BAB V ANALISIS DATA - UKSW...siji barang. Nanging nek bahagia ya ra terus leh, yo mesti ono-ono wae...
Transcript of BAB V ANALISIS DATA - UKSW...siji barang. Nanging nek bahagia ya ra terus leh, yo mesti ono-ono wae...
-
BAB V
ANALISIS DATA
Teori representasi dalam penelitian ini akan membahas mengenai bagaimana pandangan
masyarakat di Kecamatan Juwana tentang pernikahan dini. Pada penelitian ini, penulis juga
telah mewawancarai 5 orang narasumber yang terdiri dari 3 remaja perempuan yang sudah
menikah diusia dini dan 2 orang masyarakat, untuk memperkuat pembahasan peneliti. Penulis
akan menganalisis dengan berfokus pada 2 tahapan pembentukan representasi yaitu
Anchoring dan Objectification (Trisna, 2010 : 84)
5.1 Representasi Menikah Bagi Remaja Perempuan di Kecamatan Juwana
Tujuan dari representasi adalah untuk menjelaskan proses terjadinya pemikiran
sosial dengan kebiasaan yang baru, dan pemahaman tersebut berdasar dari pengalaman
sosial yang berfungsi untuk mengarahkan kebiasaan, perilaku, dan berkomunikasi dalam
lingkungan sosial (Kusuma, 2010 : 126).
Dalam buku yang berjudul Representasi Sosial : Seksualitas, Kesehatan, dan
Identitas, Kumpulan Penelitian Psikologi (2010), sistem representasi terdiri dari dua
komponen yaitu konsep dalam pikiran dan bahasa. Kedua konsep ini saling berkaitan,
karena dari suatu hal yang ada dipikiran kita membuat kita ingin mengetahui makna dari
hal tersebut. Tapi, makna tersebut tidak dapat dimengerti tanpa dikomunikasikan dengan
bahasa. Jadi yang terpenting dalam sistem representasi ialah adanya kelompok tertentu
yang memiliki suatu latarbelakang pendidikan dan sosial lingkungan yang sama.
Kelompok inilah yang dapat menghasilkan dan bertukar makna dengan baik.
Makna dapat disebut juga dengan konstruksi. Dimana, manusia mengkonstruksi
makna dengan sangat baik sehingga makna tersebut seolah-olah berjalan secara alami,
dan tak dapat diubah oleh siapapun. Makna tersebut dikonstruksi difiksasi melalui kode.
Kode inilah yang kemudian diterima dan pahami oleh masing-masing dari anggota
kelompok.
5.1.1 Anchoring
Dalam teori representasi terdapat istilah Anchoring, yang merupakan sebuah
proses pengenalan atau pengkaitan suatu objek dalam pikiran seseorang. Pada proses ini,
-
informasi yang baru didapat dibaurkan kedalam sistem pikiran dan makna sebelumnya.
Dengan kata lain objek tersebut diproses dalam pikiran seseorang kemudian menjadi
sebuah makna yang baru. Makna tersebut kemudian yang membangun sistem nilai dari
sebuah objek.
Dalam hal ini, sebuah kata pernikahan muncul kemudian diterima dan diproses
dalam pikiran setiap individu hingga menjadi makna baru sesuai apa yang dipikirkannya.
Masing-masing mempunyai penilaian sendiri mengenai objek tersebut dari apa yang
mereka terima dan kemudian dipahami sehingga menciptakan suatu gambaran dari objek
yang sebenarnya. Termasuk pemaknaan tentang pernikahan.
Menurut Pasal 1 dalam Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan1,
mengartikan perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan wanita
sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan
kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Sedangkan pernikahan menurut Saxton,
memiliki dua makna yang pertama sebagai institusi sosial, dimana suatu solusi kolektif
terhadap kebutuhan sosial. Menurutnya, pernikahan memberikan fungsi pokok untuk
kelangsungan hidup suatu kelompok yaitu masyarakat. Yang kedua, makna individual,
pernikahan sebagai bentuk pengesahan terhadap peran individu, namun yang terutama
pernikahan dipandang sebagai sumber kepuasan personal dalam hidup.
Pernikahan dilakukan oleh seseorang dengan maksud tujuan yang berbeda-beda.
Berikut merupakan hasil wawancara peneliti mengenai tujuan pernikahan.
“nek nggo wong muslim kan menikah nggo ibadah mbak. ning nek nggo aku sih
nikah nggo omah-omah karo wong sing ditresnani, nduwe anak, karo urip seneng
hehehe... nek nganti saiki yaaa.... podo wae sih mbak, kan aku ya wis nduwe anak
siji barang. Nanging nek bahagia ya ra terus leh, yo mesti ono-ono wae masalahe
mbak, masalah duit, anak, panganan, yo ngoono iku lah mbak. Yo Allhamdulillah
mbak dijalani wae.”
(Terjemahan dalam Bahasa Indonesia : “kalau buat orang muslim ya menikah itu
termasuk ibadah mbak. Tapi kalau aku sih untuk membangun rumah tangga
bersama orang yang dicinta, terus punya anak, dan hidup bahagia hehehe.... kalau
sejauh ini yaaaaa... sesuai sih mbak, soalnya aku udah punya anak juga satu. Tapi
kalau bahagia gak selalu mbak, karena mesti ada aja masalahnya, masalah duit lah,
anak lah, terus makan lah,, ya gitu lah mbak. Ya Allhamdulillah dijalani saja”),
Kata Nur2.
1Diunduh pada http://hukum.unsrat.ac.id/uu/uu_1_74.htmpada tanggal 1 Mei 2018 pukul 10.33 WIB.
2Transkip wawancara dengan Nur pada tanggal 14 April 2018 pukul 15.10 WIB.
http://hukum.unsrat.ac.id/uu/uu_1_74.htm
-
Bagi kebanyakan orang, tujuan menikah untuk membangun sebuah keluarga bahagia dan
mempunyai keturunan. Pendapat tersebut senada dengan pendapat Kirana3, perempuan
yang ada di Kecamatan Juwana.
“membangun sebuah rumah tangga yang baik dengan orang yang disayang dan
bisa menerima kekurangan dan kelebihan pasangannya. Siji neh, nambah
keturunan hahaha... nganti saiki sih yo sesuai gak sesuai mbak, jenenge wae nikah
mesti yo ono masalah. Bapak ibuku wae senengane yo tukaran, dadi wajar-wajar
wae.”
(Terjemahan dalam Bahasa Indonesia : “membangun sebuah rumah tangga yang
baik dengan orang yang disayang dan bisa menerima kekurangan dan kelebihan
pasangannya. Satu lagi, menambah keturunan hahahaha... sejauh ini sih ya sesuai
gak sesuai mbak, namanya juga menikah pasti ada masalah. Bapak ibuku aja
sering kok berantem, jadi ya wajar-wajar aja”), tutur Kirana.
Pernikahan merupakan suatu hal yang harus dilakukan untuk tercapainya tujuan tertentu.
Namun, agar tujuan tersebut dapat tercapai maka diperlukan adanya persiapan. Persiapan
tidak hanya dari segi materi melainkan juga mental. Menurut Bachtiar (2004), Pernikahan
bisa dikatakan sebagai bertemunya dua hati dalam naungan pergaulan hidup yang
berlangsung dalam jangka waktu yang lama bahkan selamanya, yang di dalamnya
terdapat berbagai hak dan kewajiban yang harus dilaksanakan oleh masing-masing pihak
untuk mendapatkan kehidupan yang layak, bahagia, harmonis, serta mendapat keturunan,
sehingga keduanya harus siap mental yang matang.
Proses penyampaian makna dilakukan dalam masyarakat melalui bahasa yang
digunakan sehari-hari. Makna tersebut diolah dalam pikiran masing-masing sehingga
makna dapat mewakili makna yang ingin disampaikan, menjadi contoh atau menjadi
pengganti dari sesuatu (Hall, 1997 ; 16)4.
Kebanyakan remaja perempuan di Kecamatan Juwana, pernikahan mereka
dapatkan dari masyarakat sekitar. Makna tersebut kemudian diproses menjadi makna
yang mereka yakini kebenarannya secara pribadi. Sehingga bagi mereka pernikahan
merupakan suatu kewajiban yang harus dilakukan untuk seorang remaja perempuan di
Kecamatan Juwana.
5.1.2 Objectification
3Transkip wawancara dengan Kirana pada tanggal 21 April 2018 pukul 19.00 WIB.
4Diunduh pada http://eprints.upnjatim.ac.id/4652/2/file2.pdf tanggal 5 Juli 2018 pukul 22:09 WIB.
http://eprints.upnjatim.ac.id/4652/2/file2.pdf
-
Dalam representasi terdapat Objectification yang merupakan sebuah proses
penerjemahkan ide abstrak dari suatu objek ke dalam gambaran tertentu yang lebih
konkrit. Proses ini dipengaruhi oleh norma, nilai, kode yang ada dalam masyarakat.
individu percaya bahawa apa yang ada di masyarakat menjadi sebuah kebenaran di
masyarakat itu sendiri.
Jika dalam proses Anchoring remaja perempuan mendapatkan objek baru dan
kemudian dia kelola sendiri dalam pikiran mereka sehingga muncul makna baru, maka di
proses ini makna tersebut disamakan oleh makna yang dibangun oleh masyarakat.
penyamaan makna disesuaikan dengan nilai-nilai masyarakat yang sudah ada. Penyamaan
makna dibangun dari bahasa komunikasi sehari-hari masyarakat. Dalam hal ini suara
kelompok mayoritas akan lebih berpengaruh dari kelompok yang minoritas.
Makna pernikahan menurut remaja perempuan di Kecamatan Juwana kemudian
dibaurkan dalam masyarakat. Tujuannya agar pendapat mereka sama dan diterima dalam
masyarakat tersebut. Banyak dari mereka yang melakukan pernikahan dini karena makna
yang dibangun dimasyarakat merupakan kegiatan yang wajib dilakukan, meskipun baru
lulus SMA. Hal tersebut dibangun dalam masyarakat sehingga menjadikan suatu
kebiasaan atau budaya di Kecamatan Juwana.
Bagi masyarakat di Kecamatan Juwana, usia sangat menentukan seseorang untuk
menikah. Jika usia dirasa sudah cukup matang, maka layak untuk segera menikah.
Berikut hasil wawancara mengenai usia ideal untuk remaja peremuan di Kecamatan
Juwana.
“Asal wes ora ono tanggungan sekolah terus wes nduwe pacar yo wesikumbak,
lulus sekolah langsung nikah wae, mergo wis wayahe iku.”
(Terjemahan dalam Bahasa Indonesia : “Asal udah gak ada tanggungan sekolah
dan punya pacar ya udah itu mbak, lulus sekolah langsung menikah aja, udah
saatnya kalau itu”), Kata Ibu Kun5.
Menurut Ibu Puji juga demikian,
“Jamanku mbiyen mbak, nek wes 16-17 tahun ki wes dikon rabi. Nek saiki yo
ngenteni lulus SMA sek mbak. Saiki kan seko pemeritah nek sekolah kudu 12 tahun
sek to. Cah wedok nek gak ndang rabi mengko malah dadi perawan tuo lo mbak.
Sing penting nek dadi wedok iku kudu iso masak, dandan, ngopeni bojo karo anak
yo wes siap dirabi mbak iku.”
5Transkip wawancara dengan Ibu Kun pada tanggal 1 April 2018 pikul 08.00 WIB.
-
(Terjemahan dalam Bahasa Indonesia : “Jamanku dulu mbak, 16-17 tahun udah
disuruh menikah. sekarang ya nunggu lulus SMA dulu mbak. kan wajib itu dari
pemerintah sekolah 12 tahun. Perempuan kalau bisa jangan lama-lama ntar jadi
perawan tua. Kan yang penting perempuan harus bisa masak, dandan, ngurus
keluarga, ya kalau sudah bisa semua berarti sudah siap untuk menikah.”)
Menurut data Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN)6,
menjelaskan bahwa batas minimal usia menikah bagi perempuan minimal 21 tahun dan
laki-laki 25 tahun. Hal ini juga didukung dari data studi terbitan Journal of Social and
Personal Relationship tahun 2012 bahwa 25 tahun adalah usia paling ideal untuk menikah
baik laki-laki ataupun perempuan.
Berdasarkan wawancara diatas, masyarakat di Kecamatan Juwana memiliki
anggapan bahwa anak perempuan pantas segera menikah jika sudah lulus sekolah.
Menurutnya, usia menikah jaman dulu dengan sekarang sama, sehingga masyarakat
masih berpikir bahwa remaja perempuan bila sudah tak bersekolah maka harus menikah
tanpa memandang usia meskipun masih belia.
Sama halnya dengan perempuan yang sudah memasuki kepala dua namun belum
segera menikah, maka dia akan dianggap sebagai perawan tua. Persepsi tersebut
dibangun dalam masyarakat sebagai pola untuk meyakinkan remaja agar segera menikah.
Penyampaian persepsi tersebut dilakukan oleh masyarakat secara berkala tanpa adanya
batasan waktu.
Seperti hasil wawancara dengan Priskila saat dia belum menikah setelah lulus
sekolah :
“ora sing piye-piye sih mbak, soale yo wis biasa ning kene ditakoni kapan nikah?
Po meneh nek wis nduwe pacar terus ngerti tonggone, wis lah ditakoni macem-
macem. Nek biyen aku pas ijeh sekolah yo ditakoni ‘wis nduwe pacar durung?’
ngono mbak.”
(Terjemahan dalam Bahasa Indonesia : “gak terlalu yang gimana-gimana sih
mbak, soalnya udah biasa juga ditempatku nanyain kapan nikah? Apalagi kalau
sudah punya pacar terus tetangga pada tau, ya sudah akan ditanyai macem-macem.
Kalau aku dulu pas masih sekolah ditanyainnya ‘sudah punya pacar belum?’ gitu
mbak.”)
6Diunduh pada https://www.bkkbn.go.id/detailpost/bkkbn-usia-pernikahan-ideal-21-25-tahun tanggal 1 Juli 2018
pukul 15:30 WIB
https://www.bkkbn.go.id/detailpost/bkkbn-usia-pernikahan-ideal-21-25-tahun
-
Proses objectification juga melihat adanya kelompok dominan dan tak dominan.
Dalam proses penyampaian pesan tersebut kelompok dominan yang ada di Kecamatan
Juwana merupakan orang tua memiliki kekuasaan tinggi dimana suara mereka yang
menjadi kebenaran. Sedangkan, kelompok tak dominan yaitu remaja perempuan pendapat
mereka kadang tak didengar.Sehingga representasi mereka harus disamakan dengan
representasi yang ada di lingkungan masyarakat sekitar Kecamatan Juwana.
5.2 Kelompok Terbungkam
5.2.1 Perbandingan Pembagian Kerja Antara Laki-laki dan Perempuan
Asumsi ini muncul karena anggapan bahwa diantara laki-laki dan perempuan
mempunyai dunia yang sangat berbeda7. Perbedaan ini terletak pada pembagian tugas dan
wewenang, karena laki-laki dianggap mempunyai tanggung jawab untuk mengatur
kegiatan-kegiatan diluar rumah sedangkan perempuan hanya bertanggung jawab pada
kegiatan-kegiatan didalam rumah. Menurut Kramarae, peran perempuan seringkali tak
diperhitungkan dalam masyarakat. Masyarakat khususnya kaum laki-laki menganggap
perempuan tak bisa diandalkan dalam pekerjaan berat dan dianggap manusia paling
lemah. Termasuk pembagian kerja dalam rumah tangga.
Namun setelah revolusi industri, banyak perempuan yang bekerja di luar rumah
atau menjadi seorang wanita karir. Tapi, mereka tetap mempunyai tanggung jawab untuk
mengurus rumah dan anaknya. Menurut Arlie Hochschild, hal tersebut sebagai waktu
kerja kedua (second shift) bagi perempuan, yaitu saat menghabiskan waktu delapan jam
untuk karirnya dan selanjutnya pulang ke rumah untuk mengurus keperluan rumah
tangga.
Sama halnya dengan memutuskan untuk menikah. Seorang perempuan dianggap
layak untuk menikah jika sudah memiliki tiga kemampuan yaitu masak, dandan dan bisa
memiliki anak. Tiga hal tersebut menjadi syarat wajib bagi seorang perempuan. Menurut
Budaya Jawa (Roqib, 2007 : 72), perempuan dalam rumah tangga sendiri harus bisa
“macak, masak, lan manak”, artinya perempuan harus bisa berdandan untuk suami,
7Mustain. 2013. Sisi Lain Perempuan Dalam sorotan media : Tinjauan Teori kelompok Bungkam ( Muted Hroup
Theory). Purwokerto : JSGI Vol 04, No 01.
-
membuat makanan untuk suami, dan melahirkan anak dari suami. Perempuan dituntut
untuk mampu mengelola rumah tangga dan melayani segala kebutuhan. Dalam rumah
tangga, perempuan juga tidak boleh bekerja karena laki-laki yang akan bekerja mencari
nafkah. Hal ini seperti yang disampaikan oleh ibu Puji seorang warga di Desa Growong
Lor Kecamatan juwana yang mengatakan :
“Cah wedok nek gak ndang rabi mengko malah dadi perawan tuo lo mbak. Sing
penting nek dadi wedok iku kudu iso masak, dandan, ngopeni bojo karo anak
yowes siap dirabi mbak iku.”
(Terjemahan dalam Bahasa Indonesia : “Anak perempuan kalau tidak segera
menikah nanti malah jadi perawan tua lho mbak. yang penting jadi perempuan itu
harus bisa masak, dandan, merawat suami sama anak ya sudah siap dinikahi bak
itu”), tutur ibu Puji yang berusia 46 tahun8.
Senada dengan pendapat ibu Puji, Ibu Kun juga berpendapat
demikian :
“Lha lapo sekolah duwur-duwur nek mengko bali ning omah yo ngopeni bojo karo
anak, ya to mbak? Sekolah duwur iku oleh tapi kudu iling nek wedok iki kudu iso
masak, ngemong anak, ngurusi omah. Nek lanang kan bedo mbak, lulus SMA nek
iso kudu golek kerjo gawe rabi. Nek wes rabi kudu iso nguripi anak bojone.”.
(Terjemahan dalam Bahasa Indonesia : “Ngapain sekolah tinggi-tinggi kalau ujung
balik kerumah tangga, ngurus anak suami, ya kan mbak? ya boleh punya
pendidikan tinggi tapi tetap jangan lupa kodrat perempuan harus bisa masak,
momong anak, ngurus semua rumah tangga. Kalau cowok beda lagi mbak. Lulus
SMA cowok harus cepet-cepet cari kerja, cari uang yang banyak buat menikah.
kan kalau sudah menikah cowok harus biayai keluarga mbak”), ucap ibu Kun yang
berusia 45 tahun9.
Dari petikan wawancara diatas, dapat dilihat bahwa menurut orang tua, pekerjaan
perempuan hanya mengurus kegiatan-kegiatan didalam rumah, seperti masak, mengurus
anak dan suami, sedangkan laki-laki yang harus bekerja dengan kegiatan diluar
rumah.Demikian juga seorang remaja perempuan saat ditanya tugas seorang perempuan :
“sing penting iso masak, manak, macak yo rapopo mbak. Nek wis wayahe yo
bakal nikah dewe. Ya piye yo, masalah e aku podo wae nikah umur semono”.
(Terjemahan dalam Bahasa Indonesia : “Yang penting bisa masak,berdandan,
punya anak ya tidak apa-apa mbak. kalau udah waktunya menikah ya akan
8Transkip wawancara dengan Puji pada tanggal 1 April 2018 pukul 08.00 WIB.
9Transkip wawancara dengan Kun pada tanggal 1 April 2018 pukul 08.00 WIB.
-
menikah sendiri. gimana ya mbak, masalahnya aku juga menikah diumur segitu”),
kata Priskila perempuan berusia 21 tahun10
.
Perbedaan tugas antara laki-laki dan perempuan inilah yang masih terus menjadi
perbandingan masyarakat di Kecamatan Juwana, khususnya dalam rumah tangga.
Menurut Richard West (2010), pembagian kerja laki-laki dan perempuan ini tidak
menonjolkan dominasi laki-laki. Namun, juga ingin menyatakan bahwa laki-laki
mempunyai pengalaman yang lebih banyak dibanding dengan pengalaman perempuan.
persepsi masyarakat di Kecamatan Juwana khususnya perempuan bahwa pekerjaan laki-
laki yang diluar rumah menjadikan mereka memiliki pengalaman yang lebih daripada
perempuan. Dari hal tersebut timbulah kegiatan atau pandangan yang berakar dari kaum
laki-laki. Sehingga perempuan percaya bahwa dunia mereka sangatlah berbeda.
5.2.2 Persepsi Dominan Menghambat Ekspresi Bebas Perempuan Mengenai Dunia
Asumsi ini berfokus pada komunikasi kelompok dominan yang ada di
masyarakat. Dalam buku yang berjudul Teori Komunikasi (Djuarsa, 2012), mengatakan
bahwa kebungkaman terjadi karena kelompok yang ingin berkuasa. Pembagian
kelompokdibangun secara alami melalui hubungan interaksi sehari-hari, sehingga tercipta
kelompok dominan dan tidak dominan. Hal ini menyebabkan adanya kekuasaan dari
kelompok dominan dalam menyarakan persepsi-persepsi mereka, sehingga kelompok
yang tak dominan menjadi terbungkam. Struktur bungkam dapat dilihat dari bahasa yang
ada dalam masyarakat. Hasilnya, persepsi dominan akan menang dan mereka yang
terbungkam akan dipandang rendah, dan dibuat tak tampak dalam masyarakat.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, ekspresi diartikan sebagai
pengungkapan atau proses menyatakan (memperlihatkan atau menyatakan maksud,
gagasan, perasaan, dan sebagainya). Dan juga dapat diartikan sebagai pandangan air
muka yang memperlihatkan perasaan seseorang.
Sedangkan bebas menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti lepas sama
sekali (tidak terhalang, terganggu dan sebagainya sehingga dapat bergerak, berbicara,
berbuat, dan sebagainya dengan leluasa), dan lepas dari (kewajiban, tutnttan, perasaan
10
Transkip wawancara dengan Priskila pada tanggal 15 April 2018 pukul 10.21 WIB.
-
takut, dan sebagainya). Jadi ekspresi bebas dapat diartikan sebagai proses seseorang
menyatakan pendapat atau gagasannya secara leluasa dan tidak terhalang oleh apapun.
Menurut Kramarae, perempuan seringkali tidak diperhitungkan dalam lingkup
masyarakat. Pemikiran perempuan yang kadang-kadang tidak dinilai sama sekali,
termasuk memutuskan untuk menikah. Menurut Kramarae juga, saat kaum perempuan
mencoba ingin menyuarakan ketidaksetaraan ini, kontrol komunikasi sangat dikuasai oleh
kaum maskulin, termasuk orang tua. Bahasa yang diciptakan oleh kaum laki-laki
membuat keberadaan kaum perempuan menjadi tak dihargai kembali dan memutuskan
untuk mengikuti apa yang diinginkan masyarakat. Termasuk alasan mengapa seorang
remaja perempuan harus segera menikah.Berikut adalah hasil wawancara dengan
narasumber :
“Biyen aku pengene nikah umur 20 tahun mbak, tapi ya piye neh mbak ra nduwe
duit nggo sekolah, wong tuwo pengene ya nikah, ya wis lah nikah mbak, piye neh
hahaha...”
(Terjemahan dalam Bahasa Indonesia : “Dulu aku pengennya nikah umur 20 tahun
mbak, tapi mau gimana lagi tidak punya uang buat kuliah, orang tua inginnya
menikah, ya sudah menikah mbak, mau gimana lagi hahaha..”) kata Priskila11
.
Dari petikan wawancara diatas dapat dilihat faktor ekonomi menjadi alasan remaja
perempuan untuk segera menikah. Namun, dapat juga dilihat bahwa faktor ekonomi
tersebut dibangun dari faktor keinginan orang tua untuk segera menikahkan anaknya.
Orang tua berharap pernikahan dapat mengurangi beban dalam keluarga. Dengan
menikahkan anaknya orang tua sudah lepas tanggung jawab dalam kehidupan anaknya,
sehingga hal tersebut dapat menjadi solusi terbaik untuk meningkatkan ekonomi
keluarga.Termasuk menurut pendapat Ibu Kun yang mengatakan demikian :
“Asal wes ora ono tanggungan sekolah terus wes nduwe pacar yo wes siap iku
mbak, saiki umur kok wes ora penting yo, nek wes wayahe rabi yo tinggal rabi to.
Sing penting nek rabi ojo mergo kebablasen wae mbak, nek ngono yo malah
ngisin-ngisini wong tuo ne. Nek iso golek calone yo sing sugeh sing wis kerjo ben
iso ngewangi bebane wong tuo.”
(Terjemahan dalam Bahasa Indonesia : “Asal udah gak ada tanggungan sekolah
dan punya pacar mbak, umur sekarang udah gak penting lagi mbak, kalau emang
udah saatnya ya menikah aja. Yang penting kalau menikah jangan karena hamil
11
Transkip wawancara dengan Priskila pada tanggal 15 April 2018 pukul 10.21 WIB.
-
aja mbak, nanti malah bikin malu orang tua. Kalau bisa calonnya juga orang kaya
yang sudah bekerja biar bisa bantu ngurangi beban orang tua12
.”)
Pada sisi lain, orang tua ingin segera menikahkan anaknya karena faktor sosial. Dari
petikan diatas dapat dilihat bahwa orang tua tidak ingin anaknya terjerumus pada
pergaulan yang salah, salah satunya menyebabkan anaknya hamil diluar nikah. faktor ini
sangat berkaitan dengan hubungan interaksi dengan lingkungan masyarakat. Dimana
setiap lingkungan masyarakat mempunyai pola interaksi yang berbeda. Masyarakat
Juwana menganggap bahwa hamil diluar nikah merupakan aib dalam masyarakat.
Akibatnya, jika ada seorang remaja perempuan yang hamil diluar nikah maka langsung
menjadi omongan dan dapat dikucilkan dalam masyarakat. Maka dari itu, orang tua takut
jika anaknya hamil akan mendapat citra buruk dalam keluarga dan masyarakat.
Faktor-faktor inilah yang membuat seorang perempuan remaja memutuskan untuk
segera menikah. Kebebasan mereka jadi terbatas. Kebanyakan dari perempuan di
Kecamatan Juwana menganggap bahwa mereka tak punya suara apapun didalam
masyarakat. Sehingga argumen-argumen yang dibangun oleh masyarakat atau orang tua
di Kecamatan Juwana selalu diterima oleh anak perempuan disana. Menurut Shirley
Ardener13
, Jika laki-laki masyarakat dari kaum mayoritas lebih ‘pandai bicara’
dibandingkan perempuan, ini merupakan suatu permasalahan dimana terjadi pada orang-
orang yang sama dengan suatu hal yang sama pula. Selain itu, dapat dilihat kebungkaman
dari perempuan tersebut merupakan hasil dari pasangan ketulian dari laki-laki atau orang
tua. Dimana perempuan yang ingin mengungkapkan ekspresinya namun tak dianggap atau
didengarkan oleh laki-laki ataupun orang tunya.
5.2.3 Perempuan Harus Mengubah Model Mereka Sesuai Dengan Sistem Ekspresi
Laki-Laki
Menurut Shirley Ardener14
mengatakan bahwa perempuan sebagai kelompok
terbungkam tidak berarti mereka sama sekali tidak dapat bersuara atau selalu diam. Fokus
dari teori ini adalah seseorang atau sebuah kelompok dapat menyuarakan apa yang
12
Transkip wawancara dengan Kun pada tanggal 1 April 2018 pukul 08.00 WIB. 13
West, Richard dan turner. 2013. Pengantar Teori Komunikasi : Analisis Teori dan aplikasi. Jakarta : Salemba
Humanika.
14 Ibid
-
menjadi keinginan mereka, kapan, dimana, kehendak siapa, sampai mereka harus
mengubah pemikiran atau pendapat untuk dapat diterima didalam lingkungan sosial. Saat
seseorang perempuan khususnya remaja sedang mengubah apa yang mereka ingin
katakan hanya karena takut tidak bisa diterima atau merasa dikucilkan oleh
lingkungannya, maka orang tersebut termasuk kelompok terbungkam. Kramarei
menambahkan bahwa perempuan lebih pantas atau cocoknya berada dirumah dengan
dunianya yang menggunakan komunikasi interpersonal. Sedangkan laki-laki merasa
bahwa dunianya yang luas karena berada diluar rumah dengan komunikasi yang lebih
beragam. Dunia laki-laki lebih diterima, maka dari itu perempuan yang harus mengganti
model mereka dengan apa yang diinginkan atau diterima oleh kaum laki-laki.
Keinginan untuk dapat diterima oleh masyarakat, menjadikan perempuan harus
mengubah pandangan dan tindakan mereka. Sebagai kaum yang diangggap lemah karena
pembagian kerja, perempuan dituntut untuk bisa ambil bagian dalam masyarakat sesuai
dengan keinginan laki-laki. Kelompok terbungkam juga sebagai penggambaran bahwa
kelompok minoritas harus tunduk dengan kelompok mayoritas. Apa yang menjadi
kesepakatan kaum mayoritas, kaum minoritas juga siap menerimanya. Begitupun
perempuan harus mengikuti model-model yang dibangun dalam masyarakat, termasuk
menikah. Adanya patokan-patokan pernikahan, membuat perempuan mau tidak mau
menyetujui hal tersebut. Salah satu contoh saat masyarakat menilai perempuan yang
belum menikah.
Berikut hasil wawancara peneliti dengan narasumber :
“yo ngerti dewe lah mbak lambene wong-wong, nek cah wedok lulus sekolah,
tengok-tengok nek omah ditakonine ora kerjo mbak, tapi ‘wis nduwe pacar
durung?, kapan nikah?, pacare kok ra dikenalno rene leh?’ ngono terus mbak,
risih aku. Kan aku nek omah nduwe konco kenthel kan mbak, iku yo lagi UN SMA
cah e iku ya wis diomongi ‘bar sekolah nikah lak wis’. Halah mboh mbak yo
ngono iku.”
(Terjemahan dalam Bahasa Indonesia : “ya tau sendiri lah mbak mulutnya orang-
orang, kalau ada perempuan sudah lulus sekolah, nganggur dirumah yang ditanya
bukan tidak kerja mbak, tapi ‘sudah punya pacar belum?, kapan nikah?, pacarnya
kok tidak dikenalkan sini?, gitu terus mbak. kan aku juga punya teman dekat kan
-
mbak, dia lagi UN SMA temanku sudah dikasih tau ‘selesai sekolah nikah aja’.
halah gak tau ya gitu lah.” nanti jadi jaka tua”), ucap Nur15
.
Begitu juga dengan pendapat Priskila,
“ora sing piye-piye sih mbak, soale yo wis biasa ning kene ditakoni kapan nikah?
Po meneh nek wis nduwe pacar terus ngerti tonggone, wis lah ditakoni macem-
macem. Nek biyen aku pas ijeh sekolah yo ditakoni ‘wis nduwe pacar durung?’
ngono mbak.”
(Terjemahan dalam Bahasa Indonesia : “gak terlalu yang gimana-gimana sih
mbak, soalnya udah biasa juga ditempatku nanyain kapan nikah? Apalagi kalau
sudah punya pacar terus tetangga pada tau, ya sudah akan ditanyai macem-macem.
Kalau aku dulu pas masih sekolah ditanyainnya ‘sudah punya pacar belum?’ gitu
mbak16
.)”
Dari petikan pendapat diatas, dapat dilihat bahwa perempuan berada didalam kontrol
masyarakat. Dimana kaum perempuan tunduk atas perintah dari masyarakat. Remaja
perempuan mengubah pola pikirnya menjadi sistem yang sama dengan
masyarakat.Tekanan-tekanan yang diterima membuat perempuan melakukan semuanya
agar mendapat pengakuan dimasyarakat dan diterima menjadi bagiannya.Karena
masyarakat punya pandangan sendiri terhadap remaja perempuan yang belum menikah.
Berikut hasil wawancara dengan masyarakat :
“walah mbak, jaman dulu karo saiki yo bedo mbak, nek mbiyen umur 20 durung
rabi yo elokno perawan tua mbak. Nek saiki kan kabeh pingine sekolah neh a
mbak. Nek anakku sing wedok wingi lulus sekolah tak kon nikah, wong wis nduwe
pacar mbak. ya itung-itung ngurangi beban wong tuwo lah mbak. toh yo nikah ki
ngurangi doso. Lha ngko nek misal dikiro zina kan nikah luweh apik.”
(Terjemahan dalam Bahasa Indonesia : “Jaman dulu sama jaman sekarang kan
beda ya mbak, umur 20 tahun aja lho kalau belum menikah udah di cap perawan
tua. Kalau sekarang pengennya sekolah lagi mbak. kalau anakku yang perempuan
kemarin lulus sekolah tak suruh nikah, kan sudah punya pacar mbak. ya hitung-
hitung mengurangi beban orang tua lah mbak. toh ya nikah mengurangi dosa.
Nanti kalau dikira berzina kan nikah lebih bagus”), tutur Ibu Kun17
.
Menurut Kramarae, pembungkaman terjadi secara alami terbentuk dalam
masyarakat. Terdapat beberapa proses yaitu, mengejek, ritual, kontrol dan pelecehan.
Namun yang berkembang dimasyarakat di Kecamatan juwana adalah mengejek.
15
Transkip wawancara dengan Nur pada tanggal 14 April 2018 pukul 15.10 WIB. 16
Transkip wawancara dengan Priskila pada tanggal 15 April 2018 pukul 10.21 WIB. 17
Transkip wawancara dengan Ibu Kun pada tanggal 1 April 2018 pikul 08.00 WIB.
-
Mengejek dalam hal ini berupa menggosip, mengomel, menyindir yang dilakukan
masyarakat kepada remaja perempuan di Kecamatan Juwana. Dari hasil wawancara,
banyak remaja perempuan mendapat sindiran dari masyarakat untuk segera menikah.
Sindiran-sindiran tersebut berupa omongan dan pertanyaan yang membuat remaja
perempuan disana mau tidak mau harus mengikutinya. Karena salah satunya dari orang
tua yang menginginkan anaknya untuk segera menikah.
Dalam Pasal 26 ayat (1) Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang
Perlindungan Anak, menyatakan bahwa “orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab
untuk (a) Mengasuh, memelihara, mendidik dan melindungi anak. (b)
Menumbuhkembangkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat, dan minatnya. Dan (c)
mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak”. Namun, banyak orang tua di
Kecamatan Juwana yang ingin anaknya segera menikah meskipun usianya masih
terhitung dini. Menurut KPAI, meskipun dalam pasal 7 ayat (1) Undang-undang Nomor 1
Tahun1974 Tentang Perkawinan yang mengatakan bahwa usia minimum anak perempuan
yang menikah adalah 16 tahun, tapi tetap saja masih kurang lebih dibawah 18 tahun maka
dia adalah anak yang harus dilindungi oleh keluarganya. Sehingga, anak perempuan yang
menikah diusia kurang lebih 18 tahun kebawah, dikatakan penikahan dini.
5.3 Korelasi Representasi Dengan Kelompok Terbungkam
Dalam anchoring dan objectification menjelaskan proses bertukar pengertian dari
representasi pernikahan yang ada dimasyarakat. Proses tersebut melihat bagaimana makna
pernikahan disampaikan dan masyarakat saling bertukar makna dengan anggota lain
dengan menggunakan bahasa sehari-hari. Hal ini kemudian memunculkan adanya kaum
mayoritas dan minoritas dalam kelompok masyarakat.
Masyarakat di Kecamatan Juwana menganggap bahwa pernikahan adalah suatu
budaya jawa yang harus dilakukan. Masyarakat menilai remaja perempuan yang sudah
tamat SMA sebaiknya segera menikah. Sedangkan untuk remaja laki-laki dituntut untuk
segera bekerja karena nantinya sebagai kepala keluarga harus mencukupi keluarganya.
Nilai-nilai tersebut dibangun dalam masyarakat termasuk kepada remaja perempuan, yang
sudah tak bersekolah. Banyak remaja perempuan di Kecamatan Juwana yang melakukan
-
pernikahan dini karena adanya desakan dari masyarakat khususnya orang tua. Adapun
alasan Priskila salah satu remaja perempuan yang mau menikah dini :
“sebenere ki ora aku mbak, tapi morotuaku sing wedok sing ndang pengen. Soale
yo aku karo bojoku bedo 7 tahun to, kene yo pacaran podo wis suwi kawit aku
kelas 2 SMA. Lha timbang kesuwen yo mbak, ya wis aku gelem mbak, jare
morotuaku ngko mas Arif diuneni joko tuwo”.
(Terjemahan dalam Bahasa Indonesia : “bukan aku sih mbak sebenernya, tapi ibu
mertuaku yang pengen. Soalnya aku sama suami beda 7 tahun kan, terus kita
pacarannya juga dari aku kelas 2 SMA. Daripada lama-lama kan mbak, ya udahlah
nikah aja nanti mas Arif dibilang jaka tua kata mertuaku gitu sih”).18
Begitupun dengan alasan Kirana :
“Nek mertuaku biyen pengene cepet-cepet perkorone ndang pengen momong putu
mbak, kan morotuaku ya wis sepuh, munine isin barang durung nduwe mantu. Lha
piye umur 45an ketok e durung mantu. Mas Eko yo wis wayah e nikah to, kacek e
7 tahun mbak. cah lanang yo ra apik nek suwi-suwi ra nikah to mbak, dadi joko
tuo ngko”
(Terjemahan dalam Bahasa Indonesia : “Kalau yang mertuaku dulu pengennya
cepet-cepet karena pengen momong cucu mbak, kan mertua saya sudah tua,
bilangnya malu juga karena belum punya mantu. Lha gimana umur 45an kayaknya
mbak belum mantu. Mas Eko kan juga udah waktunya menikah, aku sama dia itu
terpaut 7 tahun mbak, gitu. Laki-laki ya juga tidak baik kalau menikah lama-lama
kan mbak? jadi jaka tua ntar).”19
Dari petikan wawancara diatas, dapat dilihat bahwa alasan mereka mau melakukan
pernikahan dini bukan karena keinginan sendiri, tapi lingkungan dan keinginan orang
tua.Hal ini disebabkan karena orang tua malu jika anak lelakinya tak segera menikah dan
dianggap jaka tua. Representasi pernikahan yang sudah dibangun dimasyarakat membuat
remaja perempuan tak bisa menolak keinginan orang tua. Dari hal tersebut melihat bahwa
orang tua sebagai kaum dominan memiliki kuasa atas remaja perempuan, sehingga
mereka menjadi kelompok terbungkam.
Menurut Richard dan Tuner (2010), pembungkaman terjadi karena adanya praktik
budaya dan komunikasi sehari-hari dalam masyarakat. Dimana yang menjadi kelompok
bungkam harus menyamakan sistem nilai yang telah dibangun dalam masyarakat. Mereka
juga harus membiasakan diri dengan proses komunikasi dalam pembentukan representasi
18
Transkip wawancara dengan Priskila pada tanggal 15 April 2018 pukul 10.21 WIB. 19
Transkip wawancara dengan Kirana pada tanggal 21 April 2018 pukul 19.00 WIB.
-
oleh kaum dominan. Dalam hal ini kelompok bungkam dianggap tak pandai bicara karena
posisi dalam masyarakat tak memiliki suara untuk menyampaikan pendapat.
Proses bungkam sendiri terjadi karena sistem komunikasi yang dibangun dan dikontrol oleh
kaum dominan. Menurut West dan Turner (2013), masyarakat menempatkan remaja perempuan
sebagai kaum lemah dan sering diremehkan. Di Kecamatan Juwana proses bungkam terjadi
melalui ejekan atau sindiran. Dalam masyarakat, ejekan atau sindiran tersebut bertujuan agar
remaja perempuan mengikuti sistem yang dibangun dalam kelompok masyarakat dominan
sehingga makna yang telah ada menjadi sama. Selain itu, masyarakat menganggap bahwa proses
ini juga dapat menyakinkan remaja perempuan untuk menikah dini, sehingga pernikahan dini
tetap menjadi budaya dalam masyarakat di Kecamatan Juwana.