosialisasi ke dalam kebudayaan baru. Pendidikan bagi pluralisme budaya dan pendidikan multikultural tidak dapat disamakan secara logis.

    Keempat, pendidikan multikultural meningkatkan kompetensi dalam beberapa kebudayaan, kebudayaan mana yang akan diadopsi ditentukan oleh situasi.

    Kelima, kemungkinan bahwa pendidikan (baik dalam manapun luar sekolah) meningkatkan kesadaran tentang kompetensi dalam beberapa kebudayaan. Kesadaran seperti ini kemudian akan menjauhkan kita dari konsep dwi budaya atau dikhotomi antara pribumi dan non-pribumi. Dikotomi semacam ini bersifat membatasi individu untuk sepenuhnya mengekspresikan diversitas kebudayaan. Pendekatan ini meningkatkan kesadaran akan multikulturalisme sebagai pengalaman normal manusia. Kesadaran ini mengandung makna bahwa pendidikan multikultural berpotensi untuk menghindari dikotomi dan mengembangkan apresiasi yang lebih baik melalui kompetensi kebudayaan yang ada pada diri anak didik.

    Dalam konteks keindonesiaan dan kebhinekaan, kelima pendekatan tersebut haruslah diselaraskan dengan kondisi masyarakat Indonesia. Masyarakat adalah kumpulan manusia atau individu-individu yang terjewantah dalam kelompok sosial dengan suatu tantangan budaya atau tradisi tertentu. Pendapat ini juga dikemukakan oleh Zakiah Darajat yang menyatakan, bahwa masyarakat secara sederhana diartikan sebagai kumpulan individu dan kelompok yang diikat oleh kesatuan negara, kebudayaan dan agama.

    Jadi dapat dipahami inti masyarakat adalah kumpulan besar individu yang hidup dan bekerja sama dalam masa relatif lama, sehingga individu-individu dapat memenuhi kebutuhan mereka dan menyerap watak sosial. Kondisi itu selanjutnya membuat sebagian mereka menjadi komunitas terorganisir yang berpikir tentang dirinya dan membedakan ekstensinya

  • Maisah

    Sosio Akademika/Vol. 3/No. 01/Nopember 2014 18

    dari ekstensi komunitas. Dari sisi lain, apabila kehidupan di dalam masyarakat berarti interaksi antara individu dan lingkungan sosialnya. maka yang menjadikan pembentukan individu tersebut adalah pendidikan atau dengan istilah lain masyarakat pendidik. Oleh karena itu, dalam melakukan kajian dasar kependidikan terhadap masyarakat. Secara garis besar dasar-dasar yang dimaksud adalah sebagai berikut: 1. Masyarakat tidak ada dengan sendirinya. Masyarakat adalah

    ekstensi yang hidup, dinamis, dan selalu berkembang, 2. Masyarakat bergantung pada upaya setiap individu untuk

    memenuhi kebutuhan melalui hubungan dengan individu lain yang berupaya memenuhi kebutuhan,

    3. Individu-individu, di dalam berinteraksi dan berupaya bersama guna memenuhi kebutuhan, melakukan penataan terhadap upaya tersebut dengan jalan apa yang disebut tantangan sosial,

    4. Setiap masyarakat bertanggung jawab atas pembentukan pola tingkah laku antara individu dan komunitas yang membentuk masyarakat,

    5. Pertumbuhan individu di dalam komunitas, keterikatan dengannya, dan perkembangannya di dalam bingkai yang menuntunnya bertanggung jawab terhadap tingkah lakunya.

    Berdasarkan penjelasan tersebut di atas, dalam dunia pendidikan, masyarakat sangat besar peranan dan pengaruhnya terhadap perkembangan intelektual dan kepribadian individu peserta didik. Sebab keberadaan masyarakat merupakan laboratorium dan sumber makro yang penuh alternatif untuk memperkaya pelaksanaan proses pendidikan. Untuk itu, setiap anggota masyarakat memiliki peranan dan tanggung jawab moral terhadap terlaksananya proses pendidikan. hal ini disebabkan adanya hubungan timbal balik antara masyarakat dan pendidikan. Dalam upaya memperdayakan masyarakat dalam dunia pendidikan merupakan satu hal penting untuk kemajuan pendidikan. Maka

  • Pendidikan Multikultural Menuju Pendidikan Islam yang Humanis

    19 Sosio Akademika/Vol. 3/No. 01/Nopember 2014

    dari itu, Umi Khumaidah menjelaskan ada beberapa sigfikansi pendidikan multikultural yaitu: 1. Pendidikan multikultural memandang bahwa manusia

    memiliki beberapa demensi yang harus diakomodir dan dikembangkan secara keseluruhan. Oriantasi pendidikan multikutural adalah untuk mamanusiakan manusia.

    2. Pendidikan multikultural tidak mentolirir adanya ketimpangan kurikulum. Pendidikan multikultural mengakui dan menghargai adanya perbedaan filosofi keilmuan, sesuai dengan keilmuan manusia yang beragam tersebut, seseorang akan mengembangkan dirinya sesuai dengan kebutuhan dan bakat serta minat yang dimilikinya. Maka dari itu, sangatlah tidak relevan ketika pendidikan multikultural hanya mengembangkan kualitas kognisi intelektual belaka.

    3. Pendidikan multikultural berupaya menjadi jembatan emas bagi keterpisahan lembaga pendidikan dari kemanusiaan masyarakat. Hal ini didasarkan pada asumsi bahwa pendidikan multikultural senantiasa mengakomodir semua keinginan dan kebutuhan semua masyarakat. Artinya pendidikan multikultural tidak boleh membedakan kebutuhan yang bersifat intelektual, spritual, material, emosional, etika, estetika, sosial, ekonomikal, dan transedental dari seluruh lapisan masyarakat dengan berbagai ragam stratanya.

    4. Pendidikan multikultural menghendaki biaya pendidikan menjadi sangat ringan dan dapat digapai oleh seluruh lapisan masyarakat (Umi Khumaidah 2004: 277).

    Pendidikan Multikultural Menuju Pendidikan Islam Pluralis Pendidikan Islam merupakan suatu sistem pendidikan

    untuk membentuk manusia muslim sesuai dengan cita-cita pandangan Islam. Sebagai suatu sistem, pendidikan Islam memiliki komponen-komponen atau faktor pendidikan secara keseluruhan yang mendukung terwujudnya pembentukan

  • Maisah

    Sosio Akademika/Vol. 3/No. 01/Nopember 2014 20

    muslim yang ideal. Berbeda dengan pendidikan Agama Islam yang lebih menekankan pada nilai-nilai Islam untuk memberi warna pada kualifikasi lulusan, maka pendidikan Islam lebih menekankan pada keperibadian muslim yang memiliki kualifikasi tertentu. Dengan demikian, sistem pendidikan Islam tidak hanya terbatas pada subyek pelajaran serta seluruh komponen atau faktor pendidikan, akan lebih dari itu (Ahmad Tafsir 1994).

    Untuk itu, setiap usaha, kegiatan dan tindakan yang disengaja untuk mencapai tujuan, menurut budaya keIslaman harus mempunyai landasan berpijak yang kuat yaitu: Al-Qur’an, As-Sunnah dan Ijtihad.

    Tiga landasan tersebut ditetapkan dan diaplikasi secara hirarki sebagaimana dijelaskan di dalam Hadits riawayat Al-Turmudzi berikut ini: “Rasullah Saw, mengutuskan Mu’adz ke Yaman, kemudian, beliau bertanya”Bagaimana kamu memutuskan suatu masalah? Ia (Mu’adz) menjawab, “saya akan memutuskannya dengan apa yang terdapat dalam al-Qur’an, Rasulullah Saw, kembali bertanya, “apabila persoalan tidak dijelaskan oleh al- Qur’an “Mu’adz menjawab,“ saya akan putuskan dengan sunnah Rasulullah Saw, kembali bertanya, apabila persoalan tidak dijelaskan dengan Sunnah Rasulullah Saw ? “Mu’adz menjawab “ Saya berijtihad dengan rakyu (rasio). “Kemudian, Rasulullah Saw bersabda, “ segala puji bagi Allah yang telah memberikan taufik kepada utusan Rasul-Nya”.

    Di era multikulturalisme dan pluralisme, pendidikan Islam sedang mendapat tantangan karena ketidak mampuannya dalam membebaskan peserta didik keluar dari eklusufitas beragama. Wacana kafir-iman, muslim-non muslim, surga dan neraka seringkali menjadi bahan pelajaran di kelas selalu dindktrinasi. Pelajaran teologi di ajarkan sekedar untuk memperkuat keimanan dan pencapaiannya menuju surga dan neraka tanpa dibarengi dengan kesadaran berdialog dengan

  • Pendidikan Multikultural Menuju Pendidikan Islam yang Humanis

    21 Sosio Akademika/Vol. 3/No. 01/Nopember 2014

    agama-agama lain. Kondisi inilah yang menjadikan pendidikan Islam sangat ekslusif dan tidak toleran. Padahal di era pluralisme dewasa ini, pendidikan Islam mesti melakukan reroriantasi filosofis paradigmatik tentang bagaimana membentuk kesadaran peserta didiknya berwajah ekslusif dan toleran. Dalam kontek inilah, pendidikan Islam sebagai media penyadaran umat dihadapkan pada problem bagaimana masyarakat Islam akan tumbuh pemahaman yang iklusif demi harmonisasi agama-agama di tengah kehidupan masyarakat. Tertanamnya kesadaran multikultural dan pluralitas masyarakat, akan menghasilkan corak paradigma beragama yang hanif dan toleran (Umi Khumaidah 2004: 284).

    Pendidikan agama pluralis-multikultur adalah model pendidikan yang menekankan pada nilai-nilai moral seperti kasih sayang, cinta sesama, tolong-menolong, toleransi, menghargai keberagaman perbedaan pendapat, dan sikap-sikap lain yang menjunjung kemanusiaan. Qodri, Menjelaskan bahwa moralitas, etika, budi pekerti adalah wujud dalam perilaku kehidupan bukan hanya dalam ucapan atau tulisan. Maka dari itu, penilaiannya pun tidak akan cukup kalau hanya lewat hafalan atau ujian tertulis di kelas. Akan lebih baik jika penilaiannya menggunakan penggukuran yang khusus didesain untuk menilai moralitas. Salah satu contohnya dengan melakukan penilaian setiap hari/waktu oleh semua guru dan tim khusus yang memenuhi persyaratan akuntabilitas, integritas, dan keperibadian sebagai contoh, serta teruji kejujurannya. Sudah barang tentu model seperti ini dibarengi dengan penciptaan budaya sekolah yang memang bermoral dan sekaligus mendukung praktek moral. Memang perlu ada penelitian dan diskusi yang itensif dan terus menerus mengenai pengukuran tersebut (A. Qodri A. Azizy 2003: 110).

    Muchlas Samani, juga mengemukakan ada beberapa butir jangkauan sikap dan perilaku yang harus ditanamkan pada diri seseorang manusia sebagai berikut:

  • Maisah

    Sosio Akademika/Vol. 3/No. 01/Nopember 2014 22

    1. Sikap dan perilaku dalam hubungan dengan Tuhan yaitu; Disiplin, beriman, bertaqwa, berpikir jauh ke depan, bersyukur, jujur, mawas diri, pemaaf, pemurah, pengabdian.

    2. Sikap dan perilaku dalam hubungan dengan diri sendiri yaitu; bekerja keras, berani memikul resiko, disiplin, berhati lemah lembut, berempati, berpikir matang, berpikir jauh ke depan, bersahaja, bersemangat, bersikap konstruktif, bertanggung jawab, bijaksana, cerdik, cermat, dinamis, efisien, gigih, hemat, jujur, berkemauan keras, kreatif, kukuh hati, lugas, mandiri, mawas diri, menghargai karya orang lain, menghargai kesehatan, menghargai waktu, pemaaf, pemurah, pengabdian, pengendalian diri, produktif, rajin, ramah tamah, rasa kasih sayang, rasa percaya diri, rela berkorban, sabar setia, adil, hormat, tertib, sportif, susila, tangguh, tegas, tekun, tepat janji/amanah, terbuka ulet.

    3. Sikap dan perilaku dalam hubungan dengan keluarga yaitu; bekerja keras, berpikir jauh ke depan, bijaksana, cerdik, cermat, jujur, berkemauan keras, lugas, menghargai kesehatan, menghargai waktu, tertib, pemaaf, pemurah, pengabdian, ramah tamah, rasa kasih sayang, rela berkorban, sabar, setia, adil, hormat, sportif, susila, tegas, tepat janji/amanah, terbuka.

    4. Sikap dan perilaku dalam hubungan dengan masyarakat dan bangsa yaitu; bekerja keras, berpikir jauh ke depan, bertegang rasa/toleran, bijaksana cerdik, cermat, jujur, berkemauan keras, lugas, setia, menghargai kesehatan, menghargai waktu, pemurah, pengabdian, ramah tamah, rasa kasih sayang, rela berkorban, adil, hormat, tertib, sportif, susila, tegas, tepat janji/amanah, terbuka

    5. Sikap dan perilaku dalam hubungan dengan alam sekitar yaitu; bekerja keras, berpikir jauh ke depan, menghargai kesehatan, pengabdian (Muchlas Saman Herianto 2012: 47).

  • Pendidikan Multikultural Menuju Pendidikan Islam yang Humanis

    23 Sosio Akademika/Vol. 3/No. 01/Nopember 2014

    Berdasarkan uraian tersebut di atas, dapat di simpulkan bahwa nilai-nilai sikap dan perilaku tersebut merupakan suatu hal yang sangat penting yang harus ditanamkan oleh seorang pendidik kepada anak didiknya. Oleh karena itu, menjadi tanggung jawab bersama yaitu pemerintah, orang tua dan masyarakat dalam membentuk karakter anak didik yang sesuai dengan salah satu Tujuan Pendidikan Nasional yaitu memiliki akhlakulkarimah yang senantiasa mendapat keridhaan dari Allah SWT.

    Kesimpulan Kebudayaan adalah buah budi manusia, melalui

    pendidikan multikultural dapat dikembangkan suatu pengakuan, penghargaan dan keadilan terhadap etnik minoritas baik yang menyangkut hak-hak universal yang melekat pada hak-hak individu maupun komunitasnya yang bersifat kolektif. Pendidikan multikultural adalah suatu pendekatan progresif untuk melakukan transformasi pendidikan yang secara menyeluruh membongkar kekurangan, kegagalan dan praktik-praktik diskriminatif dalam proses pendidikan. Pendidikan multikultural didasarkan pada gagasan keadilan sosial dan persamaan hak dalam pendidikan. Sedangkan dalam doktrin Islam sebenarnya tidak membeda-bedakan etnik, ras dan lain sebagainya dalam pendidikan. Manusia semua adalah sama, yang membedakannya adalah ketakwaan mereka kepada Allah SWT. Dalam Islam, pendidikan multikultural mencerminkan bagaimana tingginya penghargaan Islam terhadap Ilmu pengetahuan dan tidak ada perbedaan di antara manusia dalam bidang ilmu. Daftar Pustaka

    Ahmad Tafsir, 1994, Ilmu Pendidikan dalam perspektif Islam, Jakarta: Bumi Aksara.

    A. Qodri A, Azizy, 2003, Pendidikan (Agama) Untuk Membangun Etika Sosial, Semarang: Aneka Ilmu.

  • Maisah

    Sosio Akademika/Vol. 3/No. 01/Nopember 2014 24

    Azra Azyumardi, 2006, Paradigama baru,Pendidikan Nasional, Jakarta: Kompas.

    Faisal Jalal, 2001, Reformasi Pendidikan, Jakarta: Depdiknas- Bappenas, Adicitrakarya Nusa.

    H. A. R. Tilaar, 1999, Beberapa Agenda Reformasi Pendidikan Nasional dalam perspektif abad 21, Malang: Indonesia Tera.

    ________, 2003, Kekuasaan dan Pendidikan, Megelang: Indonesia Tera.

    Hamid Hasan, 2008, Pendekatan Multikultural untuk Penyempurnaan Kurikulum Nasional. Internet.

    Hariyanto, Muchlas Samani, 2012, Pendidikan Karakter, Bandung: Remaja Rosdakarya.

    K. I. Hajar Dewantara, 1976, Kebudayaan, Jogyakarta: Taman Siswa.

    Muhammad Ali, dkk, 2007, Ilmu dan Aplikasi Pendidikan, Bandung: Pedogogiana Press.

    Muhaemin, 2008, Artikel multikulturalisme dan Pendidikan multikultural. Internet.

    Musa Asy’arie, 2008, Atikel Pendidikan Multikultural dan konflik Bangsa. Internet.

    Sisdiknas, 2006, Undang-undang Republik Indonesia, Bandung: Citra Umbara.

    Umi Khumaidah, 2004, Pendidikan Islam dan Tantangan Globalisasi, Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.

  • PETUNJUK PENULISAN ARTIKEL Petunjuk Umum 1. Artikel harus merupakan produk ilmiah orisinil dan belum pernah dipublikasikan

    di media dan terbitan manapun. 2. Artikel ditulis dalam bahasa Indonesia baku (atau bahasa asing) dengan ragam

    tulisan ilmiah atau ilmiah popular, tetapi buka ragam komunikasi lisan. 3. Panjang tulisan antara 15 – 25 halaman kwarto atau A4 dengan simple spasi. 4. Artikel diserahkan dalam bentuk print out dan email. Petunjuk Teknis 1. Kerangka tulisan meliputi judul, abstrak, kata kunci, serta isi. 2. Abstrak memuat inti permasalahan dengan panjang tulisan antara 200 – 250

    kata, atau maksimal satu halaman dalam bentuk bahasa Indonesia, Inggris dan atau bahasa Arab.

    3. Kata kunci bisa berbentuk kata maupun prase. 4. Isi terdiri dari pendahuluan, pokok bahasan dan penutup. 5. Teknik penulisan adalah dengan menggunakan catatan dalam teks (intrateks)

    dengan ketentuan sebagai berikut; nama pengarang, kurung buka, tahun terbit, titik dua, halaman, kurung tutup dan koma. Contoh : Syari’at menurut Mastuhu (1994: 4), memiliki dua pengertian penting, yaitu ketetapan dan hukum Allah yang sempurna.

    6. Setiap tulisan atau kutipan yang memerlukan penjelasan lebih lanjut dengan menggunakan endnotes.

    Hak Penulis Penulis artikel berhak mendapat hard copy sebanyak 2 (dua) eksemplar. Alamat Redaksi STAI SYEKH MAULANA QORI BANGKO Jln. Prof. Muhammad Yamin SH, Pasar Atas Bangko-Jambi Telp. 081386811457 e-mail : [email protected]

    Sosio Akademika: Jurnal Pendidikan Islam, Sosial dan Keagamaan,

    merupakan jurnal ilmiah populer membahas masalah Pendidikan, Sosial dan Keagamaan yang aktual, terbit berdasarkan SK Ketua 1307/29/STAI-

    SMQ/SK/Ak/III/2014 sebagai wahana komunikasi dan informasi antar Peneliti, Ilmuan, Dosen dan Cendikiawan.