PRINT REFERAT & CASE REPORT SN.doc

49
REFERAT & CASE REPORT “HIPOTIROID KONGENITAL” Pembimbing : Dr. Supri Sp. A Disusun Oleh: Sharly Ayu Puspita 1061050036 KEPANITERAAN ILMU KESEHATAN ANAK

Transcript of PRINT REFERAT & CASE REPORT SN.doc

REFERAT & CASE REPORT

HIPOTIROID KONGENITAL

Pembimbing :

Dr. Supri Sp. ADisusun Oleh:

Sharly Ayu Puspita1061050036KEPANITERAAN ILMU KESEHATAN ANAK

PERIODE 02 MARET 9 MEI 2015FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIABAB I

LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS PASIENNama

: An. ATanggal Lahir: 06 Oktober 2009

Umur: 5 tahun

Jenis Kelamin: Laki - laki

Agama: Islam

Pendidkan: -

Alamat: Kamp. CipayungORANG TUA PASIEN

KeteranganAyahIbu

Nama

Usia

Jenis Kelamin

Suku

Agama

Pendidikan

Pekerjaan

Alamat

PenghasilanTn. A R

13-09-1972Laki-laki

JawaIslam

SMA

Buruh

Kamp. Cipayung

-Ny. N H

24-11-1973Perempuan

JawaIslam

SMP

IRT

Kamp. Cipayung

-

Hubungan pasien dengan orang tua adalah anak kandung

B. ANAMNESIS

Didapatkan keterangan dari ibu pasien (aloanamnesis).

Pada hari Senin, tanggal 16 Oktober 2014. Jam 12.50 WIB

Keluhan Utama : BengkakKeluhan Tambahan: Demam, urine sedikitRiwayat Perjalanan Penyakit Sekarang

Pasien datang dengan keluhan bengkak seluruh tubuh. Bengkak yang dirasakan timbul sejak 1 bulan yang lalu. Awal mula bengkak timbul di sekitar mata, kemudian makin hari bengkak timbul di wajah, tangan, kaki, dan di seluruh tubuh. Pasien mengalami demam sekitar 1 minggu sebelum bengkak timbul. Demam yang dirasakan hilang timbul. Pasien juga mengeluh bahwa BAK-nya menjadi sedikit sejak 1 minggu yang lalu. Warna urinenya tidak seperti cucian daging. Selama pasien mengalami keluhan bengkak seperti ini, pasien tidak mengalami sesak nafas, mual, muntah, dan batuk. Nafsu makan pasien baik. BAB tidak ada keluhan. Alergi disangkal.Riwayat Penyakit Dahulu

Pasien belum pernah menderita keluhan seperti ini sebelumnya. Pasien belum pernah dirawat di Rumah Sakit.PenyakitKeteranganPenyakitKeterangan

Faringitis/TonsilitisDisangkalEnteritisDisangkal

PneumoniaDisangkalDisentri basilerDisangkal

BronkhitisDisangkalDisentri AmubiasisDisangkal

MorbiliDisangkalTyphus AbdominalisDisangkal

KejangDisangkalCacingDisangkal

VaricellaDisangkalOperasiDisangkal

DifteriDisangkalGegar OtakDisangkal

MalariaDisangkalFrakturDisangkal

PolioDisangkalRefraksi ObatDisangkal

Riwayat Penyakit Keluarga

Nenek pasien pernah mengalami keluhan bengkak seperti ini, dan dinyatakan mengalami penyakit hepatitis.Riwayat Kelahiran

Lahir cukup bulan dengan cara spontan ditolong oleh paraji. Orang tua pasien lupa BBL dan PBL pasien, namun ibu pasien berkata bahwa pasien langsung menangis setelah lahir. Tidak ada kelainan bawaan.Perawatan Postnatal : Periksa di bidan dan keadaan anak sehatRiwayat Makan

0-1 tahun

Umur/bulanASI/PASIBuah/BuskuitBubur SusuNasi Tim

0-22-4

4-6

6-8

8-10

10-12ASI ad libitumASI ad libitumASI ad libitum

ASI ad libitum

ASI ad libitum

ASI ad libitum--

Buah 1x/hari

Buah 1x/hari, biscuit 2x/hari

Buah 1x/hari, biscuit 2x/hari

Buah 1x/hari, biscuit 2-3x/hari--

Bubur susu 2x/hari

Bubur susu 1x/hari

Bubur susu 1x/hari

Bubur susu/hari--

-

--

1x/hari

1x/hari

1-3x/hari

Saat ini

Jenis MakananFrekuensi dan Jumlah

Nasi / pengganti

Sayur

Daging

Telur

Ikan

Tahu

Tempe

Susu

Buah3x/hari, 1 mangkuk sedang

Bayam, sawi, wortel 1-2x/hr

1-2x/minggu1-2x/hari, digoreng atau direbus

1-2x/minggu, digoreng dan dihaluskan

1-2x/minggu1-2x/minggu1-2 gelas/hari

1-2x/hari

RIWAYAT TUMBUH KEMBANG

Tengkurap: 5 bulan

Duduk

: 7 bulan

Gigi pertama: 6 bulan

Berdiri

: 8 bulan

Berjalan

: 11 bulan

Berbicara: 20 bulan Membaca: 2 tahun Menulis

: 2 tahunGangguan perkembangan mental atau emosi : Tidak ada

Kesimpulan : Tumbuh kembang baik, sesuai umur

Riwayat Imunisasi

Riwayat imunisasi tidak lengkap.RIWAYAT KELUARGAData keluarga

KeteranganAyahIbu

Pernikahan ke

Umur saat menikah

Konsanguitas

Keadaan kesehatan1

25

Tidak ada

Sehat1

24Tidak ada

Sehat

Corak Reproduksi

NoUmurJenis KelaminHidupLahir MatiAbortusMatiketerangan

1

2

5 tahun3 tahun

Laki-lakiPerempuan

Hidup

Hidup-

-

-

-

-

-

PasienSehat

C. PEMERIKSAAN FISIK

Tanggal : 16 Oktober 2014

Jam : pkl 12.50 WIB

Keadaan Umum: Tampak sakit sedang

Kesadaran

: Composmentis (E4V5M6)Tanda VitalTekanan darah

: 100/60 mmHgFrekuensi nadi

: 96x/menit (kuat angkat, reguler, isi cukup)

Frekuensi pernafasan: 22x/menit (adekuat, reguler)

Suhu (axilla)

: 36,2oCData Antopometri

Berat Badan: 20 kg

Tinggi Badan: 102 cm

LPT

: 0,75m2Pemeriksaan SistemKepala

: Normocephali, rambut warna hitam, pertumbuhan merata

Mata

: Konjungtiva pucat -/- , sklera ikterik -/-, edema palpebra atau wajah +/+, pupil isokor dengan diameter 3mm/3mm, refleks cahaya langsung dan tidak langsung +/+

Telinga

: Serumen -/-Hidung

: Cavum nasi lapang/lapang, sekret -/-, pernafasan cuping hidung -Mulut

Bibir : Tidak kering Mukosa: Basah

Lidah: Tidak kotor

Tonsil: T1-T1, tidak hiperemisLeher: KGB tidak teraba membesarThorax

Inspeksi: Simetris saat inspirasi dan ekspirasi, retraksi suprasternal (-), retraksi intrakostal (-), retraksi epigastrium (-), ictus cordis tidak terlihat

Palpasi: Gerakan nafas teraba simetris saat inspirasi dan ekspirasi, ictus cordis teraba di ICS IV linea midclavikularis sinistra

Perkusi: sonor pada lapangan paru

Batas-batas jantung:

Batas atas : ICS III linea parasternalis sinistra

Batas kanan: ICS IV linea sternalis dextra

Batas kiri : ICS V linea midclavicula sinistra

Auskultasi: Bunyi nafas bronkhial, ronkhi -/-, wheezing -/-

Bunyi jantung I dan II reguler, murmur (-), gallop (-)

Abdomen

Inspeksi: Perut tampak membuncit Palpasi : Supel, hepar dan lien sulit dinilai Perkusi: Shifting dullness (+), undulasi (+) Auskultasi: Bising usus (+) Frekuensi 5x/ menit

Tulang belakang: Tulang belakang teraba rata, tidak teraba skoliosis, tidak tampak adanya massa sepanjang garis vertebra

Anggota gerak: Akral hangat, capillary refill time 2 mg/mg atau dipstik 2+), hipoalbuminemia 2,5 g/dL, edema, dan dapat disertai hiperkolesterolemia.

II. Epidemiologi

Sindrom nefrotik (SN) pada anak merupakan penyakit ginjal anak yang paling sering ditemukan. Insidens SN pada anak dalam kepustakaan di Amerika Serikat dan Inggris adalah 2-7 kasus baru per 100.000 anak per tahun, dengan prevalensi berkisar 12 16 kasus per 100.000 anak. Di negara berkembang insidensnya lebih tinggi. Di Indonesia dilaporkan 6 per 100.000 per tahun pada anak berusia kurang dari 14 tahun. Perbandingan anak laki-laki dan perempuan 2:1.III. Klasifikasi

I. Berdasarkan etiologi

1. Sindrom nefrotik bawaan

Diturunkan sebagai resesif automosal atau karena reaksi maternofetal. Resisten terhadap semua pengobatan. Gejalanya adalah edema pada neonatus. Prognosis buruk dan biasanya penderita meninggal dalam bulan-bulan pertama kehidupannya.

2. Sindrom nefrotik sekunder.Disebut sindrom nefrotik sekunder apabila penyakit dasarnya adalah penyakit sistemik karena obat - obatan, alergen, toksin, dan lain - lain. Disebabkan oleh :

a. Malaria kuartana atau parasit lain.

b. Penyakit kolagen seperti lupus eritematosus diseminata, purpura anafilaktoid.

c. Glomerulonefritis akut atau glomerulonefritis kronis, trombosis vena renalis.

d. Bahan kimia seperti trimetadion, paradion, penisilamin, garam emas, sengatan lebah racun otak, air raksa.

e. Amiloidosis, penyakit sickle sel, hiperprolinemia, nefritis membranoproliferatif hipokomplementemik.

3. Sindrom nefrotik idiopatik atau primerSindrom nefrotik yang tidak menyertai penyakit sistemik. Penyakit ini ditemukan pada 90% kasus anak. Berdasarkan gejala klinis SN primer:

a. Kongenital

Bentuk kongenital ditemukan sejak lahir atau segera sesudahnya. Pada umumnya kasus-kasus ini adalah SN tipe Finlandia, suatu penyakit yang diturunkan secara resesif autosom

b. Responsif steroidKelompok responsive steroid sebagian besar terdiri atas anak-anak dengan sindrom nefrotik kelainan minimal

c. Resisten streroidKelompok resisten steroid terdiri atas anak-anak dengan kelainan glomerulus lain

II. Berdasarkan kelainan patologis

SN dilakukan biopsi ginjal maka dibagi menjadi :1. Penyakit perubahan minimal ( nefrosis lemak)

Ditandai secara khas oleh glomeruli yang tampaknya normal dibawah mikroskop cahaya, tetapi tampak adanya kehilangan difus epitel tajuk kaki apabila diteropong dengan mikroskop elektron.

2. Glomerulonefritis membranosa ( Nefropati membranosa )

Penyakit progresif lambat pada dewasa muda dan usia pertengahan ini ditandai secara morfologi khas dengan kelainan berbatas jelas pada membrana basalis glomerulus. Glomerulonefritis membranosa adalah suatu bentuk penyakit kompleks imun.

3. Glomerulonefritis proliferatif membranosa

Bentuk glomerulonefritis ini ditandai dengan penebalan membran dan proliferasi selular.

4. Glomerulo segmental fokal

Penderita dengan lesi ini mempunyai insidens hematuria yang lebih tinggi dan hipertensi, proteinuria nonselektifKelainan histopatologik glomerulus pada sindrom nefrotik primer dikelompokkan menurut rekomendasi dari ISKDC (International Study of Kidney Disease in Children). Kelainan glomerulus ini sebagian besar ditegakkan melalui pemeriksaan mikroskop cahaya, dan apabila diperlukan, disempurnakan dengan pemeriksaan mikroskop elektron dan imunofluoresensi. Tabel di bawah ini menggambarkan klasifikasi histopatologik sindrom nefrotik pada anak berdasarkan istilah dan terminologi menurut rekomendasi ISKDC (International Study of Kidney Diseases in Children, 1970). Klasifikasi kelainan glomerulus pada sindrom nefrotik primer

Kelainan minimal (KM) Glomerulosklerosis (GS) Glomerulosklerosis fokal segmental (GSFS) Glomerulosklerosis fokal global (GSFG) Glomerulonefritis proliferatif mesangial difus (GNPMD) Glomerulonefritis proliferatif mesangial difus eksudatif Glomerulonefritis kresentik (GNK) Glomerulonefritis membrano-proliferatif (GNMP) GNMP tipe I dengan deposit subendotelial GNMP tipe II dengan deposit intramembran GNMP tipe III dengan deposit transmembran/subepitelial Glomerulopati membranosa (GM) Glomerulonefritis kronik lanjut (GNKL)

Sindrom nefrotik primer yang banyak menyerang anak biasanya berupa sindrom nefrotik tipe kelainan minimal. IV. PatofisiologiReaksi antigen antibodi menyebabkan permeabilitas membran basalis glomerulus meningkat dan diikuti kebocoran sejumlah protein (albumin). Tubuh kehilangan albumin lebih dari 3,5 gram/hari menyebabkan hipoalbuminemia, diikuti gambaran klinis sindrom nefrotik seperti sembab, hiperliproproteinemia dan lipiduria.

Patofisiologi beberapa gejala dari sindrom nefrotik :

1. Proteinuria (albuminuria)

Proteinuria (albuminuria) masif merupakan penyebab utama terjadinya sindrom nefrotik, namun penyebab terjadinya proteinuria belum diketahui benar. Salah satu teori yang dapat menjelaskan adalah hilangnya muatan negatif yang biasanya terdapat di sepanjang endotel kapiler glomerulus dan membran basal. Hilangnya muatan negatif tersebut menyebabkan albumin yang bermuatan negatif tertarik keluar menembus sawar kapiler glomerulus. Terdapat peningkatan permeabilitas membran basalis kapiler - kapiler glomeruli, disertai peningkatan filtrasi protein plasma dan akhirnya terjadi proteinuria (albuminuria).2. Hipoalbuminemia

Plasma mengandung macam-macam protein, sebagian besar menempati ruangan ekstravaskular. Hepar memiliki peranan penting untuk sintesis protein bila tubuh kehilangan sejumlah protein, baik renal maupun non renal. Mekanisme kompensasi dari hepar untuk meningkatkan sintesis albumin, terutama untuk mempertahankan komposisi protein dalam ruangan ekstravaskular dan intravaskular. Walaupun sintesis albumin meningkat dalam hepar, selalu terdapat hipoalbuminemia pada setiap sindrom nefrotik. Keadaan hipoalbuminemia ini mungkin disebabkan beberapa factor : Kehilangan sejumlah protein dari tubuh melalui urin (proteinuria) dan usus (protein losing enteropathy)

Katabolisme albumin, pemasukan protein berkurang karena nafsu makan menurun dan mualBila kompensasi sintesis albumin dalam hepar tidak adekuat, plasma albumin menurun, dan terjadi hipoalbuminemia. Hipoalbuminemia ini akan diikuti oleh hipovolemia yang mungkin menyebabkan uremia pre-renal dan tidak jarang terjadi oligouric acute renal failure. Penurunan faal ginjal ini akan mengurangi filtrasi natrium Na+ dari glomerulus (glomerular sodium filtration) tetapi keadaan hipoalbuminemia ini akan bertindak untuk mencegah resorpsi natrium Na+ ke dalam kapiler - kapiler peritubular. Resorpsi natrium Na+ secara pasif sepanjang Loop of Henle bersamaan dengan resorpsi ion Cl- secara aktif sebagai akibat rangsangan dari keadaan hipovolemia. Retensi natrium dan air yang berhubungan dengan sistem renin-angiotensin-aldosteron (RAA) dapat terjadi bila sindroma nefrotik ini telah memperlihatkan tanda - tanda aldosteronisme sekunder.3. EdemaHipoalbuminemia menyebabkan penurunan tekanan onkotik dari kapiler -kapiler glomeruli, diikuti langsung oleh difusi cairan ke jaringan interstisial, dan menyebabkan edema. Penurunan tekanan onkotik mungkin disertai penurunan volume plasma dan hipovolemia. Hipovolemia menyebabkan retensi natrium dan air. Proteinuria menyebabkan hipoalbuminemia dan penurunan tekanan onkotik dari kapiler-kapiler glomeruli dan akhirnya terjadi edema.Mekanisme edema dari sindrom nefrotik dapat melalui jalur berikut :

a. Jalur langsung atau direk

Penurunan tekanan onkotik dari kapiler glomerulus dapat langsung menyebabkan difusi cairan ke dalam jaringan interstisial dan dinamakan edemab. Jalur tidak langsung atau indirek

Penurunan tekanan onkotik dari kepiler glomerulus dapat menyebabkan penurunan volume darah yang menimbulkan konsekuensi berikut:

Aktivasi sistem renin angiotensin aldosteron

Kenaikan konsentrasi hormon aldosteron akan mempengaruhi sel - sel tubulus ginjal untuk mengabsorbsi ion natrium sehingga ekskresi ion natrium menurun.

Kenaikan aktivasi saraf simpatis dan konsentrasi katekolamin

Kenaikan aktivasi saraf simpatetik dan konsentrasi katekolamin, menyebabkan tahanan atau resistensi vaskuler glomerulus meningkat. Kenaikan tahanan vaskuler renal ini dapat diperberat oleh sistem renin-angiotensin.

V. Gejala Klinis

Manifestasi klinik utama adalah edema, yang tampak pada sekitar 95% anak dengan sindrom nefrotik. Seringkali edema timbul secara lambat sehingga keluarga mengira sang anak bertambah gemuk. Pada fase awal edema sering bersifat intermiten; biasanya awalnya tampak pada daerah-daerah yang mempunyai resistensi jaringan yang rendah (misalnya daerah periorbita, skrotum atau labia). Akhirnya sembab menjadi menyeluruh dan masif (anasarka). Bengkak bersifat lunak, meninggalkan bekas bila ditekan (pitting edema). Sembab biasanya tampak lebih hebat pada pasien SNKM dibandingkan pasien-pasien GSFS atau GNMP. Hal tersebut disebabkan karena proteinuria dan hipoproteinemia lebih hebat pada pasien SNKM. Gangguan gastrointestinal sering timbul dalam perjalanan penyakit sindrom nefrotik. Diare sering dialami pasien dengan edema masif yang disebabkan edema mukosa usus. Hepatomegali disebabkan sintesis albumin yang meningkat, atau edema atau keduanya. Pada beberapa pasien, nyeri perut yang kadang-kadang berat, dapat terjadi pada sindrom nefrotik yang sedang kambuh karena sembab dinding perut atau pembengkakan hati. Nafsu makan menurun karena edema. Anoreksia dan terbuangnya protein mengakibatkan malnutrisi berat terutama pada pasien sindrom nefrotik resisten-steroid. Asites berat dapat menimbulkan hernia umbilikalis dan prolaps ani. Oleh karena adanya distensi abdomen baik disertai efusi pleura atau tidak disertai efusi pleura, maka fungsi pernapasan sering terganggu, bahkan kadang - kadang menjadi gawat. Keadaan ini dapat diatasi dengan pemberian infus albumin dan diuretik.

Tanda utama sindrom nefrotik adalah proteinuria yang masif yaitu > 40 mg/m2/jam atau > 50 mg/kg/24 jam; biasanya berkisar antara 1-10 gram per hari. Pasien SNKM biasanya mengeluarkan protein yang lebih besar dari pasien-pasien dengan tipe yang lain. Hipoalbuminemia merupakan tanda utama kedua. Kadar albumin serum < 2.5 g/dL. Hiperlipidemia merupakan gejala umum pada sindrom nefrotik, dan umumnya, berkorelasi terbalik dengan kadar albumin serum. Kadar kolesterol LDL dan VLDL meningkat, sedangkan kadar kolesterol HDL menurun. Kadar lipid tetap tinggi sampai 1-3 bulan setelah remisi sempurna dari proteinuria.Hematuria mikroskopik kadang-kadang terlihat pada sindrom nefrotik, namun tidak dapat dijadikan petanda untuk membedakan berbagai tipe sindrom nefrotik. Fungsi ginjal tetap normal pada sebagian besar pasien pada saat awal penyakit. Penurunan fungsi ginjal yang tercermin dari peningkatan kreatinin serum biasanya terjadi pada sindrom nefrotik dari tipe histologik yang bukan SNKM.VI. Penegakkan Diagnosis

Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.I. Anamnesis

Keluhan yang sering ditemukan adalah bengkak di ke dua kelopak mata, perut, tungkai, atau seluruh tubuh dan dapat disertai jumlah urin yang berkurang. Keluhan lain juga dapat ditemukan seperti urin berwarna kemerahan.II. Pemeriksaan fisik

Pada pemeriksaan fisik sindrom nefrotik dapat ditemukan edema di kedua kelopak mata, tungkai, atau adanya asites dan edema skrotum atau labia. Kadang-kadang ditemukan hipertensiIII. Pemeriksaan penunjang1. Urinalisis. Biakan urin hanya dilakukan bila didapatkan gejala klinis yang mengarah kepada infeksi saluran kemih.2. Protein urin kuantitatif, dapat menggunakan urin 24 jam atau rasio protein/kreatinin pada urin pertama pagi hari

3. Pemeriksaan darah- Darah tepi lengkap (hemoglobin, leukosit, hitung jenis leukosit, trombosit, hematokrit, LED)

- Albumin dan kolesterol serum- Ureum, kreatinin serta klirens kreatinin dengan cara klasik atau dengan rumus Schwartz-Kadar komplemen C3; bila dicurigai lupus eritematosus sistemik 1.4 pemeriksaan ditambah dengan komplemen C4, ANA (anti nuclear antibody), dan anti ds-DNAPada urinalisis ditemukan proteinuria masif (3+ sampai 4+), dapat disertai hematuria. Pada pemeriksaan darah didapatkan hipoalbuminemia (< 2,5 g/dl), hiperkolesterolemia, dan laju endap darah yang meningkat, rasio albumin/globulin terbalik. Kadar ureum dan kreatinin umumnya normal kecuali ada penurunan fungsi ginjal.VII. Komplikasi Syok akibat sepsis, emboli atau hipovolemia

Thrombosis akibat hiperkoagulabilitas

Infeksi sekunder, terutama infeksi kulit yang disebabkan oleh Streptoccocus, Stafilococcus Hambatan pertumbuhan

Gagal ginjal akut atau kronik Efek samping steroid, misalnya sindrom Cushing, hipertensi, osteoporosis, gangguan emosi dan perilaku

VIII. PenatalaksanaanTatalaksana UmumAnak dengan manifestasi klinis SN pertama kali, sebaiknya dirawat di rumah sakit dengan tujuan untuk mempercepat pemeriksaan dan evaluasi pengaturan diit, penanggulangan edema, memulai pengobatan steroid, dan edukasi orangtua. Sebelum pengobatan steroid dimulai, dilakukan pemeriksaan - pemeriksaan berikut:

Pengukuran berat badan dan tinggi badan

Pengukuran tekanan darah

Pemeriksaan fisis untuk mencari tanda atau gejala penyakit sistemik, seperti lupus eritematosus sistemik, purpura Henoch-Schonlein

Mencari fokus infeksi di gigi-geligi, telinga, ataupun kecacingan

Setiap infeksi perlu dieradikasi lebih dahulu sebelum terapi steroid dimulai. Melakukan uji Mantoux. Bila hasilnya positif diberikan profilaksis. INH selama 6 bulan bersama steroid, dan bila ditemukan tuberkulosis diberikan obat antituberkulosis (OAT).Istilah yang menggambarkan respons terapi steroid pada anak dengan sindrom nefrotik:Remisi

Proteinuria negatif atau trace (proteinuria < 4 mg/m2 LPB/jam) 3 hari berturut-turut dalam 1 minggu

Relaps

Proteinuria 2+ (proteinuria >40 mg/m2 LPB/jam) 3 hari berturut-turut dalam 1 minggu

Relaps jarang

Relaps kurang dari 2 x dalam 6 bulan pertama setelah respons awal atau kurang dari 4 x per tahun pengamatan

Relaps sering (frequent relaps)

Relaps 2 x dalam 6 bulan pertama setelah respons awal atau 4 x dalam periode 1 tahun

Dependen steroid

Relaps 2 x berurutan pada saat dosis steroid diturunkan (alternating) atau dalam 14 hari setelah pengobatan dihentikan

Resisten steroid

Tidak terjadi remisi pada pengobatan prednison dosis penuh (full dose) 2 mg/kgbb/hari selama 4 minggu.

Sensitif steroid. Remisi terjadi pada pemberian prednisone dosis penuh selama 4 minggu

Diitetik

Pemberian diit tinggi protein dianggap merupakan kontraindikasi karena akan menambah beban glomerulus untuk mengeluarkan sisa metabolisme protein (hiperfiltrasi) dan menyebabkan sklerosis glomerulus. Bila diberi diit rendah protein akan terjadi malnutrisi energi protein (MEP) dan menyebabkan hambatan pertumbuhan anak. Jadi cukup diberikan diit protein normal sesuai dengan RDA (recommended daily allowances) yaitu 1,5-2 g/kgbb/hari. Diit rendah garam (1-2 g/hari) hanya diperlukan selama anak menderita edema. DiuretikRestriksi cairan dianjurkan selama ada edema berat. Biasanya diberikan loop diuretic seperti furosemid 1-3 mg/kgbb/hari, bila perlu dikombinasikan dengan spironolakton (antagonis aldosteron, diuretik hemat kalium) 2-4 mg/kgbb/hari. Sebelum pemberian diuretik, perlu disingkirkan kemungkinan hipovolemia. Pada pemakaian diuretik lebih dari 1-2 minggu perlu dilakukan pemantauan elektrolit kalium dan natrium darah. Bila pemberian diuretik tidak berhasil (edema refrakter), biasanya terjadi karena hipovolemia atau hipoalbuminemia berat ( 1 g/dL), dapat diberikan infus albumin 20-25% dengan dosis 1 g/kgbb selama 2-4 jam untuk menarik cairan dari jaringan interstisial dan diakhiri dengan pemberian furosemid intravena 1-2 mg/kgbb. Bila pasien tidak mampu dari segi biaya, dapat diberikan plasma 20 ml/kgbb/hari secara pelan-pelan 10 tetes/menit untuk mencegah terjadinya komplikasi dekompensasi jantung. Bila diperlukan, suspensi albumin dapat diberikan selang-sehari untuk memberi kesempatan pergeseran cairan dan mencegah overload cairan. Bila asites sedemikian berat sehingga mengganggu pernapasan dapat dilakukan pungsi asites berulang. Bila pasien tidak mampu dari segi biaya, dapat diberikan plasma 20 ml/kgbb/hari secara pelan-pelan 10 tetes per menit untuk mencegah terjadinya komplikasi dekompensasi jantung. Bila diperlukan, suspensi albumin dapat diberikan selang-sehari untuk memberi kesempatan pergeseran cairan dan mencegah overload cairan. Bila asites sedemikian berat sehingga mengganggu pernapasan dapat dilakukan pungsi asites berulang.

ImunisasiPasien SN yang sedang mendapat pengobatan kortikosteroid >2 mg/kgbb/ hari atau total >20 mg/hari, selama lebih dari 14 hari, merupakan pasien imunokompromais. Pasien SN dalam keadaan ini dan dalam 6 minggu setelah obat dihentikan hanya boleh diberikan vaksin virus mati, seperti IPV (inactivated polio vaccine). Setelah penghentian prednison selama 6 minggu dapat diberikan vaksin virus hidup, seperti polio oral, campak, MMR, varisela. Semua anak dengan SN sangat dianjurkan untuk mendapat imunisasi terhadap infeksi pneumokokus dan varisela.PENGOBATAN DENGAN KORTIKOSTEROID

Pada SN idiopatik, kortikosteroid merupakan pengobatan awal, kecuali bila ada kontraindikasi. Jenis steroid yang diberikan adalah prednison atau prednisolon.

A. TERAPI INSIAL

Terapi inisial pada anak dengan sindrom nefrotik idiopatik tanpa kontraindikasi steroid sesuai dengan anjuran ISKDC adalahdiberikan prednison 60 mg/m2 LPB/hari atau 2 mg/kgbb/hari (maksimal 80 mg/hari) dalam dosis terbagi, untuk menginduksi remisi. Dosis prednison dihitung sesuai dengan berat badan ideal (berat badan terhadap tinggi badan). Prednison dosis penuh (full dose) inisial diberikan selama 4 minggu. Bila terjadi remisi dalam 4 minggu pertama, dilanjutkan dengan 4 minggu kedua dengan dosis 40 mg/m2 LPB (2/3 dosis awal) atau 1,5 mg/kgbb/hari, secara alternating (selang sehari), 1 x sehari setelah makan pagi. Bila setelah 4 minggu pengobatan steroid dosis penuh, tidak terjadi remisi, pasien dinyatakan sebagai resisten steroid.B. PENGOBATAN SN RELAPS

Pengobatan SN relaps diberikan prednison dosis penuh sampai remisi (maksimal 4 minggu) dilanjutkan dengan dosis alternating selama 4 minggu. Pada pasien SN remisi yang mengalami proteinuria kembali ++ tetapi tanpa edema, sebelum pemberian prednison, dicari lebih dahulu pemicunya, biasanya infeksi saluran nafas atas. Bila terdapat infeksi diberikan antibiotik 5-7 hari, dan bila kemudian proteinuria menghilang tidak perlu diberikan pengobatan relaps. Bila sejak awal ditemukan proteinuria ++ disertai edema, maka diagnosis relaps dapat ditegakkan, dan prednison mulai diberikan.

C.PENGOBATAN SN RELAPS SERING ATAU DEPENDEN STEROID

Terdapat 4 opsi pengobatan SN relaps sering atau dependen steroid:

Pemberian steroid jangka panjang

Pemberian levamisol

Pengobatan dengan sitostatik

Pengobatan dengan siklosporin, atau mikofenolat mofetil (opsi 4. terakhir) Selain itu, perlu dicari fokus infeksi seperti tuberkulosis, infeksi di gigi, radang telinga tengah, atau kecacingan.

1. Steroid jangka panjangPada anak yang telah dinyatakan relaps sering atau dependen steroid, setelah remisi dengan prednison dosis penuh, diteruskan dengan steroid dosis 1,5 mg/kgbb secara alternating. Dosis ini kemudian diturunkan perlahan/bertahap 0,2 mg/kgbb setiap 2 minggu. Penurunan dosis tersebut dilakukan sampai dosis terkecil yang tidak menimbulkan relaps yaitu antara 0,1 0,5 mg/kgbb alternating. Dosis ini disebut dosis threshold dan dapat dipertahankan selama 6-12 bulan, kemudian dicoba dihentikan. Umumnya anak usia sekolah dapat bertoleransi dengan prednison 0,5 mg/kgbb, sedangkan anak usia pra sekolah sampai 1 mg/kgbb secara alternating. Bila relaps terjadi pada dosis prednison antara 0,1 0,5 mg/kgbb alternating, maka relaps tersebut diterapi dengan prednison 1 mg/kgbb dalam dosis terbagi, diberikan setiap hari sampai terjadi remisi. Setelah remisi maka prednison diturunkan menjadi 0,8 mg/kgbb diberikan secara alternating, kemudian diturunkan 0,2 mg/kgbb setiap 2 minggu, sampai satu tahap (0,2 mg/kgbb) di atas dosis prednison pada saat terjadi relaps yang sebelumnya atau relaps yang terakhir. Bila relaps terjadi pada dosis prednison rumat > 0,5 mg/kgbb alternating, tetapi < 1,0 mg/kgbb alternating tanpa efek samping yang berat, dapat dicoba dikombinasikan dengan levamisol selang sehari 2,5 mg/kgbb selama 4-12 bulan, atau langsung diberikan siklofosfamid (CPA). Bila terjadi keadaan-keadaan di bawah ini:

1. Relaps pada dosis rumat > 1 mg/kgbb alternating atau

2. Dosis rumat < 1 mg/kgbb tetapi disertai:

a. Efek samping steroid yang berat

b. Pernah relaps dengan gejala berat antara lain hipovolemia, b. trombosis, dan sepsis diberikan siklofosfamid (CPA) dengan dosis 2-3 mg/kgbb/hari selama 8-12 minggu.2. LevamisolLevamisol terbukti efektif sebagai steroid sparing agent. Levamisol diberikan dengan dosis 2,5 mg/kgbb dosis tunggal, selang sehari, selama 4-12 bulan. Efek samping levamisol adalah mual, muntah, hepatotoksik, vasculitic rash, dan neutropenia yang reversibel. 3. SitostatikaObat sitostatika yang paling sering digunakan pada pengobatan SN anak adalah siklofosfamid (CPA) atau klorambusil. Siklofosfamid dapat diberikan peroral dengan dosis 2-3 mg/kgbb/hari dalam dosis tunggal, maupun secara intravena atau puls. CPA puls diberikan dengan dosis 500 750 mg/m2 LPB, yang dilarutkan dalam 250 ml larutan NaCL 0,9%, diberikan selama 2 jam. CPA puls diberikan sebanyak 7 dosis, dengan interval 1 bulan (total durasi pemberian CPA puls adalah 6 bulan). Efek samping CPA adalah mual, muntah, depresi sumsum tulang, alopesia, sistitis hemoragik, azospermia, dan dalam jangka panjang dapat menyebabkan keganasan. Oleh karena itu perlu pemantauan pemeriksaan darah tepi yaitu kadar hemoglobin, leukosit, trombosit, setiap 1-2 x seminggu. Bila jumlah leukosit 100.000/uL.

Efek toksisitas CPA pada gonad dan keganasan terjadi bila dosis total kumulatif mencapai 200-300 mg/kgbb. Pemberian CPA oral selama 3 bulan mempunyai dosis total 180 mg/kgbb, dan dosis ini aman bagi anak. Klorambusil diberikan dengan dosis 0,2 0,3 mg/kgbb/hari selama 8 minggu. Pengobatan klorambusil pada SNSS sangat terbatas karena efek toksik berupa kejang dan infeksi.

4. Siklosporin (CyA)Pada SN idiopatik yang tidak responsif dengan pengobatan steroid atau sitostatik dianjurkan untuk pemberian siklosporin dengan dosis 4-5 mg/kgbb/hari (100-150 mg/m2 LPB).15 Dosis tersebut dapat mempertahankan kadar siklosporin darah berkisar antara 150-250 ng/mL. Pada SN relaps sering atau dependen steroid, CyA dapat menimbulkan dan mempertahankan remisi, sehingga pemberian steroid dapat dikurangi atau dihentikan, tetapi bila CyA dihentikan, biasanya akan relaps kembali (dependen siklosporin). Efek samping dan pemantauan pemberian CyA dapat dilihat pada bagian penjelasan SN resisten steroid.

5. Mikofenolat mofetil (mycophenolate mofetil = MMF)Pada SNSS yang tidak memberikan respons dengan levamisol atau sitostatik dapat diberikan MMF. MMF diberikan dengan dosis 800 1200 mg/m2 LPB atau 25-30 mg/kgbb bersamaan dengan penurunan dosis steroid selama 12 - 24 bulan.16 Efek samping MMF adalah nyeri abdomen, diare, leukopenia.

D. PENGOBATAN SN DENGAN KONTRAINDIKASI STEROID

Bila didapatkan gejala atau tanda yang merupakan kontraindikasi steroid, seperti tekanan darah tinggi, peningkatan ureum dan atau kreatinin, infeksi berat, maka dapat diberikan sitostatik CPA oral maupun CPA puls. Siklofosfamid dapat diberikan per oral dengan dosis 2-3 mg/kg bb/hari dosis tunggal, maupun secara intravena (CPA puls). CPA oral diberikan selama 8 minggu. CPA puls diberikan dengan dosis 500 750 mg/m2 LPB, yang dilarutkan dalam 250 ml larutan NaCL 0,9%, diberikan selama 2 jam. CPA puls diberikan sebanyak 7 dosis, dengan interval 1 bulan (total durasi pemberian CPA puls adalah 6 bulan).

E. PENGOBATAN SN RESISTEN STEROID

Pengobatan SN resisten steroid (SNRS) sampai sekarang belum memuaskan. Pada pasien SNRS sebelum dimulai pengobatan sebaiknya dilakukan biopsi ginjal untuk melihat gambaran patologi anatomi, karena gambaran patologi anatomi mempengaruhi prognosis.

1. Siklofosfamid (CPA)Pemberian CPA oral pada SN resisten steroid dilaporkan dapat menimbulkan remisi.16 Pada SN resisten steroid yang mengalami remisi dengan pemberian CPA, bila terjadi relaps dapat dicoba pemberian prednison lagi karena SN yang resisten steroid dapat menjadi sensitif kembali. Namun bila pada pemberian steroid dosis penuh tidak terjadi remisi (terjadi resisten steroid) atau menjadi dependen steroid kembali, dapat diberikan siklosporin.2. Siklosporin (CyA)Pada SN resisten steroid, CyA dilaporkan dapat menimbulkan remisi total sebanyak 20% pada 60 pasien dan remisi parsial pada 13%. Efek samping CyA adalah hipertensi, hiperkalemia, hipertrikosis, hipertrofi gingiva, dan juga bersifat nefrotoksik yaitu menimbulkan lesi tubulointerstisial. Oleh karena itu pada pemakaian CyA perlu pemantauan terhadap: Kadar CyA dalam darah: dipertahankan antara 150-250 nanogram/mL Kadar kreatinin darah berkala

Biopsi ginjal setiap 2 tahun

Penggunaan CyA pada SN resisten steroid telah banyak dilaporkan dalam literatur, tetapi karena harga obat yang mahal maka pemakaian CyA jarang atau sangat selektif.3. Metilprednisolon pulsMendoza dkk. (1990) melaporkan pengobatan SNRS dengan metil prednisolon puls selama 82 minggu + prednison oral dan siklofosfamid atau klorambusil 8-12 minggu. Metilprednisolon dosis 30 mg/kgbb (maksimum 1000 mg) dilarutkan dalam 50-100 mL glukosa 5%, diberikan dalam 2-4 jam.

4. Obat imunosupresif lain

Obat imunosupresif lain yang dilaporkan telah digunakan pada SNRS adalah vinkristin, takrolimus, dan mikofenolat mofetil. Karena laporan dalam literatur yang masih sporadik dan tidak dilakukan dengan studi kontrol, maka obat ini belum direkomendasi di Indonesia.

PEMBERIAN OBAT NON-IMUNOSUPRESIF UNTUK MENGURANGI PROTEINURIA

Angiotensin converting enzyme inhibitor (ACEI) dan angiotensin receptor blocker (ARB) telah banyak digunakan untuk mengurangi proteinuria. Cara kerja kedua obat ini dalam menurunkan ekskresi protein di urin melalui penurunan tekanan hidrostatik dan mengubah permeabilitas glomerulus. ACEI juga mempunyai efek renoprotektor melalui penurunan sintesis transforming growth factor (TGF)-1 dan plasminogen activator inhibitor (PAI)-1, keduanya merupakan sitokin penting yang berperan dalam terjadinya glomerulosklerosis. Pada SNSS relaps, kadar TGF-1 urin sama tinggi dengan kadarnya pada SNRS, berarti anak dengan SNSS relaps sering maupun dependen steroid mempunyai risiko untuk terjadi glomerulosklerosis yang sama dengan SNRS. Dalam kepustakaan dilaporkan bahwa pemberian kombinasi ACEI dan ARB memberikan hasil penurunan proteinuria lebih banyak. Pada anak dengan SNSS relaps sering, dependen steroid dan SNRS dianjurkan untuk diberikan ACEI saja atau dikombinasikan dengan ARB, bersamaan dengan steroid atau imunosupresan lain. Jenis obat ini yang bisa digunakan adalah:

Golongan 1. ACEI: kaptopril 0.3 mg/kgbb diberikan 3 x sehari, enalapril 0.5 mg/kgbb/hari dibagi 2 dosis, lisinopril 0,1 mg/kgbb dosis tunggal

Golongan 2. ARB: losartan 0,75 mg/kgbb dosis tunggal

TATA LAKSANA KOMPLIKASI SINDROM NEFROTIK

1. INFEKSI

Pasien sindrom nefrotik sangat rentan terhadap infeksi, bila terdapat infeksi perlu segera diobati dengan pemberian antibiotik. Infeksi yang terutama adalah selulitis dan peritonitis primer. Bila terjadi peritonitis primer (biasanya disebabkan oleh kuman Gram negatif dan Streptococcus pneumoniae) perlu diberikan pengobatan penisilin parenteral dikombinasi dengan sefalosporin generasi ketiga yaitu sefotaksim atau seftriakson selama 10-14 hari.12 Infeksi lain yang sering ditemukan pada anak dengan SN adalah pnemonia dan infeksi saluran napas atas karena virus. Pada orangtua dipesankan untuk menghindari kontak dengan pasien varisela. Bila terjadi kontak diberikan profilaksis dengan imunoglobulin varicella-zoster, dalam waktu kurang dari 96 jam. Bila tidak memungkinkan dapat diberikan suntikan dosis tunggal imunoglobulin intravena (400mg/kgbb). Bila sudah terjadi infeksi perlu diberi obat asiklovir intravena (1500 mg/m2/hari dibagi 3 dosis) atau asiklovir oral dengan dosis 80 mg/kgbb/hari dibagi 4 dosis selama 7 10 hari, dan pengobatan steroid sebaiknya dihentikan sementara.

2. TROMBOSIS

Suatu studi prospektif mendapatkan 15% pasien SN relaps menunjukkan bukti defek ventilasi-perfusi pada pemeriksaan skintigrafi yang berarti terdapat trombosis pembuluh vaskular paru yang asimtomatik. Bila diagnosis trombosis telah ditegakkan dengan pemeriksaan fisis dan radiologis, diberikan heparin secara subkutan, dilanjutkan dengan warfarin selama 6 bulan atau lebih. Pencegahan tromboemboli dengan pemberian aspirin dosis rendah, saat ini tidak dianjurkan.

3. HIPERLIPIDEMIA

Pada SN relaps atau resisten steroid terjadi peningkatan kadar LDL dan VLDL kolesterol, trigliserida dan lipoprotein (a) (Lpa) sedangkan kolesterol HDL menurun atau normal. Zat-zat tersebut bersifat aterogenik dan trombogenik, sehingga meningkatkan morbiditas kardiovaskular dan progresivitas glomerulosklerosis. Pada SN sensitif steroid, karena peningkatan zat-zat tersebut bersifat sementara dan tidak memberikan implikasi jangka panjang, maka cukup dengan pengurangan diit lemak. Pada SN resisten steroid, dianjurkan untuk mempertahankan berat badan normal untuk tinggi badannya, dan diit rendah lemak jenuh. Dapat dipertimbangan pemberian obat penurun lipid seperti inhibitor HMgCoA reduktase (statin).4. HIPOKALSEMIA

Pada SN dapat terjadi hipokalsemia karena:

Penggunaan steroid jangka panjang yang menimbulkan osteoporosis dan osteopenia Kebocoran metabolit vitamin D2.

Oleh karena itu pada pasien SN yang mendapat terapi steroid jangka lama (lebih dari 3 bulan) dianjurkan pemberian suplementasi kalsium 250-500 mg/hari dan vitamin D (125-250 IU). Bila telah terjadi tetani, diobati dengan kalsium glukonas 10% sebanyak 0,5 mL/kgbb intravena.5. HIPOVOLEMIA

Pemberian diuretik yang berlebihan atau dalam keadaan SN relaps dapat terjadi hipovolemia dengan gejala hipotensi, takikardia, ekstremitas dingin, dan sering disertai sakit perut. Pasien harus segera diberi infus NaCl fisiologis dengan cepat sebanyak 15-20 mL/kgbb dalam 20-30 menit, dan disusul dengan albumin 1 g/kgbb atau plasma 20 mL/kgbb (tetesan lambat 10 tetes per menit). Bila hipovolemia telah teratasi dan pasien tetap oliguria, diberikan furosemid 1-2 mg/kgbb intravena

6. HIPERTENSI

Hipertensi dapat ditemukan pada awitan penyakit atau dalam perjalanan penyakit SN akibat toksisitas steroid. Pengobatan hipertensi diawali dengan inhibitor ACE (angiotensin converting enzyme), ARB (angiotensin receptor blocker) calcium channel blockers, atau antagonis adrenergik, sampai tekanan darah di bawah persentil 90.

7. EFEK SAMPING STEROID

Pemberian steroid jangka lama akan menimbulkan efek samping yang signifikan, karenanya hal tersebut harus dijelaskan kepada pasien dan orangtuanya. Efek samping tersebut meliputi peningkatan napsu makan, gangguan pertumbuhan, perubahan perilaku, peningkatan risiko infeksi, retensi air dan garam, hipertensi, dan demineralisasi tulang. Pada semua pasien SN harus dilakukan pemantauan terhadap gejala-gejala cushingoid, pengukuran tekanan darah, pengukuran berat badan dan tinggi badan setiap 6 bulan sekali, dan evaluasi timbulnya katarak setiap tahun sekali.

INDIKASI BIOPSI GINJAL

Biopsi ginjal terindikasi pada keadaan-keadaan di bawah ini:

1. Pada presentasi awal

a. Awitan sindrom nefrotik pada usia 2 kali dalam masa 6 bulan atau > 4 kali dalam masa 12 bulan1. Induksi

Prednison dengan dosis 60 mg/m2/hari (2 mg/kg BB/hari) maksimal 80 mg/hari, diberikan dalam 3 dosis terbagi setiap hari selama 3 minggu2. Rumatan

Setelah 3 minggu, prednison dengan dosis 60 mg/m2/48 jam, diberikan selang sehari dengan dosis tunggal pagi hari selama 4 minggu. Setelah 4 minggu, dosis prednison diturunkan menjadi 40 mg/m2/48 jam diberikan selama 1 minggu, kemudian 30 mg/m2/48 jam selama 1 minggu, kemudian 20 mg/m2/48 jam selama 1 minggu, akhirnya 10 mg/m2/48 jam selama 6 minggu, kemudian prednison dihentikan.

Pada saat prednison mulai diberikan selang sehari, siklofosfamid oral 2-3 mg/kg/hari diberikan setiap pagi hari selama 8 minggu. Setelah 8 minggu siklofosfamid dihentikan. Indikasi untuk merujuk ke dokter spesialis nefrologi anak adalah bila pasien tidak respons terhadap pengobatan awal, relapse frekuen, terdapat komplikasi, terdapat indikasi kontra steroid,atau untuk biopsi ginjal.

IX. Prognosis

Prognosis umumnya baik, kecuali pada keadaan - keadaan sebagai berikut :

1. Menderita untuk pertama kalinya pada umur 6 tahun.

2. Jenis kelamin laki-laki.

3. Disertai oleh hipertensi.

4. Disertai hematuria

5. Termasuk jenis sindrom nefrotik sekunder

6. Gambaran histopatologik bukan kelainan minimal

7. Pengobatan yang terlambat, diberikan setelah 6 bulan dari timbulnyaa gambaran klinis

Pada umumnya sebagian besar (+ 80%) sindrom nefrotik primer memberi respons yang baik terhadap pengobatan awal dengan steroid, tetapi kira-kira 50% di antaranya akan relapse berulang dan sekitar 10% tidak memberi respons lagi dengan pengobatan steroid.

BAB III

PEMBAHASAN

Sindrom nefrotik (SN) adalah keadaan klinis yang ditandai dengan gejala proteinuria masif (> 40 mg/m2 LPB/jam atau 50 mg/kg/hari atau rasio protein/kreatinin pada urin sewaktu > 2 mg/mg atau dipstik 2+), hipoalbuminemia < 2,5 g/dL, edema, dan dapat disertai hiperkolesterolemia > 200 mg/dL. Pada sindroma nefrotik terjadi proteinuria akibat peningkatan permeabilitas membran glomerulus. Sebagian besar protein dalam urin adalah albumin sehingga terjadi hipoalbuminemia. Akibatnya tekanan osmotik di plasma menurun menyebabkan edema generalisata akibat cairan yang berpindah dari sistem vaskuler ke dalam ruang cairan ekstraseluler. Penurunan sirkulasi volume darah mengaktifkan sistem renin-angiotensin, menyebabkan retensi natrium dan edema lebih lanjut. Hilangnya protein dalam serum menstimulasi sintesis lipoprotein di hati dan peningkatan konsentrasi lemak dalam darah. Berdasarkan anamnesis yang dilakukan, pasien mengeluh bengkak di seluruh tubuh. Awal mula bengkak timbul di sekitar mata, kemudian makin hari bengkak timbul di wajah, tangan, kaki, dan di seluruh tubuh. Urine menjadi sedikit sejak 1 minggu yang lalu. Warna tidak seperti cucian daging. Selama pasien mengalami keluhan bengkak seperti ini, pasien tidak mengalami sesak nafas, mual, muntah, dan batuk. Nafsu makan pasien baik. BAB tidak ada keluhan. Alergi disangkal. Pada pemeriksaan fisik didapatkan adanya edema anasarka. Pemeriksaan abdomen, hepar dan lien sulit dinilai, karena terdapat ascites. Pemeriksaan thoraks dalam batas normal. Karena pada pemeriksaan fisik belum dapat ditegakkan diagnosis dengan pasti, perlu dilakukan pemeriksaan lanjutan. Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan hasil proteinuria dan protein total serum 4,3 g/dl, hipoalbuminemia dengan albumin 1,7 g/dl, serta hiperkolesterol dengan kolesterol total 582 mg/dl. Kadar ureum dan kreatinin dalam batas normal dengan ureum 27 mg/dl, dan kreatinin 0,5 mg/dl. Diagnosa dari hasil pemeriksaan fisik dan laboratorium mengarah ke sindrome nefrotik. Sebab gejala klinis dari hasil pemeriksaan fisik dan laboratorium mengacu kepada gejala pada penyakit sindroma nefrotik. Di antaranya pada sindroma nefrotik menunjukkan gejala klinis seperti hipoalbuminemia, hiperlipidemia, proteinuria, edema, volume plasma meningkat. Sementara, pada penderita sindroma nefrotik, kadar ureum, dan kreatinin tetap di dalam batas normal.Tatalaksana yang diberikan kepada pasien, yaitu:

Pasien dianjurkan untuk tirah baring Pada pasien ini diberikan diuretik Furosemide (Lasix) 2 x 20 mg. Pada anak-anak, digunakan dosis 1-2 mg/kgBB, maksimal 40 mg. Pasien mengalami ascites, sehingga cairan akan mendorong atau mendesak diafragma, dan timbul sesak. Berhati-hati dalam pemberian diuretik, karena adanya proteinuria berat dapat menyebabkan gagal ginjal atau hipovolemik Diperhatikan dan dicatat keseimbangan cairan pasien, biasanya diusahakan penurunan berat badan dan cairan 0,5-1 kg/hari. Bila perlu diberi tambahan kalium. Diuretik yang biasanya diberikan adalah diuretik ringan, seperti tiazid atau furosemid dosis rendah Pemberian obat kortikosteroid (Prednisone). Dikarenakan obat kortikosteroid akan menekan proses inflamasi, proses alergi dan respon imun yang terjadi pada membran glomerulus sehingga dapat menurunkan dan memperbaiki permeabilitas membrane basalis. Rumus yang bisa dipakai : LPB (dalam m2) adalah akar dari [BB (berat badan dalam kg) x TB (tinggi badan dalam cm) /3600] . Pasien pada kasus ini anak usia 5 tahun dengan berat badan 20 kg, tinggi badan 102 cm, maka luas permukaan badannya adalah akar dari [20 x 102/3600] = 0,75 m2. Untuk itu untuk tahap awal (full dose, 60 mg/m2 luas permukaan tubuh) anak membutuhkan 0,75 x 60 mg = 45 mg prednison, dapat dibagi 3 dosis dengan pola 3-3-3 : pagi 3 tablet, siang 3 tablet dan sore 3 tablet. Obat dengan dosis tersebut diminum selama 4 minggu, bila respon pengobatan baik (remisi), maka dilanjutkan dengan pengobatan alternating dose (selang 2 hari) 40 mg/m2 luas permukaan tubuh. Obat prednison diminum dalam keadaan lambung penuh terisi makanan, karena bila lambung kosong akan terasa nyeri pada lambung Memperbaiki nutrisiDiet rendah garam (1 gr/hari), tinggi protein (2 gr/kgBB/hari). Pola makan yang disarankan adalah sebagai berikut: Mengkonsumsi makanan yang banyak mengandung protein

Mengkonsumsi makanan diet rendah garam untuk membantu mengurangi edema

Mengurangi jumlah lemak dan kolesterol dalam diet untuk mengatur level kolesterol dalam darah

Mencegah infeksiBiasanya diberikan antibiotik profilaksis untuk menghindari infeksi. Pasien diberikan Cefoperazone sulbactam. Pada anak anak, dosis diberikan setiap 6-12 jam dalam dosis terbagi yang sama.

Transfusi albumin

Indikasi dilakukan transfusi albumin apabila terjadi hipoalbuminemia berat (< 2 gr/dL) atau pada sindrom nefrotik dengan edema paru maupun edema perifer yang akut dan berat, serta resisten terhadap pemberian diuretik. Regimen dosis 20 ml albumin 20% untuk 60 mg furosemide. Pasien mendapat transfusi albumin 20% 100 ml/3 jam (2 x 50 ml )Pasien dirawat selama 4 hari dan pulang atas permintaan sendiri. Berdasarkan hasil follow up pasien, pasien belum diizinkan untuk pulang, karena pasien belum mencapai remisi, yaitu terdapat proteinuria negatif atau trace (proteinuria < 4 mg/m2 LPB/jam) 3 hari berturut-turut dalam 1 minggu. KESIMPULANBerdasarkan gejala - gejala klinis yang didapat dari pasien, maka dapat disimpulkan pasien mengalami sindrom nefrotik. Pasien disimpulkan menderita sindroma nefrotik berdasarkan ditemukannya protein dalam urin yang dapat menjadi indikasi ginjal mengalami sindroma nefrotik. Protein dalam darah ikut terbuang dalam urin, sehingga menyebabkan protein plasma darah menurun, atau hipoalbuminemia dinamakan retensi air dan Na oleh sistem renin-angiotensin menyebabkan pasien mengalami edema di seluruh tubuh atau edema anasrka. Hal pertama yang harus dilakukan adalah memberikan terapi untuk mengatasi sindroma nefrotik yang menjadi penyebab masalah kesehatan lain dalam tubuh pasien dengan cara perbaikan nutrisi, pemberian kortikosteroid, pencegahan infeksi dan berhati-hati dalam pemberian diuretik.FOLLOW UPTanggal: 17 Oktober 2014S/

Bengkak seluruh tubuh, demam (-), mual (-), muntah (-), sesak nafas (-)

O/ Keadaan umum

: Tampak sakit sedang

Kesadaran

: ComposmentisTekanan darah

: 100/60 mmHg

Frekuensi nadi

: 90x/menit (kuat angkat, reguler, isi cukup)

Frekuensi pernafasa

: 20x/menit (adekuat, reguler)

Suhu (axilla)

: 36 oC

Mata

: Edema palpebra (+/+)Cor dan pulmo

: Dalam batas normalAbdomen

: Ascites (+), shiftting dullness (+), test undulasi (+)Ekstremitas

: Pitting edema (+), sianosis (-)

Laboratorium Tanggal 17 Oktober 2014Elektrolit

Na: 133 mmol/jam

K: 3,5 mmol/jam

Cl: 106 mmol/jam

A/Sindrom nefrotik, infeksi saluran kemihP/

Diet: Protein normal 40 gram/hari, rendah garam 20 gram / hariIVFD : Ka-En IB 500 ml / 24 jam

Mm/

Prednisone 3 x 3 tab

Cefoperazone sulbactam 2 x 500 mg

Transfusi albumin 20% atau 50 cc/3 jam

FOLLOW UPTanggal: 18 Oktober 2014S/

Bengkak seluruh tubuh (+), BAK sedikit, demam (-), sesak nafas (-)

O/ Keadaan umum

: Tampak sakit sedang

Kesadaran

: ComposmentisTekanan darah

: 100/60 mmHg

Frekuensi nadi

: 90x/menit (kuat angkat, reguler, isi cukup)

Frekuensi pernafasa

: 20x/menit (adekuat, reguler)

Suhu (axilla)

: 36 oC

Mata

: Edema palpebra (+/+)Cor dan pulmo

: Dalam batas normalAbdomen

: Ascites (+), shiftting dullness (+), test undulasi (+)Ekstremitas

: Pitting edema (+), sianosis (-)

Laboratorium Tanggal 18 Oktober 2014Albumin

: 1,3 g/dl

Urinalisis

Warna

: Kuning muda

Kejernihan: Agak keruh

PH

: 6

BJ

: 1.030

Albumin: Positif 2

Keton

: Positif

Sedimen

Eritrosit: 1-2 / lpb

Leukosit: 8-10 / lpb

Epitel

: Positif

A/Sindrom nefrotik, infeksi saluran kemihP/

Diet: Protein normal 40 gram/hari, rendah garam 20 gram / hariIVFD : Ka-En IB 500 ml / 24 jam

Mm/

Prednisone 3 x 3 tab

Cefoperazone sulbactam 2 x 500 mg

Transfusi albumin 20% atau 50 cc/3 jamFOLLOW UPTanggal: 19 Oktober 2014S/

Bengkak seluruh tubuh (+), BAK mulai banyak, demam (-), sesak nafas (-)

O/ Keadaan umum

: Tampak sakit sedang

Kesadaran

: ComposmentisTekanan darah

: 100/60 mmHg

Frekuensi nadi

: 94x/menit (kuat angkat, reguler, isi cukup)

Frekuensi pernafasa

: 20x/menit (adekuat, reguler)

Suhu (axilla)

: 36 oC

Mata

: Edema palpebra (+/+)Cor dan pulmo

: Dalam batas normalAbdomen

: Ascites (+), shiftting dullness (+), test undulasi (+)Ekstremitas

: Pitting edema (+), sianosis (-)

A/Sindrom nefrotik, infeksi saluran kemihP/

Diet: Protein normal 40 gram/hari, rendah garam 20 gram / hariIVFD : Ka-En IB 500 ml / 24 jam

Mm/

Prednisone 3 x 3 tab

Cefoperazone sulbactam 2 x 500 mg

Transfusi albumin 20% atau 50 cc/3 jamFOLLOW UPTanggal: 20 Oktober 2014S/

Bengkak seluruh tubuh (+), BAK sering, demam (-), sesak nafas (-)

O/

Keadaan umum

: Tampak sakit sedangKesadaran

: ComposmentisTekanan darah

: 110/70 mmHgFrekuensi nadi

: 95x/menit (kuat angkat, reguler, isi cukup)

Frekuensi pernafasan

: 20x/menit (adekuat, reguler)

Suhu (axilla)

: 36,2 oCMata

: Edema palpebra (+/+)Cor dan pulmo

: Dalam batas normalAbdomen

: Ascites (+), shiftting dullness (+), test undulasi (+)Ekstremitas

: Pitting edema (+), sianosis (-)

Laboratorium Tanggal 20 Oktober 2014Urinalisis

Warna

: Kuning

Kejernihan: Keruh

PH

: 7,0

BJ

: 1.020

Albumin: Positif 2

Urobilinogen: 0,2

Darah

: Positif 1

Sedimen

Eritrosit: 2-4 / lpb

Leukosit: 5-7 / lpb

Epitel

: Positif

Silinder: Bergranula 2-3A/Sindrom nefrotik, dan infeksi saluran kemihP/

Diet: Protein normal 40 gram/hari, rendah garam 20 gr/hariIVFD : Ka-En IB 500 ml / 24 jam

Mm/

Prednisone 3 x 3 tab

Cefoperazone sulbactam 2x500 mg

Pasien pulang atas permintaan sendiri.

DAFTAR PUSTAKA1. Trihono Partini Pudjiastuti, Alatas Husein, Tambunan Taralan. Konsensus Tatalaksana Sindrom Nefrotik Idiopatik pada Anak. 2008

2. ISKDC. The primary nephrotic syndrome in children. Identification of patients with minimal change nephrotic syndrome from initial response to prednisone. J Pediatr 1981;98:561-4.

3. Keddis Mira T. Keddis. Karnath Bernath. Keddis & Karnath: The Nephrotic Syndrome: pp. 25-30, 38. October 20074. Kliegman Robert M, Behrman Richard, Jenson Hal B, Stanton Bonita F. Nelson textbook of pediatrics-18th ed. 20045. Rudolph, Colin D, Rudolph, Abraham M, Hostetter Margareth, Lister George Siegel Norman J. Rudolph's Pediatrics, 21st Edition. 2003

6. Orth Stephan R, Ritz Eberhard. The Nephrotic Syndrome. The New England Journal of Medicine. Volume 33, 1998: 1202-11

7. Eddy Allison A. Nephrotic Syndrome in Childhood. The Lancet, Volume 362: 629-39PAGE